TEORI
DAN PRAKTIK HAK TANGGUNGAN
Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945
menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di dalam bumi digunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia.
Makalah Hak Tanggungan - Pelaksanaan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang dasar
1945 yang berkenaan dengan tanah diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria. Undang-undang ini mencabut Buku II KUH
Perdata sepanjang mengenai bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di dalamnya,
kecuali ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai hipotik.
Namun demikian ada beberapa aspek yang perlu
diperhatikan, yaitu:
1.
Dengan meningkatnya pembangunan nasional yang
bertitik berat pada bidang ekonomi, dibutuhkan penyediaan dana yang cukup
besar, sehingga memerlukan lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberi
kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat mendorong
peningkatan pertisipasi masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945;
2.
Sejak berlakunya Undang-undang No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria sampai dengan saat ini,
ketentuan-ketentuan yang lengkap mengenai Hak Tanggungan sebagai
lembaga hak jaminan yang dapat dibebankan atas tanah berikut atau tidak berikut
benda-benda yang berkaitan dengan tanah, belum terbentuk;
3.
Ketentuan mengenai hipotik sebagaimana diatur
dalam Buku II KUH Perdata Indonesia sepanjang mengenai tanah, dan ketentuan
mengenai credietverband dalam staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah
dengan staatsblad 1937-190, yang berdasarkan Pasal 57 Undang-undang No. 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, masih diberlakukan sementara
sampai dengan terbentuknya Undang-undang tentang Hak Tanggungan, dipandang
tidak sesuai lagi dengan kebutuhan-kebutuhan perkreditan, sehubungan dengan
perkembangan tata ekonomi Indonesia;
4.
Mengingat perkembangan yang telah dan akan
terjadi di bidang pengaturan dan administrasi hak-hak atas tanah serta untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat banyak selain hak milik, hak guna usaha, dan hak
guna bangunan yang telah ditunjuk sebagai objek Hak Tanggungan oleh
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, hak
pakai atas tanah tertentu yang wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat
dipindahtangankan, perlu juga dimungkinkan untuk dibebani Hak
Tanggungan. (Rachmadi Usman, 1999, Pasal-pasal Tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah, Djambatan, Jakarta, hal. 41-42)
Berhubungan
dengan hal tersebut dengan hal-hal tersebut diatas, pemerintah Republik
Indonesia memandang perlu membentuk Undang-undang yang mengatur Hak
Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah, sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, sekaligus mewujudkan unifikasi hukum tanah nasional. Pada
tanggal 9 April 1996, dengan persetujuan DPR, Presiden Republik Indonesia telah
mengesahkan Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah. Undang-undang ini diundangkan
dalam Lembaran Negara RI No. 3632. (Subekti, 1996, Jaminan-jaminan
untuk Pemberian Kredit, termasuk Hak Tanggungan, Menurut Hukum Indonesia, Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal. 39)
Undang-undang
No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang
Berkaitan Dengan Tanah, yang secara resmi menurut Pasal 30 Undang-undang
tersebut yang selanjutnya disebut Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT),
ditetapkan untuk memenuhi ketentuan Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Dasar
Pokok-pokok Agraria, atau yang dikenal sebagai Undang-undang Pokok Agraria
(UUPA) Pasal 51 tersebut menyatakan:
“Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada hak
milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 25, 33, dan 39
diatur dengan Undang-undang.”
Dengan
berlakunya UUHT, maka ketentuan mengenai hipotek yang diatur dalam Buku II KUH
Perdata sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah
beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, serta ketentuan tentang
credietverband yang diatur dalam staatsblad 1908-542 dan staatsblad 1937-190
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Menurut Pasal 1 angka 1 UUHT, Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, yang untuk selanjutnya
disebut Hak Tanggungan adalah:
“Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain
yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu,
yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap
kreditur-kreditur lain.”
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Hak Tanggungan merupakan lembaga jaminan yang kuat karena Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain. (Rachmadi Usman, Op.Cit, hal. 70)
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Hak Tanggungan merupakan lembaga jaminan yang kuat karena Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain. (Rachmadi Usman, Op.Cit, hal. 70)
Ciri-ciri dan Sifat Hak Tanggungan
Dalam Penjelasan Umum Undang-undang Hak
Tanggungan No. 4 Tahun 1996 dikemukakan bahwa sebagai lembaga hak jaminan atas
tanah yang kuat, Hak Tanggungan harus mengandung ciri-ciri:
1.
Droit de preferent, artinya memberikan kedudukan
yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya (Pasal 1 angka 1 dan Pasal
20 ayat 1).
Dalam hal ini pemegang Hak Tanggungan sebagai
kreditur memperoleh hak didahulukan dari kreditur lainnya untuk memperoleh
pembayaran piutangnya dari hasil penjualan (pencairan) objek jaminan kredit
yang diikat dengan Hak Tanggungan tersebut. Kedudukan kreditur yang mempunyai
hak didahulukan dari kreditur lain (kreditur preferen) akan sangat
menguntungkan kepada pihak yang bersangkutan dalam memperoleh pembayaran
kembali (pelunasan) pinjaman uang yang diberikannya kepada debitur yang ingkar
janji (wanprestasi).
2.
Droit de suite, artinya selalu mengikuti jaminan
hutang dalam tangan siapapun objek tersebut berada (Pasal 7).
Dalam Pasal 7 UUHT disebutkan bahwa Hak
tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek itu berada.
Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak
Tanggungan. Meskipun objek dari Hak Tanggungan sudah berpindah tangan dan
menjadi milik pihak lain, kreditur masih tetap dapat menggunakan haknya melalui
eksekusi, jika debitur cidera janji.
3.
Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga
dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak
yang berkepentingan.
Berdasarkan hal tersebut maka sahnya pembebanan
Hak Tanggungan disyaratkan wajib disebutkan dengan jelas piutang mana dan
berapa jumlahnya yang dijamin serta benda-benda mana yang dijadikan jaminan
(syarat spesialitas), dan wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan sehingga
terbuka untuk umum (syarat publisitas).
4.
Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya
Salah satu ciri Hak Tanggungan yang kuat adalah
mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya jika debitur cidera janji.
Meskipun secara umum ketentuan mengenai eksekusi telah diatur dalam hukum acara
perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus mengenai
eksekusi Hak Tanggungan dalam Undang-undang ini, yaitu yang mengatur mengenai
lembaga parate executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 HIR dan Pasal 258
Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura. (M. Bahsan ,
Op.Cit, hal.23-25)
Hak
Tanggungan memiliki sifat tidak dapat dibagi-bagi kecuali jika diperjanjikan
dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), seperti ditetapkan dalam Pasal 2
UUHT. Dengan sifatnya yang tidak dapat dibagi-bagi, maka Hak Tanggungan akan
membebani secara utuh objek Hak tanggungan.
Hal ini mengandung arti bahwa apabila hutang
(kredit) yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan baru dilunasi
sebagian, maka Hak Tanggungan tetap membebani seluruh objek Hak
Tanggungan. (Subekti, Op.Cit, hal. 41)
Klausula
“kecuali jika diperjanjikan dalam APHT” dalam Pasal 2 UUHT, dicantumkan dengan
maksud untuk menampung kebutuhan perkembangan dunia perbankan, khususnya
kegiatan perkreditan. Dengan menggunakan klausula tersebut, sifat tidak dapat
dibagi-bagi dari Hak Tanggungan dapat disimpangi, yaitu dengan memperjanjikan
bahwa apabila Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, maka
pelunasan kredit yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran. Besarnya
angsuran sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian
dari objek Hak Tanggungan, yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut.
Dengan demikian setelah suatu angsuran dibayarkan, Hak Tanggungan hanya akan
membebani sisa objek Hak tanggungan untuk menjamin sisa kredit yang belum
dilunasi (Penjelasan Pasal 2 ayat (1) jo ayat (2) UUHT).
Sifat
lain dari Hak Tanggungan adalah Hak tanggungan merupakan accecoir dari
perjanjian pokok, artinya bahwa perjanjian Hak Tanggungan bukan merupakan
perjanjian yang berdiri sendiri, tetapi keberadaannya adalah karena adanya
perjanjian lain yang disebut dengan perjanjian pokok. Perjanjian pokok bagi
perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian hutang piutang yang menimbulkan
hutang yang dijamin itu. (Sutan Remi Syahdeini, 1996, Hak Tanggungan:
Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah-masalah yang dihadapi Oleh
Pihak Perbankan, suatu Kajian Mengenai UUHT, Airlangga University Press,
Surabaya, hal. 20) Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam
butir 8 Penjelasan Umum UUHT yang memberikan penjelasan bahwa karena Hak
Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikatan atau accecoir pada suatu piutang
tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian hutang piutang atau perjanjian
lain, maka kelahiran dan keberadaanya ditentukan oleh adanya piutang yang
dijamin pelunasannya.
Objek Hak Tanggungan
Terhadap benda-benda (tanah) yang akan dijadikan
objek Hak Tanggungan, maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Dapat dinilai dengan uang, karena hutang yang
dijamin berupa uang;
2.
Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum,
karena harus memenuhi syarat publisitas;
3.
Mempunyai sifat dapat dipindah tangankan, karena
apabila debitur cidera janji, benda yang
dijadikan jaminan akan dapat dijual di muka umum;
4.
Perlu ditunjuk oleh Undang-undang sebagai hak
yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan. (Boedi Harsono, 1999, Hukum
Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan,
Jakarta, hal. 40).
Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 4 UUHT telah menentukan hak atas tanah yang dapat dijadikan objek Hak Tanggungan, yaitu meliputi:
1.
Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Guna Usaha
sebagaimana dimaksud dalam UUPA (Pasal 4 ayat (1) UUHT).
2.
Hak Pakai atas Tanah Negara yang menurut
ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindah
tangankan. Terhadap hak pakai atas tanah negara, yang walaupun wajib
didaftarkan, tetapi karena sifatnya tidak dapat dipindah tangankan, maka hak
pakai tersebut tidak termasuk dalam objek Hak Tanggungan.
3.
Hak atas tanah berikut bangunan (baik yang berada
di atas maupun di bawah tanah), tanaman dan hasil karya yang telah ada atau
akan ada, yamg merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang
merupakan milik pemegang hak atas tanah. Pembebanan Hak Tanggungan atas
bangunan, tanaman dan hasil karya tersebut, dan yang merupakan milik pemegang
hak atas tanah. Pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan, tanaman dan hasil
karya tersebut diatas harus dinyatakan dengan tegas di dalam APHT (Pasal 4 ayat
(4) UUHT). Apabila bangunan, tanaman, dan hasil karya sebagaimana disebut
diatas tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan Hak Tanggungan
atas benda-benda tersebut hanya dilakukan dengan penandatanganan serta
(bersama) pada APHT yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa
oleh pemilik benda-benda tersebut untuk menandatangani serta (bersama) APHT
dengan akta otentik. Yang dimaksud akta otentik di sini adalah Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) atas benda-benda di atas tanah tersebut yang
dibebani Hak Tanggungan (Pasal 4 ayat (5) UUHT). (Subekti, Op.Cit, hal.
45-46)
Objek Hak Tanggungan menjadi lebih luas jika dikaitkan dengan Pasal 12 UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, sebagaimana tertuang dalam Pasal 27 UUHT, yang menyatakan bahwa ketentuan Hak Tanggungan berlaku juga terhadap pembebanan hak jaminan atas rumah susun. Hak jaminan atas rumah susun tersebut meliputi:
1.
Rumah susun yang berdiri atas tanah Hak Milik,
Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai yang diberikan oleh negara; dan
2.
Hak milik atas satuan rumah susun yang
bangunannya berdiri di atas tanah hak-hak yang tersebut di atas.
Subjek Hak Tanggungan
Yang dimaksud subjek Hak Tanggungan dalam hal ini
adalah pemberi dan pemegang Hak Tanggungan :
1.
Pemberi Hak Tanggungan
Pemberi Hak Tanggungan adalah orang atau badan
hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek
Hak Tanggungan. Kewenangan tersebut harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada
saat pendaftaran Hak Tanggungan (Pasal 8 UUHT). Dari penjelasan umum UUHT
antara lain dijelaskan bahwa pada saat pembuatan SKMHT dan APHT, harus sudah
ada keyakinan pada Notaris atau PPAT yang bersangkutan bahwa pemberi Hak
Tanggungan mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak
Tanggungan yang dibebankan. Meskipun kepastian mengenai dimilikinya kewenangan
tersebut baru dipersyaratkan pada waktu pemberian Hak Tanggungan itu didaftar.
2.
Pemegang Hak Tanggungan
Pemegang Hak Tanggungan adalah orang atau badan
hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang (Pasal 9 UUHT). Karena
Hak Tanggungan sebagai lembaga hak atas tanah tidak mengandung kewenagan untuk
menguasai secara fisik dan menggunakan tanah yang dijadikan pemberi Hak
Tanggungan kecuali dalam keadaan yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) huruf
c, maka pemegang Hak tanggungan dapat dilakukan oleh Warga Negara Indonesia
atau Badan Hukum Indonesia atau Warga Negara Asing atau Badan Hukum
Asing.
Proses Pembebanan Hak Tanggungan
Secara umum prosedur pemberian kredit dengan
jaminan Hak Tanggungan yang diajukan calon debitur kepada kreditur, yang dalam
hal ini adalah pihak bank yaitu dengan melalui tahap sebagai berikut:
1.
Calon debitur mengajukan permohonan kredit dan
menyerahkan berkas-berkas yang diperlukan dan telah ditentukan pihak bank
dalam pengajuan kredit;
2.
Calon debitur mengisi formulir permohonan kredit
yang telah disediakan oleh pihak bank. Setelah formulir diisi dengan lengkap
dan benar, formulir tersebut kemudian diserahkan kembali kepada bank;
3.
Pihak bank kemudian melakukan analisis dan
evaluasi kredit atas dasar data yang tercantum dalam formulir permohonan kredit
tersebut. Tujuan analisis ini adalah untuk memastikan kebenaran data dan
informasi yang diberikan dalam permohonan kredit.
Selain itu, hasil analisis dan evaluasi kredit
ini digunakan sebagai dasar pertimbangan akan diterima atau ditolaknya
permohonan kredit tersebut.;
·
Apabila terhadap hasil analisis dan evaluasi
kredit calon debitur dinyatakan layak oleh pihak bank untuk memperoleh kredit,
maka kemudian dilakukan negosiasi antara kedua belah pihak, yaitu pihak bank
dan calon debitur. Negosiasi kredit ini antara lain mengenai maksimal kredit
yang akan diberikan, keperluan kredit, jangka waktu kredit, biaya administrasi,
denda, bunga dan sebagainya;
·
Apabila telah terjadi kesepakatan antara kedua
belah pihak maka dilakukan penandatanganan perjanjian kredit yang berupa surat
pengakuan hutang dengan pengikatan jaminan, dalam hal ini berupa jaminan Hak
Tanggungan, dihadapan PPAT dan pejabat bank;
·
Setelah dilakukan pengikatan jaminan Hak
Tanggungan dan PPAT telah memberikan keterangan bahwa calon debitur dinyatakan
telah memenuhi persyaratan, baru kemudian bank merealisasikan kredit kepada
calon debitur. (Thomas Suyatno, 1993, Dasar-dasar Hukum Perkreditan
Edisi Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 32)
Pengikatan jaminan Hak Tanggungan yang dilakukan dalam perjanjian kredit yang dimaksud di sini adalah melalui proses pembebanan Hak Tanggungan sebagaimana telah ditentukan dalam UUHT yaitu melalui dua tahap berupa:
1.
Tahap pemberian Hak Tanggungan yang dilakukan di
hadapan PPAT;
2.
Tahap pendaftaran Hak tanggungan yang dilakukan
di Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kota setempat, yang merupakan saat lahirnya
Hak Tanggungan.
Menurut Pasal 1 angka 4 UUHT disebutkan bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa pembebanan Hak Tanggungan. Dalam penjelasan umum angka 7 dijelaskan pula bahwa dalam kedudukan sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 angka 4, maka akta yang dibuat oleh PPAT merupakan akta otentik.
a. Tahap Pemberian Hak Tanggungan
Sesuai dengan sifat Accecoir dari Hak Tanggungan,
Maka pembebanan Hak Tanggungan didahului dengan perjanjian yang menimbulkan
hubungan hukum hutang piutang yang dijamin pelunasannya, yang merupakan
perjanjian pokoknya. Hal ini adalah sebagaimana tersebut dalam Pasal 10 ayat
(1) UUHT yang menyatakan bahwa pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji
untuk memberikan Hak Tanggungan sebagaimana jaminan pelunasan hutang tertentu,
yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian
hutang piutang yang bersangkutan.
Menurut
ketentuan Pasal 10 ayat (2) UUHT pemberian Hak Tanggungan yang wajib dihadiri oleh
pemberi Hak Tanggungan, pemegang Hak Tanggungan dan dua orang saksi, dilakukan
dengan pembuatan APHT yang dibuat oleh PPAT sesuai peraturan Perundang-undangan
yang berlaku. APHT yang dibuat oleh PPAT tersebut merupakan akta otentik
(Penjelasan Umum angka 7 UUHT).
Terhadap objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, artinya hak atas tanah tersebut belum bersertifikat, pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Hak lama yang dimaksud disini adalah hak yang kepemilikan atas tanah menurut hukum adat yang telah ada akan tetapi proses administrasi dalam konversinya belum selesai dilaksanakan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. (M. Bahsan, Op. Cit, hal. 31)
Terhadap objek Hak Tanggungan yang terdiri lebih dari satu bidang tanah dan diantaranya ada yang letaknya diluar daerah kerjanya, untuk pembuatan pemberian APHT yang bersangkutan PPAT memerlukan ijin dari Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Propinsi. Dengan ketentuan bahwa bidang-bidang tanah tersebut harus terletak dalam satu daerah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota (Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria No. 15 Tahun 1961 dan Pasal 3 Keputusan Direktur Jenderal Agraria No. SK. 67/DDA/1968). (Bambang Setijoprodjo dalam Lembaga Kajian Hukum dan Bisnis Fakultas Hukum USU Medan, 1996, Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan di Lingkungan Perbankan (Hasil Seminar), Citra Aditya Bakti,Bandung, hal. 58-59)
Selanjutnya Undang-undang menetapkan isi yang
sifatnya wajib untuk sahnya APHT. Dengan tidak mencantumkannya secara lengkap
hal-hal yang wajib disebut dalam APHT. Maka mengakibatkan akta yang
bersangkutan menjadi batal demi hukum. Dalam Pasal 11 ayat (1) UUHT disebutkan
hal-hal yang wajib dicantumkan dalam APHT, yaitu:
1.
Nama dan identitas pemberi dan pemegang Hak
Tanggungan;
2.
Domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada
angka 1, dan apabila di antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia,
baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia. Apabila
domisili pilihan itu tidak dicantumkan dalam APHT maka kantor PPAT tempat
pembuatan APHT dianggap sebagai domisili yang dipilih;
3.
Penunjukan secara jelas hutang atau hutang-hutang
yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dan meliputi juga nama dan
identitas debitur yang bersangkutan;
4.
Nilai tanggungan;
5.
Uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan,
yakni meliputi rincian mengenai sertfikat hak atas tanah yang bersangkutan,
atau bagi tanah yang belum terdaftar sekurang-kurangnya memuat uraian mengenai
pemilikan, letak, batas-batas, dan luas tanah.
Selain
hal tersebut di atas, dalam APHT dapat dicantumkan janji-janji yang sifatnya
fakultatif dan tidak mempunyai pengaruh terhadap sahnya APHT (Pasal 11 ayat (2)
UUHT). Dalam hal ini pihak-pihak bebas menentukan untuk menyebutkan atau tidak
menyebutkan janji-janji tersebut dalam APHT. Dalam dimuatnya janji-janji itu
dalam APHT yang kemudian di daftar pada Kantor Pertanahan, maka janji-janji
terdebut juga mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak
ketiga. (Rachmadi Usman, Op. Cit, hal. 110)
Adapun janji-janji yang disebutkan dalam APHT sebagaimana tersebut dalam Pasal 11 ayat (2), antara lain:
1.
Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak
Tanggungan untuk menyewakan objek Hak Tanggungan dan/ atau menentukan atau
mengubah jangka waktu sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis
terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
2.
Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak
Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak
Tanggungan;
3.
Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang
Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah
hukumnya meliputi objek Hak Tanggungan apabila debitur sungguh-sungguh cidera
janji;
4.
Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang
Hak Tanggungan untuk menyelamatkan objek Hak Tanggungan, jika hal itu
diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau
dibatalkannya hak yang menjadi objek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau
dilanggarnya ketentuan Undang-undang;
5.
Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan apabila
debitur cidera janji;
6.
Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan
pertama bahwa objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan;
7.
Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan tidak akan
melepaskan haknya atas objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis terlebih
dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
8.
Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan
memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak
Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila objek Hak Tanggungan dilepaskan
dari haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan
umum;
9.
Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan
memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak
Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika objek Hak Tanggungan diasuransikan;
10. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan mengosongkan objek
Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan;
11. Janji bahwa sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi
catatan pembebanan Hak Tanggungan tetap berada di tangan kreditur sampai
seluruh kewajiban debitur dipenuhi sebagaimana mestinya.
Ada janji yang dilarang untuk dilakukan, yaitu
janji yang disebutkan dalam Pasal 12 UUHT, yaitu dilarang diperjanjikan
pemberian kewenangan kepada debitur untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila
debitur cidera janji. Ketentuan tersebut diadakan dalam rangka melindungi
kepentingan debitur dan pemberi Hak Tanggungan lainnya, terutama jika nilai
objek Hak Tanggungan melebihi besarnya hutang yang dijamin. Oleh karena itu pemegang
Hak Tanggungan dilarang untuk serta merta menjadi pemilik objek Hak Tanggungan
jika debitur cidera janji.
b. Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan
Menurut Pasal 13 UUHT, pamberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah penandatanganan APHT. PPAT wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan dan berkas lainnya yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan.
Dengan pengiriman oleh PPAT berarti akta dan berkas lain yang diperlukan itu disampaikan ke Kantor Pertanahan melalui petugasnya atau dikirim melalui pos tercatat. PPAT wajib menggunakan cara yang paling baik dan aman dengan memperhatikan kondisi di daerah dan fasilitas yang ada, serta selalu berpedoman pada tujuannya untuk didaftarkannya Hak Tanggungan itu secepat mungkin. Berkas lain yang dimaksud di sini adalah meliputi surat-surat bukti yang berkaitan dengan objek Hak Tanggungan, dan identitas pihak-pihak yang bersangkutan, termasuk di dalamnya sertifikat hak atas tanah dan/ atau surat-surat keterangan mengenai objek Hak Tanggungan. PPAT wajib melaksanakan ketentuan tersebut karena jabatannya. Sanksi atas pelanggarannya akan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur jabatan PPAT. (Bambang Setijoprodjo dalam Lembaga Kajian Hukum Bisnis Fakultas Hukum USU Medan, Op.Cit, hal. 69 )
Pendaftaran
Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan atas dasar data di dalam APHT
serta berkas pendaftaran yang diterimanya dari PPAT, dengan dibuatkan buku
tanah Hak Tanggungan. Bentuk dan isi buku tanah Hak Tanggungan telah ditetapkan
berdasarkan Peraturan Menteri Agraria No. 3 Tahun 1997.(J. Satrio, 1998, Hukum
Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku 2, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 143) Dengan dibuatnya buku tanah tersebut, Hak Tanggungan
lahir dan kreditur menjadi kreditur pemegang Hak Tanggungan, dengan kedudukan
mendahului dari kreditur-kreditur lain.
Menurut Pasal 13 ayat (4) UUHT tanggal pembuatan buku tanah Hak Tanggungan adalah hari ke-7 setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran Hak Tanggungan. Jika hari ke-7 jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya. Kepastian tanggal buku tanah itu dimaksudkan agar pembuatan buku tanah Hak Tanggungan tidak berlarut-larut sehingga dapat merugikan pihak-pihak yang berkepentingan dan mengurangi jaminan kepastian hukum.
Dalam
hal hak atas tanah yang dijadikan jaminan belum bersertifikat terlebih dahulu
sebelum dilakukan pendaftaran Hak Tanggungan. Waktu hari ketujuh yang
ditetapkan sebagai tanggal buku tanah Hak Tanggungan tersebut dalam hal yang
demikian, dihitung sejak selesainya pendaftaran hak atas tanah yang
bersangkutan.
Untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sertifikat Hak Tanggungan diberi irah-irah dengan membubuhkan pada sampulnya kalimat “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” (Pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT).
Untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sertifikat Hak Tanggungan diberi irah-irah dengan membubuhkan pada sampulnya kalimat “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” (Pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT).
Dengan pencantuman irah-irah tersebut pada sertifikat Hak Tanggungan, maka untuk itu dapat
dipergunakan Lembaga Parate Eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 HIR
dan 258 Rbg. Setelah sertifikat Hak Tanggungan selesai dibuat, kemudian
sertifikat Hak Tanggungan tersebut diserahkan kepada pemegang Hak Tanggungan
yang bersangkutan.
Eksekusi Hak Tanggungan
Salah satu ciri dari Hak Tanggungan adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya apabila dikemudian hari debitur wanprestasi. Eksekusi Hak Tanggungan yaitu terjadi apabila debitur cidera janji sehingga objek Hak Tanggungan kemudian dijual melalui pelelangan umum menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pemegang Hak Tanggungan berhak mengambil seluruh atau sebagian dari hasilnya untuk pelunasan piutangnya dengan hak mendahului daripada kreditur-kreditur lain. (Habib Ajie, 2000, Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Atas Tanah, Mandar Maju, Bandung, hal. 22) Menurut Pasal 20 ayat (1) UUHT, eksekusi Hak Tanggungan dilakukan berdasarkan:
·
Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual
objek Hak Tanggungan atas dasar kewenangan dan janji yang disebut dalam Pasal 6
UUHT;
·
Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat
Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) UUHT.
Berdasarkan Pasal 6 UUHT disebutkan bahwa apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Penjualan objek Hak Tanggungan dapat juga dilakukan di bawah tangan asalkan atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan. Penjualan barang secara prosedural ini dimungkinkan dapat diperoleh harga yang tertinggi sehingga menguntungkan semua pihak. Hal ini dilakukan setelah lewat 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan atau media masa setempat, serta tidak ada pernyataan keberatan (Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUHT).
Eksekusi
Hak Tanggungan dengan titel eksekutorial dapat dilakukan karena berdasarkan
Pasal 14 ayat (2) UUHT, sertifikat Hak Tanggungan sebagai tanda atau alat bukti
adanya Hak Tanggungan yang memuat irah-irah yang berbunyi “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Dengan irah-irah tersebut, sertifikat Hak
Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa pelaksanaan eksekusi objek Hak Tanggungan dapat dilakukan melalui 3
(tiga) cara, yaitu:
a. Parate Eksekusi (Pasal 14
ayat (2) UUHT)
Dalam hal ini kreditur pemegang Hak Tanggungan
harus menunjukkan bukti bahwa debitur ingkar janji dalam memenuhi kewajibannya
dan dengan menyerahkan sertifikat Hak Tanggungan yang bersangkutan sebagai
dasarnya. Permohonan eksekusi ini diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Eksekusi kemudian dilakukan atas dasar perintah dan dengan Pimpinan Ketua
Pengadilan Negeri tersebut, melalui pelelangan umum yang dilakukan oleh Kantor
Lelang Negara.
b. Pelelangan Umum (Pasal 6
UUHT)
Pelaksanaan pelelangan umum berdasarkan pada Pasal 6 UUHT ini lebih mudah daripada “Parate Eksekusi”, karena dalam pelelangan ini tidak diperlukan perintah Ketua Pengadilan Negeri untuk melakukan penjualan terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Pelelangan ini langsung dapat dilakukan karena dimilikinya kekuatan eksekutorial yang termuat pada irah-irah sertfikat Hak Tanggungan tersebut, sehingga dalam hal ini kreditur pemegang Hak Tanggungan langsung dapat mengajukan permintaan penjualan objek Hak Tanggungan yang bersangkutan kepada Kantor Lelang Negara.
c. Penjualan di Bawah Tangan
(Pasal 6 UUHT)
Dalam keadaan tertentu apabila melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi, maka atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, dimungkinkan eksekusi dilakukan dengan cara penjualan di bawah tangan, jika dengan cara demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Penjualan di bawah tangan terhadap objek Hak Tanggungan ini wajib dilakukan menurut ketentuan PP No. 14 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, yaitu harus dilakukan dihadapan PPAT yang membuat aktanya dan diikuti dengan pendaftarannya di Kantor Pertanahan.
No comments:
Post a Comment