Monday, 28 September 2015
TEORI – TEORI DAN KEBIJAKAN PIDANA
Di buat untuk memenuhi tugas tertulis Mata Hukum Pidana
Dosen : Ibu Eka Martiana Wulansari SH.,MH
Di buat oleh :
Suparno (2012020368)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAMULANG
TANGERANG SELATAN 2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan TUGAS yang berjudul “TEORI-TEORI DAN KEBIJAKAN PIDANA” ini dengan lancar. Penulisan tugas ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Sosiologi Hukum Ibu Eka Martiana Wulansari SH., MH
TUGAS ini disadur dari buku karangan Prof. Dr. Muladi, S.H. dan Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H. yang berjudul teori-teori dan kebijakan pidana cetakan 4 tahun 2010 dengan Penerbit P.T. ALUMNI Jl. Bukit Pakar Timur II/09 Telp. 022.2501251, 022.2503038, 022.2503039 dan Fax. 022.2503044 – Bandung 40197
Tangerang Selatan, 18 Juni 2013
Penulis
BAB I
PIDANA DAN PEMIDANAAN
A. Pengertian Pidana
Istilah “hukuman” yang merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Oleh karena itu “pidana” merupakan istilah khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang menunjukan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas. Untuk memberikan gambaran yang lebih luas, berikut ini dikemukakan beberapa pendapat atau defenisi dari para sarjana sebagai berikut :
1) Prof. Sudarto, SH
Pidana adalah penderitaaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
2) Prof. Roeslan Saleh
Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berujud suatu nestapa yaang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu.
3) Fitgerald
Punishment is the authoritative infliction of suffering for an offence.
4) Ted Honderich
Punishment is an authority’s infliction of penalty (something involving deprivation or distress) on an offender for an offence.
5) Sir Rupert Cross
Punishment means “The infliction of pain by the State on someone who has been convicted of an offence”.
6) Burton M. Leiser
A punishment is a harm inflicted by a person in a position of authority upon another who is judged to have violated a rule or a law.
7) H.L.A. Hart
Punishment must :
a) Involve pain or other consequences normally considered unpleasant
b) Be for an actual or supposed offender for his offence
c) Be for an offence againt legal rules
d) Be intentionally administered by human beings other than the offender
e) Be imposed and administered by an authority constituted by a legal system againts waith the offence is committed.
8) Alf Ross
Punishment is that social response which :
a) Occurs where there is violation of a legal rule
b) Is imposed and carried out by authorised. Persons on behalf of the legal order to which the violated rule belongs
c) Involves suffering or at least other consequences normally considered unpleasant.
d) Expresses disapproval of the violator.
9) Di dalam “Black’s Law Dictionary” dinyatkan bahwa “punishment” adalah :
“Any pain, penalty or confinement inflicted upon a person by authority of the law and the judgement and sentence of a court, for some crime or offence committed by him, or for his omission of a duty enjoined by law”.
Dari beberapa definisi diatas dapatlah disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut :
1) Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
2) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).
3) Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.
B. Teori-teori pemidanaan (Dasar-dasar Pembenaran dan Tujuan Pidana)
Secara tradisional teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam 2 kelompok teori, yakni :
1) Teori Absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings theorieen)
2) Teori Relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen
Ad. 1. Teori Absolut
Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quiapeccatum est).
Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar dari pembenaran pidana adalah terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.
Ad. 2. Teori Relatif
Menurut teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.
Sehubungan dengan masalah tujuan pidana, berikut ini dikemukakan pendapat para sarjana sebagai berikut :
1. Richard D. Schwartz dan Jerome H. Skolnick
Sanksi pidana dimaksudkan untuk :
a. Mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana (to prevent recidivism)
b. Mencegah orang lain melakukan perbuatan yang sama seperti yang dilakukan oleh si terpidana (to deterother from the performance of similiar acts)
c. Menyediakan saluran untuk mewujudkan motif-motif balas dendam (to provide a channel for the expression of retalatory motives)
2. John Kaplan
Di samping mengemukakan adanya empat teori mengenai dasar-dasar pembenaran pidana (yaitu teori Retribution, Deterenence, Incapacitation dan Rehabilitation), John Kaplan mengemukakan pula adanya dasar-dasar pembenaran pidana yang lain yaitu sebagai berikut:
a. Untuk menghindari balas dendam (avoidance of blood feuds)
b. Adanya pengaruh yang bersifat mendidik (the educational effect)
c. Mempunyai fungsi memelihara perdamaian (the peace-keeping function)
3. Emile Durkheim
Fungsi dari pidana adalah untuk menciptakan kemungkinan bagi pelepasan emosi-emosi yang ditimbulkan atau diguncangkan oleh adanya kejahatan (the function of punishment is to create a possibility for the release of emotions that are aroused by he crime).
4. Fouconnet
Penghukuman; dalam arti pemidanaan, dan pelaksanaan pidana pada hakikatnya merupakan penegasan kembali nilai-nilai kemasyarakatan yang telah di langgar dan di rubah oleh adanya kejahatan itu (....the conviction and the execution of the sentences is essentially a ceremonial reaffirmation of the societal values that are violated and challenged by the crime).
5. Roger Hood
Sasaran pidana di samping untuk mencegah si terpidana atau membuat potensial melakukan tindak pidana untuk :
a. Memperkuat kembali nilai-nilai sosial (reinforcing social values)
b. Menentramkan rasa takut masyarakat terhadap kejahatan (allaying public fear of crime)
6. P. Peter Hoefnagels
Tujuan pidana adalah untuk :
a. Penyelesaian konflik (conflict resolution)
b. Mempengaruhi para pelanggar dan orang-orang lain ke arah perbuatan yang kurang lebih sesuai dengan hukum (influencing offenders and possibly other than offenders toward more or less Law-conforming behavior)
7. R. Rijksen
Membedakan antara dasar hukum dari pidana dan tujuan pidana. Dasar hukum dari pidana terletak pada pembalasan terhadap kesalahan yakni dalam pembalasan itu trerletak pembenaran daripada wewenang pemerintah untuk memidana (strafbevoegdheid van de overheid).
Apakah penguasa juga akan menggunakan wewenang itu tergantung kepada tujuan yang dikehendaki. Tujuan-tujuan itu menurut R. Rijsen serta penulis-penulis yang lain yaitu Van Veen, Hulsman dan Hoefnagels adalah penegakan wibawa, penegakan norma, menakut-nakuti, mendamaikan, mempengaruhi tingkah laku dan menyelesaikan konflik.
8. Roeslan Saleh
Dalam bukunya yang berjudul “Suatu reorientasi dalam hukum pidana”, Roeslan Saleh mengemukakan bahwa pada hakikatnya ada dua poros yang menentukan garis-garis hukum pidana yaitu :
a. Segi prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan.
b. Segi pembalasan, yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula penentuan hukum, merupakan koreksi dari dan reaksi atas sesuatu yang bersifat tidak hukum.
Dengan demikian, pada hakikatnya dia (pidana) adalah selalu perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan atas perbuatan tidak hukum. Di samping itu, Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa pidana mengandung hal-hal lain, yaitu bahwa pidana diharapkan sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.
9. Dr. Sahetapy
Dalam disertasinya yang berjudul “Ancaman pidana mati terhadap pembunuhan berencana”, dikemukakan olehnya bahwa pemidanaan bertujuan “Pembebasan”.
Pidana harus dapat membebaskan si pelaku dari cara atau jalan yang keliru yang telah ditempuhnya. Makna pembebasan tidak identik dengan pengertian rehabilitasi atau reformasi. Makna membebaskan menghendaki agar si pelaku bukan saja harus dibebaskan dari alam pikiran yang jahat, yang keliru, melainkan ia harus pula dibebaskan dari kenyataan sosial dimana ia terbelenggu.
Menurut Sahetapy tidak dapat disangkal bahwa dalam pengertian pidana tersimpul unsur penderitaan. Akan tetapi, penderitaan dalam tujuan membebaskan bukanlah semata-mata untuk penderitaan agar si pelaku menjadi takut atau merasa menderita akibat dari suatu pembalasan dendam melainkan derita itu harus dilihat sebagai obat atau sebgai kunci jalan keluar yang membebaskan dan yang memberi kemungkinan bertobat dengan penuh keyakinan.
10. Bismar Siregar
Dalam kertas kerjanya yang berjudul “Tentang pemberian pidana” pada simposium pembaharuan pidana nasional di Semarang tahun 1980, Bismar menyatkan antara lain “........yang pertama-tama patut diperhatikan dalam pemberian pidana, bagaimana caranya agar hukuman badaniah mencapai sasaran, mengembalikan keseimbangan yang telah terganggu akibat perbuatan si tertuduh, karena tujuan penghukuman tidak lain adalah mewujudkan kedamaian dalam kehidupan manusia”.
Mengingat pentingnya tujuan pidana adalah sebagai pedoman dalam memberikan atau menjatuhkan pidana, maka di dalam Konsep Rancangan Buku I KUHP Nasional yang disusun oleh LPHN pada tahun 1972 dirumuskan dalam pasal 2 yakni :
a. Maksud tujuan pemidanaan adalah :
• Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat dan penduduk.
• Untuk membimbing agar terpidana insyaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna.
• Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindakan pidana.
b. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.
Dalam konsep Rancangan Buku I KUHP tahun 1982/1983, tujuan pemberian pidana dirumuskan sebagai berikut :
Pemidanaan bertujuan untuk
Ke-1 mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.
Ke-2 mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikannya orang baik dan berguna, serta mampu untuk hidup bermasyarakat.
Ke-3 menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindakan pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai di tengah masyarakat.
Ke-4 membebaskan rasa bersalah pada terpidana
Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.
C. ALIRAN – ALIRAN DALAM ILMU HUKUM PIDANA
Aliran-aliran dalam ilmu hukum pidana ini tidaklah mencari dasar hukum atau pembenaran dari pidana, tetapi berusaha memperoleh suatu sistem hukum pidana yang praktis dan bermartabat. Secara garis besar, aliran-aliran ini dibagi menjadi 2 aliran yaitu aliran klasik dan aliran modern.
1. Aliran Klasik
Aliran ini merupakan reaksi terhadap ancien regiem yang arbitrair pada abad ke-18 di Perancis yang banyak menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidaksamaan dalam hukum dan ketidakadilan. Aliran ini terutama menghendaki hukum pidana yang tersusun secara sistematis dan menitikberatkan kepada kepastian hukum.
Dua tokoh utama aliran klasik adalah Cesare Beccaria dan Jeremy Bentham.
2. Aliran Modern
Aliran ini timbul pada abad ke-19 dan yang menjadi pusat perhatiannya adalah si pembuat. Aliran ini juga sering disebut aliran positif karena dalam mencari sebab kejahatan menggunakan metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati dan mempengaruhi penjahat secara positif sejauh dia masih dapat diperbaiki. Jadi, aliran ini menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan mengadakan resosialisasi si pembuat.
Aliran modern ini dipelopori antara lain ; Lombroso, Lacassagne dan Ferri. Yang terakhir ini terkenal dengan keberhasilannya mengetuai sebuah panitia yang menyusun Naskah Rencana KUHP Italia.
Sehubungan dengan kedua aliran tersebut diatas, kiranya akan lebih jelas bilamana dibuat suatu daftar karakteristik utama untuk dapat membedakan yang satu denganyang lain. Sue Titus Reid, membedakan aliran klasik dan aliran modern berdasarkan karakteristik sebagai berikut :
NO Classical School Positive School
1 Legal definition of crime Rejected legal definition Garofalo substituted “natural crime”
2 Let the punishment fit the crime Let the punishment fit the crime
3 Doctrine of free will Doctrine of determinism
4 Death penalty for some offenses Abolition of the death penalty
5 Anecdotal method ; no empirical Research Emperical Research : Use of the inductive method
6 Definite sentence Indeterminate sentence
E. JENIS-JENIS PIDANA
1) Menurut hukum pidana positif (KUHP dan diluar KUHP)
Jenis pidana menurut KUHP, seperti terdapat dalam pasal 10, dibagi dalam dua jenis :
a) Pidana Pokok, yaitu :
i. Pidana mati
ii. Pidana penjara
iii. Pidana kurungan
iv. Pidanan denda
v. Pidana tutupan (ditambahkan berdasarkan UU No.20/1946)
b) Pidana Tambahan, yaitu :
i. Pencabutan hak – hak tertentu
ii. Perampasan barang-barang tertentu
iii. Pengumuman putusan hakim
Di samping jenis sanksi yang berupa pidana, dalam hukum pidana dikenal juga jenis sanksi yang berupa tindakan, misalnya :
I. Penempatan di rumah sakit jiwa bagi orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit (lihat pasal 44 ayat 2 KUHP)
II. Bagi anak yang sebelum umur 16 tahun melakukan tindakan pidana, Hakim dapat mengenakan tindakan berupa (lihat pasal 45 KUHP) ;
Mengembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharnya, atau
Memerintahkan agar anak tersebut diserahkan kepada Pemerintah.
III. Penempatan di tempat bekerja Negara (Lands-werkinrichting) bagi penganggur yang malas bekerja dan tidak mempunyai mata pencaharian, serta mengganggu ketertiban umum dengan melakukan pengemisan, gelandangan atau perbuatan asusila (Stb. 1936 No,160)
IV. Tindakan tata tertib dalam hal tindak pidana ekonomi (pasal 8 UU No.7 Drt. 1955) dapat berupa :
Penempatan perusahaan si terhukum di bawah pengampuan untuk selama waktu tertentu (3 tahun untuk kejahatan TPE dan 2 tahun untuk pelanggaran TPE)
Pembayaran uang jaminan selama waktu tertentu
Pembayaran sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan menurut taksiran yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan
Kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak, dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat satu sama lain, semua atas biaya si terhukum sekedar Hakim tidak menentukan lain.
2) Menurut Konsep Rancangan KUHP tahun 1972
Ketentuan tentang “Pidana” dalam konsep terdapat dalam Bab V, mulai pasal 43 s/d pasal 82. Pembagian jenis pidananya sebagi berikut :
I. Pidana Mati
II. Pidana Pemasyarakatan, yang terdiri dari :
Pidana Pemasyarakatan istimewa (untuk yang melakukan tindak pidana karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati)
Pidana Pemasyarakatan khusus (untuk yang melakukan tindak pidana karena kebiasaan)
Pidana Pemasyarakatan biasa (untuk yang melakukan tindak pidana karena kesempatan)
III. Pidana Pembimbingan, yang terdiri dari :
Pidana pengawasan
Pidana penentuan tempat tinggal
Pidana latihan kerja
Pidana kerja bakti
IV. Pidana Peringatan, yang terdiri dari :
Pidana denda
Pidana teguran
V. Pidana Perserikatan, yang terdiri dari :
Pidana perserikatan
Penuntutan (penutupan) usaha sebagian atau seluruhnya
Penempatan usaha di bawah pengawasan pemerintah untuk jangka waktu yang ditentukan oleh Hakim
Pembayaran uang jaminan yang jumlahnya ditentukan oleh Hakim
Penyitaan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
Perbaikan akibat-akibat dari tindak pidana
VI. Pidana TAMBAHAN, yang terdiri dari :
Pencabutan hak tertentu
Perampasan barang tertentu
Pengumuman keputusan Hakim
Pengenaan kewajiban ganti rugi
Pengenaan kewajiban agama
Pengenaan kewajiban adat
BAB II
DAMPAK DISPARITAS PIDANA DAN USAHA MENGATASINYA
A. Pendahuluan
Dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana (criminal justice system) maka pidana menempati suatu posisi sentral. Hal ini disebabkan karena keputusan di dalam pemidanaan akan mempunyai konsekuensi yang luas, baik yang menyangkut langsung pelaku tindak pidana maupun masyarakat secara luas.
Tidak hanya Indonesia saja, tetapi hampir seluruh negara di dunia, mengalami apa yang disebut sebagai “the disturbing disparity of sentencing” yang mengundang perhatian lembaga legislatif serta lembaga lain yang terlibat di dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana untuk memecahkannya.
Yang dimaksud dengan disparitas pidana (disparity of sentencing) dalam hal ini adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (same offence) atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berbahaya dapat diperbandingkan (offences of comparable seroiusness) tanpa dasar dasar pembenaran yang jelas (Cheang, 1977:2)
Di dalam ruang lingkup ini, maka disparitas pemidanaan mempunyai dampak yang dalam, karena di dalamnya terkandung perimbangan konstitusional antar kebebasan individu dan hak negara untuk memidana).
B. Dampak Disparitas Pidana
Disparitas pidana akan berakibat fatal, bilamana dikaitkan dengan “correction administration”. Terpidana yang setelah memperbandingkan pidana kemudian merasa menjadi korban “the judicial caprice”, akan menjadi terpidana yang tidak menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum tersebut merupakan salah satu target di dalam tujuan pemidanaan.
Dari sini akan tampak suatu persoalan yang serius, sebab akan menjadi suatu indikator dan manefestasi daripada kegagalan suatu sistem untuk mencapai persamaan keadilan di dalam negara hukum dan sekaligus akan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan hukum pidana.
Sesuatu yang tidak diharapkan akan terjadi bilamana disparitas pidana tersebut tidak dapat diatasi, yaitu timbulnya demoralisasi dan anti-rehabilitasi di kalangan terpidana yang dijatuhi pidana lebih berat daripada yang lebih berat yang lain di dalam kasus yang sebanding.
C. Faktor-faktor Penyebab Disparitas
Mengingat kompleksitas daripada kegiatan pemidanaan serta adanya pengakuan bahwa masalah pemidanaan hanyalah merupakan salah satu sub sistem di dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana, maka sebelumnya dapat diperkirakan bahwa faktor-faktor tersebut akan bersifat multi kausal dan multi dimensial.
Pertama-tama dapat dikemukakan bahwa disparitas pidana dimulai dari hukum itu sendiri. Didalam hukum pidana positif di Indonesia, Hakim mempunyai kebebasan yang sangat luas untuk memilih jenis pidana (strafsoort) yang dikehendaki, sehubungan dengan penggunaan sistem alternatif di dalam pengancaman pidana di dalam undang-undang.
Menelaah secara mendalam sumber-sumber disparitas pidana tersebut, maka sebenarnya semuanya bermuara pada wawasan (outlook) dalam arti pemahaman serta konsistensi kita bersama di dalam mengikuti aliran hukum pidana. Aliran-aliran ini tidak mencari dasar pembenaran dari pidana, melainkan berusaha memperoleh sistem hukum pidana yang praktis dan bermanfaat.
Secara garis besar, aliran-aliran dapat dibagi menjadi tiga yakni Klasik, Modern dan Neo – Klasik.
1. Aliran Klasik
Timbulnya aliran ini merupakan reaksi terhadap “ancien regime” yang arbitrair pada abad ke-18 di Perancis yang banyak menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidaksamaan hukum dan ketidakadilan. Karakteristik daripada aliran ini adalah sebagai berikut :
Legal definition of crime
Let the punishment fit the crime
Doctrine of free will
Death penalty for some offenses
Anecdotal method – no empirical research
Definite sentence
2. Aliran Modern
Aliran ini timbul pada abad ke-19 dan yang menjadi pusat perhatiannya adalah si pembuat. Aliran ini sering di sebut aliran positf, karna di dalam mencari sebab kejahatan menggunakan metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati dan mempengaruhi penjahat secara positf sejauh mana dia masih bisa diperbaiki. Karakteristik daripada aliran ini adalah sebagai berikut :
Rejected legal definition of crime and substituted natural crime
Let the punishment fit the criminal
Doctrine of determinism
Abolition of the death penalty
Empirical research, use of the inductive method
Indeterminate sentence
3. Aliran Neo Klasik
Aliran ini berkembang selama abad ke-19 dan mempunyai dasar yang sama dengan aliran klasik dengan “doctrine of free will”-nya tetapi dengan modifikasi tertentu. Untuk menambah kejelasan, di bawah ini dikemukakan beberapa karakteristik dari aliran ini, yaitu :
Modifikasi dari “doctrine of free will”, yang dapat dipengaruhi oleh patologi, ketidakmampuan, penyakit jiwa, atau keadaan – keadaaan lain.
Di terima berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan (mitigating circumstances) baik fisik, lingkungan maupun mental.
Modifikasi dari doktrin pertanggungjawaban pidana guna menetapkan peringanan pidana dengan pertanggungjawaban sebgaian di dlam hal-hal yang khusus, misalnya gila, di bawah umur dan keadaan-keadaan lain yang mempengaruhi pengetahuan dan niat seseorang pada waktu terjadinya kejahatan.
Diperkenankan masuknya kesaksian ahli (expert testimony) untuk menentukan derajat pertanggungjawaban.
Di dalam disparitas pidana, yang penting adalah sampai sejauh manakah disparitas tersebut mendasarkan diri atas “reasonable justifications”
D. Usaha-usaha Untuk Mengatasi Akibat Disparitas Pidana
Di dalam hal ini digunakan 2 macam pendekatan yakni :
Pendekatan untuk memperkecil disparitas (approach to minimize disparity)
Pendekatan untuk memperkecil pengaruh negatif disparitas (approach to minimize the effect of disparity)
E. Kesimpulan
Masalah disparitas pidana (disparity of sentencing) merupakan masalah universal yang merupakan “criticism of sentencing”, sebab persoalan ini hampir terjadi di negara manapun juga.
Yang dimaksud dengan disparitas pidana dalam hal ini tidak hanya meliputi penerapan pidana yang tidak sama untuk tindak-tindak pidana yang sama tanpa dasar pembenaran yang jelas, tetapi juga untuk tindak pidana yang “comparable seriousness”.
Disparitas pidana mempunyai dampak yang luas karena di dalamnya terkandung perimbangan konstitusional antara kebebasan individu dan hak negara untuk memidana.
Untuk memecahkan masalah disparitas pidana ini, pada dasarnya dapat dilakukan dua pendekatan yaitu pendekatan untuk memperkecil disparitas (yang berupa penciptaan pedoman pemberian pidana oleh pengundang-undang, meningkatkan peranan dari peradilan banding, pembentukan lembaga semacam “sentencing council” dan latihan para Hakim dalam masalah pemidanaan) dan pendekatan untuk memperkecil pengaruh negatif disparitas (berupa peningkatan peranan Lembaga Pemasyarkatan di dalam kerangka “indeterminate sentence”, guna penyesuain pidana.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment