Monday, 28 September 2015

KASUS SIMULATOR SIM POLRI Dibuat untuk memenuhi tugas tertulis Mata Kuliah Hukum Dagang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mabes Polri menyerahkan sepenuhnya adanya aliran dana ke Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Polri terkait proyek Simulator SIM kepada KPK. Wakapolri Komjen (Pol) Oegroseno mengatakan pihaknya tidak akan menanggapi hal itu karena dikhawatirkan menjadi polemik. “Saya belum berani bicara ke arah situ, karena nanti akan ditindak lanjuti KPK. Jangan sampai pro dan kontra. Kita serahkan saja ke KPK,” kata Oegroseno di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (3/9/2013). Diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menilai aliran dana ke Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Polri terkait proyek Simulator SIM adalah fakta. Hal itu sebagaimana tertuang di dalam pertimbangan putusan Majelis Hakim terhadap terdakwa Irjen Pol Djoko Susilo. Majelis Hakim menyebut ada fakta pemberian uang senilai Rp 1 miliar kemudian Rp 1,5 miliar ke Itwasum Polri. Anggota Majelis Hakim Mathius Samiadji menuturkan, awalnya Direktur Utama PT Citra Mandiri Metalindo Abadi Budi Susanto meminta kepada Sukotjo S Bambang untuk memberikan uang Rp 1 miliar kepada Itwasum Polri. “Tapi Sukotjo mengatakan tidak punya uang tunai sehingga meminta agar ditalangi dulu oleh Budi,” kata hakim Samiadji membacakan amar putusan mantan Kakorlantas Polri itu di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (3/9/2013). Hakim Samiadji mengatakan, uang itu untuk diberikan ke Itwasum dalam rangka memenangkan PT CMMA sebagai pelaksana proyek pengadaan simulator SIM roda empat tahun 2011. Selanjutnya, kata hakim Setiabudi, Itwasum merekomendasikan PT CCMA sebagai pemenang lelang proyek. Berdasarkan rekomendasi Itwasum tersebut, Kepala Kepolisian RI Jenderal Timur Pradopo lantas mengeluarkan surat keputusan yang menetapkan PT CMMA sebagai pemenang lelang proyek simulator roda empat. B. Rumusan Masalah a) Apa saja faktor penyebab adanya kasus simulator SIM. b) Apa saja modus pencucian uang dalam kasus kasus simulator SIM. c) Siapa saja dan badan usaha yang terlibat dalam kasus simulator SIM. d) Akibat hukum jika seseorang atau penegak hukum melanggar hukum. BAB II KASUS SIMULATOR SIM POLRI A. Latar Belakang / Kronologis Kasus Simulator SIM POLRI Kepolisian Republik Indonesia (Polri) memaparkan kronologi penanganan kasus dugaan korupsi proyek simulator roda dua dan roda empat ujian surat izin mengemudi (SIM) Korlantas Polri tahun 2011, Jumat (3/8/2012) kemarin. Pada, rangkaian kronologi ini Polri ingin menunjukkan kapan pihaknya memulai penyelidikan dan menuding sikap KPK yang dianggap melanggar MoU dan etika. Berikut kronologi dari penyelidikan hingga penetapan tersangka yang dipaparkan Kepala Bareskrim Polri, Komisaris Jendral (Pol) Sutarman : 1. Polri mengaku memutuskan untuk memulai penyelidikan kasus tersebut setelah membaca berita pada Majalah Tempo tanggal 29 April 2012, halaman 35-38 yang berjudul "Simsalabim Simulator SIM". "Saya membaca itu, kemudian saya memerintahkan Direktur Tindak Pidana Korupsi saya yaitu Brigjen Nur Ali untuk melakukan penyelidikan tentang kemungkinan terjadinya tindak pidana yang ada di Korlantas khususnya terkait dengan pengadaan simulator," terang Sutarman, Jumat. 2. Pada 21 Mei 2012, Polri mengeluarkan surat perintah dimulainya penyelidikan (Sprindik) dengan telah melakukan interogasi dan memeriksa 33 saksi yang diduga terkait kasus tersebut. Dalam interogasi dengan Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia (ITI), Sukoco S Bambang, penyelidik memperoleh informasi bahwa ada data dan informasi yang telah diberikan kepada KPK. Oleh karenanya, pada 17 Juli 2012, dijelaskan Sutarman Bareskrim mengirimkan surat ke KPK perihal Dukungan Penyelidikan. Bareskrim meminta data dan informasi yang dimiliki KPK. 3. Kemudian, Sutarman menjelaskan, pada Senin (30/7/2012) pukul 14.00,pimpinan KPK menghadap Kapolri, Jendral Timur Pradopo di ruang kerja Kapolri. Hadir saat itu, Ketua KPK Abraham Samad dan Zulkarnaen, serta Kapolri yang didampingi Sutarman dan penyidik. Dalam pertemuan itu Abraham menyampaikan bahwa KPK akan melakukan penyidikan kasus simulator SIM di Korlantas. Namun Kapolri meminta waktu satu atau dua hari untuk mendiskusikan tindak lanjutnya dengan alasan Polri juga tengan menyelidiki kasus tersebut. 4. Usai pertemuan tersebut, Bareskrim menghubungi ajudan pimpinan KPK untuk meminta waktu menghadap Ketua KPK pada Selasa (31/7/2012). Kemudian disetujui akan diadakan pertemuan pada pukul 10.00. Polri berniat akan mempresentasikan hasil penyelidikan pada KPK untuk ditingkatkan pada tahap penyidikan dihadapan pimpinan KPK. 5. Namun KPK dianggap menyerobot kesepakatan untuk melakukan pertemuan pada Selasa (31/7/2012) pukul 10.00 itu. KPK menggeledah gedung Korlantas Senin (30/7/2012) pukul 16.00 usai para pimpinan melakukan pertemuan pukul 14.00 itu. Menurut Sutarman, pertemuan para pimpinan di ruang kerja Kapolri tak menyinggung rencana KPK menggeledah gedung Korlantas Polri. Namun, sore harinya, KPK datang melakukan penggeledahan dengan mengatakan bahwa Kapolri telah mengizinkannya. 6. Kemudian, Selasa sore pukul 15.00, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto kembali menghadap Kapolri di Gedung Rupatama Mabes Polri. Maksud pertemuan itu adalah untuk membicarakan tindak lanjut penggeledahan dan penyidikan selanjutnya.Pada pertemuan itu KPK sekaligus menyatakan telah menetapkan Djoko Susilo sebagai tersangka. Menurut Sutarman saat itu KPK tak memberitahukan tersangka lainnya. Dalam pertemuan itu keduanya sepakat saling memberikan akses barang bukti, juga disepakati bahwa barang-barang yang tidak terkait kasus tersebut dikembalikan. 7. Dalam hal ini Sutarman beralasan barang tersebut menghambat aktivitas Korlantas dalam pelayanan masyarakat. "Ada barang-barang yang mengganggu aktivitas masyarakat ada di situ. Kalau hilang, pelayanan bisa terganggu," ujarnya. 8. Kemudian, Selasa (31/7/2012), Bareskrim Polri meningkatkan penyelidikan menjadi penyidikan dan menetapkan Budi Susanto sebagai penyedia barang menjadi tersangka, sesuai Sprindik nomor Sprindik/184a/VIII/2012/Tipidkor. 9. Rabu (1//8/2012) Sutarman mengaku telah mengirim Surat Pemberitahuan Dilakukan Penyidikan (SPDP) ke Kejaksaan Agung RI. Hari itu, Bareskrim Polri juga telah menetapkan Wakakorlantas Brigjen Pol Didik Purnomo, Kompol Legimo, Bendahara Korlantas Teddy Rusmawan, dan Sukoco S Bambang. Pada keempatnya Bareskrim juga telah mengeluarkan sprindik dan mengirimkan SPDP ke Kejagung. 10. Kamis (2/8/2012) Sutarman mengaku baru mengetahui bahwa KPK juga telah menetapkan tersangka selain Djoko, yakni Didik Purnomo, Sukoco Bambang, dan Budi Susanto. Sutarman mengaku mengetahui tersangka yang ditetapkan KPK itu dari beberapa media. 11. Jumat (3/82012) Sutarman membaca dibeberapa media bahwa Bareskrim Polri tak lagi berwenang menyidik kasus tersebut. Menurut Sutarman, sebelumnya pernah dilakukan join investigation dalam perkara yang ditangani KPK dan penegak hukum lain tahun 2010. Seperti pada kasus penyalahgunaan APBD Kabupaten Langkat dengan tersangka Syamsul Arifin. Dalam penyidikan kasus tersebu KPK menyidik untuk penyelenggara negara, yakni Syamsul, sedangkan pihak lainnya di luar penyelenggara negara ditangani Kejati Sumatera Utara," tandasnya. Berdasarkan uraian di atas, dikatakan Sutarman, Bareskrim Polri tetap akan melakukan penyidikan simulator SIM sebelum ada ketentuan beracara yang mengatur hal tersebut atau melalui keputusan pengadilan yang menyatakan penyidik Polri tidak berwenang menangani kasus yang sedang atau bersamaan ditangani KPK. B. Apa saja faktor penyebab adanya Kasus Simulator SIM POLRI 1. Jaksa: Djoko Arahkan PT CMMA Menangi Tender Simulator SIM ) Mantan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo didakwa melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang terkait proyek simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) roda dua dan roda empat tahun anggaran 2011. Dalam surat dakwaan tim jaksa penuntut umum KPK, Djoko disebut mengarahkan agar PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA) milik Budi Susanto dijadikan pemenang lelang proyek simulator SIM roda dua dan roda empat senilai total Rp 198,7 miliar. Untuk pelaksanaan pengadaan tersebut, Djoko selaku Kepala Korlantas dan kuasa pengguna anggaran (KPA) membentuk panita pengadaan yang diketuai Ajun Komisaris Besar Polisi Teddy Rusmawan, kemudian Djoko memanggil Teddy dan mengarahkan agar Budi Susanto yang mengerjakan proyek tersebut. "Sekitar akhir Desember 2010, terdakwa (Djoko) memanggil Teddy untuk datang ke ruangan terdakwa yang saat itu sudah ada Budi Susanto," kata jaksa KMS Roni membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (23/4/2013). Dalam pertemuan di ruangannya itu, kata jaksa, Djoko menyampaikan kepada Teddy agar proyek simulator SIM roda dua dan roda empat dikerjakan Budi. Kepada Teddy, menurut jaksa Roni, Djoko mengatakan, "Ted, nanti Ndoro Budi saja yang mengerjakan. "Atas permintaan atasannya ini, Teddy pun menyetujuinya. Pada Januari 2011, Teddy mengadakan rapat dengan anggota panitia pengadaan yang lain dan mengatakan bahwa proyek simulator SIM roda dua dan roda empat akan diberikan kepada Budi. "Perbuatan terdakwa yang memerintahkan ketua dan anggota panitia pengadaan agar proyek simulator roda dua dan roda empat diberikan kepada Budi Susanto bertentangan dengan Perpres RI tentang pengadaan barang dan jasa," tambah jaksa Roni. 2. Jaksa: Djoko Perintahkan "Mark Up" Harga Simulator SIM ) Surat dakwaan tim jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan, mantan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo melakukan beberapa perbuatan yang dapat dipandang melawan hukum untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain, korporasi, sehingga merugikan keuangan negara terkait proyek simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) di Korlantas Polri tahun anggaran 2011. Salah satu perbuatan yang dilakukan Djoko adalah memerintahkan penggelembungan harga atau mark up proyek simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) roda dua (R2) dan roda empat (R4). "Perbuatan terdakwa bersama-sama Budi Susanto (Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi) memerintahkan panitia pengadaan untuk menyusun harga perkiraan sendiri (HPS) driving simulator uji krilik pengemudi R2 dan R4 dengan melakukan penggelembungan atau mark up harga," kata jaksa KMS Roni, membacakan surat dakwaan. Perbuatan Djoko ini, menurut jaksa, bertentangan dengan Peraturan Presiden RI Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Menurut surat dakwaan, Djoko bersepakat dengan Budi Susanto menentukan HPS simulator SIM R2 dan R4. Harga simulator SIM R2 disepakati menjadi Rp 70 juta per unit, sedangkan harga simulator SIM R4 Rp 260 juta per unit. Kemudian untuk menghindari kecurigaan pihak luar, HPS dibuat lebih "keriting" dengan menurunkan nilainya sedikit. Harga simulator R2 menjadi Rp 79,93 juta, sedangkan harga R4 menjadi Rp 258,9 juta. Untuk menindaklanjuti kesepakatan mengenai harga tersebut, Budi memerintahkan Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia Sukotjo S Bambang untuk menyusun HPS bersama-sama dengan anggota panitia lelang, Ni Nyoman Suartini. HPS disusun dengan menggelembungkan harga. Penggelembungan harga, menurut jaksa, dilakukan dengan tiga cara. "Pertama, komponen yang dibuat dengan cara komponen utuh dibuat harga, kemudian rincian komponen dihitung kembali sehingga komponen tersebut diperhitungkan dua kali," kata jaksa Roni. Kedua, dengan memasukkan komponen part yang sebenarnya tidak digunakan dalam pembuatan simulator SIM sehingga membuat harga keseluruhan menjadi lebih mahal. Ketiga, dengan menaikkan harga satuan masing-masing komponen barang tertentu menjadi lebih tinggi dari harga sebenarnya dalam rangka menggelembungkan harga keseluruhan. Setelah digelembungkan, menurut dakwaan, HPS yang disusun Sukotjo ini diserahkan kepada Ketua Panitia Lelang proyek, AKBP Teddy Rusmawan. Wakil Kepala Korlantas Porli Brigadir Jenderal Polisi Didik Purnomo selaku pejabat pembuat komitmen proyek (PPK) kemudian menyetujui HPS tersebut. "Padahal, Didik selaku PPK tidak pernah melakukan penyusunan terhadap spesifikasi teknis dan harga tersebut," tambah jaksa Roni. Adapun Budi, Sukotjo, dan Didik sudah ditetapkan KPK sebagai tersangka, sementara Teddy berstatus sebagai saksi. Proyek pengadaan simulator SIM ini pun dianggap merugikan keuangan negara sekitar Rp 144 miliar atau setidak-tidaknya sekitar Rp 121 miliar menurut perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Namun, melalui proyek ini, Djoko disebut mendapatkan keuntungan. Menurut dakwaan, pengadaan proyek simulator SIM yang digelembungkan harganya ini menguntungkan Djoko sebesar Rp 32 miliar, Didik Rp 50 juta, Budi sekitar Rp 93,3 miliar, dan Sukotjo sekitar Rp 3,9 miliar. Uang hasil korupsi proyek ini juga disebut mengalir ke kas Prima Koperasi Kepolisian (Primkopol) Polri sekitar Rp 15 miliar. 3. Kode Polisi Minta Uang ) Maret 2011, Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia (ITI) Sukotjo S Bambang dipanggil menghadap staf Korlantas Polri bernama Ni Nyoman Suartini dan Heru. ”Bos, kasihan Pak Waka (Wakil Kepala Korps Lalu Lintas saat itu dijabat Brigjen (Pol) Didik Purnomo). Budi Susanto enggak pernah perhatikan Waka,” kata staf Korlantas itu. Sukotjo yang jadi subkontraktor pekerjaan pengadaan simulator berkendara untuk ujian mendapatkan surat izin mengemudi di Korlantas berlagak bodoh dengan bertanya apa maksud memperhatikan. ”Ya berikan danalah, kaliber 50 atau kaliber 100,” kata staf Korlantas. Tiga hari kemudian, Jumat, Sukotjo datang membawa oleh-oleh dari Bandung. ”Sudah ada barangnya,” kata Sukotjo. ”Kaliber berapa yang dibawa,” tanya staf Korlantas. ”Kaliber 50,” kata Sukotjo. ”Bagaimana kemasannya?” kata staf Korlantas. ”Biasa, oleh-oleh Bandung. Brownies,” kata Sukotjo. Brownies itu, menurut Sukotjo, dibawa staf bernama Indra ke ruangan Pak Waka. Majelis hakim yang diketuai Suhartoyo dalam sidang dengan terdakwa Irjen Djoko Susilo pada Jumat (24/5) tampak terpana mendengar kisah Sukotjo. ”Apa maksudnya kaliber 50 dan kaliber 100,” tanya Suhartoyo. Sukotjo menjelaskan, itu maksudnya Rp 50 juta atau Rp 100 juta, uang kemudian disamarkan dalam bungkusan kue brownies, oleh-oleh khas Bandung, tempat PT ITI berada. Sukotjo mengatakan, uang itu diberikan kepada Didik sebagai Wakil Korlantas untuk memuluskan komunikasi dirinya dengan Korlantas. Di ruangan Didik, Sukotjo lalu menyerahkan oleh-oleh sambil melaporkan masalah simulator berkendara 2009 dan teknis soal simulator berkendara 2011. Selain bersandi kaliber dan kue brownies, Sukotjo juga pernah dengan tangkas menangkap sandi permintaan uang dari staf bagian Perencanaan dan Administrasi Korlantas Polri, Ajun Komisaris Ni Nyoman Suartini. Dalam penyiapan dokumen, Sukotjo sering bekerja dengannya. ”Sudah capek Bos, malam Minggu nih, butuh tambah darah,” kata Sukotjo, menirukan perkataan Nyoman. ”Tambah darah” merupakan sandi untuk permintaan uang. Jika sudah begitu, Sukotjo akan memberikan uang rata-rata Rp 10 juta. ”Apa dibagi ke temannya?” kata hakim Martinus. ”Saya tak tahu,” jawab Sukotjo. Aliran dana Pada 13 Januari 2011, Sukotjo mengaku menyerahkan uang Rp 8 miliar ke Primkoppol yang katanya untuk proyek tanda nomor kendaraan bermotor (TNKB). Uang itu atas permintaan Budi Susanto, Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi, mitra bisnisnya. Lalu ia menyerahkan Rp 2 miliar secara tunai untuk Djoko Susilo dan Rp 2 miliar untuk Budi. Untuk Djoko, uang diterima Erna, sekretaris pribadinya. Untuk Budi diterima langsung yang bersangkutan. ”Pada 14 Januari 2011, saya juga diminta transfer ke Primkoppol Rp 7 miliar,” kata Sukotjo. Permintaan uang itu disampaikan Ketua Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Ajun Komisaris Besar Teddy Rusmawan kepada Budi saat studi banding di Singapore Driving Safety Center. Menurut dia, Teddy bilang Djoko yang meminta uang itu. ”Saya ada di situ. Saya dengar permintaan itu, lalu Budi Susanto minta saya transfer Rp 7 miliar saat itu juga,” kata Sukotjo. Akhirnya, Sukotjo menghubungi bendaharanya, Vivi, agar mentransfer Rp 7 miliar ke Primkoppol. Pada 17 Januari 2011, kembali Budi Susanto minta Sukotjo mentransfer pegawainya Rp 1 miliar. Dana terus mengalir ke mana-mana. Jauh sebelumnya, Oktober 2010, ketika proyek masih direncanakan, Sukotjo juga sudah memberikan uang Rp 50 juta kepada staf bernama Darsian, bagian keuangan Mabes Polri untuk mengetahui dana yang dialokasikan ke Korlantas untuk proyek simulator berkendara. Dalam menyiapkan lelang pun, ”tambah darah” terus disuntikkan untuk mencari perusahaan-perusahaan pendamping. Sukotjo memberi Rp 70 juta kepada Jumadi yang dimintai bantuan menyiapkan perusahaan-perusahaan pendamping. Semua ”tambah darah” lebih dari Rp 32 miliar itu berakhir tragis. Proyek tak bisa diselesaikan, perusahaan Sukotjo ”dirampas” dan para pelakunya kini diseret ke Pengadilan Tipikor. C. Apa saja modus pencucian uang dalam kasus Simulator SIM POLRI 1. KPK Telusuri Aset Djoko Susilo ) Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto mengatakan bahwa KPK sedang menelusuri aset tersangka dugaan korupsi pengadaan simulator SIM Korlantas Polri, Irjen Djoko Susilo. Penelusuran aset Djoko difokuskan pada hasil tindak pidana korupsi. "Biasanya dalam penelusuran aset itu kan ada dua. Aset milik tersangka dan aset-aset yang diduga berkaitan dengan tersangka, walaupun bukan atas nama tersangka," kata Bambang di Balai Kartini, Jakarta, Selasa (4/12/2012). Bambang mengatakan, biasanya penelusuran aset bersamaan dengan pembekuan rekening Djoko. Namun, dirinya belum dapat memastikan hal itu sebab dirinya belum mengecek kepastian hal tersebut. Pembekuan rekening ditujukan untuk melacak aset Djoko. "Kita melakukan freezing rekening untuk melacak dananya. Biasanya seperti itu," ujarnya. Bambang menambahkan, KPK belum menerapkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) dalam menjerat Djoko. KPK lebih memfokuskan diri dalam melakukan penelusuran aset. Namun, menurut Bambang, ada kemungkinan KPK menjerat Djoko dengan UU TPPU itu. "KPK belum sampai sejauh itu. Belum sampai sejauh merumuskan apakah nanti akan juga dikombinasi dengan TPPU," katanya. KPK menahan Djoko seusai memeriksa jenderal bintang dua itu selama lebih kurang delapan jam, Senin (3/12/2012). Djoko diperiksa terkait posisinya sebagai tersangka atas dugaan melakukan perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan kewenangannya untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain terkait pengadaan simulator SIM di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri 2011. Saat itu Djoko menjadi Kepala Korlantas Polri. Juru Bicara KPK Johan Budi SP mengatakan, Djoko akan ditahan di Rumah Tahanan Guntur selama 20 hari ke depan. Di Rutan Guntur, Djoko akan bergabung dengan dua tersangka KPK lain, yakni Heru Kisbandono dan Zulkarnaen Djabar. 2. Pencucian Uang Djoko Susilo Diduga Capai Rp 45 Miliar ) Nilai pencucian uang yang diduga dilakukan tersangka kasus korupsi pengadaan simulator SIM di Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo mencapai Rp 45 miliar. Modus pencucian uang dilakukan, antara lain, melalui pembelian aset berupa properti, baik tanah maupun lahan, dan diatasnamakan kerabat serta orang dekat Djoko. Informasi yang diperoleh Kompas dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan, nilai aset yang diperoleh sejak tahun 2012 mencapai Rp 15 miliar. Sementara nilai aset yang diduga diperoleh sejak Djoko saat menjabat Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya sebesar Rp 30 miliar. Nilai aset ini belum termasuk yang berupa sejumlah lahan di Leuwinanggung, Tapos, Bogor, dan Cijambe, Subang. Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja membenarkan, KPK telah melacak aset-aset yang diduga dimiliki atau dikuasai Djoko, kerabat, atau orang dekatnya. "Itu prosedur standar yang dilakukan KPK terhadap tersangka. Kami memang melacak sejumlah asetnya berupa rumah dan tanah," kata Adnan di Jakarta, Selasa (22/1/2013). Namun, salah seorang pengacara Djoko, Tommy Sihotang, membantah perihal kepemilikan aset kliennya yang mencapai miliaran rupiah tersebut. "Tidak benar," ujar Tommy saat ditanya tentang informasi aset miliaran rupiah yang dimiliki atau dikuasai kliennya. Tommy mengatakan, sampai saat ini, tim pengacara Djoko belum jelas perihal tindak pidana pencucian uang yang disangkakan terhadap kliennya. "Kami belum jelas, uang mana yang dicuci Pak DS (Djoko Susilo)," ujar Tommy. Adnan mengatakan, KPK telah bergerak ke sejumlah daerah untuk mengklarifikasi soal kepemilikan atau penguasaan aset-aset tersebut. Tim yang disebar KPK, antara lain, mengklarifikasi informasi kepemilikan atau penguasaan sejumlah properti di Solo, Semarang, Jakarta, Bogor, Subang, dan Depok. Adnan menambahkan, KPK juga bekerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional untuk memperoleh informasi terkait kepemilikan atau penguasaan aset-aset tersebut. 3. KPK Telusuri Dugaan Aliran Uang ke Primkoppol ) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menelusuri dugaan aliran dana korupsi pengadaan Simulator SIM Korlantas Polri yang masuk ke kas Primer Koperasi Polisi (Primkoppol). Hal tersebut diketahui dari kesaksian AKBP Teddy Rusmawan yang diperiksa KPK selama 9 jam pada Rabu (12/12/2012) ini. Teddy diperiksa sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM Korlantas Polri. "Saya klarifikasi pada KPK terkait Rp 15 miliar yang ada di Primkoppol,"kata Teddy di Gedung KPK. Teddy tidak merinci lebih jauh. Ia lebih memilih menghindari pertanyaan para wartawan dengan meninggalkan gedung KPK. Dalam proyek pengadaan simulator SIM di 2011 silam, Teddy bertindak sebagai ketua panitia pengadaan. Teddy dianggap tahu seputar seluk beluk pelaksanaan proyek yang diduga merugikan negara hingga Rp 100 miliar itu. Teddy sempat ditetapkan Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri sebagai tersangka kasus simulator SIM. Teddy kini berstatus sebagai saksi setelah Bareskrim menghentikan penyidikan kasus tersebut. KPK sendiri telah menetapkan empat tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah mantan Kepala Korlantas Irjen Djoko Susilo , mantan wakil Korlantas Didik Purnomo, dan dua rekanan proyek yakni Budi Susanto dan Sukotjo S Bambang. Keempat orang itu disangka melakukan tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan kewenangan mereka sehingga menimbulkan kerugian negara. Saat proyek simulator SIM berlangsung, Djoko menjabat kepala Korlantas dan Didik menjabat wakil kepala Korlantas yang juga bertindak sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK). Pada Kamis (1/11/2012) silam, KPK memeriksa bendahara Korlantas Kompol Legimo. Seusai diperiksa sekitar delapan jam, Legimo mengaku ditanya penyidik KPK seputar sistem pembayaran. Selain Legimo, sedianya kemarin KPK memeriksa Budi. Namun, Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (PT CMMA) itu mangkir dari panggilan KPK. 4. Beli Mobil Gunakan Nama Keluarga, Djoko Mengaku Hindari Pajak Progresif ) Terdakwa kasus dugaan korupsi dan pencucian uang proyek simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo mengaku sengaja menggunakan nama keluarganya dalam membeli kendaraan untuk menghindari pajak progresif. Salah satu kendaraaan yang diatasnamakan keluarganya adalah Jeep Wrangler pada 2007 dengan menggunakan nama Bambang Ryan Setyadi, adik ipar istri kedua Djoko, Mahdiana. "Kami hindari pajak progresif, agar tidak kena pajak progresif," kata Djoko saat diperiksa sebagai terdakwa dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (13/8/2013). Dalam persidangan, Djoko memaparkan asal usul harta kekayaannya terkait dengan dakwaan tindak pidana pencucian uang yang dituduhkan kepadanya. Menurut dakwaan, Djoko diduga menyembunyikan asal usul hartanya yang berasal dari tindak pidana korupsi. Anggota majelis hakim Tipikor Pangeran Napitupulu tampak tidak percaya dengan pernyataan Djoko. Pangeran mempertanyakan alasan Djoko tersebut kartena pajak progresif baru diberlakukan sekitar 2011 sementara Djoko membeli mobil tersebut pada 2007. "Nah ini kan 2007, 2008, 2009 (dibelinya)?" kata Pangeran. Menjawab pertanyaan ini, Djoko mengaku telah mengantisipasi berlakunya pajak progresif saat membeli kendaraan tersebut meskipun aturan itu memang belum resmi diberlakukan. Selaku pejabat di Korps Lalu Lintas Kepolisian RI, Djoko mengaku terlibat sebagai tim yang menyusun aturan pajak progresif sehingga dia mengetahui bahwa aturan itu sebenarnya direncanakan berlaku sekitar 2006-2007, tetapi tertunda. "Kami sudah antisipasi lebih awal sehingga kalau itu diberlakukan, kami tidak kena," tuturnya. Seolah masih sanksi, hakim Pangeran kembali mencecar Djoko. "Ngapain saudara mengantisipasi dari awal?" tanyanya. Djoko tetap pada jawabannya semula, yaitu dia sengaja menggunakan nama keluarganya untuk menghindari pajak progresif. "Pembelian 2007, rencana pajak progresif 2004. Jadi waktu saya 2007 beli mobil, saat diperlakukan 2011, kami tidak kena pajak progresif. Kami antisipasi lebih awal, cara pikir kami seperti itu majelis," ujar mantan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI ini. Djoko menambahkan, dia sengaja menggunakan nama keluarga yang tidak satu rumah dengannya karena keluarga yang satu rumah masih bisa kena aturan pajak progresif. Untuk diketahui, sistem pajak progresif dikenakan bagi warga yang memiliki kendaraan lebih dari satu. Pajak progresif ini diterapkan bagi kendaraan pribadi baik roda dua maupun roda empat dengan nama pemilik dan alamat tempat tinggal yang sama. Jika nama pemilik dan alamatnya berbeda, maka tidak dikenakan pajak progresif. Dalam persidangan sebelumnya, tiga saksi yang masih kerabat dari istri kedua terdakwa Djoko Susilo, Mahdiana, mengaku dipinjam namanya untuk pembelian kendaraan. Saksi Nopi Indah, adik kandung Mahdiana, membenarkan bahwa namanya digunakan untuk pembelian satu unit Kijang Innova. Mobil itu, menurut Nopi, dibeli oleh Mahdiana. Saksi Bambang Ryan Setiyadi yang adalah suami dari Nopi Indah juga membenarkan namanya digunakan satu untuk mobil merek Jeep Wrangler tahun 2007 dengan nomor Polisi B 1379 KJB. Saksi M Zaenal Abidin yang merupakan paman dari Mahdiana juga mengakui bahwa namanya digunakan untuk pembelian dua mobil Mahdiana. 5. Ini Harta Djoko Susilo Senilai Rp.200 Miliar ) Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto mengungkapkan bahwa harta kekayaan Inspektur Jenderal Djoko Susilo yang diminta jaksa penuntut umum KPK dirampas untuk negara mencapai Rp 200 miliar. Harta itu diduga hasil tindak pidana pencucian uang terkait kasus korupsi pengadaan alat drivingsimulator SIM yang menjerat mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri itu. "Itu bisa sampai di atas Rp 200 miliar. Itu tidak pernah ada dalam sejarah republik ini, orang dirampas hartanya sampai Rp 200 miliar," kata Bambang di Jakarta, Rabu (21/8/2013). Bambang pun membandingkan dengan terpidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang Bahasyim Assifie dengan harta yang dirampas untuk negara jauh lebih sedikit dibanding Djoko, yakni mencapai Rp 60 miliar. Seperti diketahui, jenderal bintang tiga itu dituntut pidana 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan. Djoko dianggap melakukan tindak pidana korupsi dengan memperkaya diri sendiri sebesar Rp 32 miliar. Uang itu diterima Djoko dari pemenang proyek simulator SIM, yakni Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (PT CMMA) Budi Susanto. Kerugian keuangan negara dalam proyek ini sebesar Rp 121,830 miliar. Djoko juga dianggap terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang pada kurun waktu 2003-2010 dan 2010-2012. Perbuatan itu dilakukan Djoko dengan menyamarkan hartanya yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Harta kekayaan Djoko dianggap tidak sesuai dengan profilnya sebagai Kepala Korps Lalu Lintas Polri dan pada jabatan sebelumnya.Djoko pun dituntut membayar uang pengganti Rp 32 miliar. Selain itu, jaksa juga meminta majelis hakim Pengadilan Tipikor agar mencabut hak Djoko untuk dipilih dan memilih. Adapun harta yang diminta dirampas untuk negara berupa tanah, bangunan, dan kendaraan yaitu sebagai berikut: 1. Sebidang tanah dan bangunan dengan luas tanah 377 meter persegi (m2) di Jalan Cendrawasih Mas Blok A9 Nomor W RT 002 RW 01, Tanjung Barat, Jagakarsa, atas nama Ibu Yani. 2. Sebidang tanah seluas 1.098 m2 dan bangunan di Jalan Paso RT 004 RW 04, Pasar Minggu, atas nama Haji Ali Sudin. 3. Sebidang tanah seluas 106 m2 dan bangunan di KP Ragunan RT 007 RW 05, Jatipadang, Pasar Minggu, atas nama Mahdiana. 4. Sebidang tanah seluas 100 m2 dan bangunan di KP Ragunan, RT 007 RW 05 Jatipadang, Pasar Minggu, atas nama Mahdiana. 5. Sebidang tanah seluas 67 m2 dan bangunan di Jalan Dharmawangsa IX RT 005 RW 01 Nomor 64, Pulo, Kebayoran Baru, atas nama Mahdiana. 6. Sebidang tanah seluas 164 m2 dan bangunan di KP Ragunan RT 009 RW 05 Jatipadang, Pasar Minggu, atas nama Mahdiana. 7. Sebidang tanah seluas 65 m2 dan bangunan di KP Ragunan RT 008 RW 05, Jatipadang, Pasar Minggu, atas nama Mahdiana. 8. Sebidang tanah seluas 3.201 m2 dan bangunan di Jalan Paso RT 005 RW 04 Jagakarsa, Jakarta Selatan, atas nama Henny Rayani Margana. 9. Sebidang tanah seluas 220 m2 dan bangunan di Gang Pondo RT 005 RW 04 Jagakarsa, Jakarta Selatan, atas nama Mahdiana. 10. Satu kunci mobil dengan lambang Mercy warna hitam dengan nomor seri 320 4314. 11. Akta jual beli nomor 491/2012 tanggal 20 November 2012 atas nama Mahdiana. 12. Uang tunai Rp 1.156.000.000 yang telah disetorkan pada rekening BRI Cabang Rasuna Said dengan pengirim PT TCP Internusa dengan berita untuk pengembalian uang atas nama Eva Handayani atas pesanan tanah pada Blok D6/10 Tanjung Mas Raya. 13. Sebidang tanah seluas 752 m2 dan bangunan di Golf Residence 1, Jalan Bukit Golf II No 12 Jangli, Tembalang, Semarang, atas nama Dipta Anindita. 14. Sebidang tanah seluas 360 m2 dan bangunan di Pesona Khayangan Blok E No 01, Depok, atas nama Dipta Anindita. 15. Sebidang tanah seluas 877 m2 dan bangunan di Jalan Sam Ratulangi Nomor 16 Surakarta, Manahan, Banjarsari, Surakarta, atas nama Dipta Anindita. 16. Sebidang tanah seluas 246 m2 dan bangunan di Jalan Cikajang Nomor 18 RT 06 RW 06, Blok Q2 Pernis, Nomor 160 Petogogan, Kebayoran Baru, atas nama Dipta Anindita. 17. Sebidang tanah seluas 703 m2 dan bangunan di Jalan Prapanca Raya No 6 Cipete Utara, Kebayoran Baru, atas nama Dipta Anindita. 18. Satu bidang tanah seluas 287 m2 dan bangunan di Kelurahan Panembahan, Kraton, Yogyakarta, milik Poppy Femialya. 19. Satu bidang tanah seluas 286 m2 dan bangunan di Kelurahan Panembahan, Kraton, Yogyakarta, milik dari Poppy Femialya. 20. Satu bidang tanah seluas 3.077 m2 dan bangunan di Kelurahan Sondakan, Laweyan, Surakarta, milik Poppy Femialya. 21. Satu unit rumah susun The Peak lantai 25 Unit A dengan luas 159 m2 di Jalan Setiabudi Raya No 9 milik Sudiyono. 22. Satu mobil Toyota Rush 1.5 AT warna silver metalik berikut kunci kontak dan STNK atas nama Seto Aji Ismoyo. 23. Uang senilai Rp 6 miliar. Uang sitaan yang berasal dari RTGS dari rekening Bank Mandiri atas nama Djoko Waskito. 24. Satu mobil Toyota Avanza warna silver metalik dengan nomor polisi B 197 SW serta kunci, STNK, dan BPKB atas nama Sonya Mariana Ruth Warouw dari Erick Maliangkay pada bulan April 2007. Menurut Erick, ini adalah honor dari Djoko Susilo. 25. Sebidang tanah seluas 179 m2 dan bangunan di Jalan Lampo Batang Tengah No 20 Mojosongo, Solo, Jawa Tengah, atas nama Lady Diah Hapsari. Saat ini diagunkan ke Bank Mandiri untuk pinjaman sebesar Rp 50 juta dengan masa agunan selama dua tahun mulai dari Januari 2013 sampai Januari 2015. 26. Sebidang tanah seluas 2.640 m2 dan bangunan di Jalan Kapuk Raya RT 003 RW 00 No 36 Kelurahan Kapuk Muara, Penjaringan, Jakarta Utara, atas nama Djoko Waskito yang digunakan sebagai SPBU nomor 34.14404. 27. Sebidang tanah dan bangunan di Jalan Arteri Kaliwungu, Kendal, yang digunakan sebagai SPBU nomor 44.51315. 28. Satu kunci mobil Jeep dengan kode CE 0888. 29. Satu mobil Nissan Serena HGW STAR AT warna hitam berikut konci kontak dan STNK atas nama Siti Maropah bernomor polisi B 1571 BG. 30. Satu mobil Wrangler 4.0L At jenis Jeep warna hitam berikut kunci kontak dan STNK atas nama Bambang Ryan Setiadi bernomor polisi B 1379 KJB dengan tahun pembuatan 2007. 31. Satu mobil Toyota Harrier 2.4 AT warna hitam berikut kunci kontak dan STNK atas nama Muhamad Zaenal Abidin. 32. Uang tunai 14,637 dollar AS, 3,062 dollar Singapura, 20 Thb, Rp 68.860.000, dan 1 riyal Saudi. 33. Satu mobil Toyota Avanza 1.3G GMMF JJ bernomor polisi B 1029 SOH atas nama Muhamad Zainal Abidin dan kunci mobil. 34. Satu bidang tanah dan bangunan di Desa Cirangkong, Kumpay, Jawa Barat, milik Eva Susilo Handayani. 35. Satu unit satuan kondotel Swiss-Belhotel, Segara Nusa Dua, Bali, lantai 3 Unit 33 seluas 36,8 m2 atas nama Sudiyono. 36. Uang tunai Rp 500 juta di Bank BRI dengan penyetor Soeharno. 37. Satu mobil merek Isuzu tipe Del Van tahun 1996 warna putih bernomor polisi B 9372 FG atas nama Karjono. 38. Uang tunai sebesar Rp 14.628.600 dengan pengiriman uang BCA tanggal 6 Maret 2013 atas nama penyetor Apriliani Susiwulansari. D. Siapa saja dan Badan Usaha yang terkait Kasus Simulator SIM POLRI 1. Djoko Suruh Teddy Antarkan 4 Kardus Uang untuk Anggota DPR ) Ketua panitia pengadaan proyek simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) Ajun Komisaris Besar Polisi Teddy Rusmawan mengaku pernah diperintah atasannya, Kepala Korlantas Polri Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo, untuk memberikan sejumlah dana kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut Teddy, perintah ini sesuai dengan arahan Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, yang ketika itu masih menjadi anggota DPR sekaligus anggota Badan Anggaran DPR. "Sesuai dengan perkataan Nazaruddin, kami diperintahkan untuk menyerahkan dana-dana kepada anggota dewan," kata Teddy saat bersaksi dalam persidangan kasus dugaan korupsi simulator SIM dengan terdakwa Djoko Susilo di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (28/5/2013). Teddy tidak begitu ingat kapan perintah untuk memberikan uang itu disampaikan Djoko. Seingat Teddy, dana untuk anggota DPR itu diberikan di tengah-tengah proses pengadaan proyek simulator roda dua dan roda empat dalam kurun waktu 2011-2012. Ketika itu, menurut Teddy, Nazaruddin menawarkan anggaran Rp 600 miliar untuk kepolisian. "Nazaruddin menyampaikan bahwa Rp 600 miliar itu masuk dalam bagian pendidikan sehingga bisa diturunkan ke polisi untuk pendidikan. Akhirnya kita mengusulkan di Lantas,” ungkap Teddy. Anak buah Djoko ini pun mengaku tidak tahu pasti berapa dana yang diantarkan untuk anggota DPR tersebut. Akan tetapi, seingatnya, ada empat kardus uang yang diantarkannya kepada anggota DPR, khususnya kelompok Banggar DPR. "Dikumpulkan (uangnya) di Nazaruddin," tambahnya. Namun, saat didesak anggota majelis hakim, Teddy mengungkapkan kalau nilai uang yang diserahkan kepada anggota DPR itu mencapai Rp 4 miliar. 2. Djoko Perintahkan Proyek Simulator Dikerjakan Budi Susanto ) Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Teddy Rusmawan selaku ketua panitia lelang proyek simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) mengaku diperintahkan atasannya, Kepala Korlantas Kepolisian RI Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo, untuk menyerahkan pengerjaan proyek simulator SIM roda dua dan roda empat tersebut kepada Direktur Utama PT Citra Mandiri Metalindo Abadi Budi Susanto. "Kami mendapatkan perintah Kakorlantas bahwa yang mengerjakan Budi. Siap, perintah Kakorlantas Djoko Susilo," kata Teddy, saat bersaksi dalam persidangan kasus dugaan korupsi dan pencucian uang proyek simulator SIM di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (28/5/2013). Menurut Teddy, perintah ini disampaikan Djoko pada Desember 2010 atau sebelum pelaksanaan lelang pengadaan simulator SIM roda dua dan roda empat. Teddy dipanggil ke ruangan Djoko untuk membicarakan masalah lelang proyek senilai total Rp 198,7 miliar tersebut. Ketika itu, menurut Teddy, Budi Susanto sudah ada di ruangan Djoko. "Malam itu Budi Susanto sudah ada di ruangannya, saya dipanggil, 'Ted nanti ndoro Budi yang ngerjakan simulator," tuturnya. Teddy juga mengungkapkan kalau Budi memang dipercaya untuk mengerjakan sejumlah proyek di Korlantas. Selain proyek simulator SIM, katanya, Budi mendapatkan pengerjaan proyek pengadaan pelat nomor kendaraan bermotor (PNKB). Dalam pelaksanaannya, menurut Teddy, pengadaan simulator SIM ini dikerjakan PT Inovasi Teknologi Indonesia yang dimiliki Sukotjo S Bambang. Teddy juga mengatakan bahwa Sukotjo sempat berkantor di Korlantas Polri guna mengurus dokumen-dokumen terkait pengadaan. Sebelumnya, surat dakwaan Djoko menyebutkan, selain mengarahkan PT CMMA sebagai pemenang tender proyek, jenderal bintang dua itu memberi rekomendasi kepada bank atas kredit modal kerja yang diajukan Budi Susanto sehingga PT CMMA mendapatkan pinjaman modal untuk pengerjaan simulator SIM dari Bank BNI sekitar Rp 100 miliar. 3. Sukotjo Mengaku Punya Informasi Penting soal Proyek Simulator ) Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesi Sukotjo S Bambang mengaku punya informasi penting terkait proyek simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) dan proyek plat nomor kendaraan yang diadakan Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri. Melalui pengacaranya, Erick S Paat, Sukotjo mengirimkan surat ke KPK yang isinya meminta untuk diperiksa terkait penyidikan kasus dugaan korupsi proyek simulator SIM. "Ada hal yang sangat penting sekali yang ingin dia (Sukotjo) sampaikan berhubungan dengan simulator roda dua, roda empat, atau plat nomor. Ini yang ingin saya sampaikan, berupa surat ke KPK, minta klien saya diperiksa kembali karena ini sangat penting," kata Erick, di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Senin (10/12/2012). Hal yang pasti, menurut Erick, informasi yang akan disampaikan Sukotjo nantinya dapat digunakan KPK untuk membongkar keadaan yang lebih mendalam yang berhubungan dengan proyek simulator roda dua, roda empat, dan plat nomor. Informasi tersebut, kata dia, didukung alat bukti yang sudah disiapkan. Menurut Erick, informasi yang akan disampaikan kliennya ke KPK itu berkaitan dengan orang. Saat ditanya apakah informasi ini juga berkaitan dengan aliran dana yang mengalir ke orang tertentu, Erick menjawab, "Nanti yang jelas, berkaitan dengan tiga kasus itu. Dugaannya ada Rp 700 miliar, itu kaitannya. Itu yang mau disampaikan klien kami," ucapnya. Terkait permintaan pihak Sukotjo ini, Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan bahwa yang bersangkutan pasti akan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka kasus simulator SIM, Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo. Mengenai kapan pemeriksaan dilakukan, belum dapat dipastikan. Seperti diketahui, Sukotjo juga menjadi tersangka kasus dugaan korupsi simulator SIM. PT ITI yang dipimpinannya merupakan perusahaan subkontraktor proyek tersebut. KPK menetapkan empat tersangka dalam kasus ini. Selain Djoko dan Sukotjo, KPK menetapkan dua tersangka lainnya, yakni Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi Budi Susanto dan Brigadir Jenderal Polisi Didik Purnomo. E. Apa saja akibat hukum jika seseorang atau penegak hukum melanggar hukum 1. KPK Periksa Budi Susanto sebagai Tersangka ) Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi Budi Susanto sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) Korps Lalu Lintas Kepolisian RI, Jumat (12/7/2013). Budi tiba di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta dengan didampingi pengacaranya, Rufinus Hutauruk. Saat diberondong pertanyaan wartawan, Budi enggan berkomentar. Demikian juga dengan Rufinus. “Nanti ya,” ujar Rufinus. Dalam kasus dugaan korupsi proyek simulator SIM, Budi diduga bersama-sama dengan Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo, Brigadir Jenderal Polisi Didik Purnomo, dan Direktur PT Inovasi Teknologi Indoensia Sukotjo S Bambang telah melakukan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian Negara dalam proyek simulator SIM. Perusahaan Budi memenangkan tender proyek simulator SIM roda dua dan roda empat senilai Rp 196,8 miliar. Dalam pelaksanaannya, PT CMMA diduga membeli barang dari PT Inovasi Teknologi Indonesia sekitar Rp 90 miliar. Harga barang yang dibeli ini jauh lebih rendah dari nilai kontrak yang dimenangkan PT CMMA sehingga perusahaan itu memperoleh keuntungan sekitar Rp 100 miliar. Selain itu, Budi diduga meminta Direktur PT ITI Sukotjo S Bambang untuk memberikan uang Rp 2 miliar ke Djoko Susilo. Dari empat tersangka tersangka kasus simulator SIM, baru Dkoko yang ditahan KPK. Kini, Djoko tengah mengikuti proses persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. 2. Divonis 10 Tahun, Djoko Susilo Segera Ajukan Banding ) Mantan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo divonis 10 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan, dalam kasus korupsi dan pencucian uang proyek simulator ujian surat izin mengemudi (SIM). Djoko menyatakan akan banding terhadap vonis yang dibacakan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (3/9/2013), di Pengadilan Tipikor, Jakarta Selatan, itu. "Setelah kami berunding dengan klien kami, terhitung sejak dibacakan putusan ini, kami mengajukan banding terhadap putusan ini," ungkap Juniver Girsang setelah berdiskusi dengan Djoko dan tim penasihat hukum lainnya.Sementara itu, tim jaksa menyatakan akan pikir-pikir terlebih dahulu terhadap putusan tersebut. Dituntut 18 tahun penjara Sebelumnya, tim jaksa penuntut umum KPK menuntut Djoko dihukum 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan. Djoko juga dituntut membayar uang pengganti kerugian negara sebesar keuntungan yang diperolehnya dari proyek simulator SIM, yakni Rp 32 miliar. Selain menuntut hukuman pidana, jaksa KPK meminta majelis hakim Tipikor agar dalam putusannya menambah hukuman berupa pencabutan hak politik Djoko untuk memilih atau dipilih. Dalam tuntutannya, jaksa KPK menilai Djoko terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang untuk periode 2003-2010 dan 2010-2012 saat menduduki sejumlah posisi penting di kepolisian. Djoko dinilai terbukti menyamarkan hartanya yang diduga berasal dari hasil tindak pidana korupsi dalam bentuk investasi bisnis, kendaraan, dan tempat tinggal dengan mengatasnamakan para istrinya dan keluarganya. Kepemilikan harta Djoko dianggap tidak sesuai dengan profilnya sebagai pejabat kepolisian. Untuk periode 2003-2010, Djoko memiliki total aset senilai Rp 54,6 miliar dan 60.000 dollar AS. Padahal, total penghasilan yang diperolehnya sebagai pejabat Polri ketika itu hanya Rp 407 juta dan penghasilan lainnya sekitar Rp 1,2 miliar. 3. Budi Susanto Didakwa Korupsi Rp 88,4 Miliar ) Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (PT CMMA) Budi Susanto didakwa melakukan tindak pidana korupsi Rp 88.446.926.695 dalam proyek pengadaan alat driving simulator surat izin mengemudi (SIM) roda empat (R4) dan roda dua (R2) di Korps Lalu Lintas Polri tahun 2011. Budi didakwa bersama-sama melakukan perbuatan melawan hukum sehingga memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi. "Memperkaya diri terdakwa selaku Direktur PT CMMA sebesar Rp 88.446.926.695 dan orang lain," ujar Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi, Riyono, saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (10/9/2013). Budi disebut memperkaya orang lain yaitu mantan Kakorlantas Polri Inspektur Jenderal (Irjen) Djoko Susilo sebesar Rp 36,9 miliar, Wakakorlantas Brigjen (Pol) Didik Purnomo sebesar Rp 50 juta, Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia (PT ITI) Sukotjo S Bambang sebesar Rp 3,9 miliar. Dalam dakwaan juga dikatakan Budi telah memperkaya pihak lain yaitu Primkoppol Polri senilai Rp 15 miliar. Selain itu, kepada Wahyu Indra Rp 500 juta, Gusti Ketut Gunawa Rp 50 juta, Darsian Rp 50 juta, dan Warsono Sugantoro alias Jumadi sebesar Rp 20 juta. Budi sebagai Direktur PT CMMA sejak awal telah mengetahui adanya rencana pengadaan proyek driving simulator SIM di Korlantas Polri. Setelah itu, dia langsung menghubungi Sukotjo selaku Direktur PT ITI untuk pengerjaannya. Terdakwa bersama pihak panitia pengadaan telah mengatur proses lelang hingga akhirnya dimenangkan oleh PT CMMA. Dalam kasus ini, dia didakwa Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHPidana. Perbuatannya disebut telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 144,984 miliar atau Rp 121,830. Miliar dalam perhitungan kerugian negara oleh ahli dari BPK RI. 4. Banding, Hukuman Irjen Djoko Susilo Diperberat Jadi 18 Tahun ) Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukuman mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo dari 10 tahun penjara menjadi 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Djoko juga diperintahkan membayar uang pengganti senilai Rp 32 miliar subsider lima tahun penjara. PT DKI juga mencabut hak Djoko untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik. Pengadilan juga memerintahkan semua barang bukti yang telah disita dirampas untuk negara. Putusan itu dijatuhkan majelis banding dalam sidang terbuka, Rabu (18/12/2013), yang dipimpin oleh Roki Panjaitan (hakim ketua) didampingi dengan empat hakim anggota, yaitu Humuntal Pane, M Djoko, Amiek, dan Sudiro. Majelis Hakim PT DKI berpendapat, Djoko terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek simulator ujian surat izin mengemudi roda dua dan roda empat, serta melakukan tindak pidana pencucian uang. Selain barang bukti yang bernilai lebih dari Rp 200 miliar yang sudah ditetapkan oleh Pengadilan Tipikor untuk dirampas untuk negara, PT DKI juga memerintahkan penyitaan rumah seluas 377 meter persegi di Tanjung Barat, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, dan dua mobil Toyota Avanza. Putusan PT DKI ini sama dengan tuntutan tim jaksa penuntut umum pada KPK yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Namun, pada 3 September lalu, Pengadilan Tipikor hanya mengabulkan sebagian tuntutan jaksa. Pengadilan Tipikor menjatuhkan pidana penjara selama 10 tahun dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan. Pengadilan Tipikor menjerat Djoko dengan Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 juncto Pasal 65 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (dakwaan pertama primer). Djoko terbukti melanggar Pasal 3 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 juncto Pasal 65 Ayat (1) ke-1 KUHP (dakwaan kedua) serta Pasal 3 Ayat (1) Huruf c UU yang sama (dakwaan ketiga). 5. "Hukuman Djoko Susilo Diperberat, Bagus supaya Ada Efek Jera” ) Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Nudirman Munir mengapresiasi putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memperberat hukuman mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Ia yakin, putusan PT DKI Jakarta memiliki dasar yang jelas dan wajib dihormati. "Kita dukung (hukumannya diperberat) supaya menimbulkan efek jera," kata Nudirman, di Kompleks Gedung Parlemen Jakarta, Kamis (19/12/2013). Politisi Partai Golkar itu menegaskan, semua putusan PT DKI Jakarta tak melanggar hak azasi manusia, termasuk ketika memutuskan dicabutnya hak politik Djoko Susilo. Ia justru mendorong agar ditegakkan juga ancaman pemiskinan untuk semua terdakwa korupsi. Majelis hakim ia yakini memiliki pertimbangan yang cermat dalam memberi putusan pada suatu perkara yang ditangani. "Kewenangan hukum itu harus dihargai. Semua sesuai Undang-Undang, dan keputusannya pasti telah dipertimbangkan secara matang," pungkasnya. Seperti diberitakan, PT DKI Jakarta mencabut hak Djoko untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik. Selain itu, hukumannya juga diperberat berikut denda Rp 1 miliar. Djoko juga diperintahkan membayar uang pengganti senilai Rp 32 miliar subsider lima tahun penjara dan pengadilan memerintahkan barang bukti senilai lebih dari Rp 200 miliar dirampas untuk negara, termasuk rumah seluas 377 meter persegi di Tanjung Barat, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, dan dua mobil Toyota Avanza. Putusan itu dijatuhkan majelis banding dalam sidang terbuka, Rabu (18/12/2013), yang dipimpin oleh Roki Panjaitan (hakim ketua) didampingi dengan empat hakim anggota, yaitu Humuntal Pane, M Djoko, Amiek, dan Sudiro. Majelis Hakim PT DKI berpendapat, Djoko terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek simulator ujian surat izin mengemudi roda dua dan roda empat, serta melakukan tindak pidana pencucian uang. Putusan PT DKI ini sama dengan tuntutan tim jaksa penuntut umum pada KPK yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. 6. Kapolri: Kalau Sudah "Inkracht", Baru Djoko Susilo Diberhentikan ) Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah menjatuhkan vonis kepada mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri, Irjen Djoko Susilo, atas kasus korupsi simulator ujian SIM. Kendati demikian, Polri hingga saat ini belum memberhentikan Djoko Susilo. Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutarman mengatakan, pihaknya masih menunggu hasil keputusan atas kasus yang menjerat mantan Gubernur Akademi Kepolisian tersebut. Pasalnya, Djoko Susilo masih memiliki kesempatan untuk mengajukan upaya hukum kasasi atas keputusan banding yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta (PT DKI). "Nanti kalau sudah inkracht (berkekuatan hukum tetap), kita berhentikan," kata Sutarman seusai menggelar Apel Gelar Pasukan Operasi Kepolisian Terpusat Lilin 2013, di pelataran utara lapangan Monas, Jumat (20/12/2013). Sebelumnya, Irjen Djoko Susilo divonis lebih berat oleh PT DKI dari 10 tahun penjara menjadi 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar serta diperintahkan membayar uang pengganti senilai Rp 32 miliar. Selain itu, PT DKI juga mencabut hak Djoko untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik. Pengadilan juga memerintahkan semua barang bukti yang telah disita senilai lebih dari Rp 200 miliar dirampas untuk negara. Majelis makim PT DKI berpendapat, Djoko terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek simulator ujian SIM ketika menjabat Kepala Korps Lalu Lintas Polri, serta melakukan tindak pidana pencucian uang. Putusan tersebut sama dengan putusan tim jaksa KPK. Pada vonis di Pengadilan Tipikor, Djoko tidak diwajibkan membayar uang pengganti karena menilai pidana tersebut tidak adil bagi Djoko, mengingat aset-asetnya sudah disita. Majelis tingkat pertama juga menolak mencabut hak politik mantan Gubernur Akademi Kepolisian itu. BAB III KESIMPULAN Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) ) menilai, keputusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menolak banding yang diajukan terdakwa kasus korupsi simulator SIM dinilai tepat. Terlebih lagi, hukuman yang dijatuhkan PT DKI Jakarta jauh lebih tinggi daripada hukuman yang dijatuhkan pada peradilan tingkat pertama. "Hal ini seharusnya menjadi pelajaran bagi pejabat Polri lainnya agar tidak melakukan kolusi dan korupsi," kata anggota Kompolnas Hamidah Abdurrahman melalui pesan singkat yang diterima Kompas.com, Kamis (19/12/2013). Seperti diketahui, PT DKI Jakarta menjatuhkan vonis 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar serta diperintahkan membayar uang pengganti senilai Rp 32 miliar. Vonis tersebut lebih tinggi dari vonis yang dijatuhkan Pengadilan Tipikor Jakarta yang hanya memvonis Djoko 10 tahun penjara. Hamidah mengatakan, mantan Gubernur Akpol tersebut layak mendapatkan vonis tersebut lantaran tak menunjukkan sikap layaknya seorang penegak hukum. Meski begitu, menurutnya, besarnya uang pengganti yang harus dibayar Djoko tak sebanding dengan total kerugian negara yang ditimbulkan akibat perbuatannya. Seperti diketahui, kerugian negara akibat kasus simulator SIM tersebut mencapai Rp 121 miliar. "Uang pengganti itu seharusnya sejumlah kerugian negara, dan uang pengganti ini harus dibayar secara tunai. Majelis Hakim PT DKI berpendapat, Djoko terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek simulator ujian SIM ketika menjabat Kepala Korps Lalu Lintas Polri serta melakukan tindak pidana pencucian uang. Putusan tersebut sama dengan gugatan tim jaksa KPK. Pada vonis di Pengadilan Tipikor, Djoko tidak diwajibkan membayar uang pengganti karena menilai pidana tersebut tidak adil bagi Djoko. BAB IV SARAN Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menangani sepenuhnya penyidikan kasus dugaan korupsi proyek simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) di Korps Lalu Lintas Polri. Ketua KPK Abraham Samad mengatakan, pihaknya akan melengkapi pemeriksaan yang sudah dilakukan Kepolisian atas perkara lima tersangka kasus tersebut. Kelima tersangka itu adalah Brigadir Jenderal (Pol) Didik Purnomo, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Teddy Rusmawan, Kompol Legimo, Budi Susanto dan Sukotjo S Bambang. Penanganan kasus simulator SIM ini memunculkan ketegangan hubungan antara Kepolisian dan KPK setelah kedua lembaga penegak hukum itu seolah berebut kewenangan. Setelah KPK menetapkan empat tersangka kasus ini, Kepolisian meningkatkan status penanganan kasus ke tahap penyidikan dengan menetapkan lima tersangka. Adapun tiga dari lima tersangka Polri itu juga menjadi tersangka di KPK. Sengketa kewenangan ini kemudian ditengahi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Senin (8/10/2012). Dalam pidatonya, Presiden menyampaikan, agar penanganan kasus ini diserahkan pada KPK. Namun, jika ditemukan kasus berbeda terkait penyimpangan pengadaan barang dan jasa akan ditangani oleh Polri. Agar kasus korupsi tidak terulang penulis berpendapat agar lembaga pembuat Undang-undang yang selama ini menjadi kewenangan dari Legislatif diserahkan ke lembaga independen seperti halnya pada KPK. Sehingga diharapkan pada saat membuat undang-undang lembaga ini bisa independen tanpa ada kepentingan politik. Menjadikan produk undang-undang yang dihasilkan lebih berbobot dan pro terhadap rakyat kecil. Lembaga semacam ini penting agar hukum bisa menjadi panglima bukan menjadi permainan para politikus kotor. Karena sebagus apapun sistem apabila para penyelenggaranya tidak amanah dan rakus akan kekuasaan, hukum hanya akan menjadi slogan belaka. Tentu ada 2 solusi agar korupsi dinegeri ini bisa diminimalisir yaitu sangsi pidana hukuman mati dan pemiskinan para koruptor sehingga menimbulkan efek jera pada para pelaku koruptor berikutnya. DAFTAR PUSTAKA  Kompas.com  Tribunnews.com  Detik.com  Beritasatu.com  Tempo.com  Replubika.com

No comments:

Post a Comment