Sunday, 20 September 2015


“MAKALAH PERBANDINGAN HUKUM ADAT”
Dibuat untuk memenuhi tugas tertulis
Mata Kuliah Perbandingan Hukum
Dosen : Ibu Surya Oktarina,S.H.,M.Hum.

BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Ada banyak istilah yang dipakai untuk menamai hukum lokal: hukum tradisional, hukum adat, hukum asli, hukum rakyat, dan khusus di Indonesia – hukum “adat“[1]. Bagaimana tempat dan bagaimana perkembangannya hukum adat dalam masyarakat tergantung kesadaran, paradigma hukum, politik hukum dan pemahaman para pengembannya- politisi, hakim, pengacara, birokrat dan masyarakat itu sendiri. Hukum ada dan berlakunya tergantung kepada dan berada dalam masyarakat.
Bagi penganut Paham Etatis, yang mengklaim negara sebagai satu-satunya secara sentral sebagai sumber produksi hukum, maka di luar negara tidak diakui adanya hukum. Paham Etatisme berwujud sentralisme hukum, dipengaruhi positivisme hukum dan teori hukum murni, maka secara struktural dan sistimatik wujud hukum adalah bersumber dan produksi dari negara secara terpusat termasuk organ negara di bawahnya. Paham sentralisme hukum ini menempatkan posisi hukum adat tidak memperoleh tempat yang memadahi. Etatis hukum timbul yang didasarkan pada teori modernitas yang memisahkan dan menarik garis tegas antara zaman modern dan zaman pra modern. Zaman modern ditandai adanya sistem hukum nasional, sejak timbulnya secara nasional, sebagai kesatuan yang berlaku dalam seluruh teritorialnya.
Paham ini timbul dari warisan revolusi kaum borjuis dan hegemoni liberal- karena kuatnya liberalisme, sehingga tumbuh apa yang disebut sentralisme hukum (legal centralism), dimaknai hukum sebagai hukum negara yang berlaku seragam untuk semua pribadi yang berada di wilayah jurisdiksi negara tersebut. Menurut Max Weber dikutip David Trubrek dan Satipto Rahardjo, pertumbuhan sistem hukum modern tidak dapat dilepaskan dari kemunculan industrialisasi yang kapitalis.yang memberikan rasionalitas dan prediktabilitas dalam kehidupan ekonomi. Hukum modern yang dipakai di mana-mana di dunia sekarang ini pada intinya mengabdi dan melayani masyarakat industri- kapitalis[2].
Kaedah hukum negara berada di atas kaedah hukum lain, dan karenanya harus tunduk kepada negara beserta lembaga hukum negara. Pemahaman ideologi sentralisme hukum, memposisikan hukum adalah sebagai kaedah normatif yang bersifat memaksa, ekslusif, hirarkis, sistimatis, berlaku seragam, serta dapat berlaku; pertama, dari atas ke bawah (top downwards) di mana keberlakuannya sangat tergantung kepada penguasa (Bodin1576; Hobbes1651; Austin1832) atau, kedua dari bawah ke atas (bottom upwards) di mana hukum dipahami sebagai suatu lapisan kaedah-kaedah normatif yang hirarkis, dari lapisan yang paling bawah dan meningkat ke lapisan-lapisan yang lebih tinggi hingga berhenti di puncak lapisan yang dianggap sebagai kaedah utama (Kelsen1949; Hart1961). Sistem hukum yang dipengaruhi ideologi ini, seluruh lapisan kaedah normatif ini baru dianggap sah keberlakuannya sebagai suatu aturan hukum jika sesuai dengan lapisan (norma, kaedah ) yang di atasnya.
Khusus kaedah utama yang berada di puncak lapisan disebut grundnorm, yaitu suatu kaedah dasar, nilai dasar yang sudah ada dalam masyarakat, digunakan sebagai kaedah pembenar oleh negara dalam mengukur kaedah yang berada di bawahnya. Maka hukum dan penalaran hukum yang berlangsung adalah sebagaimana William Twining menyebutnya sebagai proses a finite closed scheme of permissible justification. Apa yang merupakan hukum ditentukan oleh legislatif dalam bentuk rumusan yang abstrak untuk kemudian melalui proses stufenweise konkretisierung (kongkritisasi secara bertingkat dari atas ke bawah, Hans Kelsen), akhirnya hukum yang semula abstrak menjadi kongkrit[3].
Sentralisme hukum yang juga disebut hukum modern, dicirikan oleh beberapa sarjana: misalnya oleh Marc Galanter menyebut tidak kurang dari 11 karakteristik hukum modern itu. Beberapa di antaranya adalah: (1) hukum itu lebih bersifat teritorial daripada personal, dalam arti penerapannya tidak terikat pada kasta, agama atau ras tertentu; (2) sistemnya diorganisir secara hirarkis dan birokratis; (3) sistem juga rasional yang artinya, tehnik-tehniknya dapat dipelajari dengan menggunakan logika dan bahan-bahan hukum yang tersedia dan (4) disamping itu hukum dinilai dari sudut kegunaannya sebagai sarana untuk menggarap masyarakat, tidak dari kualitas formalnya; (5) hukum itu bisa diubah-ubah dan bukan merupakan sesuatu yang keramat – kaku; eksistensi hukum dikaitkan pada (kedaulatan) negara [4].
Ideologi sentralisme hukum inilah sebagai ibu kandung positivisme hukum yang sering disebut hukum modern, pada paham yang paling ekstrim adalah hukum harus dibebaskan – dimurnikan - dari nilai-nilai non hukum (etika, moral, agama), sehingga hukum sebagai bebas nilai (value free), yang dipositipkan dalam bentuk peraturan dan yang bersumberkan dari negara dalam bentuk tertulis. Hukum jenis ini dewasa ini sangat dominan dan sebagai penopang negara penganut modern-liberal, bahkan negara ultra-modern-neoliberal, dengan didukung oleh para pengembannya (pendidikan hukum, profesional dengan standarisasi yang ketat).
            Hukum adat (customary law) adalah bagian dari hukum, ialah hukum tidak tertulis dalam suatu masyarakat yang biasanya bermata pencaharian pertanian di daerah pedesaan. Hukum adat terjadi dari keputusan-keputusan orang-orang berkuasa dalam pengadilan berperspektif bahwa hukum adat[5] adalah norma lama yang masih terdapat dimana-mana di daerah dan di dalam masyarakat yang merupakan kekayaan yang tidak ternilai harganya. Norma lama/hukum adat akan dapat diterima sepanjang ia akan dapat meningkatkan dirinya bagi kehidupan masyarakat. Pengelolaan lingkungan hidup tentu saja dengan memperhatikan norma lama/hukum adat yang berkembang di dalam masyarakat sebagai kepribadian sesuai nilai-nilai tradisional yang ada. Kita masih tetap memegang nilai tradisional, walaupun nilai-nilai baru sebagai akibat kemajuan dan kelancaran komunikasi dan kemudahan informasi akan sangat banyak mempengaruhi nilai tradisional.
            Pelestarian norma lama bangsa adalah mempertahankan nilai-nilai seni budaya, nilai tradisional dengan mengembangkan perwujudan yang bersifat dinamis, luwes dan selektif, serta menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang selalu berubah dan berkembang.
Dengan demikian hukum akan selalu terkait dengan nilai, norma dan keorganisasian tradisional maupun yang modern serta perlindungan yang bersifat penataan keseluruhan.   
1.      Masyarakat
Masyarakat (society) adalah suatu sistem sosial yang menghasilkan kebudayaan. WJS Poerwadarminta (KUBI), PN. Balai pustaka 1982 halaman 636 menyebutkan:
“Masyarakat adalah pergaulan hidup manusia (sehimpunan orang yang hidup bersama dalam sesuatu tempat dengan ikatan-ikatan yang tertentu). Masyarakat adalah sekelompok orang yang mempunyai identitas sendiri, yang membedakan dengan kelompok lain dan hidup dan diam dalam wilayah atau daerah tertentu secara tersendiri. Kelompok ini baik sempit maupun luas mempunyai perasaan akan adanya persatuan di antara anggota kelompok dan menganggap dirinya berbeda dengan kelompok lain. Mereka memiliki norma-norma, ketentuan-ketentuan dan peraturan yang dipatuhi bersama sebagai suatu ikatan. Perangkat dan pranata tersebut dijadikan pedoman untuk memenuhi kebutuhan kelompok dalam arti luas. Jadi secara luas bahwa dalam masyarakat terdapat semua bentuk pengorganisasian yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya (masyarakat tersebut)”.

            Dalam setiap masyarakat, jumlah kelompok dan kesatuan sosial itu bukan hanya satu, sehingga seorang warga masyarakat bisa termasuk dalam dan menjadi bagian dari berbagai kelompok dan kesatuan sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. Bisa masuk dalam kesatuan kekerabatan, anggota organisasi tempat tinggal, anggota organisasi di tempat kerja, anggota perkumpulan tertentu, dsb. Dari itu macam-macam masyarakat bisa berdimensi sbb:
1.      Masyarakat industri (Industrial society);
2.      Masyarakat petani (Peasant society);
3.      Masyarakat majemuk (Plural society);
4.      Masyarakat tidak bertempat tinggal tetap (nomadic society);
5.      Masyarakat produksi dan konsumsi sendiri (subsistens society);
6.      Masyarakat modern (Modern society);
7.      Masyarakat tradisional (traditional society)
8.      Masyarakat konkrit (concrete society);
9.      Masyarakat abstrak (abstract society);
10.   Masyarakat feodal (feudal society);
11.  Masyarakat irigasi (hydraulic society)
12.  Masyarakat berburu dan peramu (extractive society)
Di dalam masyarakat terdapat struktur sosial yaitu pola hak dan kewajiban para pelaku dalam suatu sistem interaksi yang terwujud dari rangkaian-rangkaian hubungan sosial yang relatif stabil dalam suatu jangka waktu tertentu. Sesuai dengan penggolongan dalam kebudayaan yang bersangkutan dan yang berlaku menurut masing-masing pranata dan situasi-situasi sosial dimana interaksi sosial itu terwujud.
  1. Rumusan Masalah
Seringnya Pemerintah meratifikasi hukum barat dibandingkan menggali hukum adat adalah wujud keprihatinan penulis, untuk itu diperlukan penelusuran guna mencari tahu tentang:
 “PERBANDINGAN HUKUM ADATyang ada di Indonesia.

Berdasarkan permasalahan tersebut diajukan  beberapa pertanyaan berikut :
1.    Bagaimana sejarah hukum adat yang berkembang di Nusantara?
2.    Bagaimana azas, sifat dan corak hukum adat yang ada di Indonesia?
3.    Bagaiamana perkembangan hukum adat dari masa ke masa?
4.    Bagaimana peranan hukum adat di dalam hukum nasional ?

c.       Tujuan penulisan
 
Inventarisasi data dalam rangka penelusuran hukum adat bertujuan untuk :
1.    Mengidentifikasi sejarah hukum adat dalam rangka menambah khazanah budaya Indonesia.
2.    Diketahuinya azas, sifat dan corak hukum adat dihubungkan dengan hukum nasional.
3.    Mengidentifikasi perkembangan hukum adat dari masa ke masa.
4.    Mengidentifikasi peranan hukum adat untuk dijadikan referensi di dalam pembuatan hukum nasional.


BAB II
PERBANDINGAN HUKUM ADAT
Pemahaman mengenai hukum adat selama ini, yang terjadi, bila meminjam istilah Spradley dan McCurdy (1975), ialah adanya sikap legal ethnocentrism, yakni: the tendency to view the law of other cultures through the concepts and assumptions of Western. Padahal, sikap legal ethnocentrism itu mengundang kritik, antara lain: a) cenderung meniadakan eksistensi dari hukum pada pelbagai masyarakat; dan b) cenderung mengambil bentuk sistem hukum barat sebagai dasar dari penelaahan dan penyusunan kebijakan[6]. Catatan penting yang dapat diberikan berkenaan dengan Law and Development tersebut ialah:
..., hukum modern (dalam hal ini state law) itu perlu, tapi tidaklah cukup untuk pembangunan ekonomi; adanya ‘the rule of law’ cukup menolong, namun belum mencukupi untuk melaksanakan pembangunan politik; di antara kondisi minimum tersebut, hukum bukan hal penting yang utama. Pusat kegawatan utama adalah pada campuran antara: sejarah negara yang unik, aspek kultural, ekonomi, politik serta sumberdaya alam dan manusia; dan negara berkembang akan beruntung bila mereka dapat mengembangkan variannya sendiri mengenai isi dari ‘the rule of law’ (Tamanaha 1998)[7].
Hukum adat sebagai hukum yang dibangun berdasarkan paradigma atau nilai-nilai: harmoni, keselarasan, keutuhan menentukan corak, sifat, karakter hukum adat.
  1. Azas-azas Hukum Adat
Hukum adat yang tumbuh dari cita-cita dan alam pikiran masyarakat Indonesia, yang bersifat majemuk, namun ternyata dapat dilacak azas-azasnya, yaitu:
1.                  Azas Gotong royong;
2.                  Azas fungsi sosial hak miliknya;
3.                  Azas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum;
4.                  Azas perwakilan dan musyawaratan dalam sistem pemerintahan
  1. Sifat Hukum Adat.
Hukum adat berbeda dengan hukum bersumberkan Romawi atau Eropa Kontinental lainnya. Hukum adat bersifatpragmatisme –realisme artinya mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang bersifat fungsional religius, sehingga hukum adat mempunyai fungsi social atau keadilan social. Sifat yang menjadi ciri daripada hukum adat sebagai 3 C adalah:
    1. Commun atau komunal atau kekeluargaan (masyarakat lebih penting daripada individu);
    2. Contant atau Tunai perbuatan hukum dalam hukum adat sah bila dilakukan secara tunai, sebagai dasar mengikatnya perbuatan hukum.
    3. Congkrete atau Nyata, Riil perbuatan hukum dinyatakan sah bila dilakukan secara kongkrit bentuk perbuatan hukumnya. 28/10/2008 klas F
Djojodigoeno menyebut hukum adat mempunyai sifat: statis, dinamis dan plastis
1.                  Statis, hukum adat selalu ada dalam amsyarakat,
2.                  Dinamis, karena hukum adat dapat mengikuti perkembangan masyarakat,
3.                  Plastis/Fleksibel, kelenturan hukum adat sesuai kebutuhan dan kemauan masyarakat.
Sunaryati Hartono, menyatakan: Dengan perspektif perbandingan, maka ketiga ciri dapat ditemukan dalam hukum yang berlaku dalam masyarakat agraris atau pra industri, tidak hanya di Asia tetapi juga di Eropa dan Amerika. Surnarjati Hartono sesungguhnya hendak mengatakan bahwa hukum adat bukan khas Indonesia, namun dapat ditemukan juga di berbagai masyarakat lain yang masih bersifat pra industri di luar Indonesia.
  1. Corak Hukum Adat
Soepomo mengatakan: Corak atau pola – pola tertentu di dalam hukum adat yang merupakan perwujudkan dari struktur kejiwaan dan cara berfikir yang tertentu oleh karena itu unsur-unsur hukum adat adalah:
1.                  Mempunyai sifat kebersamaan yang kuat ; artinya , menusia menurut hukum adat , merupakan makluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat , rasa kebersamaan mana meliputi sebuah lapangan hukum adat;
2.                  Mempunyai corak magis – religius, yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia;
3.                  Sistem hukum itu diliputi oleh pikiran serba kongkrit, artinya hukum adat sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubungan-hubungan hidup yang kongkret. Sistem hukum adat mempergunakan hubungan-hubungan yang kongkrit tadi dalam pengatur pergaulan hidup.
4.                  Hukum adat mempunyai sifat visual, artinya- hubungan-hubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat (atau tanda yang tampak).
Sifat dan corak hukum adat tersebut timbul dan menyatu dalam kehidupan masyarakatnya, karena hukum hanya akan efektif dengan kultur dan corak masyaraktnya. Oleh karena itu pola pikir dan paradigma berfikir adat sering masih mengakar dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sekalipun ia sudah memasuki kehidupan dan aktifitas yang disebut modern.















BAB III
PERKEMBANGAN HUKUM ADAT
Hukum akan selalu menyesuaian dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat yang senantiasa terus berubah. Mengenai perkembangan baru dalam Hukum Adat, diketengahkan teori Prof Koesnoe, yang menyatakan : bahwa perkembangan hukum adat itu mencakup : pengertian daripada Hukum Adat, kedudukan Hukum Adat, isi dan lingkungan kuasa atas orang
Dengan titik tolak pendapat Koesnoe dan penjabaran Abdulrahman, maka penulis membuat tabulasi perkembangan hukum adat sebagai berikut:
      1. Perkembangan Pengertian Hukum Adat
1
Perkembangan awal
Adat yang mempunyai sanksi
2
Berkembang
Segala keputusan-keputusan yang diambil penguasa adat dalam lingkungan masyarakat dan dalam hubungannya dengan ikatan structural masyarakatnya.
3
Setelah itu
Hukum Adat dilihat sebagai hukum yang lahir langsung dari pikiran dan cita-cita serta kebutuhan rakyat Indonesia;
4
Akhirnya
Hukum yang lahir dari kepribadian bangsa Indonesia, singkatnya hukum nasional bangsa kita atau hukum asli Indonesia
Corak hukum adat diubah dari relegio-magis, komun, konkrit, kontan yang bersifat tradisional-agraris, maka guna memenuhi kebutuhan dan tuntutan perkembangan masyarakatnya, oleh Achid Masduki diharapkan mengarah kepada dan menjadi religius-rasional, keseimbangan individu dan masyarakat, konsensual, abstrak.
      1. Perkembangan atas kedudukan Hukum Adat
1
Perkembangan awal
Hukum untuk golongan tertentu; golongan masyarakat asli, timur asing tertentu
2
Perkembangan
Hukum yang membawa bentuk semangat kebangsaan
3
Perkembangan selanjutnya
Hukum Nasional
4
Akhirnya
Hukum Pancasila

      1. Perkembangan Hukum Adat atas lingkungan kuasa atas orang
1
Perkembangan awal
Diisi dalam taraf ilmu pengetahuan sesuai dengan waktunya, dengan ketentuan yang letaknya pada taraf kebiasaan dari golongan suku-suku yang ada
2
Perkembangan
Ditarik kepada pokok-pokok ketentuan yang abstrak, sehingga diversitas isinya menjadi tampak berkurang
3
Perkembangan selanjutnya
Ditarik lebih jauh lagi yakni kepada azas-azas hukum adat.
4
Akhirnya
Diarahkan kepada nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat. Semakin abstrak pengisiannya, semakin lebih luas daya mencakup lingkungan kuasa atas orang dan ruangnya sehingga akhirnya berlaku secara Nasional

Sumbangsih Hukum adat bagi pembentukan hukum nasional, adalah dalam hal pemakaian azas-azas, pranata-pranata dan pendekatan dalam pembentukan hukum34. Sumbangsih hukum adat misalnya dalam kontrak bagi hasil (bidang perminyakan), bidang hukum tanah dan hukum perumahan (khususnya rumah susun) dan azas pemisahan horizontal dapat digunakan dalam pembentukan hukum nasional.








BAB IV
PERKEMBANGAN HUKUM ADAT DARI ZAMAN KE ZAMAN
Perkembangan hukum adat dapat dilacak dalam beberapa hal antara lain:
a. Hukum adat di zaman Hindu
Perkembangan hukum adat sebagai aturan rakyat di zaman Hindu berlaku sejak zaman melayu Polinesia, zaman Hindu Sriwijaya, Mataram I, Majapahit sampai timbulnya kerajaan-kerajaan Islam.
1)    Zaman Melayu Polinesia
Menurut para ahli sejarah nenek moyang bangsa Indonesia meninggalkan daratan asia dan memasuki kepulauan Indonesia berlaku sejak sekitar tahun 1500 SM sampai dengan 300 SM. Kedatangan mereka di Indonesia terjadi dalam dua gelombang, gelombang pertama disebut proto malaio (melayu tua) dan gelombang kedua disebut deutro malaio (melayu muda). Sebagaimana dikatakan M. Yamin kebanyakan masyarakat di pengaruhi oleh lima jenis zat kesaktian, yaitu “paduan kesaktian”, bahwa disekitar manusia itu ada yang gaib mengawasi kehidupannya; “sari kesaktian”, bahwa didalam diri manusia itu ada jiwa semangat; “sang hyang kesaktian”, bahwa ada tuhan yang kuasa; “pengantara kesaktian”, bahwa ada manusia yang dapat berhubungan dengan yang gaib. (M. Yamin, 1960: 63-83).
2)    Zaman Sriwijaya
Zaman hindu-buddha dimulai sejak berdirinya Negara sriwijaya yang berpusat di Palembang. Negara sriwijaya hidup sejak abad ke-7 sampai abad 13. Dengan masuknya pengaruh ajaran-ajaran hindu-buddha dari india ke kepulauan Indonesia, maka di pusat-pusat pemerintahankerajaan berlaku hukum hindu-buddha yang bercampur dengan hukum adat setempat, sedangkan didaerah-daerah pedalaman berbagai masyarakat adat tetap berpegang dengan hukum adat setempat yang tumbuh dan berkembang dengan di sana-sini dipengaruhi oleh ajaran-ajaran hindu-budha.
Dalam abad ke-8 di masa kekuasaan dinasti sriwijaya di jawa di jaman raja sanjaya kaidah-kaidah yang bersifat hukum bercampur denga uraian tentang keadaan keagamaan, pemerintahan, perekonomian, pertanian, dan sebagainya. di antara  prasasti zaman sriwijaya dari abad ke-8 dan abad ke-9 yang mengandung hukum dimana dipercaya oleh masyarakatnya sebagai mengatur tentang keagamaan, perekonomian, pertambangan, kekayaan, pertanahan, pengairan dan peradilan perkara perdata.
3)    Zaman Mataram I 
Sampai abad ke-10 jawa barat masih tetap berada di bawah pengaruh kekuasaan sriwijaya, sedangkan jawa tengah dan jawa timur cenderung untuk bersatu dan memisah dari pengaruh sriwijaya. Disekitar tahun 907 putera mahkota balitung diangkat menjadi raja mataram I (rakai Mataram I). dalam menjalankan pemerintahan dari pusat pemerintahan di medang (prambanan). Raja balitung didampingi Da-tso-kan-hiyung (perdana menteri) yang di bantu oleh empat menteri dan membawahi 28 daerah kabupaten. Para pejabat kehakiman bergelar “samgat-i-tiruan” dan “samgat-mahwi”.


4)    Zaman Majapahit
Dari kitab puisi Negara kartagama (1365) dan kitab prosa pararaton (1481) dapat kita ketahui betapa raja kertajaya, raja Kediri yang terakhir dapat dijatuhkan oleh ken angrok, yang kemudian mendirikan kerajaan singosari. Ken angrok menjadi raja singosari pertama berkududukan di ibukota kutaraja (tumapel) dengan gelar rajasa. Selama pemerintahannya (1222-1227) rajasa mengembangkan hukum di bidang pemerintahan dan pertahanan. Diantara raja yang terkenal dizaman singosari ialah raja kertanagara(1268-1292). Pada tahun 1275 ia mengirim ekspedisi militer pamalayu ke melayu-jambi. Ketika ekspedisi ini kembali kejawa dibawa serta dus puteri melayu ialah dara petak dan dara jingga. Pada tahun 1280 raja cina kubilai khan menirim utusan untuk menundukkan kertanegara tidak berhasil, kemudian pada tahun 1289 datang lagi utusan cina, bukan diterima dengan baik, melainkan dilukai mukanya, akibatnya kubilai khan mempersiapkan tentaranya untuk menyerang jawa.
Sejak wafatnya hayam wuruk pada tahun 1389 dan menyingkirnya dan terus menghilangnya gajah mada, maka para raja penggantinya yang kemudian, tidak ada lagi yang dapat mengembalikan seperti kejayaan majapahit dimasa hayam wuruk dan gajah mada. Negara terus merosot pamornya sampai masa raja-raja terakhir inilah timbul cikal-bakal raja-raja demak dan mataram II. Menurunnya kerajaan maja pahit dikarenakan masuknya pengaruh Islam sejak akhir abad ke-14 dan permulaan abad ke-15 secara damai di bawah pimpinan para wali, Maulana Malik Ibrahim yang wafatnya di Gresik  tahun 1419.

b. Hukum Adat di Zaman Islam
1)    Zaman Aceh Darussalam
Agama Islam memasuki kepulauan Indonesia dimulai dari daerah aceh pada pertengahan akhir abad ke-12, dengan berdirinya kesultanan perlak, Samudera Pasai dan aceh Darussalam. Kesultanan perlak terletak disebelah timur Samudera Pasai, yang didirikan pedagang Arab yang kawin dengan puteri marah perlak dan melahirkan sulta perlak yang pertama, yaitu Sayid Abdul Aziz dengan gelar alaidin syah (1161-1186). Setelah berdirinya kesultanan perlak selama 83 tahun, maka pada tahun 1243 kesultanan ini digabungkan dengan kesultanan Samudera Pasai yang berdiri pada pertengahan akhir abad ke-13.
Setelah itu, di zaman kekuasaan sultan iskandar muda (1607-1636) daerah kekuasaan hampir meliputi daerah seluruh pulau sumatera-bengkulu, tetapi untuk kesekian kalinya berusaha perang untuk menghalau portugis dari bumi malaka tidak berhasil. Kemudia sultan iskandar muda wafat dalam umur 46 tahun pada tanggal 27 desember 1636, ia digantikan sultan iskandar tsani yang hanya memerintah selama 5 tahun (1636-1641).kemudian iskandar tsani digantikan puteri iskandar muda yaitu sultanah taj’al alam yang memerintah selama 34 tahun (1641-1675). Patut diperhatikan bahwa wafatnya iskandar tsani dikarenakan kelicikan penjajahan belanda (VOC).
2). Zaman Demak
Termasuk dalam zaman ini ada empat kerajaan Islam di jawa yang ada kaitannya yaitu kerajaan demak, pajang, mataram II, dan banten. Keempat kerajaan ini dilaksanakan berdasarkan hukum Islam dan hukum adat, serta peraturan-peraturan kerajaan masing-masing. Disekitar abd ke-15 daerah demak masih di bawah kekuasaan majapahit. Kemudian yang memimpin kekuasaan kerajaan pada waktu itu ialah raden patah dimana ia wafat pada tahun 1518 dan digantikan oleh puteranya adipati unus yang menjadi bupati di jepara. Adipati unus menjadi raja berlangsung selama 3 tahun dan kemudian digantikan oleh pamannya pangeran trenggana yang menjadi sulta demak selama 25 tahun.
3). Zaman Mataram II
Sultan Mataram II yang berpengaruh adalah Mas Rasrangsang yang bergelar Panembahan Aagung Senopati Ing Alogo Ngabdurahman, yang disingkat sultan agung, memerintah kerajaan selama 32 tahun (1613-1645). Kemudian lambat laun yang berlaku adalah penyelesaian perkara padu dan system peradilan setempat  yang dipengaruhi oleh islam dan penyebaran agama islam di jawa barat perubahan mana bertambah sejak sultan agung digantikan amangkurat I (1646-1647). Karen sistemnya yang sangat lemah seluruh daerah pesisir jawa jatuh ketangan pemberontaka, dan akhirnya kedudukan amangkurat I digantikan oleh puteranya Adipati Anom sebagai amangkurat II (1677-1703). Amengkurat II pun jatuh masa jayanya dengan pemberontakan atas trunojoyo dan banyak kehilangan daerah kekuasaan yang diambil oleh VOC dimana perjanjian yang telah disepakatinya. 


4). Zaman Cirebon dan Banten
Fatahilllah salah seorang panglima dari demak, kemudian bersama dengan sunan gunung jati, dapat menundukkan sunda kelapa pada tahun 1527, setelah menundukkan banten, yang ketika itu merupakan kota pelabuhan dari pajajaran kemudian banten diserahkan oleh sunan gunung jati kepada puteranya maulana hasanudin yang menjadi sultan banten pertama (1522-1570). Dari hasil penelitian yang kemudian dilakukan VOC, dapat diketahui bahwa hukum yang berlaku didaerah periangan masih sangat dipengaruhi oleh hukum dan peradilan menurut system dari masa pengaruh kekuasaan sulta agung mataram. System yang berlaku adalah peradilan agama, peradilan drigama, peradilan cilaga, sedangkan hukumnya berdasarkan hukum Islam dan hukum adat lama.
Oleh karena sifat hubungan antara pemerintah kesultanan di banten dengan daerah lampung yang dipengaruhinya bersifat protektorat (pelindung). Seperti halnya didaerah lampung beberapa kepala adat ditetapkan sebagai punggawa kesultanan banten untuk mengurus kaum kerabatnya masing-masing. Dengan demikian di lampung sampai masa kekuasaan raden inten berakhir (1856) untuk urusan agama berlaku hukum islam dan untuk urusan umum berlaku kitab kutara adat lampung.
5). Kerajaan dan Persekutuan Adat Lainnya
Masih terdapatnya beberapa kerajaan islam kecil-kecil, baik di sumatera, Kalimantan, nusa tenggara, bali dan Maluku. Kerajaan-kerajaan tersebut juga mempunyai aturan-aturan undang-undang rajanya masing-masing. Begitupula halnya dengan berbagai persekutuan-persekutuan hukum adat diberbagai pedesaan diseluruh nusantara ini, mempunyai pula berbagai aturan-aturan adanya yang tertulis dan tidak tertulis. Sebagian besar kitan perundangan asli tersebut kita ketahui setelah adanya penemuan orang-orang barat dari zaman VOC dan pemerintah Hindia Belanda.
c. Hukum Adat di Zaman Penjajahan Belanda
            Berawal dari zaman penjajahan, hukum adat sangat kental di dalam diri tiap pribumi. Karena belum terbiasa dengan hukum barat yang telah ditetapkan oleh Belanda, maka dibuatlah sistem hukum pluralisme atau Indische Staatsregeling (IS) agar penduduk golongan eropa, timur asing, dan pribumi dapat menyesuaikan dengan hukum masing-masing.
            Dalam Indische Staatsregeling, salah satu dasar hukum yang menjelaskan berlakunya hukum adat terdapat pada Pasal 131 ayat (2) huruf a menjelaskan hukum yang berlaku bagi golongan eropa, bahwa untuk hukum perdata materiil bagi golongan eropa berlaku asas konkordansi, artinya bagi orang eropa pada asasnya hukum perdata yang berlaku di negeri Belanda akan dipakai sebagai pedoman dengan kemungkinan penyimpangan-penyimpangan berhubung keadaan yang istimewa, dan juga pada Pasal 131 ayat (2) huruf b yang menjelaskan hukum yang berlaku bagi golongan Indonesia asli atau pribumi dan golongan timur asing, yang pada intinya menjelaskan bagi golongan pribumi dan timur asing berlaku hukum adat masing-masing dengan kemungkinan penyimpangan dalam hal:
1).    Kebutuhan masyarakat menghendakinya, maka akan ditundukan pada perundang-undangan yang berlaku bagi golongan eropa.
2).    Kebutuhan masyarakat menghendaki atau berdasarkan kepentingan umum, maka pembentuk ordonansi dapat mengadakan hukum yang berlaku bagi orang Indonesia dan timur asing atau bagian-bagian tersendiri dari golongan itu, yang bukan hukum adat bukan pula hukum eropa melainkan hukum yang diciptakan oleh Pembentuk UU sendiri.

Hukum perundangan yang digunakan dalam memeriksa dan mengadili perkara ketika itu adalah aturan-aturan dalam bentuk plakat dan ketetapan-ketetapan VOC. Jika dari peraturan-peraturan tersebut tidak cukup maka dilihat juga hukum belanda kuno dan hukum romawi. Yang bertindak sebagai penuntut umum dalam perkara pidana adalah adpokat piskal.dalam tahun 1651 di dalam college van schepenen ditempatkan seorang landrost yang bertugas sebagai penuntut umum perkara pidana yang diajukan kepada schepenbank Batavia.selain itu, menurut papakem Cirebon diatur tentang peradilan dengan 7 orang jaksa, sehingga disebut jaksa pepitu.
Jadi pada intinya, di masa Hindia Belanda terdapat delegasi kewenangan atau perintah untuk mengkodifikasikan hukum bagi pribumi dan timur asing.
d. Hukum Adat di zaman Jepang
Pada tanggal 9 Maret 1942 pemerintah hindia belanda bertekuk lutut menyerah tanpa syarat kepada jepang. Gubernur jenderal tjarda van starkenborgh stachouwer dibawa jepang ke Taiwan. Namun pada tanggal 14 agustus 1945 jepang terpaksa menyerah kepada sekutu akibat bom atom yang dijatuhkan Amerika pada tanggal 6 Agustus 1945 di Hiroshima. Hal mana berarti Indonesia diduduki jepang hanya selama tiga tahun lima bulan lima hari. Selama pemerintahan jepang pada umumnya yang berlaku adalah hukum militer, hukum perundangan apalagi hukum adat tidak mendapat perhatian sama sekali. Mendekati  tahun 1945 orang-orang jepang mulai berbaik hati, terlihat bendera merah putih telah dapat berkibar di samping bendera hinomaru. Pada tanggal 28 Mei 1945 panitia penyelidik usaha-usaha persiapan kemerdekaan (PPPK) yang diketuai Dr. Radjiman Wediodeningrat.
Pada masa penjajahan Jepang juga terdapat regulasi yang mengatur tentang hukum adat di Indonesia, yaitu pada Pasal 3 UU No.1 Tahun 1942 yang menjelaskan bahwa semua badan pemerintah dan kekuasaanya, hukum dan UU dari pemerintah yang dahulu tetap diakui sah buat sementara waktu saja, asal tidak bertentangan dengan peraturan militer. Arti dari Pasal tersebut adalah hukum adat yang diatur pada saat masa penjajahan Jepang sama ketika pada masa Hindia Belanda, tetapi harus sesuai dengan peraturan militer Jepang dan tidak boleh bertentangan. Pada hakikatnya, dasar yuridis berlakunya hukum adat pada masa penjajahan Jepang hanya merupakan ketentuan peralihan karena masanya yang pendek.
e. Hukum Adat di zaman pasca kemerdekaan
Proklamasi kemerdekaan RI pada tanggal 17 agustus 1945, adalah berdasarkan hukum adat, sebagai kelanjutan dari keputusan kongres pemuda Indonesia pada tahun 1928 dan perjnuangan pada pergerakan kemerdekaan Indonesia sebelumnya. Dikatakan berdasarkan hukum adat oleh karena kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Demikian dinyatakan dalam alinea pertama piagam Jakarta yang ditandatangani soekarno, hatta dan tujuh pemimpin yang lainnya. Isi piagam tersebut kemudian menjadi pembukaan UUD 1945.
Pada tanggal 18 Agustus 1945 PPPK mengadakan rapat yang dipimpin Soekarno dan Moh. Hatta dengan ke-16 orang anggotanya, ketika itu diumumkan berlakunya UUD 1945 dan Kommite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mengadakan rapatnya yang pertama. Walaupun dalam UUD tersebut tidak digunakan istilah Pancasila dan hukum adat, namun dari pembukaan UUD 1945 itu dapat diketahui adanya unsur-unsur pancasila dan hukum adat.pada tanggal 17 Maret 1947 di balai perguruan tinggi gadjah mada djogjakarta, Prof. Mr. Dr. R. soepomo menyampaikan pidato dies berjudul “kedudukan hukum adat di kemudian hari” yang isinya menguraikan tentang hukum adat yang tidak berbeda dengan pendapat van Hollenhoven.
Berdasarkan piagam persetujuan antara delegasi republic Indonesia dan delegasi BFO atau pertemuan untuk permusyawaratan federal di scheveningan belanda (agustus-oktober 1949) lahirlah konstitusi RIS yang dinyatakan berlaku pada tanggal 6 februari 1950. Di dalam konstitusi RIS mengenai hukum adat antara lain,pasal 144 (1) aturan-aturan hukum adat yang menjadi dasar hukuman. Namun ketentuan-ketentuan tersebut dapat dikatakan tidak pernah digunakan oleh karena sejak tanggal 17 Agustus 1950 (Ln. 50-56) telah berlaku UUDS, yang mengambil alih ketentuan-ketentuan tersebut.
Pada konstituante dalam masa UUDS 1950 tidak dapat menyelesaikan tugas pada waktunya, maka soekarno selaku presiden RI / Panglima tertinggi angkatan perang mengucapkan dekrit tanggal 5 juli 1959, yang menetapkan pembubaran konstituante, UUD 1945 berlaku lagi dan tidak berlakunya lagi UUDS. Kemudian berdasarkan ketetapan MPRS no. II/1960 maka hukum adat menjadi landasan tata hukum nasional.
f. Hukum Adat di Zaman Orde Baru
           Dasar hukum berlakunya dan diakuinya hukum adat di Indonesia juga diatur setelah Indonesia merdeka. Contohnya pada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi “Segala badan negara dan peraturan yang masih berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini” menjelaskan bahwa dalam pembentukan regulasi peraturan mengenai hukum adat yang lebih jelas, maka dasar hukum sebelumnya yang tetap digunakan untuk perihal berlakunya hukum adat.
            Pada Pasal 104 ayat (1) UUDS 1950 pun juga terdapat penjelasan mengenai dasar berlakunya hukum adat. Pasal tersebut menjelaskan bahwa segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturan-aturan Undang-Undang dan aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukuman itu. Terdapat juga pada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 pasca dekrit presiden 5 Juli 1959 Ranah Undang-Undang dan Pasal 3 UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “Hukum yang dipakai oleh kekuasaan kehakiman adalah hukum yang berdasarkan Pancasila, yakni yang sidatnya berakar pada kepribadian bangsa” dan Pasal 17 ayat (2) yang menjelaskan bahwa berlakunya hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.


g. Hukum Adat di Zaman Era Reformasi
            Di zaman modern,  Setelah amandemen kedua UUD 1945, tepatnya pada Pasal 18B ayat (2), hukum adat dihargai dan diakui oleh negara, Pasal tersebut berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat berserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”. Pasal tersebut telah membuktikan bahwa dasar yuridis berlakunya hukum adat di Indonesia ada, dan diakui oleh pemerintah.
           

BAB V
KESIMPULAN
Tak hanya itu, dalam beberapa Undang-Undang juga mengatur keberlakuan hukum adat. Contoh dalam Undang-Undang Pokok Agraria, lebih tepatnya pada Pasal 5 yang berbunyi “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undangundang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”. Dasar yuridis tersebutlah yang dapat menjelaskan berlakunya hukum adat secara sah di Indonesia. Hukum adat adalah hukum yang yang harus diperjuangkan karena ia merupakan hukum tertua yang telah dimiliki Indonesia dan juga karena Indonesia merupakan bangsa yang sangat kaya dengan keanekaragaman budaya, suku, dan ras, dan dengan hukum adat, maka segala kepentingan masyarakat adat dapat diayomi olehnya, untuk Indonesia yang lebih baik.






BAB VI
     SARAN
Pengakuan dan penghargaan terhadap masyarakat hukum adat tersebut menunjukkan adanya kesadaran, bahwa masih ada masyarakat Indonesia yang menjalani kehidupan yang khas, sarat dengan nilai-nilai, norma dan adat istiadat yang positif, tetapi dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Meskipun demikian, pada era transformasi sosial budaya yang cepat dewasa ini, mereka masih mampu mempertahankan keserasian hubungan dengan sesama manusia, alam dan penciptanya. Semua itu adalah bentuk kebudayaan menjadi modal sosial (social capital) dalam pembangunan nasional apabila dapat diberdayakan secara optimal.
Sehubungan dengan itu, maka diperlukan kebijakan dan instrumen yang mampu melindungi dan memberdayakan masyarakat hukum adat tanpa mencabut mereka dari akar sosial budaya aslinya. Sebagaimana dikemukakan pada bab sebelumnya, bahwa secara yuridis Negara dan Pemerintah telah menerbitkan peraturan perundang-undangan yang secara langsung berkaitan dengan perlindungan dan pemberdayan masyarakat hukum adat.








DAFTAR PUSTAKA
  1. Keebet von Benda-Beckmann: Pluraisme Hukum, Sebuah Sketsa Genealogis dan Perdebatan Teoritis, dalam: Pluralisme Hukum, Sebuah Pendekatan Interdisipliner, Ford Fondation, Huma, Jakarta, 2006 hal 21
  2. Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum Di Indoensia, Kompas, 2003,23,24
  3. Satjipto Rahardjo: Penafsiran Hukum Yang Progresif, dalam : Anthon Freddy Susanto,SH,MH: Semiotika Hukum, Dekontruksi Teks Menuju Progresifitras Makna, Efika Aditama, Bandung, 3
  4. Satjipto Rahardjo: Modernisasi Dan Perembangan Kesadaran Hukum Masyarakat, Jurnal Masalah-masalah Hukum, FH Undip, No.1-6 Tahun X/ 1980, hal 18.
  5. Eman Suparman, ASAL USUL SERTA LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU HUKUM INDONESIA (Kekuatan Moral Hukum Progresif sebagai das Sollen), Esmi Warassih Pujirahayu, “Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mewujudkan Tujuan Hukum (Proses Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan)”Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Undip, Semarang, 14 April 2001,
  6. Sorjono Soekanto, Masalah Kedudukan dan Peranan Hukum Adat, Academica, Jakarta 1979, 14.
  7. Hukum dan Kemajemukan Budaya: Sumbangan Karangan Untuk Menyambut Hari Ulang Tahun ke-70 Prof.Dr. T.O. IhromiANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
  8. Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam Dan Adat Di Indonesia, INIS, Jakarta, 1998, 38
  9. Hilman Hadukusuma: Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal 8
  10. Van Vallenhoven, Orientasi Dalam Hukum Adat Indonesia, Jambatan, Jakarta, 1983, hal 14, lihat juga Abdulrahman ,SH :Hukum Adat menurut Perundang-undangan Republik Indonesia, Cendana Press, 1984, 17.
  11. Abdulrahman, SH: Hukum Adat Menurut Perundang-undanga Republik Indonesia, Cendana Press, 1984, hal 18
  12. Soepomo, Kedududkan Hukum Adat di Kemudian Hari, Pustaka Rayat, Jakarta
  13. Sudjito Sastrodiharjo, Hukum adat Dan Realitas Kehidupan, dimuat dalam : Hukum Adat dan Modernisasi Hukum, Fakultas Hukum –Universitas Islam Indonesia,1998, 107.
  14. Sunaryati Hartono: Sumbangsih Hukum Adat bagi Perkembangan Pembantukan Hukum Nasional dalam M.Syamsudin et al Editor: Hukum Adat dan Mordernisasi Hukum, FH-UII,1998, 170
  15. Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia, Sebelum Perang Dunia II, Pradnjaparamita, Jakarta,cet 15 1997 hal 140,141
  16. Dr. Khundzalifah Dimyati, SH, M.Hum: Teoritisasi Hukum: Studi Tentang Perkembangan Demikian Hukum di Indonesia 1945 – 1990, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004 – 22.
  17. Achid Masduki, Peranan Hukum Adat Dalam Mengatasi Masalah Pemilikan pada Masyarakat Industri, dalam , Hukum Adat Dan Modernisasi Hukum, UII, Jogyakarta, hal 226
  18. Soerjono Soekanto menyebutnya sebagai “hukum lalu lintas”, dalam : Soerjono Soekanto: Masalah Kedudukan Dan Peranan Hukum Adat, Academica, Jakarta, 1979, hal 24.
  19. I Gede A.B.Wiranata: Hukum Adat Indonesia, Perkembangan dari Masa Ke Masa, Citra Aditya Bakti, 2005, hal 40



[1]Keebet von Benda-Beckmann: Pluraisme Hukum, Sebuah Sketsa Genealogis dan Perdebatan Teoritis, dalam: Pluralisme Hukum, Sebuah Pendekatan Interdisipliner, Ford Fondation, Huma, Jakarta, 2006 hal 21
[2]Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum Di Indoensia, Kompas, 2003,23,24
[3]Satjipto Rahardjo: Penafsiran Hukum Yang Progresif, dalam : Anthon Freddy Susanto,SH,MH: Semiotika Hukum, Dekontruksi Teks Menuju Progresifitras Makna, Efika Aditama, Bandung
[4]Satjipto Rahardjo: Modernisasi Dan Perkembangan Kesadaran Hukum Masyarakat, Jurnal Masalah-masalah Hukum, FH Undip, No.1-6 Tahun X/ 1980, hal 18.
[5]Esmi Warassih Pujirahayu, “Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mewujudkan Tujuan Hukum (Proses Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan)”Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Undip, Semarang, 14 April 2001

[6]Sorjono Soekanto, Masalah Kedudukan dan Peranan Hukum Adat, Academica, Jakarta 1979, 14.
[7]Dr. Eman Suparman, SH, MH, ASAL USUL SERTA LANDASANPENGEMBANGAN ILMU HUKUM INDONESIA (Kekuatan Moral Hukum Progresif sebagai das Sollen)

No comments:

Post a Comment