SEJARAH, PENGERTIAN, SUMBER DAN ASAS
HUKUM ACARA PERDATA
1. Sejarah Singkat Terbentuknya HIR dan Hukum Acara Perdata
v Tanggal 5 Desember 1846 Gubernur Jendral Ijan Jacob Rochussen memberi tugas Ketua Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung Tentara untuk membuat sebuah Reglemen bagi golongan Indonesia.
v Tanggal 6 Agustus 1847 Jhr. Mr. H.L Wichers Ketua Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung Tentara telah selesai dengan rancangannya serta peraturan penjelasannya.
v Tanggal 5 April 1848, Stbl. 1848 No.16 Rancangan Wichers diterima dan di umumkan oleh Gubernur Jendral dengan diberi nama “Het Inlands Reglement” HIR dan mulai berlaku tanggal 1 Mei 1848.
Perancang HIR adalah Ketua Makamah Agung dan Mahkamah Agung Tentara pada tahun 1846 di Batavia. Beliau adalah Jhr. Mr. H.L. Wichers, seorang jurist bangsawan kenamaan pada waktu itu. Hanya dalam waktu 8 bulan, Jhr. Mr HL Wichers selesai dengan rancangannya (tanggal 6 agustus 1847) serta peraturan penjelasannya. Rancangan Wichers tersebut diterima oleh Gubernur Jendral dan di umumkan pada tanggal 5 April 1848 dengan Stbl. 1848 No.16. pada tanggal 29 september 1849 IR ini disyahkan dan dikuatkan dengan firman raja no.93 dan diumumkan dalam Stbl. 1849 No. 63 dan oleh karena pengesahan ini IR sifatnya menjadi Koninklijk Besuilt.
Perubahan tambahan terjadi beberapa kali, suatu perubahan yang mendalam terjadi pada tahun 1941. Adanya perubahan yang mendalam dalam bahasa Belanda disebut “herizen’, maka IR selanjutnya disebut Het Herziene Indonesisch Reglement atau disingkat HIR, dengan terjemahan yang dilakukan di Indonesia ialah disingkat dari Reglemen Indonesia diperbaharui atau Reglement Indonesia baru.
Dan sejarah singkatnya Hukum Acara Perdata berawal pada tahun 1950 pada pasal 102 Undang-Undang Dasar sementara Republik Indonesia menentukan antara lain, bahwa hukum acara perdata diatur dengan UU dalam kitab-kitab hukum, kecuali jika perundang-undangan menganggap perlu untuk mengatur beberapa hal dalam undang-undang tersendiri.
Berhubung dengan adanya peraturan-peraturan peralihan berturut-turut tersebut diatas, maka untuk mengetahui hukum acara perdata yang sekarang berlaku di Indonesia, orang harus mulai meninjau keadaan di zaman Belanda dan perubahan-perubahan yang diadakan pada zaman-zaman yang berikut sampai sekarang.
v Pada Masa Belanda
Pada masa Belanda ada "Raad Van Justitie" dan "Residentiegerecht" sebagai hakim sehari-hari untuk orang-orang Eropa yang disamakan dengan mereka, sedang bagi orang Indonesia asli dan disamakan dengan mereka "Lendraad" lah yang menjadi hakim sehari-hari didampingi oleh beberapa badan-badan untuk perkara-perkara kecil seperti pengadilan kabupaten, pengadilan distrik dan lain-lain.
v Pada Masa Jepang
Lenyapnya Raad Van Justitie dan Residentiegerecht sebagai hakim sehari-hari untuk orang–orang Eropa dan yang disamakan dengan mereka dan di adakan satu macam pengadilan sehari-hari untuk semua orang, yaitu pengadilan negeri {Tihoo Hooin} sebagai pelanjutan dari landraad dahulu. Pada pokoknya selama masa Jepang hukum acara perdata yang berlaku adalah yang termuat dalam "Herziene Inlandesch Reglement" dan itu merupakan salah satunya.
v Pada Masa Republik Indonesia
Pada pokoknya tiada perubahan perihal hukum acara perdata dan pada masa jepang maka tetaplah berlaku Herziene Inlandsch Reglement {HIR}.
2. Pengertian Hukum Acara Perdata
Hukum acara mengatur bagaimana cara dan siapa yang berwenang menegakkan hukum materiil dalam hal apabila terjadi pelanggaran terhadap hukum materiil. Hukum acara perdata secara umum yaitu peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata melalui hakim (di pengadilan) sejak diajukan gugatan, dilaksanakannya gugatan, sampai pelaksanaan putusan hakim.
Contohnya dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, semacam ada ketentuan yang menetapkan bahwa apabila dahan-dahan, ranting-ranting atau akar-akar dari pohon pekarangan seseorang tumbuh menjalar diatas atau masuk ke pekarangan tetangganya, maka yang terakhir ini dapat memotongnya menurut kehendak sendiri setelah tetangga pemilik pohon menolak atas permintaanya untuk memotongnya. (ps.666 ayat 3 B.W.)
Tuntutan hak yang seperti diatas diuraikan sebagai tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hukum yang di berikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting” , ada dua macam yaitu tuntutan hak yang mengandung sengketa yang disebut gugatan, dimana terdapat sekurang-kurangnya dua pihak dan tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa yang disebut permohonan, dimana hanya ada satu pihak saja.
Peradilan dibagi menjadi dua, yaitu peradilan volunter yang disebut juga peradilan sukarela atau peradilan yang tidak sesungguhnya dan peradilan contentieus atau peradilan sesungguhnya. Tuntutan hak yang merupakan permohonan yang tidak mengandung sengketa termasuk dalam peradilan volunter sedangkan gugatan termasuk peradilan contentieus.
Dalam sifat hukum acara perdata bahwa orang yang merasa haknya dilanggar disebut penggugat sedang bagi orang yang ditarik ke muka pengadilan karena ia dianggap melanggar hak seseorang atau beberapa orang itu disebut dengan tergugat.
Penggugat adalah seorang yang “merasa” bahwa haknya dilanggar dan menarik orang yang “dirasa” melanggar haknya itu sebagai tergugat dalam suatu perkara kedepan hakim.
Beberapa pendapat pakar mengenai pengertian hukum acara perdata sebagai berikut :
v Wirjono Prodjodikoro
Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum acara perdata ialah rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan hukum perdata.
v Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH
Hukum acara perdata menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. [1]). ialah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantara hakim. Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Hukum acara perdata yang mengatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutuskan dan pelaksanaan dari pada putusanya. Tuntutan hak dalam hal ini tidak lain adalah tindakan yang bertujuan memperolah perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting” atau tindakan menghakimi sendiri.
v Abdul kadir Muhamad
Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang berfungsi untuk mempertahankan berlakunya hukum perdata sebagaimana mestinya.
Hukum Acara Perdata dirumuskan sebagai peraturan Hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata melalui Pengadilan (hakim), sejak diajukan gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan hakim.
v Retnowulan
Hukum acara perdata juga disebut hukum perdata formil, yaitu semua kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil[2]).
v R. Soesilo
Hukum Acara Perdata /Hukum Perdata Formal yaitu kumpulan peraturan-peraturan Hukum yang menetapkan cara memelihara Hukum perdata material karena pelanggaran hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari Hukum perdata material itu, atau dengan perkataan lain kumpulan peraturan-peraturan Hukum yang menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi pada melangsungkan persengketaan dimuka hakim perdata, supaya memperoleh suatu keputusan daripadanya, dan selanjutnya yang menentukan cara pelaksaan putusan hakim itu.
Dari beberapa pengertian di atas bahwa Hukum Acara Perdata adalah peraturan Hukum yang memiliki karakteristik :
· Menentukan dan mengatur bagaimana cara menjamin ditaatinya Hukum Perdata Materiil.
· Menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk beracara di muka persidangan pengadilan, mulai dari pengajuan gugatan, pengambilan keputusan sampai pelaksanaan putusan pengadilan.
3. Sumber-sumber Hukum Acara Perdata
Secara sederhana, sumber hukum dapat diartikan tempat kita menemukan hukum. Namun, menurut sumber hukum dibagi menjadi dua, yaitu sumber hukum formil dan sumber hukum materil.
1) Sumber hukum dalam arti materiil (welbron), adalah sumber sebagai penyebab adanya hukum atau sumber yang menentukan isi hukum.
2) Sumber hukum dalam arti formil (kenbron), adalah sumber hukum yang dikenal dari bentuknya yang menyebabkan ia berlaku umum, mengikat, dan ditaati.
Sumber-sumber Hukum Acara Perdata diantaranya :
1) Reglement Op de Burgelijke Rechtsvordering (Rv).
2) Reglement op de Burgelijk Rechtsvordering Stb. 1847 No. 52 Jo. Stb. 1849 No. 63 Hukum Acara Perdata untuk golongan eropa. Rv adalah hukum perdata eropa yang dibawa oleh Belanda ke Indonesia. Tapi ternyata tidak cocok dengan Indonesia, oleh karena itu kemudian diadakan penyesuaian-penyesuaian dan dibentuklah HIR. Kemudian setelah beberapa lama, terjadi ketidak sesuaian dengan daerah luar Jawa dan Madura, maka dibentuklah RBg. HIR berlaku untuk orang-orang di Jawa dan Madura sedangkan untuk orang-orang di luar Jawa dan Madura berlaku RBg. Pasal 188- pasal 194 HIR mengenai banding diganti dengan UU No. 20 tahun 1947. Sedangkan dalam RBg tidak ada penghapusan/penggantian peraturan mengenai banding. Dengan kata lain, mengenai banding terdapat dualisme hukum yaitu untuk orang-orang diluar Jawa dan Madura menggunakan RBg dan untuk orang-orang di jawa dan Madura menggunakan UU No. 20 tahun 1947.
3) Hierzeine Indinesische Reglement (HIR). Stb. 1848 No. 16 Jonto Stb, 1941 No. 44 berlaku untuk daerah jawa dan Madura.
4) Reglement Voor de Buitendewesten (R.Bg). Stb. 1927 No. 227 Untuk luar jawa dan Madura.
5) BW (KUHPerdata).
BW Buku ke IV : Burgelijke Wetboek Voor Indonesisch
Berdasarkan pasal 5 ayat 1 UUDar. 1/1951, maka hukum acara perdata pada pengadilan negeri dilakukan dengan memperhatikan ketentuan UUDar. Yang dimaksud dengan UUDar. 1/1951 tersebut adalah Het Herziene Indoneisch Reglement (HIR) untuk daerah Jawa dan Madura, dan Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg.) untuk luar Jawa dan Madura ( S.E.M.A. 19/1964 dan 3/1965 menegaskan berlakunya HIR dan Rbg ).
RO atau Reglemen tentang Organisasi Kehakiman: S.1847 no. 23 dan BW buku IV sebagai sumber juga dari pada hukum juga dari pada hukum acara perdata dan selebihnya terdapat tersebar dalam BW.
6) UU No. 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang.
7) UU No. 27 tahun 1947 tentang peradilan ulangan (banding) di Jawa dan Madura.
8) UU No. 18 tahun 2003 tentang advokat.
9) UU No. 48 tahun 2009
10) UU No. 1 tahun 1951
11) PP 9/1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
12) UU No. 3 tahun 2009 Jo UU No. 14 tahun 1985 Jo UU No.5 tahun 2004.
13) UU No.11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik.
14) Yurisprudensi atau putusan putusan Hakim yang telah berkembang dan sudah pernah di putus di Pengadilan. Atau yurisprudensi juga dapat diartikan sebagai putusan hakim terdahulu yang sudah memiliki kekuatan mengikat dan diikuti oleh hakim-hakim sesudahnya apabila terdapat kasus yang sama. Menurut S.J.F. Andreae dalam rechtgeleerd handwoordenboek, yurisprudensi dapat berarti juga peradilan pada umumnya dan ajaran hukum yang diciptakan dan dipertahankan oleh peradilan.
15) Adat Kebiasaan, Wirjono Prodjodikoro menyebutkan juga adat kebiasaan yang dianut oleh para hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara perdata, sebagai sumber dari pada hukum acara perdata. Hukum acara perdata dimaksudkan untuk menjamin dilaksanakanya atau ditegakanya hukum perdata materiil, yang berarti mempertahankan tata hukum perdata, maka pada asasnya hukum acara perdata bersifat mengikat dan memaksa. Adat kebiasaan hakim yang tidak tertulis dalam melakukan pemeriksaan, tidak akan menjamin kepastian hukum.
16) Doktrin, adalah ajaran atau pendapat para sarjana hukum terkemuka. Doktrin menjadi sumber hukum dikarenakan adanya pendapat umum yang mennyatakan bahwa manusia tidak boleh menyimpang dari Communis Opinion Doctorum (pendapat umum para sarjana). Oleh karena itulah doktrin mempunyai kekuatan mengikat. Tetapi doktrin itu sendiri bukanlah hukum. Instruksi dan surat edaran merupakan sumber tempat hakim dapat menggali hukum acara perdata maupun hukum perdata materiil. Doktrin maka instruksi dan surat edaran bukanlah hukum, melainkan sumber hukum : bukan dalam dari tempat kita menemukan hukum, melainkan tempat kita menggali hukum
17) Instruksi dan Surat Edaran Mahkamah Agung.
18) Perjanjian, adalah hubungan hukum antara dua orang/lebih yang bersepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Unsur-unsur perjanjian diantaranya :
· Essentialia (syarat sahnya perjanjian)
· Naturalia (unsur yang lazimnya melekat pada perjanjian meskipun tidak secara tegas diatur.
· Accidentalia adalah unsur tambahan yang harus secara tegas diatur dalam perjanjian.
4. Azas-asas Hukum Acara Perdata
Paul Scholten mendefinisikan asas Hukum sebagai pikiran-pikiran dasar yang dapat didalam dan dibelakang sistem Hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim yang berkenaan dengannya, ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai jabarannya. Harjono memberikan pengertian atas Hukum yang mempunyai fungsi sebagai normal pemberi nilai. Jadi dengan singkat sistem Hukum dibagi (secara substantive/ atas dasar nilai-nilai yang dikandung dalam asas Hukum.
Asas-Asas Hukum Acara Perdata
v Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH menyebut ada 9 asas yaitu :
1) Hakim Bersifat Menunggu (Pasal 118 HIR dan Pasal 142 RBg.), Inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepeuhnya kepada yang bersangkutan. Jadi apakah akan ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak semua diserahkan kepada pihak yang berkepentingan, sedangkan Hakim bersifat menunggu datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya.
Demikianlah bunyi pemeo yang tidak asing lagi (wo kein klager ist, ist kein eichter, nemo judex sine actore). Jadi tuntutan hak yang mengajukan adalah pihak yang berkepentingan, sedang hakim menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya “index ne procedat ex officio” ( lihat pasal 118 HIR, 142 Rgb.). Hanya yang menyelenggarakan proses adalah negara. Akan tetapi sekali perkara diajukan kepadanya, Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (pasal 10 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009).
Larangan untuk menolak memeriksa perkara sebabkan anggapan bahwa hakim tahu akan hukumnya (ius curi novit), kalau sekiranya ia tidak dapat menemukan Hukum tertulis, maka ia wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai Hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 UU No. 4/2004).
2) Hakim Pasif (Pasal 178 (3) HIR dan Pasal 154 RBg.)
Ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada Hakim untuk diperiksa pada dasarnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan Hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya Peradilan (Pasal 28 UU No. 4/2004).
Hanya peristiwa yang disengketakan sajalah yang harus dibuktikan. Hakim terikat pada peristiwa yang menjadi sengketa yang diajukan oleh para pihak. Para pihaklah yang diwajibkan untuk membuktikan dan bukan hakim. Asas ini disebut verhandlungsmaxime.
Hakim harus aktif memimpin sidang, melancarkan jalannya persidangan, membantu kedua belah pihak dalam mencari kebenaran, tetapi dalam memeriksa perkara perdata hakim harus bersikap Tut wuri, hakim terikat pada peritiwa yang diajukan oleh para pihak. Para pihak dapar secara bebas mengakhiri sendiri sengketa yang telah diajukannya ke muka pengadilan, sedangkan hakim tidak dapat menghalaginya. Hal ini dapat berupa perdamaian atau pencabutan gugatan (Pasal 130 HIR, 154 RBg).
Hakim wajib mengadili semua gugatan dan larangan menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak di tuntut, atau mengabulkan lebih dari yang di tuntut (Pasal 178 ayat 2 dan 3 HIR, Pasal 189 ayat 2 dan 3 RBg.) apakah yang bersangkutan mengajukan banding atau tidak itupun bukan kepentingan Hakim (Pasal 6 UU No. 20/1047, Pasal 199 RBg).
3) Sifat Terbuka Persidangan (Pasal 19 (1) dan Pasal 20 UU No. 4 Tahun 2004.)
Bahwa setiap orang dibolehkan hadir, mendengar, dan menyaksikan pemeriksaan persidangan (kecuali di tuntut lain oleh UU). Tujuannya adalah untuk memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan serta untuk lebih menjamin obyektifitas peradilan dengan pertanggungjawaban pemeriksaan yang adil, tidak memihak serta putusan yang adil kepada masyarakat, (Pasal 19 ayat 1 UU No. 4/2004).
Namun ada juga persidangan yang sifatnya tertutup, misalnya perkara perceraian, akan tetapi sidang pembacaan putusan harus terbuka, jika tidak dinyatakan terbuka untuk umum keputusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum serta mengakibatkan batalnya putusan itu menurut Hukum.
4) Mendengar Kedua Belah Pihak (Pasal 5 (1) UU No. 4/2004 dan Pasal 132a, 121 (2) HIR dan Pasal 145 (2), 157 RBg serta Pasal 47 RV.)
Bahwa kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama. Bahwa Pengadilan mengadili menurut Hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (Pasal 5 UU No. 4/2004). Bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak didengar dan diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya, hal itu berarti juga bahwa pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak (Pasal 132a, 121 Yt 2 HIR, Pasal 145 ayat 2, 157 RBg dan Pasal 47 Rv).
5) Putusan Harus Disertai Alasan-alasan (Pasal 25 UU No. 1/2004 Pasal 184 (1), 319 HIR dan Pasal 195, 618 RBg.)
Semua putusan hakim harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal 25 ayat 1 UU No.4/2004, Pasal 184 ayat 1, 319 HIR, Pasal 195, 618RBg). Betapa pentingnya alasan-alasan sebagai dasar putusan dapat kita lihat dari beberapa putusan MA yang menetapkan, bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan merupakan alasan untuk kasasi dan harus dibatalkan.
6) Beracara dikenakan Biaya, Pasal 4 (2), 5 (2) UU No. 4/2004. Pasal 121 (4), 182, 183 HIR, Pasal 145 (4), 192 RBg, kecuali Pasal 237 HIR, Pasal 273 RBg. Untuk berperkara pada dasarnya dikenakan biaya (Pasal 4 ayat 2,5 ayat 2 UU No. 4/2004).
Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk penggalian pemberitahuan para pihak serta biaya materai. Disamping itu apabila diminta bantuan seorang pengacara maka harus pula dikeluarkan biaya.
Bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara Cuma-Cuma (Pro Deo) dengan mendapatkan ijin untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh Kepala Polisi (Pasal 237 HIR, 237 RBg). Akan tetapi dalam praktek surat keterangan tidak mampu dibuat oleh Camat daerah tempat tinggal yang berkepentingan.
7) Tidak ada keharusan mewakilkan (Pasal 123 HIR, 147 RBg.)
HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakili kapada orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya kalau dikehendakinya (Pasal 123 HIR, 147 RBg).
Dengan demikian hakim tetap wajib memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya, meskipun para pihak tidakmewakilkan kepada seorang kuasa. Wewenang untuk mengajukan gugatan dengan lisan tidak berlaku bagi kuasa. Dengan memeriksa para pihak yang berkepentingan secara langsung hakim dapat mengetahui lebih jelas persoalannya. Walaupun HIR menentukan, bahwa para pihak dapat dibantu atau diwakili, akan tetapi tidak ada ketentuan bahwa seorang pembantu atau diwakili harus seorang ahli atau sarjana hukum.
Menurut RO ada persyaratannya untuk bertindak sebagai prosedur. Antara lain ia harus sarjana hukum (pasal 186). Pada hakikatnya tujuan dari pada perwakilan wajib oleh sarjana hukum (verplichte procureurstelling) ini tidak lain untuk lebih menjamin pemeriksaan yang objektif, melancarkan jalannya peradilan dan memperoleh putusan yang adil.
Adapun mengenai terjadinya perwakilan, antara lain:
a. Ketentuan undang-undang, misalnya untuk anak dibawah umur oleh orangtua atau wali, sakit ingatan oleh pengampunya.
b. Perjanjian kuasa khusus, untuk perwakilan yang dilakukan oleh pengacara atau penasehat hukum.
c. Tanpa surat kuasa khusus, untuk acara gugatan perwakilan kelompok oleh satu atau beberapa orang dari kelompoknya (Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok).
Perlu diketahui bahwa wewenang untuk mengajukan gugatan secara lisan tidak berlaku bagi kuasa.
8) Peradilan Dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 2 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009), Maksudnya adalah hakim harus selalu insyaf karena sumpah jabatannya, ia tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum, diri sendiri dan kepada masyarakat, tetapi bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Setiap putusan pengadilan harus mencantumkan klausa “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” agar putusan tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk melaksanakan putusan secara paksa, apabila pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan dengan sukarela.
9) Peradilan Dilakukan dengan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan (Pasal 2 ayat (4) UU No.48 tahun 2009),
Sederhana maksudnya acaranya jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Makin sedikit dan sederhana formalitas dalam beracara maka semakin baik. Sebaliknya terlalu banyak formalitas atau peraturan akan sulit dipahami dan akan menimbulkan beraneka ragam penafsiran sehingga kurang menjamin adanya kepastian hukum. Cepat menunjuk jalannya peradilan yang cepat dan proses penyelesaiannya tidak berlarut-larut yang terkadang harus dilanjutkan oleh ahli warisnya. Biaya ringan maksudnya biaya yang serendah mungkin sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat. Biaya perkara yang tinggi membuat orang enggan beracara di pengadilan.
5. Azas-asas Hukum Acara dalam Islam
5.1. Asas Umum Lembaga Peradilan Agama
a) Asas Bebas Merdeka, Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukumRepublik Indonesia. Pada dasarnya azas kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah merujuk pada pasal 24 UUD 1945 dan jo. Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam penjelasan Pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004 ini menyebutkan “Kekuasaan kehakiman yang medeka ini mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial kecuali dalam hal yang diizinkan undang-undang.”
b) Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman, penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Semua peradilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan Negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Dan peradilan Negara menerapkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
c) Asas Ketuhanan, Peradilan agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hokum Agama Islam, sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan kalimat Basmalah yang diikuti dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.”
d) Asas Fleksibelitas, Pemeriksaan perkara di lingkungan peradilan agama harus dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Adapun asas ini diatur dalam pasal 57 (3) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama jo pasal 4 (2) dan pasal 5 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Untuk itu, pengadilan agama wajib membantu kedua pihak berperkara dan berusaha menjelaskan dan mengatasi segala hambatan yang dihadapi para pihak tersebut. Yang dimaksud sederhana adalah acara yang jelas, mudah difahami dan tidak berbelit-belit serta tidak terjebak pada formalitas-formalitas yang tidak penting dalam persidangan. Sebab apabila terjebak pada formalitas-formalitas yang berbelit-belit memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran. Cepat yang dimaksud adalah dalam melakukan pemeriksaan hakim harus cerdas dalam menginventaris persoalan yang diajukan dan mengidentifikasikan persolan tersebut untuk kemudian mengambil intisari pokok persoalan yang selanjutnya digali lebih dalam melalui alat-alat bukti yang ada. Apabila segala sesuatunya sudah diketahui majelis hakim, maka tidak ada cara lain kecuali majelis hakim harus secepatnya mangambil putusan untuk dibacakan dimuka persidangan yang terbuka untuk umum. Biaya ringan yang dimaksud adalah harus diperhitungkan secara logis, rinci dan transparan, serta menghilangkan biaya-biaya lain di luar kepentingan para pihak dalam berperkara. Sebab tingginya biaya perkara menyebabkan para pencari keadilan bersikap apriori terhadap keberadaan pengadilan.
e) Asas Non Ekstra Yudisial, Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD RI Tahun 1945. Sehingga setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud akan dipidana.
f) Asas Legalitas, Peradilan agama mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Asas ini diatur dalam pasal 3 (2), pasal 5 (2), pasl 6 (1) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
Pada asasnya Pengadilan Agama mengadili menurut hukum agama Islam dengan tidak membeda-bedakan orang, sehingga hak asasi yang berkenaan dengan persamaan hak dan derajat setiap orang di muka persidangan Pengadilan Agama tidak terabaikan. Asas legalitas dapat dimaknai sebagai hak perlindungan hukum dan sekaligus sebagai hak persamaan hokum. Untuk itu semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan harus berdasar atas hokum, mulai dari tindakan pemanggilan, penyitan, pemeriksaan di persidangan, putusan yang dijatuhkan dan eksekusi putusan, semuanya harus berdasar atas hukum. Tidak boleh menurut atau atas dasar selera hakim, tapi harus menurut kehendak dan kemauan hukum.
5.2. Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
a) Asas Personalitas Ke-islaman, Yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan peradilan agama, hanya mereka yang mengaku dirinya beragama Islam. Asas personalitas ke-islaman diatur dalam UU nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 Tentang peradilan agama Pasal 2 Penjelasan Umum alenia ketiga dan Pasal 49 terbatas pada perkara-perkara yang menjadi kewenangan peradilan agama. Ketentuan yang melekat pada UU No. 3 Tahun 2006 Tentang asas personalitas ke-islaman adalah : a) Para pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam. b) Perkara perdata yang disengketakan mengenai perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh, dan ekonomi syari’ah. c) Hubungan hukum yang melandasi berdsarkan hukum islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam. Khusus mengenai perkara perceraian, yang digunakan sebagai ukuran menentukan berwenang tidaknya Pengadila Agama adalah hukum yang berlaku pada waktu pernikahan dilangsungkan.
Sehingga apabila seseorang melangsungkan perkawinan secara Islam, apabila terjadi sengketa perkawinan, perkaranya tetap menjadi kewenangan absolute peradilan agama, walaupun salah satu pihak tidak beragam Islam lagi (murtad), baik dari pihak suami atau isteri, tidak dapat menggugurkan asas personalitas ke-Islaman yang melekat pada saat perkawinan tersebut dilangsungkan, artinya, setiap penyelesaian sengketa perceraian ditentukan berdasar hubungan hukum pada saat perkawinan berlangsung, bukan berdasar agama yang dianut pada saat terjadinya sengketa. Letak asas personalitas ke-Islaman berpatokan pada saat terjadinya hubungan hukum, artinya patokan menentukan ke-Islaman seseorang didasarkan pada factor formil tanpa mempersoalkan kualitas ke-Islaman yang bersangkutan. Jika seseorang mengaku beragama Islam, pada dirinya sudah melekat asas personalitas ke-Islaman. Faktanya dapat ditemukan dari KTP, sensus kependudukan dan surat keterangan lain. Sedangkan mengenai patokan asas personalitas ke-Islaman berdasar saat terjadinya hubungan hukum, ditentukan oleh dua syarat : Pertama, pada saat terjadinya hubungan hukum, kedua pihak sama-sama beragama Islam, dan Kedua, hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu cara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.
b) Asas Ishlah (Upaya perdamaian), Upaya perdamaian diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tentang perkawinan jo. Pasal 65 dan Pasal 82 (1 dan 2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 115 KHI, jo. Pasal 16 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Islam menyuruh untuk menyelesaikan setiapperselisihan dengan melalui pendekatan “Ishlah”. Karena itu, tepat bagi para hakim peradilan agama untuk menjalankn fungsi “mendamaikan”, sebab bagaimanapun adilnya suatu putusan, pasti lebih cantik dan lebih adil hasil putusan itu berupa perdamaian.
c) Asas Terbuka Untuk Umum diatur dalam pasal 59 (1) UU No.7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradila Agama jo. Pasal 19 (3 dan 4) UU No. 4 Tahun 2004. Sidang pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama adalah terbuka untuk umum, kecuali Undang-Undang menentukan lain atau jika hakim dengan alasan penting yang dicatat dalam berita acara siding memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagianakan dilakukan dengan siding tertutup. Adapun pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama yang harus dilakukan dengan siding tertutup adalah berkenaan dengan pemeriksaan permohonan cerai talak dan atau cerai gugat (pasal 68 (2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama).
d) Asas Equality, Setiap orang yang berperkara dimuka sidang pengadilan adalah sama hak dan kedudukannya, sehingga tidak ada perbedaan yang bersifat “diskriminatif” baik dalam diskriminasi normative maupun diskriminasi kategoris.
Adapun patokan yang fundamental dalam upaya menerapkan asas “equality” pada setiap penyelesaian perkara dipersidangan adalah :
· Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan atau “equality before the law”.
· Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau “equal protection on the law”
· Mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum atau “equal justice under the law”.
e) Asas “Aktif” memberi bantuan, Terlepas dari perkembangan praktik yang cenderung mengarah pada proses pemeriksaan dengan surat atau tertulis, hukum acara perdata yang diatur dalam HIR dan RBg sebagai hukum acara yang berlaku untuk lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama sebagaimana yang tertuang pada Pasal 54 UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.\
f) Asas Upaya Hukum Banding, Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada Pengadilan Tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali Undang-undang menentukan lain.
g) Asas Upaya Hukum Kasasi, Terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh para pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain. Asas Upaya Hukum Peninjauan Kembal Terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Dan terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
h) Asas Pertimbangan Hukum (Racio Decidendi), Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula paal tertentu dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
BAB II. KOMPETENSI/WEWENANG
1. Pengertian Kompetensi/Wewenang
Kompentensi adalah kewenangan mengadili dari badan peradilan. Kompetensi yuridiksi/kewenangan mengadili adalah untuk menentukan pengadilan mana yang berwenang memeriksa dan memutus suatu perkara sehingga pengajuan perkara tersebut dapat diterima dan tidak ditolak dengan alasan pengadilan tidak berwenang mengadilinya. Kewenangan mengadili merupakan syarat formil sahnya gugatan, sehingga pengajuan perkara kepada pengadilan yang tidak berwenang mengadilinya menyebabkan gugatan tersebut dapat dianggap salah alamat dan tidak dapat diterima karena tidak sesuai dengan kewenangan absolut dan relatif pengadilan.
2. Macam-macam Kompetensi/Wewenang
2.1. Kompetensi di Badan Peradilan Umum dan Khusus
A. Susunan Badan Peradilan Umum dan Khusus.
Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan :
a) Mahkaman Agung dan Badan Peradilan yang ada dibawahnya : Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer.
b) Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk : Menguji UU terhadap UUD, Memutuskan sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan UUD, Memutus pembubaran Partai Politik, Memutus sengketa hasil Pemilu. (Pasal 24 ayat 2 UUD 1945 ; Pasal 10 UU No. 4/2004; Pasal 12 UU No.4/2004; Pasal 2 UU NO.4/2004).
v Pasal 1 : Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka.
v Pasal 4 : Peradilan dilakukan “Demi keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
v Pasal 8 : “Asas Praduga tak bersalah”
v Pasal 10 : Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah MA dan badan Peradilan yang ada dibawahnya dan oleh sebuah MK.
v Pasal 12 : MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
o Menguji UU terhadap UUD 1945
o Memutus Sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara RI 1945.
o Memutus pembubaran Parpol dan
o Memutus Perselisihan tentang hasil Pemilu.
v Pasal 16 : Pengadilantidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa Hukum tidak atau kurang jela, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
v Pasal 11 : MA Berwenang menguji Peraturan Perundang-undangan di bawah ayat 2.b UU terhadap UU
v Pasal 19 : Sidang Pemeriksaan Pengadilanadalah terbuka untuk umum, kecuali UU menentukan lain.
v Pasal 28 : Hakim wajib Menggali,mengikuti dan memahami nilai-nilai Hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
v Pasal 20 : Semua peraturan Peradilan hanya sah dan mempunyai kekuatan Hukum apabila di ucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
v Pasal 37 : Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan Hukum.
B. Kekuasan Peradilan Umum dan Khusus.
1. Kekuasan Peradilan Umum (UU No.2/1986 & UU No. 8/2004
ü Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh PengadilanTinggi (Pasal 3 UU No. 2/1986).
ü PengadilanNegeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama (Pasal 50 UU No. 2/1986).
ü PengadilanTinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan perfata di tingkat banding (Pasal 51 (1) dan mengadili tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara PN dan daerah hukumannya (Pasal 51 (2) UU No.2/1986).
2. Kekuasaan Pengadilan Agama (UU No. 7/1989 Jo, UU No.3/2006)
Pasal 49 UU No.3/2006 :
ü PengadilanAgama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang :
a. Perkawinan :
Perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-undang Perkawinan yang berlaku dan dilakukan menurut syari’ah (Penjelasan UU No. 3 Tahun 2006 Pasal 49).
b. Kewarisan :
Waris adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan Pengadilanatas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
c. Wasiat :
Wasiat adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga badan Hukum, yang berlaku setelah yang member tersebut meningal dunia.
d. Hibah :
Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan Hukum kepada orang lain atas badan Hukum untuk dimiliki.
e. Wakaf :
Wakaf adalah perbuatan seorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.
f. Zakat :
Zakat adalahharta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan Hukum yang memiliki oleh orang islam sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada orang yang berhak menerimanya.
g. Infaq :
Infaq adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan risky (karuania) atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dank arena Allah S.W.T.
h. Shodaqoh dan
i. Ekonomi Syari’ah.
ü PengadilanTinggi Agama Kewenangannya diatur dalam Pasal 51 ayat 1 dan 2 UU No. 7/1989.
C. Kekuasaan Pengadilan TUN (UU No. 5/1986 & UU No. 9/2004)
ü Kewenangan PTUN diatur dalam Pasal 47 UU no. 5/1986 Sengketa TUN.
ü Kewenangan PTUN diatur dalam Pasal 51 UU no. 5/1986
D. Kekuasaan Peradilan Militer.
ü UU No. 31 Tahun 1997
E. Kekuasaan MA (UU No. 14/1985 Jo. UU No.5/2004)
- MA Bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan :
1. Permohonan Kasasi.
2. Sengketa tetang kewenangan mengadili.
3. Permohonan meninjauh kembali putusan Pengadilanyang yelah memperoleh kekuatan Hukum tetap (Pasal 28 UU No.14/1985)
- MA dalam tingkat kasasi membatalkan putusan datau penetapa Pengadilandari semua lingkungan peradilan karena :
1. Tidak berwenang dan melampaui batas wewenang.
2. Salah menerapkan atau melanggar Hukum yang berlaku.
3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan (Pasal 30 ayat 1 UU No. 5/2004).
- Kompetensi mutlak/absolut yaitu masing masing badan peradilan itu mempunyai wewenang untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara-perkara jenis tertentu yang mutlak tidak dapat dilakukan badan peradilan yang lain.
Contoh :
Sengketa dibidang tanah, maka yang berwenang (kompetensi asbulut) adalah pengadilan negeri, atau sengketa warisan bagi orang islam maka yang berwenang (kompetensi absolut) adalah pengadilan agama.
4. Pengertian Kompetensi Relatif
- Kompetensi relatif/nisbi yaitu peradilan mempunyai wewenang untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara-perkara berdasarkan daerah Hukumnya dimana wilayah tergugat bertempat tinggal.
Misalnya
Sengketa sebidang tanah tergugatnya berada di Kotabaru maka komptensi relatifnya adalah Pengadilan Negeri Kotabaru. Lain hal jika alamat tergugat berada di Kabupaten Banjarmasin, maka kompetensi relatifnya adalah Pengadilan Negeri Banjarmasin.
Secara khusus dan terperinci tentang wewenang nisbi Pengadilan Negeri diatur dalam Pasal 118 HIR/142 RBg yang mengatur sebagai berikut :
- Gugatan perdata pada tingkat pertama yang termasuk wewenang Pengadilan Negeri diajukan kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat atau jika tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat kediamannya yang sebenarnya.
- Apabila tergugat lebih dari satu orang diajukan di tempat tinggal salah satunya sesuai pilihan penggugat.
- Jika tidak dikenal tempat tinggal dan kediaman tergugat diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat atau salah seorang penggugat.
- Jika objeknya benda tetap (benda tidak bergerak) maka gugatsn diajukan kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi benda tetap itu berada, jika benda tetap itu berada dibeberapa daerah hukum Pengadilan Negeri maka gugatan diajukan kepada salah satu Pengadilan Negeri menurut pilihan Penggugat.
- Jika ditentukan dalam perjanjian (akta) ada tempat tinggal yang dipilih maka gugatan diajukan di tempat tinggal yang dipilih tersebut, penggugat kalau ia mau dapat mengajukan gugatannya kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal yang dipilih tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1. UU No. 48 Tahun 2009. Tentang Kekuasaan Kehakiman.
2. Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH. Hukum Acara Perdata Indonesia
3. Retno Wulan, SH dan Iskandar O, SH. Hukum Acara Perdata dalam teori dan praktek.
4. Sri Hartini. 2008. Diktat Hukum Acara Perdata Indonesia.
5. H. Riduan Syahrani, S.H., Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, Cet. V
[4]) H. Riduan Syahrani, S.H., Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, Cet. V
No comments:
Post a Comment