Monday, 28 September 2015
MAKALAH dengan tema “NASIONALISME”
Di buat untuk memenuhi tugas tertulis Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen : Bapak Drs. Ilhamsyah Lubis,SH
Di buat oleh :
Suparno (2012020368)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAMULANG
TANGERANG SELATAN 2013
Mengawali makalah ini sebuah pertanyaan yang sering diajukan orang patut kembali saya kemukakan di sini; benarkah ‘nasionalisme' sudah mati? Atau setidaknya, apakah betul ‘nasionalisme' tidak relevan lagi? Dan pertanyaan lebih lanjut, apakah hubungan antara nasionalisme dengan agama dalam hal ini Islam dan bahkan dengan etnisitas?
• Menjawab pertanyaan pertama, menurut saya "secara imperatif tidak". Orang yang menyatakan riwayat "nasionalisme" yang dipahami sebagai suatu ideologi telah tamat, sering mengutip karya klasik Daniel Bell, The End of Ideology (1960) atau lebih akhir lagi, karya Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man (1992).
• Kesimpulan Bell yang secara implisit menyatakan bahwa nasionalisme, sebagai ideologi telah berakhir adalah kekeliruan yang cukup fatal dan distortif. Pendapat Bell justru bertolak belakang. Ringkasnya, menurut Bell, ketika ideologi-ideologi intelektual lama abad ke-19 khususnya Marxisme telah exhausted (kehabisan tenaga, lumpuh) dalam masyarakat Barat, terutama Eropa Barat dan Amerika, ideologi-ideologi "baru" semacam industrialisasi, modernisasi, Pan-Arabisme, warna kulit (etnisitas), dan nasionalisme justru menemukan momentumnya, khususnya di negara negara yang baru bangkit di Asia Afrika seusai Perang Dunia II.
• Pada pihak lain, ideologi-ideologi baru yang sedang bangkit itu bersifat parokial dan instrumental. Ia dirumuskan, dikonseptualisasikan dan dibentuk para politisi. Impulsi-impulsi yang melatarbelakangi pertumbuhannya terutama adalah pembangunan ekonomi dan kekuatan nasional. Tentu saja, di sini muncul persoalan klasik: Apakah negara-negara baru dapat tumbuh dengan mengembangkan institusi-institusi demokratis dan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk membuat pilihan-pilihan sendiri atau apakah elit penguasa baru dengan kekuasaan yang mereka genggam sebaliknya menggunakan cara-cara otoriter memaksakan transformasi masyarakat mereka atas nama kepentingan nasional?
BAB I
LATAR BELAKANG
Dalam peradaban manusia, tidak terlepas dari perbuatan yang menciptakan hukum dan peraturan. Perbuatan tersebut sangat berguna dalam peraturan dan tingkah laku manusia sehari-hari. Hal inilah yang membuat seorang manusia akan berarti dalam kehidupannya.Perbuatan yang menciptakan hukum ini, memerlukan sebuah lembaga atau tempat untuk menciptakan hal itu.
Tempat dan lembaga tersebut dalam kehidupan kemasyarakatan disebut daerah. Secara mendasar daerah inilah yang memerlukan akan hukum dan perbuatan hukum. Apabila kedua hal tersebut ada didalam daerah itu, maka daerah tersebut akan teratur dan tentram.
Lalu disisi lain suatu daerah memerlukan sebuah pengikat masyarakat dalam pemersatu satu kesatuan. Hal inilah yang membuat sebuah daerah yang mempunyai hukum yang jelas memerlukan sebuah alat pemersatu yang membuat bagi daerah tersebut agar tidak terjadiperpecahan.
Daerah yang memerlukan hal seperti itu adalah negara, sedangkan terhadap alat yang diperlukan untuk memersatukan bangsa serta keutuhan negara adalah nasionalisme.
Secara umum nasionalisme dapat diartikan sebagai suatu alat pemersatu yang membuat bangsa serta suatu negara lebih kuat serta solid dalam menghadapi tekanan serta penjajahan yang terjadi dan rongrongan untuk memecah belah negara tersebut. Selain itu juga ada yang mengartikan nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankankedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.
Selain itu juga nasionalisme dapat dikatakan sebagai sebuah institusi kejiwaan dimana kesetiaan seseorang secara total diabadikan langsung kepada negara bangsa atas nama sebuah bangsa. Munculnya nasionalisme ini terbukti sangat efektif sebagai alat perjuangan bersama merebut sebuah kemerdekaan dari tangan penjajah.
BAB II
PERMASALAHAN
Dari kajian diatas, maka timbullah sebuah pertanyaan tentang bagaimana eksistensi suatu negara tanpa adanya nasionalisme dalam negara tersebut. Banyak sekali teori yang mengatakan bahwa nasionalisme sangat dibutuhkan dalam suatu negara selain itu juga tanpa nasinalisme maka negara dan bangsa tersebut akan hancur serta akan mudah dijajah oleh negara asing. Maka hal serupa pernah terjadi dalam negara Indonesia ini. Saat Indonesia mulai memasuki satu era “transisi” kekuasaan yaitu pada saat tahun 1966 dan tahun 1998.
Lalu ada yang mengartikan nasionalisme dari dua sudut pandang, yaitu:
1. Nasionalisme dalam arti sempit adalah suatu sikap yang meninggikan bangsanya sendiri, sekaligus tidak menghargai bangsa lain sebagaimana mestinya. Sikap seperti ini jelas mencerai-beraikan bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Keadaan seperti ini seringdisebutchauvinisme.
2. Sedang dalam arti luas, nasionalisme merupakan pandangan tentang rasa cinta yang wajar terhadap bangsa dan negara, dan sekaligus menghormati bangsa lain.
Apabila kita lihat maka ada hal yang bisa membuat suatu perpecahan dalam dan luar negeri yang diakibatkan oleh paham nasionalisme yang kurang tepat dalam pemahamannya.
BAB III
PEMBAHASAN
Nasionalisme, Modernisme, dan Globalisasi dan bagaimana perkembangan nasionalisme kontemporer di Indonesia? Agak sulit memberikan peta yang pasti dan akurat. Harus diakui, terdapat semacam kelangkaan studi tentang nasionalisme di Indonesia dalam dasawarsa terakhir. Masih langkanya studi tentang subyek ini mengisyaratkan bahwa umumnya para ahli tentang Asia Tenggara agaknya menganggap nasionalisme bukan lagi isu penting bagi kawasan ini. Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa gejolak dan gemuruh nasionalisme yang begitu menyala-nyala sejak awal abad 20 sampai akhir dekade 1960-an, kini semakin menyurut di Asia Tenggara. Memang, dalam beberapa dasawarsa terakhir, salah satu isu sentral di kawasan ini adalah modernisasi dan industrialisasi atau pembangunan, khususnya di Indonesia. Namun, sejauh mana dampak atau pengaruh modernisasi terhadap nasionalisme?
Modernisasi dan industrialisasi kelihatannya merupakan salah satu faktor penting yang bertanggung jawab bagi menyurutnya nasionalisme di Indonesia. Namun, bertolak belakang dengan argumen Fukuyama tadi, ideologi modernisasi dan developmentalism, secara de facto, menggantikan nasionalisme (politik) yang menjadi ideologi dominan di kawasan ini sebelum tahun 1970-an. Kebutuhan dan pertimbangan-pertimbangan pragmatis untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang direncanakan seolah memaksa Indonesia dan banyak negara berkembang lainnya mengorbankan sentimen nasionalisme mereka vis-à-vis kekuatan-kekuatan dominan internasional. Dengan meminjam teori "ketergantungan" (dependency theory), kita melihat Indonesia dan banyak negara yang termasuk ke dalam Dunia Ketiga-atau lebih baik, negara-negara tengah berkembang (developing countries)-terseret ke dalam orbit kapitalisme internasional.
Gejala ini kian menguat dengan meningkatnya globalisasi sejak 1980-an. Bermula dengan globalisasi pasar dan ekonomi yang berintikan liberalisasi pasar dan ekonomi, globalisasi juga dengan segera mengimbas ke dalam bidang politik, sosial, budaya dan seterusnya.
Dalam bidang politik, globalisasi berarti liberalisasi politik yang memunculkan gelombang-gelombang demokrasi, yang pada akhirnya membuat berakhirnya negara-negara dengan rejim-rejim otoriter. Dan Indonesia pun mengalami liberalisasi politik ini sejak 1998. Pada saat yang sama, secara kontradiktif globalisasi yang mendorong terjadinya liberalisasi politik, juga memunculkan nasionalisme etnis (ethnic nationalism) dan bahkan tribalism yang bernyala-nyala, sebagaimana bisa dilihat pada kasus negara-negara bekas Uni Soviet, dan Yugoslavia sampai sekarang ini. Indonesia-dalam krisis ekonomi dan politik 1998 dan seterusnya-bahkan juga sempat dicemaskan banyak pengamat asing sebagai segera mengalami proses Balkanisasi, persisnya disintegrasi. Tetapi, prediksi itu tidak terbukti; dan, sebaliknya, negara-bangsa Indonesia tetap bertahan hingga kini.
Dengan bertahannya negara-bangsa Indonesia, nasionalisme juga jelas tidak sepenuhnya berakhir di Indonesia. Bahkan, dengan modernisasi dan developmentalism-seperti dikemukakan di atas-kita melihat terjadinya transisi atau pergeseran bentuk-bentuk nasionalisme. Nasionalisme politik-kecuali dalam bentuk kedaulatan dan keutuhan wilayah-memang terlihat semakin menyurut, apalagi dengan berakhirnya perang dingin. Dalam konteks itu, kita melihat lenyap atau semakin berkurangnya konflik-konflik yang berakar dari nasionalisme politik di Indonesia.
Sekali lagi, di tengah arus globalisasi, nasionalisme ekonomi dan kultural kelihatan menemukan momentum baru. Modernisasi dan industrialisasi yang berlangsung dalam ukuran relatif cepat dan berdampak luas mengakibatkan Indonesia dan negara-negara berkembang umumnya harus menemukan dan mempertahankan pasar untuk produk-produk industri ekonomi, khususnya di negara-negara maju. Di sini nasionalisme ekonomi Indonesia dan negara-negara berkembang harus berhadapan dengan proteksionisme negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat dan Eropa Barat.
Runtuhnya Nasionalisme ?
Konsep adil (tidak sewenang-wenang) baru jelas bentuknya apabila sudah diwujudkan dalam perbuatan nyata dan nilai yang dihasilkannya atau akibat yang ditimbulkannya. Situasinya dan kondisi nyata juga ikut menentukan perbuatan manusia.
BAB IV
KESIMPULAN
Sebagai kesimpulan secara umum bahwa Nasionalisme bangsa Indonesia belum memudar, sekalipun saat ini didera oleh pengaruh globalisasi dan liberalisasi serta proses demokratisasi. Tantangan baru ini harus dihadapi dengan serius dan optimisme, bilamana tidak di pupuk kembali dan tidak mendapat dorongan semangat baru oleh para pemimpin bangsa ini, maka tidak mustahil faham tentang kebangsaan ini akan tersapu oleh peradaban baru yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai luhur sosio-kultural bangsa kita.
Hanya tekad dan semangat yang disertai usaha yang serius melalui wahana pendidikan akan dapat diharapkan mampu melestarikan semangat nasionalisme. Tidak salah kiranya bahwa perhatian para pemimpin, tokoh masyarakat, serta seluruh komponen kekuatan bangsa untuk bersama-sama membenahi sistem pendidikan nasional, agar mampu menghasilkan lulusan/hasil didik sebagai generasi penerus bangsa yang dapat membawa kemajuan dan kejayaan di era Indonesia baru.
Pada sisi lain sosialisasi nilai-nilai Intrinsik nasionalisme melalui berbagai lembaga dan masyarakat harus terus diupayakan. Karena generasi bangsa ini terus diperbarui oleh generasi baru yang menuntut pemahaman yang hakiki.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment