Monday, 28 September 2015
“MAKALAH HUKUM INTERNASIONAL DALAM TATANAN SOSIAL YANG BERUBAH”
Dibuat untuk memenuhi tugas tertulis
Mata Kuliah Hukum Internasional
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberadaan Hukum International dalam Kondisi Sistem International yang Berubah
Keberadaan hukum internasional dalam ranah hubungan internasional menimbulkan berbagai kontroversi, terkait fungsinya yaitu untuk menciptakan keteraturan atau ketertiban dalam sistem internasional yang rumit. Kontroversi tersebut menimbulkan tanda tanya besar bagi para pemikir hubungan internasional, untuk menganalisis keberadaan dan relevansi hukum international dalam menciptakan keteraturan hubungan antar unit dalam sistem internasional saat ini. Berusaha untuk menjawab dan membuktikan tanda tanya besar tersebut, review ini secara spesifik dakan membahas mengenai pemikiran Harvey Starr, dalam Bab 6 bukunya yang berjudul “ Anarchy, Order and Integration”, yang menjelaskan efektivitas keberadaan hukum international untuk menciptakan keteraturan dalam sistem internasional yang anarchy, lalu membandingkannya dengan pemikiran Basak Cali dan Joseph Nye, Jr, yang memiliki analisis sedikit berbeda namun saling mendukung. Selanjutnya penulis akan menganalisis persamaan dan perbedaan dari ketiga pemikiran tersebut, lalu memberikan pandangan penulis mengenai topik tersebut.
Starr memulai pembahasan dalam BAB 6 ini dengan penjelasan mengenai definisi hukum internasional, sebagai hukum yang tersusun atas seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antar negara dan menggambarkan hak serta kewajiban dari setiap negara yang saling berhubungan itu ). Strarr kemudian menggunakan dua pendekatan umum untuk menjelaskan keterikatan negara-negara berdaulat terhadap hukum internasional yang anarchy, dimana terdapat absennya badan yang dapat melaksanakan hukum tersebut terhadap setiap negara berdaulat yaitu :
1. Berdasarkan perspektif natural law, hukum muncul berdasarkan prinsip-prinsip universal, yang menyebabkan berlaku bagi semua orang pada setiap waktu dalam keadaan apapun. Dasar dari kewajiban menurut perspektif ini adalah prinsip universal, seperti layaknya prinsip natural sciences yang berlaku untuk semua keadaan alamiah. )
2. Berdasarkan perspektif teori hukum positivis, hukum adalah apa yang dikatakan seseorang sebagai hukum. Dasar dari kewajiban menurut perspektif kedua ini muncul dari kepentingan pribadi, kegunaan consent atau persetujuan. Keterikatan dari hukum atau peraturan ini muncul dari kebiasaan atau customary behaviour. Prespektif positivis ini menimbulkan asumsi hukum bersifat situasional, sesuai dengan kondisi dan struktur politik yang berubah. )
Sistem internasional, yang menurut Starr bersifat anarchy dengan level interdependency tertentu dari setiap negara anggotanya, mempunyai tujuan yang sama seperti sistem masyarakat. Tujuan tersebut yaitu rasa aman dari kekerasan, jaminan bahwa setiap persetujuan yang dibuat akan ditaati dan stabilitas hak kepemilikan atas suatu benda. Dengan terpenuhinya ketiga tujuan tersebut Starr percaya keteraturan akan tercipta. )
Munculnya permasalahan yang dianggap menghambat pencapaian ketiga tujuan tersebut, serta adanya pengaruh keadaan politik, ekonomi dan kedaulatan negara yang kompleks, mengakibatkan lahirnya permintaan dari masyarakat negara untuk membuat sebuah sitem pengaturan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. ) Sistem pengaturan informal, yang tidak bersifat vertikal dan terpusat, kemudian terbentuk sebagai upaya untuk membuat keteraturan namun tetap menjaga kedaulatan dan otonomi setiap negara. ) Starr menolak sistem pengaturan informal realis yang berupa sistem balance of power sebagai jawaban permintaan atas keteraturan tersebut dan menyanggah pendapat realis yang tidak percaya pada efektivitas pengaturan hukum internasional. Starr lebih percaya pada pendapat liberalis yang melihat hukum internasional sebagai kesepakatan antara kebutuhan setiap negara, yang merefleksikan kepentingan dan persetujuan negara-negara tersebut. Hukum internasional ini kemudian akan menciptakan keteraturan karena berisi norma dan peraturan yang dapat memunculkan pola tingkah laku dari setiap negara sehingga tindakan negara meskipun sesuai dengan keinginan masing-masing yang berbeda-beda, menjadi lebih pasti dan dapat diprediksi. ) Hal ini dapat terjadi karena norma berlaku sebagai pembatas dan pemberi tanda bagi setiap tingkah laku, apakah baik atau buruk yang dipengaruhi ekspektasi aktor lain ini dapat terjadi cukup dengan norma, tanpa adanya peraturan normal atau tertulis ).
Menurut Starr, sanksi informal yang dimiliki hukum internasional sudah cukup untuk mendukung terciptanya keadaaan teratur dalam sistem internasional. Prinsip reciprocity atau hubungan timbal balik, yang merupakan mekanisme informal, menjadi salah satu pendorong negara untuk mematuhi hukum internasional. Prinsip reciprocity ini muncul karena adanya hubungan antar negara, sehingga setiap negara akan memiliki ketakutan akan sanksi dari negara lain sebagai pembalasan. Jika ada sebuah negara yang melanggar hukum internasional maka kekacauan akan terjadi dan keadaan yang tadinya teratur menjadi tidak dapat lagi diprediksi sehingga menyebabkan masa depan terkesan berbahaya ).
Masih menurut Starr, keberadaan hukum internasional yang berfungsi:
1. Mencegah
2. Mengatur
3. Menyelesaikan konflik dalam sistem internasional menjadi sangat relevan saat ini, mengingat sistem internasional yang semakin berubah dan membutuhkan keteraturan.
Perubahan yang paling utama hubungan saling ketergantungan antar aktor-aktor internasional yang semakin kompleks. Hal tersebut diidentifikasikan dengan meningkatnya pengaruh dari peran aktor-aktor non negara yang semakin banyak dan keterkaitan antar isu sehingga keamanan bukan lagi menjadi permasalahan utama dalam sistem internasional ).
Terlepas dari pemaparan sebelumnya, Starr tetap menyadari adanya pelanggaran terhadap hukum internasional yang dilakukan oleh beberapa aktor internasional. Menurutnya ketidakjelasan dari masa depan sering menjadi penyebab pelanggaran terhadap hukum. Namun karena setiap aktor internasional sekarang sudah berinteraksi dalam berbagai isu, cost atau kerugian yang disebabkan oleh pelanggaran menjadi lebih besar sehingga mengurangi insentif negara untuk melanggar hukum. Meskipun begitu, tindak pelanggaran itu akan selalu ada karena karakter sistem internasional yang anarchy tidak akan berubah ).
Sama seperti Harvey Starr, Basak Cali, editor buku International Law for International Relations, mendukung keberadaan hukum internasional dalam kancah sistem internasional. Dalam bukunya, Cali menjelaskan teori voluntarist atau will dari hukum internasional yang mendeskripsikan hukum internasional sebagai sistem peraturan yang dibuat secara sengaja dan eksplisit oleh negara-negara. Menurut teori ini sanksi dalam sistem peraturan tidak dibutuhkan karena setiap negara pada dasarnya sudah secara eksplisit mempunyai will atau keinginan untuk terikat oleh hukum tersebut ).
Namun will atau keinginan tersebut tidak stabil dan dapat berubah-rubah, sehingga sebuah negara dapat mengundurkan diri atau menarik dukungannya terhadap hukum internasional tersebut kapan saja. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh dari hukum internasional terhadap tingkah laku negara sangat terbatas, karena sebuah negara tidak akan mematuhi hukum internasional tertentu jika mereka tidak memiliki keinginan untuk mematuhinya ).
Karena dianggap tidak stabil dan tidak lagi relevan, konsep will tersebut kemudian diganti oleh kaum positivis menjadi consent atau persetujuan. Dengan memberikan consent atau persetujuan artinya setiap negara sudah setuju menjadi sebuah hukum dan tidak akan dengan mudah mengubah preferensinya karena sudah mengakui kekuatan mengikat hukum tersebut ).
Meskipun permasalahan mengenai perbedaan cara untuk mengekspresikan persetujuan tersebut akan muncul, positivis menganggap consent akan tetap efektif karena setidaknya setiap negara sudah menerima persetujuan tersebut sebagai norma, sehingga akan ada sebuah alasan baik untuk menghargai persetujuan negara lain ).
Cali juga memasukan pendapat para pengacara internasional yang mengatakan bahwa absennya hukum internasional dapat menimbulkan efek negatif bagi hubungan internasional, karena merupakan pertanda dari ketidakstabilan, konflik, eksploitasi, dan ketidakadilan. Hukum internasional memang tidak selalu dapat menyelesaikan semua permasalahan tersebut, tetapi keberadaan hukum internasional merupakan sebuah pengingat akan hadirnya sebuah peraturan yang berlaku bagi semua negara, dan tindakan setiap negara menjadi subjek dari penilaian yang berdasarkan peraturan tersebut ). Meskipun begitu, Cali mengakui bahwa keadaan over-regulation oleh hukum internasional dapat menimbulkan masalah, karena kelompok politik dalam negara akan melihat pengaturan yang berlebihan tersebut sebagai sebuah intervensi yang terlalu jauh pada politik dan proses legal domestic, atau kedaulatan mereka sendiri ).
Dukungan terhadap hukum internasionak juga datang dari Joseph S. Nye, Jr dalam bukunya Understanding International Conflicts, an Introduction to Theory and History. Nye pertama-tama menjelaskan mengenai pengertian hukum internasional yang tidak dapat disamakan dengan pengertian hukum domestik sebuah negara, sehingga indicator efekktivitas kedua hukum tersebut menjadi berbeda. Memang pada dasarnya ada kesamaan dari aspek isi antara hukum internasional dan hukum domestik, yaitu sama-sama berisi treaty dan customs atau kebiasaan, dimana treaty merupakan kesepakatan antar negara, sedangkan customs atau kebiasaan merupakan praktek-praktek tingkah laku yang diterima secara umum oleh negara-negara. Meskipun begitu, perbedaan antara hukum internasional dan hukum domestik terlalu mencolok dalam aspek enforcement, adjudication, dan ambiguity ).
Dalam aspek enforcement, tidak seperti hukum domestik, hukum internasional tidak mempunyai kekuatan eksekutif untuk membuat setiap negara menerima dan mematuhi keputusan yang ditetapkan oleh aktor tertentu. Hal ini terkait dengan karakter sistem internasional yang lebih mengutamakan pada mekanisme self-help, dimana setiap negara berusaha unutk mencapai kepentingannya masing-masing ). Di sisi lain dalam aspek adjudication atau penjurian, hukum internasional hanya memberikan kewenangan untuk memproses masalah hukum atau sengketa hukum pada negara, bukan individu ). Selanjutnya dalam masalah ambiguity atau ambiguitas, karena hukum internasional bukan merupakan legislasi yang mengikat setiap negara secara mutlak, maka permasalahan mengenai iterpretasi peraturan menjadi sangat mungkin terjadi meskipun prinsip yang sama sudah disetujui. Faktor ambiguitas inilah yang terkadang menyebabkan adanya beberapa negara yang tidak menyetujui dan mematuhi hukum internasional tertentu ).
Nye melihat pada dasarnya ada dua alasan utama mengapa sebuah negara memiliki ketertarikan untuk menyetujui hukum internasional, yaitu predictability dan legitimasi. Untuk menjelaskan predictability, Nye menjelaskan terlebih dahulu keadaan sistem internasional, dimana konflik antar negara terus saja terjadi, sementara transaksi dan hubungan antar negara dalam berbagai bidang terus meningkat sehingga mengakibatkan meningkatnya tingkat interdependency antar negara.
Hubungan interdependency yang semakin meningkat ini sangatlah rapuh karena satu masalah akan mempengaruhi semua negara atau actor yang terlibat di dalamnya. Dalam keadaan tersebut, hukum internasional memberikan kejelasan mengenai pola tingkah laku yang diharapkan dari setiap negara untuk menghindari konflik ).
Hal kedua yaitu legitimasi terkait dengan konsep power. Legitimasi dan power merupakan dua hal yang komplementer atau saling melengkapi, karena legitimasi dianggap sebagai salah satu sumber power. Dengan meningkatnya legitimasi sebuah negara melalui hukum internasional, status power negara tersebut akan meningkat, terutama dalam aspek soft power. Jika power sebuah negara meningkat, maka ia akan lebih mudah mempengaruhi negara atau aktor lain untuk mendukungnya dalam meraih kepentingan tertentu. Penjelasan tersebut menunjukan bahwa sebenarnya hukum juga merupakan salah satu bagian dari power struggle ).
Menurut pandangan penulis, pemikiran Harvey Starr mengenai hukum hukum internasional dipengaruhi oleh perspektif kaum realis liberalis dalam masalah keteraturan dalam sistem internasional. Di satu sisi, Starr percaya pada pandangan realis yang mengatakan bahwa karakter dunia internasional adalah anarchy, dimana dengan absennya keberadaan badan eksekutif yang dapat memaksakan hukum internasional pada setiap negara yang berdaulat, negara-negara tersebut akan cenderung memiliki perbedaan pemahaman dalam menanggapi masalah tertentu. Sehingga konflik dan perpecahan menjadi sangat mungkin untuk terjadi ).
Di sisi lain Starr percaya pada pandangan liberalis bahwa dalam keadaan sistem internasional saat ini yang memiliki hubungan antar unit yang semakin kompeks dan saling ketergantungan satu sama lain. Hukum internasional yang dihasilkan dari kesepakatan negara-negara dapat secara efektif menyelesaikan perbedaan pemahaman dan kepentingan antar negara dalam sistem anarchy tersebut, karena adanya mekanisme sanksi dan prosedur yang bersifat informal ).
Meskipun memiliki dasar pendapat yang sama dengan Starr, Cali dan Nye memberikan analisis yang berbeda untuk menjelaskan efektifitas hukum internasional dalam menciptakan keteraturan dalam sistem internasional saat ini. Cali menjelaskan dukungannya terhadap keberadaan hukum internasional dengan memberikan analisis mengenai kekuatan yang mendorong negara atau aktor internasional lain untuk mematuhi hukum internasional dengan menekankan penjelasannya pada konsep will dan consent. Cali menggunakan pandangan positivis untuk memudahkan membandingkan keterkaitan kedua konsep tersebut dalam hukum internasional. Di lain pihak Nye lebih menekankan pada analis pemahaman hukum dalam konteks internasional dan domestik.
Melalui perbandingan tersebut, Nye menunjukan bahwa efektifitas penggunaan hukum internasional dan hukum domestik sangatlah berbeda, sehingga wajar bila konflik kekuatan yang intens antar negara dalam sistem internasional akan selalu dalam keadaan tertentu karena karakteristik sistem dan hukum berada pada konteks yang berbeda ).
Selain itu Nye juga berhasil mengaitkan konsep hukum internasional dengan konsep power dengan menjelaskan hubungan complementary antara kedua konsep tersebut, sehingga menjadikan kedudukan hukum internasional dalam sistem yang anarchy dan power-centric dapat diterima.
Meskipun memiliki beberapa perbedaan dalam tingkat analisis, penulis berpendapat bahwa pada dasarnya ketiga pemikir tersebut sama-sama mendukung keberadaan hukum internasional dalam sistem internasional yang memiliki tingkat interdependency antar unit semakin tinggi saat ini, karena merupakan pedoman bagi tingkah laku setiap aktor yang terlibat didalamnya. Pedoman tersebut menimbut menimbulkan pola tingkah laku yang sesuai peraturan menjadi kebiasaan dan dapat diprediksi sehingga menimbulkan keteraturan yang berdasarkan rasa keamanan bersama.
Mekanisme prosedur dan sanksi yang bersifat informal, meskipun tidak dapat secara total menyelesaikan semua permasalahan yang ada tetapi dapat secara umum menyelesaikan ketegangan yang terjadi dalam sistem internasional yang anarchy.
Berdasarkan paparan tersebut penulis berpendapat bahwa keberadaan hukum internasional sebagai norma dan peraturan dalam sistem internasional saat ini memang diperlukan untuk mencegah dan mengatasi berbagai permasalahan yang timbul dalam hubungan antar negara. Menurut penulis hukum internasional pada dasarnya dibuat karena adanya perasaan tidak aman atau insecure dari setiap negara dalam sistem internasional yang anarchy dan tidak dapat diprediksi ini.
Hukum internasional dapat memberikan rasa aman atau security kepda setiap negara tersebut karena memberikan jaminan atas keteraturan melalui prinsip-prinsip norma, reciprocity, predictibility, dan interdependency seperti yang telah diterangkan cukup jelas oleh Starr, Cali dan Nye. Keteraturan yang tercipta melalui prinsip-prinsip dalam hukum internasional tersebut akan menjadi lebih stabil dan berkelanjutan karena pada dasarnya tidak ada negara yang mempunyai niat atau tujuan untuk melanggar peraturan dalam hukum tersebut.
Hal ini disebabkan oleh faktor cost atau kerugian yang akan diterima oleh suatu negara yang melanggar peraturan tertentu. Selain rugi karena mendapatkan sanksi atas pelanggarannya, status negara yang melanggar hukum internasional tertentu akan menurun karena dianggap mengacaukan keteraturan sistem dan merugikan negara lain sehingga status dan pengaruhnya dalam sistem internasional akan berkurang.
Selain itu, penulis melihat bahwa keadaan sistem internasional saat ini sangat mendukung posisi hukum internasional sebagai pedoman dalam mencapai keteraturan. Kenyataan bahwa hubungan antar aktor internasional yang semakin intens dan fakta bahwa isu-isu politik, ekonomi, sosial budaya, lingkungan dan keamanan dalam ranah internasional memiliki tingkat keterkaitan dan kesinambungan yang semakin tinggi. Hukum internasional semakin dibutuhkan untuk menjawab kebutuhan untuk menjawab kebutuhan akan kondisi yang teratur dalam hubungan antar negara sehingga dapat menguntungkan bagi keuntungan semua pihak.
Melihat bahwa aktor-aktor internasional terutama negara sudah semakin menyadari pentingnya kerjasama dalam rangka mencapai tujuan dan kepentingan bersama maupun pribadi, hukum internasional semakin dibutuhkan sebagai perekat dan penjaga hubungan kerja sama tersebut karena dapat menjamin akan adanya keuntungan bagi setiap anggota yang menaatinya. Oleh sebab itu hukum internasional ini sebenarnya mampu untuk menumbuhkan unity atau kesatuan antar unit dalam sistem internasional karena adanya konsensus terhadap hal yang sama.
Memang akan lebih baik jika mekanisme penerapan hukum intenasional dalam sistem internasional ini dapat didukung oleh sebuah badan eksekutif yang dapat memaksakan wewenangnya untuk membuat setiap negara aktor internasonal lain tunduk pada hukum yang sama sehingga keteraturan menjadi lebih baik. Dengan adanya badan eksekutif legal internasional tersebut, masalah-masalah mengenai pelanggaran terhdapa hukum yang dapat merugikan pihak lain dapat dicegah dan diselesaikan secara lebih efektif karena didasari oleh alasan legal yang jelas dan disepakati bersama.
Meskipun begitu, hal tersebut masih tidak mungkin untuk dialkukan karena sistem internasional saat ini masih menjunjung tinggi prinsip otonomi setiap negara karena adanya sovereignity sebagai hak dasar mutlak yang dimiliki oleh setiap negara sehingga negara atau aktor internasional lain harus menghargainya.
Bagaimanapun juga dunia memang tidak sempurna, akan selalu ada permasalahan yang disebabkan oleh kekurangan dan kesalahan aktor-aktor internasional yang terlibat didalamnya. Namun hal tersebut tidak menjadi alasan bagi kita untuk berhenti mencoba membuat keadaaan lebih baik, lebih teratur dan lebih menguntungkan melalui berbagai mekanisme maupun sistem, salah satunya adalah hukum internasional.
Jika kesimpulannya hukum internasional dapat menjadi salah satu solusi efektif untuk mengatasi permasalahan kekacauan dalam sistem internasional yang bersifat anarchy selama didukung oleh aktor-aktor yang terlibat didalamnya. Hukum internasional dianggap efektif untuk menciptakan keteraturan karena adanya prinsip-prinsip norma, reciprocity, predictibility dan interdependency. Hukum internasional juga dianggap sangat relevan dalam konteks hubungan internasional saat ini dimana hubungan interdependency antar negara dan aktor internasional menjadi semakin rumit dengan adanya berbagai isu yang saling berkaitan.
Meskipun terkadang mekanisme sanksi informal tidak dapat secara effektif mencegah dan menyelesaikan secara menyeluruh semua permasalahan dalam dunia internasional. Namun setidaknya hukum internasional dapat memberikan pedoman dan pengaturan secara umum yang terbukti berhasil pada sebagian besar permasalahan dalam sistem internasional ini. Kekurangan tersebut seharusnya dapat menjadi dorongan kuat bagi kita untuk terus mencoba memperbaiki sistem hukum internasional tersebut sehingga dapat dijadikan sebagai sebuah solusi sempurna dalam tatanan sosial yang berubah didalam hubungan internasional.
Apabila kita menganggap bahwa uraian diatas mengenai masyarakat internasional itu menggambarkan suatu keadaan yang telah semprna dan tidak akan berubah-rubah tentu anggapan itu keliru. Masyarakat internasional kini sedang mengalami berbagai perubahan yang besar dan pokok, yang perlu diperhatikan untuk dapat benar-benar memahami hakikat masyarakat internasional dewasa ini.
Perubahan besar itu adalah :
1. Perubahan peta bumi politik yang terjadi terutama setelah Perang Dunia II
Proses ini yang sudah dimulai pada permulaan abad XX yakni mengubah pola kekuasaan politik di dunia ini dari satu masyarakat internasional yang terbagi dalam beberapa negara besar yang masing-masing mempunyai daerah jajahan dan lingkungan pengaruhnya menjadi satu masyarakat bangsa-bangsa (nation state) yang terdiri dari banyak sekali negara yang merdeka.
Proses emansipasi bangsa-bangsa ini, atau lebih tepat lagi proses rehabilitasi kalau kita menganggap kemerdekaan bangsa-bangsa sebagai sesuatu yang wajar dan penjajahan oleh bangsa lain sebagai selingan di dalam sejarah yang bertentangan dengan kodrat bangsa-bangsa merupakan suatu proses yang wajar dan pada hakikatnya merupakan suatu penjelmaan masyarakat internasional dalam arti yang sebenarnya.
Timbulnya negara-negara baru yang merdeka, berdaulat dan sama derajatnya satu dengan yang lain terutama setelah Perang Dunia II patut disambut dengan baik.
Akan tetapi, sebagaimana selalu terjadi dengan berbagai perubahan besar, perubahan dalam peta bumi politik ini mempunyai akibat yang jauh bagi hukum internasional sehingga meyebabkan beberapa orang pesimis berbicara tentang krisis dalam hukum internasional ).
Kita yang melihatnya sebagai proses pertumbuhan susunan masyarakat yang tidak wajar yaitu suatu masyarakat internasional dimana asas pokok pergaulan internasional belum berwujud ke arah satu masyarakat dimana asas pokok masyarakat dan hukum internasional ini mendapat perwujudannya dalam kenyataan, harus menyambut proses ini sebagai suatu proses yang tidak dapat dielakkan. Perubahan terhadap konsep lama bukan sesuatu yang mengkhawatirkan melainkan harus kita lihat sebagai kejadian yang tak dapat dielakkan.
Dilihat secara demikian, perubahan penting yang terjadi dalam konsep ilmu hukum yang berkenaan dengan perjanjian, kewajiban negara (responsibility of state), nasionalisasi, hukum laut publik tidak perlu dikhawatirkan. Bahkan harus dilhat sebagai proses pertumbuhan kearah hukum internasional yang wajar, bebas dari berbagai konsep dan lembaga yang menggambarkan atau merupakan akibat dominasi bangsa-bangsa oleh beberapa bangsa di dunia ini.
2. Kemajuan Teknologi
Kemajuan teknik dalam berbagai alat perhubungan menambah mudahnya perhubungan yang melintasi batas negara. Kemajuan teknologi persenjataan menimbulkan berbagai masalah baru dan keharusan meninjau kembali ketentuan mengenai hukum perang. Kemajuan teknologi dalam pengolahan kekayaan alam telah dan sedang mengakibatkan berbagai perubahan besar dalam konsep hukum laut dan timbulnya konsep baru untuk mengikuti perkembangan yang pesat ini.
Perkembangan teknologi dan akibatnya mau tidak mau harus diikuti dan dilayani oleh para sarjana ilmu hukum internasional apabila cabang ilmu hukum ini tidak mau ketinggalan.
3. Struktur organisasi masyarakat internasional
Perubahan dalam struktur organisai masyarakat internasional ini sangat penting karena berlainan dengan kedua golongan diatas, yang mempunyai akibat langsung terhadap struktur masyarakat internasional yang didasarkan atas negara yang berdaulat. Perkembangan yang penting adalah timbulnya berbagai organisasi atau lembaga internasional yang mempunyai eksistensi terlepas dari negara-negara.
Di pihak lain ada perkembangan yang memberikan kompetensi hukum kepada para individu dalam beberapa hal tertentu. Kedua gejala ini menunjukkan bahwa di samping mulai terlaksananya satu masyarakat internasional dalam arti yang benar dan efektif berdasarkan asas kedaulatan, kemerdekaan dan persamaan derajat antar negara-negara sehingga dengan demikian terjelma hukum internasional sebagai hukum koordinasi, timbul suatu kompleks kaidah yang lebih memperlihatkan ciri-ciri hukum subordinasi.
Kita menyaksikan suatu proses pemusatan kekuasaan dan wewenang pada organisasi-organisasi internasional lepas dari negara-negara sehingga masyarkat internasional kini tidak lagi identik dengan masyarakat antar negara. Perkembangan ini sangat menarik karena mempunyai akibat bagi sistematik pembahasan hukum internasional. Persoalan yang timbul ialah dapatkah kita terus menggunakan cara pendekatan yang didasarkan pada hukum internasional yang tradisional yakni yang didasarkan atas negara yang berdaulat, merdeka dan persamaan derajat negara-negara? Ataukah diperlukan suatu cara pendekatan lain yang menggambarkan perkembangan baru yang disebutkan diatas, terutama timbulnya beberapa lembaga internasional sebagai subyek hukum internasional.
Penulis hendak menempuh suatu jalan tengah dengan menggunakan sistematik tradisional bagi hukum internasional umum yang terutama didasarkan atas hubungan antar negara-negara, sedangkan perkembangan baru yang menyebabkan timbulnya berbagai lembaga atau organisasi internasional akan mendapat perhatian khusus.
Sistematik dan cara pendekatan demikian mungkin tidak akan memuaskan mereka yang menghendaki satu kesatuan sistem yang bulat yang mencakup seluruh materi hukum internasional, akan tetapi penulis berpendapat bahwa dalam masa peralihan ini belum waktunya mengadakan percobaan perubahan sistematik yang radikal demikian.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah Faktor Penyebab Adanya Pekerja di bawah umur?
2. Apakah Contoh Kasus Pekerja di Bawah Umur?
3. Bagaimana Hak-hak Anak Dalam Persepektif Hukum internasional?
4. Bagaimana Peran Pemerintah Terhadap Kasus Pekerja dibawah umur?
BAB II
PEKERJA ANAK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA (HAM)
A. Faktor Penyebab Adanya Pekerja di bawah umur
Seperti yang telah kita ketahui anak merupakan titipan Tuhan Yang Maha Esa sehingga nasib dan masa depan anak-anak tersebut merupakan tanggung jawab utama orang tua dan tanggung jawab kita bersama. Anak merupakan masa depan bagi setiap orang tua dan merupakan aset masa depan bangsa. )
B. Contoh Kasus Pekerja di Bawah Umur
CV Langgeng Computer Embroydery, pabrik konveksi milik Budi Halim dan istrinya, Herawati yang terdapat di kelurahan Kebon Jeruk kecamatan Andir Bandung, Jawa Barat ini diketahui telah memperkerjakan anak dibawah umur. Laporan ini didapat dari Dewi, seorang anak yang menjadi korban pekerja dibawah umur.
C. Hak-hak Anak Dalam Persepektif Hukum Internasional
Hak-hak asasi manusia merupakan terjemahan dari istilah droits de I’homme dalam bahasa Perancis yang berarti “hak manusia” atau dalam bahasa Inggrisnya human rights, yang dalam bahasa Belanda disebut menselijke rechten. Di Indonesia umumnya dipergunakan istilah: “hak-hak asasi”, yang merupakan terjemahan dari basic rights dalam bahasa Inggris dan grondrecten dalam bahasa Belanda.
D. Peran Pemerintah Terhadap Kasus Pekerja dibawah Umur
Hak asasi anak diakui secara universal sebagaimana tercantum dalam piagam PBB, deklarasi PBB tahun 1945 tentang Hak Asasi Manusia, Deklarasi ILO di Philadelphia tahun 1944 tentang Hak-Hak Anak, Konvensi PBB tahun 1989 tentang hak-hak anak. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi yang termuat dalam Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan Konvensi perserikatan Bangsa-Bangsa tenatng hak-hak anak (Convention on the rights of the child). Bahwa dalam deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, PBB telah menyatakan bahwa dalam masa kanak-kanak, anak berhak memperoleh pemeliharaaan dan bantuan khusus.
BAB III
KESIMPULAN
Sering kita jumpai kasus anak yang bekerja dibawah umur. Alasan yang paling utama yaitu faktor ekonomi, dimana seorang anak dipaksa atau terpaksa membantu mencari nafkah untuk kelangsungan hidup keluarganya. Terkadang anak pun lebih memilih untuk bekerja dari pada untuk bersekolah karena situasi disekolah menurut anak-anak tidak menyenangkan,atau fasilitas yang kurang memadai,jarak yang begitu jauh,medan yang sulit untuk dilalui, atau bahkan biaya yang begitu mahal.
BAB IV
SARAN
Sering kita jumpai kasus anak yang bekerja dibawah umur. Alasan yang paling utama yaitu faktor ekonomi, dimana seorang anak dipaksa atau terpaksa membantu mencari nafkah untuk kelangsungan hidup keluarganya. Terkadang anak pun lebih memilih untuk bekerja dari pada untuk bersekolah karena situasi disekolah menurut anak-anak tidak menyenangkan,atau fasilitas yang kurang memadai,jarak yang begitu jauh,medan yang sulit untuk dilalui, atau bahkan biaya yang begitu mahal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Harvey Starr, Anarchy, Order and Integration : How to Manage Interdependence, (USA: The University of Michigan Press,1997
2. Basak Cali, International Law for International Relations, (New York : Oxford University Press, 2010
3. Joseph S. Nye, Jr. Understanding International Conflicts: an Introduction to Theory and History. (New York : Harper Collins, 2009
4. H.A. Smith, The Crisis in The Law of Nations, London 1974
5. Joseph L. Kunz, The Changing Law of Nations, 51 A.J.I.L. (1957)
6. Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional. (Penerbit PT. Alumni, 2003)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment