Sunday, 20 September 2015

“MAKALAH TINDAK PIDANA HAK ASASI MANUSIA (HAM)”
Dibuat untuk memenuhi tugas tertulis Mata Kuliah Delik-Delik Khusus

Dosen : DR. Alfitra, SH, MH
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Menurut sejarahnya asal mula hak asasi manusia itu ialah dari Eropa Barat, yaitu Inggris. Tonggak pertama kemenangan hak asasi ialah pada tahun 1215 dengan lahirnya Magna Charta. Di dalam Magna Charta itu tercantum kemenangan para bangsawan atas raja Inggris. Di dalamnya di jelaskan bahwa raja tidak lagi bertindak sewenang-wenang. Dalam hal-hal tertentu, raja di dalam tindakannya harus mendapat persetujuan para bangsawan. Walaupun terbatas dalam hubungan antar raja dan bangsawan, hal itu kemudian terus berkembang. Sebagaimana suatu prinsip, hal ini merupakan suatu kemenangan sebab hak-hak tertentu telah diakui oleh pemerintah.
Kedua adalah Bill of Right (Undang-Undang Hak 1689) suatu undang-undang yang diterima oleh parlemen Inggris, setelah dalam tahun 1688 melakukan revolusi tak berdarah (the glorius revolution) dan berhasil melakukan perlawanan terhadap raja James II. Menyusul kemudian The American Declaration of Indepencence of 1776, bersamaan dengan Virginia Declaration of Right of 1776. Selanjutnya Declaration des droits de I’homme et du citoyen (pernyataan hak-hak manusai dan warga negara, 1789) naskah yang dicetuskan pada awal revolusi Perancis sebagai perlawanan terhadap kesewenang-wenangan raja dengan kekuasaan absolut. Selanjutnya Bill of Right (UU Hak), disusun oleh rakyat Amerika Serikat pada tahun 1789, bersamaan waktunya dengan revolusi Perancis, kemudian naskah tersebut dimasukkan atau ditambahkan sebagai bagian dari Undang-Undang Dasar Amerika Serikat pada tahun 1791. 
Beberapa pemikiran tentang hak asasi manusia pada abad ke 17 dan 18 di atas hanya terbatas pada hak-hak yang bersifat politis saja, misalnya persamaan hak, kebebasan, hak memilih dan sebagainya. Sedangkan pada abad ke 20, ruang lingkup hak asasi manusia diperlebar ke wilayah ekonomi, sosial, dan budaya. 
Berdasar naskah-naskah di atas, Franklin Delano Roosevelt (Presiden Amerika ke-32) meringkaskan paling tidak terdapat Empat Kebebasan (The Four Freedoms) yang harus diakui, yakni (1) freedom of speech (kebebasan untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat, (2) freedom of religion (kebebasan beragama), (3) freedom from want (kebebasan dari kemiskinan), dan (4) freedom from fear (kebebasan dari rasa takut). Dalam bahasa Indonesia biasa disalin dengan “Hak-hak kemanusiaan ”atau“ Hak-hak asasi manusia
[1]”. Yang dimaksud mula-mula dari istilah ini ialah hak yang melekat pada martabat manusia sebagai insan ciptaan Tuhan Yang maha Esa, seperti hak hidup dengan selamat, hak kebebasan dan kesamaan, yang sifatnya tidak boleh dilanggar oleh siapapun.
Di Indonesia, diskursus tentang penegakan hak asasi manusia juga tidak kalah gencarnya. Keseriusan pemerintah di bidang HAM paling tidak bermula pada tahun 1997, yaitu semenjak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) didirikan setelah diselenggarakannya Lokakarya Nasional Hak Asasi Manusia pada tahun 1991. Sejak itulah tema tentang penegakan HAM di Indonesia menjadi pembicaraan yang serius dan berkesinambungan. Kesinambungan itu berwujud pada usaha untuk mendudukkan persoalan HAM dalam kerangka budaya dan sistem politik nasional sampai pada tingkat implementasi untuk membentuk jaringan kerjasama guna menegakkan penghormatan dan perlindungan HAM tersebut di Indonesia. Meski tidak bisa dipungkiri adanya pengaruh internasional yang menjadikan hak asasi manusia sebagai salah satu isu global, namun penegakan hak asasi manusia di Indonesia lebih merupakan hasil dinamika internal yang merespon gejala internasional secara positif. 
Pada pada tahun 1999 Indonesia memiliki sistem hukum yang rigid dan jelas dalam mengatur dan menyelesaikan persoalan pelangaran HAM di Indonesia. Diberlakukannya UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia kendati agak terlambat merupakan langkah progresif dinamis yang patut dihargai dalam merespon isu internasional di bidang hak asasi manusia walaupun masih perlu dilihat dan diteliti lebih jauh isinya.
b. Rumusan Masalah
Beberapa pertanyaan mendasar muncul pada waktu itu sampai saat ini.
1.    Bagaimana konsep HAM menurut undang-undang tersebut?
2.    Sejauh mana HAM memiliki titik relevansi dengan dinamisasi masyarakat?
3.    Bagaimana penegakan HAM selama ini?
4.    Seberapa besar HAM mengakomodasi nilai-nilai universal? 
c. Tujuan penulisan
 
Tulisan singkat ini tidak akan menjawab semua persoalan di atas, tetapi hanya akan mencoba menelisik persoalan HAM di Indonesia dengan melakukan pengujian terhadap instrumen UU no. 39 tahun 1999 tentang HAM secara sederhana dan melakukan studi komparatif dengan konsep HAM dalam memperoleh pekerjaan di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
a. Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak-hak asasi manusia adalah hak-hak dasar atau hak-hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak asasi ini menjadi dasar hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang lain. Sebagaimana kita ketahui, di samping hak-hak asasi, yang dalam hidup kemasyarakatan kita seharusnya mendapat perhatian terlebih dahulu, baru menuntut hak. Dalam masyarakat yang individualistis ada kecenderungan pelaksanaannya secara mutlak karena penuntutan pelaksanaan hak asasi secara mutlak berarti melanggar hak-hak asasi yang sama dari orang lain. Hak Asasi Manusia[2] adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah Nya, yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum dan pemerintahan dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Berdasar pemaparan diatas Hak asasi manusia itu adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.

b. Pengertian Pancasila
Pancasila adalah ideologi bangsa dan dasar negara Indonesia, oleh karenanya merupakan landasan idiil bagi sistem pemerintahan dan landasan etis-moral bagi kehidupan berbangsa, bernegara serta bermasyarakat. Pancasila juga bukan hanya merupakan pandangan hidup, melainkan juga alat pemersatu bangsa.
Pancasila adalah lima asas yaitu dari dasar Negara kita, Negara republik Indonesia.
Pancasila adalah landasan ideologi dalam satu negara di mana di dalamnya terdapat butir-butir sila yang mengatur dan aturan bernegara.
c. Apakah yang dimaksud HAM dalam Pancasila
Hak-hak asasi manusia dalam Pancasila dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945 dan terperinci di dalam batang tubuh UUD 1945 yang merupakan hukum dasar konstitusional dan fundamental tentang dasar filsafat negara Republik Indonesia serat pedoman hidup bangsa Indonesia, terdapat pula ajaran pokok warga negara Indonesia. Yang pertama ialah perumusan ayat ke 1 pembukaan UUD tentang hak kemerdekaan yang dimiliki oleh segala bangsa didunia. Oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Pasal 27, ayat (1) UUD 1945 menetapkan bahwa segala warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Ayat (2) pasal itu menetapkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Hak asasi tentang kerakyatan atau demokrasi yang pokok dasarnya ditetapkan pada sila ke 4 sebagai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dilengkapi lebih lanjut dengan ketetapan dalam pasal 28 UUD. Bangsa Indonesia memiliki hak untuk menyelenggarakan demokrasinya itu hak kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya yang ditetapkan dalam undang-undang. Istilah dan sebagainya itu dapat ditafsirkan bahwa undang-undang dikuasaankan untuk mengatur dan menetapkan lain-lain dan kewajiban dasar manusia Indonesia sesuai dengan Pancasila. Selanjutnya pasal 29 ayat (2) menetapkan jaminan bagi tiap-tiap penduduk oleh negara kemerdekaan untuk memeluk agama dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Pasal 30 ayat (1) UUD 1945 menetapkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara. Hak asasi dibidang kesejahteraan sosial sesuai dengan sila ke 5 keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia diatur lebih lanjut dalam pasal 33 ayat (1-3) UUD 1945.
Dari kelima sila yang diamanatkan dalam Pancasila dapat diuraikan hubungan antara HAM dengan Pancasila sebagai berikut :
1) Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila tersebut mengamanatkan bahwa setiap warga Negara bebas untuk memeluk agama dan kepercayaan masing – masing. Hal ini selaras dengan Deklarasi Universal tentang HAM dimana terdapat perlindungan HAM dari adanya diskriminasi, atas dasar jenis kelamin, warna kulit, ras, agama, bahasa politik atau pandangan lain, asal – usul kebangsaan, rasial, kekayaan dan kelebihan ataupun statusnya.
2) Sila Kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Sila ini mengamanatkan adanya persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia sebagaimana tercantum dalam Deklarasi HAM PBB yang melarang adanya diskriminasi.
3) Sila Ketiga, Persatuan Indonesia
Sila ini mengamanatkan adanya unsur pemersatu diantara warga Negara dengan semangat rela berkorban dan menempatkan kepentingan bangsa dan Negara diatas kepentingan pribadi atau golongan, hal ini sesuai dengan prinsip HAM dimana hendaknya sesama manusia bergaul satu sama lainnya dalam semangat persaudaraan.
4) Sila Keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
            Inti dari sila ini adalah musiyawarah dan mufakat dalam setiap penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan sehingga setiap orang tidak dibenarkan untuk mengambil tindakan sendiri, atas inisiatif sendiri yang dapat mengganggu kebebasan orang lain. Hal ini sesuai dengan Deklarasi HAM.
5) Sila Kelima, Kedilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
            Asas keadilan dalam HAM tercermin dalam sila ini, dimana keadilan disini ditujukan bagi kepentingan umum tidak ada pembedaan atau diskriminasi antar individu.


d. Konsep HAM dalam UU No.39 tahun 1999
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM). Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).
Dalam Undang-undang ini pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia ditentukan dengan berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, konvensi PBB tentang hak-hak anak dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Materi Undang-undang ini disesuaikan juga dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila, UUD 45 dan TAP MPR RI Nomor XVII/MPR/1998.
Hak-hak yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terdiri dari:
  1. Hak untuk hidup. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, meningkatkan taraf kehidupannya, hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.
  2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah atas kehendak yang bebas.
  3. Hak mengembangkan diri. Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
  4. Hak memperoleh keadilan. Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif oleh Hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar.
  5. Hak atas kebebasan pribadi. Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politik, mengeluarkan pendapat di muka umum, memeluk agama masing-masing, tidak boleh diperbudak, memilih kewarganegaraan tanpa diskriminasi, bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia.
  6. Hak atas rasa aman. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
  7. Hak atas kesejahteraan. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, bangsa dan masyarakat dengan cara tidak melanggar hukum serta mendapatkan jaminan sosial yang dibutuhkan, berhak atas pekerjaan, kehidupan yang layak dan berhak mendirikan serikat pekerja demi melindungi dan memperjuangkan kehidupannya.
  8. Hak turut serta dalam pemerintahan. Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau perantaraan wakil yang dipilih secara bebas dan dapat diangkat kembali dalam setiap jabatan pemerintahan.
  9. Hak wanita. Seorang wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam jabatan, profesi dan pendidikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Di samping itu berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya.
  10. Hak anak. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
  11. Hak Asasi Manusia dalam Memperoleh Pekerjaan

BAB III
CONTOH KASUS PELANGGARAN HAM PABRIK PEMBUATAN KUALI DI KP. BAYUR OPAK DS. LEBAK WANGI KEC. SEPATAN KAB. TANGERANG
Kepolisian Resor Kota Tangerang menggerebek sebuah pabrik pembuatan alumunium balok dan kuali di Kampung Bayur Opak, Desa Lebak Wangi, Kecamatan Sepatan, Kabupaten Tangerang. Pabrik yang diduga ilegal ini dilaporkan telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia seperti menyiksa dan menyekap karyawan, mempekerjakan karyawan di bawah umur, dan para karyawan tersebut tidak diberi upah yang standar. Di lokasi, polisi menemukan beberapa fakta soal usaha industri rumahan tersebut, yaitu tempat usaha industri tidak memiliki izin industri dari Pemerintah Kabupaten Tangerang, tempat istirahat buruh berupa ruang tertutup seluas 8 meter x 6 meter tanpa ranjang tempat tidur, hanya alas tikar, kondisi yang tidak pantas, lembab, gelap, serta kamar mandi yang kondisinya kotor karena tidak terawat[3].
Kepala Divisi Advokasi dan HAM Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yati Andriyani mengatakan, terjadi pelanggaran berlapis-lapis dilakukan oleh pabrik pembuatan alumunium balok dan kuali di Kampung Bayur Opak, Desa Lebak Wangi, Kecamatan Sepatan, Kabupaten Tangerang[4]. "Ini perkara tidak biasa," kata Yati saat dihubungi Tempo, Sabtu 4 Mei 2013. "Penganiayaan, penyekapan, pemerasan, pelanggaran hak tenaga kerja, perlanggaran perlindungan anak dan perdata, ada di dalam kasus ini.
Kontras mendesak hukuman seadil-adilnya kepada pemerintah terhadap pelaku pelanggaran tersebut. "Bukan soal aniaya dan hak tenaga kerja saja, perbudakan dan pemerasan ada didalam perkara ini," ujar Yati. Peristiwa ini bermula dari laporan dua buruh asal Lampung melarikan diri dari tempat kerjanya tersebut karena mengalami siksaan, perlakuan kasar, penyekapan dan tidak ada pemberian hak-hak yang wajar.
Keluarga juga melaporkan perlakuan buruh yang tidak manusiawi tersebut ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan hasil koordinasi dgn Polda Metro-Polda Lampung-Polresta Tangerang, maka dilakukan pengecekan lapangan ke TKP pada Jumat, 3 Mei 2013, pukul 14.00 Wib. Pabrik yang diduga illegal ini dilaporkan telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Seperti menyiksa dan menyekap karyawan, mempekerjakan karyawan di bawah umur, dan para karyawan tersebut tidak diberi upah standar. "Pabrik ini sudah beroperasi 1,5 tahun, tapi memperlakukan karyawannya sangat tidak manusiawi," ujar Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Kota Tangerang Shinto.
Usaha yang dimiliki oleh JK, 40 tahun itu digerebek polisi pada Jumat petang, 3 Mei 2013 kemarin. Di lokasi, polisi menemukan beberapa fakta soal usaha industri rumahan tersebut, yaitu tempat usaha industri tidak memiliki izin industri dari Pemerintah Kabupaten Tangerang, tempat istirahat buruh berupa ruang tertutup seluas 8 meter x 6 meter tanpa ranjang tempat tidur, hanya alas tikar, kondisi pengab, lembab, gelap, serta kamar mandi yang kondisinya kotor dan jorok karena tidak terawat. "Dompet dan HP yang dibawa buruh ketika awal bekerja disita oleh JK dan disimpan istrinya tanpa argumentasi yang jelas," kata Shinto. "Buruh yang sudah bekerja dua bulan dijanjikan akan mendapat upah sebesar Rp 600 ribu perbulan. "Tapi gaji tidak diberikan," katanya.
Saat penggerebekan, polisi juga menemukan enam orang buruh yang sedang disekap dengan kondisi ruangan dikunci dari luar. Kondisi para buruh tersebut sangat memprihatinkan. Pakaian yang dikenakan kumal, compang-camping karena berbulan-bulan tidak ganti. "Kondisi tubuh buruh juga tidak terawat. Rambut cokelat, kelopak mata gelap, berpenyakit kulit (kurap dan gatal-gatal), terlihat tidak sehat," kata Shinto. Para buruh tersebut mengaku diperlakukan tidak manusiwi. Hak-hak terkait kesehatan dan hak untuk berkomunikasi diabaikan oleh pemilik usaha tersebut. Polisi juga menemukan empat orang buruh yang masih berusia di bawah 17 tahun dengan status masih anak-anak. Kasus tersebut dapat digolongkan pelanggaran HAM yang dapat dikaitkan dengan pasal 27, 28 D ayat 2 UUD 1945 dan pasal 354 KUHP.
Pasal 27 UUD 1945, berbunyi :
1. “Segala warga negara bersamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjungjung hukum dan pemerinatah itu dengan tidak ada kecualinya”.
2. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
3. “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
Pasal 28 D, berbunyi :
1. Setiap orang berhak untuk berkerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

Pasal 351, berbunyi :
1. Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.

Salinan resmi Putusan Pengadilan Negeri Tangerang tanggal 25 Maret 2014 Nomor : 2301/Pid.Sus/2013/PN.TNG., yang amarnya sebagai berikut :
1.      Menyatakan bahwa terdakwa Yuki Irawan Bin Suharjo Susilo tersebut diatas telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana : ’’Turut serta melakukan perekrutan, penampungan, penyekapan untuk tujuan eksploitasi” dan ’’Turut serta melakukan eksploitasi ekonomi anak” dan ’’Turut serta melakukan Penggelapan” dan ’’Tanpa izin mendirian perusahaan industri dan tidak menyampaikan informal industri kepada Pemerintah Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Yuki Irawan Bin Suharjo Susilo oleh karena itu dengan pidana penjara selama 11 (sebelas) tahun.
2.      Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani terdakwa akan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
3.      Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan


           

BAB IV
KESIMPULAN
Berdasar uraian diatas maka dapat diambil simpulan sebagai berikut:
  1. Hak asasi manusia adalah hak atau kewenangan yang melekat pada diri individu sejak ia lahir secara kodrati yang tidak dapat dirampas atau dicabut keberadaannya.
  2. Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa, sumber kejiwaan masyarakat dan dasar Negara republik Indonesia.
  3. Indonesia sebagai Negara hukum menjunjung Hak asasi manusia, hal ini termuat dalam pancasila yang syarat akan nilai-nilai Hak asasi manusia dan UUD 1945 yang memuat materi tentang HAM mulai dari pembukaan, penjelasan umum dan batang tubuhnya.
  4. Macam-macam HAM menjadi tolok ukur dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebagai pandangan hidup.
BAB V
     SARAN
Sebagai makhluk sosial kita harus mampu mempertahankan dan memperjuangkan HAM kita sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa menghormati dan menjaga HAM orang lain jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM. Dan Jangan sampai pula HAM kita dilanggar dan dinjak-injak oleh orang lain.

DAFTAR PUSTAKA
  1. Darmodihardjo, Dardji, Laboratorium Pancasila IKIP Malang, 1991, Santiaji Pancasila
  2. Notonagoro. 1974. Pancasila Secara Ilmiah Polpuler. Jakarta: Pancoran Tujuh.
  3. Purbopranoto, Kuntjoro. 1969. Hak-hak Asasi Manusia dan Pancasila.Jakarta: Pradnya Paramita.
  4. Srijanto, Djarot. 1994. Tata Negara Sekolah Menengah Umum. Surakarta: PT Pabelan.
  5. Alim, Muhammad. 2001. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Konstiitusi Madinah dan UUD 1945. Yogyakarta: UII Press.
  6. Atmasasmita, Romli. 2000. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Bandung: PT. Refika Aditama
  7. Bahar, Saafroedin. 1997. Hak Asasi Manusia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
  8. Komnas HAM. 1998. Membangun Jaringan Kerjasama Hak Asasi Manusia. Jakarta: Komnas HAM.
  9. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. 2000. Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional. Jakarta: ELSAM.
  10. Muzaffar, Chandra. 1995. Hak Asasi Manusia dalam tata Dunia Baru (Menggugat Dominasi Global Barat). Bandung: Mizan.
  11. Undang-Undang RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  12. http://www.tempo.co



[1]Darmodihardjo, Dardji, Laboratorium Pancasila IKIP Malang, 1991:77, Santiaji Pancasila

[2] UU Nomor 39 Tahun 1999 pasal 1 angka 1

Friday, 20 March 2015

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2003
TENTANG
PERATURAN DISIPLIN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, perlu ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Mengingat:
1.         Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.         Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4168).

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERATURAN DISIPLIN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1.         Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
2.         Disiplin adalah ketaatan dan kepatuhan yang sungguh-sungguh terhadap peraturan disiplin anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
3.         Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah serangkaian norma untuk membina, menegakkan disiplin dan memelihara tata tertib kehidupan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
4.         Pelanggaran Peraturan Disiplin adalah ucapan, tulisan, atau perbuatan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melanggar peraturan disiplin.
5.         Tindakan disiplin adalah serangkaian teguran lisan dan/atau tindakan fisik yang bersifat membina, yang dijatuhkan secara langsung kepada anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
6.         Hukuman disiplin adalah hukuman yang dijatuhkan oleh atasan yang berhak menghukum kepada anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui Sidang Disiplin.
7.         Penempatan dalam tempat khusus adalah salah satu jenis hukuman disiplin yang dijatuhkan kepada anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang telah melakukan pelanggaran disiplin dengan menempatkan terhukum dalam tempat khusus.
8.         Sidang disiplin adalah sidang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran disiplin yang dilakukan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
9.         Atasan adalah setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang karena pangkat dan/atau jabatannya berkedudukan lebih tinggi dari pada anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang lain.
10.       Atasan langsung adalah anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang karena jabatannya mempunyai wewenang langsung terhadap bawahan yang dipimpinnya.
11.       Atasan tidak langsung adalah setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang tidak mempunyai wewenang langsung terhadap bawahan.
12.       Bawahan adalah setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang pangkat dan/atau jabatannya lebih rendah dari Atasan.
13.       Atasan yang berhak menghukum, selanjutnya disingkat Ankum, adalah atasan yang karena jabatannya diberi kewenangan menjatuhkan hukuman disiplin kepada bawahan yang dipimpinnya.
14.       Atasan Ankum adalah atasan langsung dari Ankum.
15.       Provos adalah satuan fungsi pada Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bertugas membantu pimpinan untuk membina dan menegakkan disiplin serta memelihara tata tertib kehidupan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
16.       Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Kapolri adalah pimpinan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penanggung jawab penyelenggaraan fungsi kepolisian.

Pasal 2
(1)        Peraturan Pemerintah ini berlaku bagi:
a.         Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan
b.         mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan tunduk pada hukum yang berlaku bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(2)        Peraturan Pemerintah ini tidak berlaku bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sedang menjalani pidana penjara.

BAB II
KEWAJIBAN, LARANGAN, DAN SANKSI

Pasal 3
Dalam rangka kehidupan bernegara dan bermasyarakat, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib:
a.         setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara, dan Pemerintah;
b.         mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan serta menghindari segala sesuatu yang dapat merugikan kepentingan negara;
c.         menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
d.         menyimpan rahasia negara dan/atau rahasia jabatan dengan sebaik-baiknya;
e.         hormat-menghormati antar pemeluk agama;
f.          menjunjung tinggi hak asasi manusia;
g.         menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang berhubungan dengan tugas kedinasan maupun yang berlaku secara umum;
h.         melaporkan kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan dan/atau merugikan negara/ pemerintah;
i.           bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat;
j.           berpakaian rapi dan pantas.

Pasal 4
Dalam pelaksanaan tugas, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib:
a.         memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat;
b.         memperhatikan dan menyelesaikan dengan sebaik-baiknya laporan dan/atau pengaduan masyarakat;
c.         menaati sumpah atau janji anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia serta sumpah atau janji jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d.         melaksanakan tugas sebaik-baiknya dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab;
e.         memelihara dan meningkatkan keutuhan, kekompakan, persatuan, dan kesatuan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
f.          menaati segala peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku;
g.         bertindak dan bersikap tegas serta berlaku adil dan bijaksana terhadap bawahannya;
h.         membimbing bawahannya dalam melaksanakan tugas;
i.           memberikan contoh dan teladan yang baik terhadap bawahannya;
j.           mendorong semangat bawahannya untuk meningkatkan prestasi kerja;
k.         memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan karier;
l.           menaati perintah kedinasan yang sah dari atasan yang berwenang;
m.        menaati ketentuan jam kerja;
n.         menggunakan dan memelihara barang milik dinas dengan sebaik-baiknya;
o.         menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik.

Pasal 5
Dalam rangka memelihara kehidupan bernegara dan bermasyarakat, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang:
a.         melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat negara, pemerintah, atau Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b.         melakukan kegiatan politik praktis;
c.         mengikuti aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
d.         bekerjasama dengan orang lain di dalam atau di luar lingkungan kerja dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan negara;
e.         bertindak selaku perantara bagi pengusaha atau golongan untuk mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Kepolisian Negara Republik Indonesia demi kepentingan pribadi;
f.          memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya;
g.         bertindak sebagai pelindung di tempat perjudian, prostitusi, dan tempat hiburan;
h.         menjadi penagih piutang atau menjadi pelindung orang yang punya utang;
i.           menjadi perantara/makelar perkara;
j.           menelantarkan keluarga.

Pasal 6
Dalam pelaksanaan tugas, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang:
a.         membocorkan rahasia operasi kepolisian;
b.         meninggalkan wilayah tugas tanpa izin pimpinan;
c.         menghindarkan tanggung jawab dinas;
d.         menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi;
e.         menguasai barang milik dinas yang bukan diperuntukkan baginya;
f.          mengontrakkan/menyewakan rumah dinas;
g.         menguasai rumah dinas lebih dari 1 (satu) unit;
h.         mengalihkan rumah dinas kepada yang tidak berhak;
i.           menggunakan barang bukti untuk kepentingan pribadi;
j.           berpihak dalam perkara pidana yang sedang ditangani;
k.         memanipulasi perkara;
l.           membuat opini negatif tentang rekan sekerja, pimpinan, dan/atau kesatuan;
m.        mengurusi, mensponsori, dan/atau mempengaruhi petugas dengan pangkat dan jabatannya dalam penerimaan calon anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
n.         mempengaruhi proses penyidikan untuk kepentingan pribadi sehingga mengubah arah kebenaran materil perkara;
o.         melakukan upaya paksa penyidikan yang bukan kewenangannya;
p.         melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan, menghalangi, atau mempersulit salah satu pihak yang dilayaninya sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayani;
q.         menyalahgunakan wewenang;
r.          menghambat kelancaran pelaksanaan tugas kedinasan;
s.         bertindak sewenang-wenang terhadap bawahan;
t.          menyalahgunakan barang, uang, atau surat berharga milik dinas;
u.         memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, meminjamkan, atau menghilangkan barang, dokumen, atau surat berharga milik dinas secara tidak sah;
v.         memasuki tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, kecuali karena tugasnya;
w.         melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apa pun untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain;
x.         memakai perhiasan secara berlebihan pada saat berpakaian dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 7
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ternyata melakukan pelanggaran Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dijatuhi sanksi berupa tindakan disiplin dan/atau hukuman disiplin.

Pasal 8
(1)        Tindakan disiplin berupa teguran lisan dan/atau tindakan fisik.
(2)        Tindakan disiplin dalam ayat (1) tidak menghapus kewenangan Ankum untuk menjatuhkan Hukuman Disiplin.

Pasal 9
Hukuman disiplin berupa:
a.         teguran tertulis;
b.         penundaan mengikuti pendidikan paling lama 1 (satu) tahun;
c.         penundaan kenaikan gaji berkala;
d.         penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu) tahun;
e.         mutasi yang bersifat demosi;
f.          pembebasan dari jabatan;
g.         penempatan dalam tempat khusus paling lama 21 (dua puluh satu) hari.

Pasal 10
(1)        Bilamana ada hal-hal yang memberatkan pelanggaran disiplin, penempatan dalam tempat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf g, dapat diperberat dengan tambahan maksimal 7 (tujuh) hari.
(2)        Hal-hal yang memberatkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila pelanggaran dilakukan pada saat:
a.         negara atau wilayah tempat bertugas dalam keadaan darurat,
b.         dalam operasi khusus kepolisian, atau
c.         dalam kondisi siaga.

Pasal 11
(1)        Tindakan disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat dijatuhkan secara kumulatif.
(2)        Hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dijatuhkan secara alternatif atau kumulatif.

Pasal 12
(1)        Penjatuhan hukuman disiplin tidak menghapuskan tuntutan pidana.
(2)        Penjatuhan hukuman disiplin gugur karena pelanggar disiplin:
a.         meninggal dunia,
b.         sakit jiwa yang dinyatakan oleh dokter dan/atau badan penguji kesehatan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 13
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dijatuhi hukuman disiplin lebih dari 3 (tiga) kali dan dianggap tidak patut lagi dipertahankan statusnya sebagai anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat dari dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui Sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

BAB III
PENYELESAIAN PELANGGARAN DISIPLIN

Pasal 14
(1)        Penjatuhan tindakan disiplin dilaksanakan seketika dan langsung pada saat diketahuinya pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(2)        Penjatuhan hukuman disiplin diputuskan dalam sidang disiplin.
(3)        Penentuan penyelesaian pelanggaran Peraturan Disiplin melalui sidang disiplin merupakan kewenangan Ankum.

Pasal 15
Pejabat yang berwenang menjatuhkan tindakan disiplin adalah:
a.         atasan langsung;
b.         atasan tidak langsung; dan
c.         anggota Provos Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan lingkup tugas dan kewenangannya.

Pasal 16
(1)        Pejabat yang berwenang menjatuhkan hukuman disiplin adalah:
a.         Ankum, dan/atau
b.         Atasan Ankum.
(2)        Atasan Ankum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, berwenang memeriksa dan memutus atas keberatan yang diajukan oleh terhukum.
(3)        Ankum di lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia secara berjenjang adalah sebagai berikut:
a.         Ankum berwenang penuh,
b.         Ankum berwenang terbatas, dan
c.         Ankum berwenang sangat terbatas.
(1)        Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri.

Pasal 17
(1)        Sebelum menjatuhkan hukuman disiplin, Ankum wajib memeriksa lebih dahulu anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang disangka melakukan pelanggaran disiplin itu.
(2)        Pejabat yang berwenang memeriksa pelanggaran disiplin adalah:
a.         Ankum,
b.         Atasan langsung,
c.         Atasan tidak langsung,
d.         Provos Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau
e.         Pejabat lain yang ditunjuk oleh Ankum.

Pasal 18
(1)        Apabila atas pertimbangan Ankum pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat dijatuhi hukuman disiplin, maka pemeriksaan dilakukan melalui sidang disiplin.
(2)        Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara intern.

Pasal 19
Ankum berwenang memerintahkan Provos Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melakukan pemeriksaan terhadap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang disangka melakukan pelanggaran disiplin.

Pasal 20
Ankum berwenang memerintahkan diselenggarakannya sidang disiplin terhadap anggotanya yang disangka melakukan pelanggaran disiplin.

Pasal 21
Sebelum melaksanakan Sidang Disiplin, Ankum meminta pendapat dan saran hukum dari satuan fungsi pembinaan hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia guna menentukan perlu atau tidaknya dilakukan sidang disiplin.

Pasal 22
Provos Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang:
a.         melakukan pemanggilan dan pemeriksaan;
b.         membantu pimpinan menyelenggarakan pembinaan dan penegakan disiplin, serta memelihara tata tertib kehidupan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
c.         menyelenggarakan sidang disiplin atas perintah Ankum;
d.         melaksanakan putusan Ankum.

Pasal 23
Ankum menyelenggarakan Sidang Disiplin paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah menerima Daftar Pemeriksaan Pendahuluan Pelanggaran Disiplin dari satuan fungsi Provos.

Pasal 24
Dalam penjatuhan hukuman disiplin perlu dipertimbangkan:
a.         situasi dan kondisi ketika pelanggaran itu terjadi;
b.         pengulangan dan perilaku sehari-hari pelanggar disiplin;
c.         terwujudnya keadilan dan mampu menimbulkan efek jera, serta tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Pasal 25
Penyelesaian perkara pelanggaran disiplin dilaksanakan melalui tahapan:
a.         laporan atau pengaduan;
b.         pemeriksaan pendahuluan;
c.         pemeriksaan di depan sidang disiplin;
d.         penjatuhan hukuman disiplin;
e.         pelaksanaan hukuman;
f.          pencatatan dalam Data Personel Perseorangan.

Pasal 26
Sidang Disiplin dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan pada satuan kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 27
Satuan kerja yang berwenang melaksanakan sidang disiplin, susunan keanggotaan dan perangkat sidang disiplin diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri.

Pasal 28
Apabila pelanggar disiplin tidak diketahui keberadaannya, setelah melalui prosedur pencarian menurut ketentuan dinas yang berlaku, maka dapat dilakukan sidang disiplin tanpa kehadiran pelanggar.

Pasal 29
(1)        Hukuman disiplin ditetapkan dengan Surat Keputusan Hukuman Disiplin dan disampaikan kepada terhukum.
(2)        Provos melaksanakan putusan sidang disiplin yang berupa penempatan dalam tempat khusus.
(3)        Ankum berkewajiban melaporkan hasil pelaksanaan sidang disiplin kepada atasan Ankum.
(4)        Surat Keputusan Hukuman Disiplin dicatat dalam Data Personel Perseorangan yang bersangkutan.

Pasal 30
(1)        Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dijatuhi hukuman disiplin berhak mengajukan keberatan.
(2)        Keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan tertulis kepada atasan Ankum melalui Ankum dengan mencantumkan alasan keberatan.
(3)        Tenggang waktu pengajuan keberatan paling lama 14 (empat belas) hari setelah terhukum menerima putusan hukuman disiplin.
(4)        Ankum wajib menerima pengajuan keberatan dari terhukum dan meneruskannya kepada atasan Ankum.

Pasal 31
(1)        Apabila keberatan terhukum ditolak seluruhnya, maka atasan Ankum menguatkan putusan yang telah dibuat oleh Ankum yang menjatuhkan hukuman disiplin.
(2)        Apabila keberatan terhukum diterima seluruhnya, maka atasan Ankum membatalkan putusan yang telah dibuat oleh Ankum yang menjatuhkan hukuman disiplin.
(3)        Apabila keberatan terhukum diterima sebagian, maka atasan Ankum mengubah putusan yang dibuat oleh Ankum yang menjatuhkan hukuman disiplin.
(4)        Atasan Ankum berwenang menolak atau mengabulkan seluruh atau sebagian keberatan dengan memperhatikan pendapat dan saran dari satuan fungsi pembinaan hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(5)        Putusan atasan Ankum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya pengajuan keberatan.
(6)        Surat Keputusan atasan Ankum terhadap pengajuan keberatan terhukum sebagaimana dimaksud ayat (1), (2), dan (3), disampaikan kepada pemohon keberatan.
(7)        Putusan atasan Ankum atas keberatan terhukum, merupakan keputusan akhir.

Pasal 32
(1)        Hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 berlaku:
a.         apabila dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari terhukum tidak mengajukan keberatan, maka putusan yang dijatuhkan Ankum berlaku pada hari ke-15 (kelima belas);
b.         apabila ada keberatan dari terhukum, maka putusan hukuman mulai berlaku sejak tanggal putusan atas keberatan itu diputuskan.
(2)        Dalam hal terhukum tidak hadir dalam sidang disiplin dan/atau setelah dilakukan pencarian terhadap terhukum untuk menyampaikan hasil putusan hukuman disiplin tidak ditemukan, maka putusan hukuman disiplin tersebut berlaku sejak hari ke-30 (ketiga puluh) terhitung mulai tanggal keputusan itu diputuskan.

BAB IV
PELAKSANAAN PENEMPATAN DALAM TEMPAT KHUSUS

Pasal 33
(1)        Penempatan dalam tempat khusus ditentukan oleh Ankum.
(2)        Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ditempatkan dalam tempat khusus dilarang meninggalkan tempat khusus tersebut kecuali atas izin Ankum.

BAB V
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 34
Hal lain yang bersifat sangat teknis dan belum diatur dalam Peraturan Pemerintah ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri.

Pasal 35
Hukuman disiplin yang telah dijatuhkan sebelum Peraturan Pemerintah ini ditetapkan tetap berlaku.

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 36
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 1 Januari 2003
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 1 Januari 2003
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BAMBANG KESOWO


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 2