Monday, 28 September 2015
PEKERJA ANAK DALAM PERSPEKTIF HAM
Dibuat untuk memenuhi tugas tertulis Mata Kuliah Hak Asasi Manusia
Dosen : Bp. Suhendar,SH.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah umat manusia yang penuh dengan keprihatinan akan perjuangan pembebasan diri atas penindasan, pemerkosaan, pembantaian dan pencampakan hak-hak asasi manusia baik secara individu maupun kolegial. Tindakan mengabaikan dan memandang rendah hak-hak dasar manusia telah menimbulkan kemarahan dalam hati sanubari setiap orang dan konsekuensinya terjadilah konflik fisik dan persenjataan yang tidak pernah terselesaikan. )
John Locke mengatakan bahwa manusia mula-mula belum bermasyarakat , teteapi berada dalam keadaan alamiah (State of nature), yaitu suatu keadaan dimana belum terdapat kekuasaan dan otorita apa-apa, semua orang sama sekali bebas dan sederajat. Dalam perkembanganya selanjutnya, di antara orang-orang itu sering terjadi percekcokan yang terjadi dikarenakan perbedaan pemilikan, dan yang lebih celaka lagi ada yang hidup berkelimpahan diatas penderitaan orang lain, dan dalam kondisi state war seperti ini timbulah pemikiran untuk melindungi nilai-nilai mereka yang paling fundamental dan esensial seperti hak untuk hidup, hak untuk merdeka, dan hak terhadap milik pribadi sebagai suatu kebutuhan yang mendesak. )
Didalam konteks hukum internasional, sebuah peraturan ditetapkan berdasarkan persetujuan dari negara-negara. Semakin banyak negara yang menandatangi, menyetujui atau meratifikasi sebuah peraturan internasional, maka nilai, moralitas atau norma-norma yang diatur dialamnya juga semakin tinggi.
“Negara yang baik adalah negara yang sering memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat banyak” demikian wejangan dari Aristoteles kepada para pengikutnya (384-322). Termasuk dalam hal hak-hak asasi setiap warga negaranya.
Hak asasi manusia adalah hak pokok atau hak dasar yang dibawa oleh manusia sejak lahir yang secara kodrat melekat pada setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat karena merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Manusia sedari lahir telah memiliki hak asasi, jadi hak asasi adalah milik semua orang berapapun umurnya, termasuk anak-anak. Pemakalah akan coba menjelaskan hak-hak anak dan usia minimun untuk seorang anak bekerja. Karena seperti yang kita ketahui bahwa banyak kita menjumpai pekerja-pekerja dibawah umur.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah Faktor Penyebab Adanya Pekerja di bawah umur?
2. Apakah Contoh Kasus Pekerja di Bawah Umur?
3. Bagaimana Hak-hak Anak Dalam Persepektif Hukum internasional?
4. Bagaimana Peran Pemerintah Terhadap Kasus Pekerja dibawah umur?
BAB II
PEKERJA ANAK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA (HAM)
A. Faktor Penyebab Adanya Pekerja di bawah umur
Seperti yang telah kita ketahui anak merupakan titipan Tuhan Yang Maha Esa sehingga nasib dan masa depan anak-anak tersebut merupakan tanggung jawab utama orang tua dan tanggung jawab kita bersama. Anak merupakan masa depan bagi setiap orang tua dan merupakan aset masa depan bangsa. ) Untuk itu orang tua hendaklah merawat dan membesarkan anak dengan sebaik-baiknya. Langkah paling utama yang harus orang tua lakukan adalah memberinya pendidikan formal dan non-formal. Memberi pendidikan non-formal dapat dilakukan sendiri oleh orang tua dirumah atau diluar sekolah, sedangkan pendidikan formal dapat diberikan melalui sekolah. Dimana anak-anak bisa bermain sambil belajar setiap hari dengan jadwal yang telah ditentukan. Namun pada kenyataannya kita melihat tidak sedikit anak-anak yang mengais rejeki diberbagai tempat dan wilayah. Lantas, bagaimana dengan sekolah mereka? Mengapa mereka bekerja dengan usia sedini itu?
Hal yang paling mendasar yang kita ketahui bersama mengapa mereka bekerja pada usia dini yaitu karena faktor ekonomi.
Hal senada juga dikatakan oleh Koordinator Divisi Litigasi Yayasan Pusaka Indonesia Elisabeth. Menurut Elisabeth UU nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak tidak terimplementasi dengan maksimal khususnya yang terjadi pada pekerja anak karena faktor ekonomi keluarga menyebabkan si anak harus bekerja dengan alasan membantu ekonomi orangtua.
Kemudian Edy Sunarwan, Project Officer ILO IPEC wilayah Sumut mengatakan bahwa suasana sekolah juga menjadi penentu anak-anak suka sekolah atau tidak. Sebab banyak sekolah yang menurut anak-anak tidak menarik dan memunculkan kebosanan. ) Hal ini dapat menjadi pertimbangan seorang anak untuk tetap berada disekolah atau lebih baik bekerja membantu orang tuanya. Jika suasana sekolah yang dirasa tidak nyaman oleh anak, kemungkinan hal yang akan terjadi ia akan memilih untuk bekerja membantu orang tuanya.
Apalagi jika jarak sekolah dengan rumah jauh atau bahkan medan yang harus ditempuh untuk kesekolah itu berbahaya, misalnya harus melewati sungai dengan jembatan yang nyaris roboh. Kita juga tidak bisa memungkiri bahwa biaya pendidikan yang cukup mahal merupakan salah satu faktor penyebab anak dibawah umur bekerja.
Urbanisasi juga menjadi faktor penyebab maraknya pekerja anak. Pedesaan dipandang kurang menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Alhasil orang tua yang mengharapkan perbaikan ekonomi ini mengajak anaknya untuk ikut membantu bekerja mulai dari pengemis atau bahkan buruh pabrik.
Di Indonesia anak yang membantu orang tuanya bekerja bisa dipandang sebagai anak yang berbakti kepada orang tua. Faktor sosial dan budaya ini juga menyebabkan pekerja dibawah umur di beberapa wilayah di Indonesia menjadi lumrah. )
B. Contoh Kasus Pekerja di Bawah Umur
CV Langgeng Computer Embrodery, pabrik konveksi milik Budi Halim dan istrinya, Herawati yang terdapat di kelurahan Kebon Jeruk kecamatan Andir Bandung, Jawa Barat ini diketahui telah memperkerjakan anak dibawah umur. Laporan ini didapat dari Dewi, seorang anak yang menjadi korban pekerja dibawah umur. Polisi berhasil menggerebek kediaman Budi dan Herawati dan menemukan 12 anak yang berusia 12 sampai 18 tahun. Menurut Dede (salah seorang korban) mengatakan bahwa mereka harus bekerja dari jam 07.00 sampai jam 19.00 WIB. Selama 12 jam bekerja mereka hanya diberi waktu setengah jam untuk istirahat, parahnya mereka tidak diperbolehkan ke luar atau beranjak dari tempat kerja hanya jongkok atau berdiri. )
Tersangka kemudian diganjar Pasal 333 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tentang Perampasan Kebebasan Seseorang. Dalam Undang-undang Perburuhan No. 20 Tahun 1999, disebutkan bahwa usia minimum anak yang diperbolehkan bekerja di Indonesia adalah 15 tahun. Maka hal ini jelaslah telah melanggar ketentuan undang-undang. Kasus ini hanyalah segelintir dari sekian banyak kasus pekerja anak dibawah umur yang ada. Kenyataanya masih banyak kita jumpai kasus-kasus serupa.
C. Hak-hak Anak Dalam Persepektif Hukum Internasional
Hak-hak asasi manusia merupakan terjemahan dari istilah droits de I’homme dalam bahasa Perancis yang berarti “hak manusia” atau dalam bahasa Inggrisnya human rights, yang dalam bahasa Belanda disebut menselijke rechten. Di Indonesia umumnya dipergunakan istilah: “hak-hak asasi”, yang merupakan terjemahan dari basic rights dalam bahasa Inggris dan grondrecten dalam bahasa Belanda.
Sebagian orang menyebutkannya dengan istilah hak-hak fundamental, sebagai terjemahan dari fundamental rights dalam bahasa Inggris dan fundamentele rechten dalam bahasa Belanda. Di Amerika Serikat di samping dipergunakan istilah human rights, dipakai juga istilah civil rights. )
Di Indonesia sering dipergunakan istilah “hak dasar manusia”. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan, misalnya dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, Undang-Undang Dasar Sementara 1950, Ketetapan MPRS Nomor XIV/MPRS/1966 bahkan dalam Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Pancakarsa), dipergunakan istilah: “Hak-Hak Asasi Manusia”.
Seorang aktivis perempuan bernama Eglantyne Jebb mengarahkan mata dunia untuk melihat situasi anak-anak setelah perang dunia I. Perang ini mengakibatkan kelaparan dan penyakit terhadap anak-anak.
Pada tahun 1923, Eglantyne Jebb membuat 10 pernyataan Hak-hak anak dan mengubah gerakannya menjadi perjuangan Hak-hak anak : )
1. Bermain
2. Mendapatkan nama sebagai identitas
3. Mendapatkan makanan
4. Mendapatkan kewarganegaraan sebagai status kebangsaan
5. Mendapatkan persamaan
6. Mendapatkan pendidikan
7. Mendapatkan perlindungan
8. Mendapatkan sarana rekreasi
9. Mendapatkan akses kesehatan
10. Mendapatkan kesempatan berperan serta dalam pembangunan
Pada tahun 1959, tepatnya tanggal 1 Juni PBB mengumumkan pernyataan Hak anak dan ditetapkan sebagai Hari Anak Sedunia. Kemudian, pada tahun 1979 diputuskan sebagai Tahun Anak dan ditetapkan 20 November sebagai Hari Anak Internasional. Setelah sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1989, Konvensi Hak-hak anak disahkan oleh PBB. Inilah pengakuan khusus secara internasional atas hak asasi yang dimiliki anak-anak.
Salah satu Hak Asasi Manusia yang mendasar adalah hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Hak itu tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yaitu Pasal 26 ayat 1 “Setiap orang berhak mendapat pengajaran. Pengajaran harus dengan gratis, setidak-tidaknya dalam tingkatan rendah dan tingkatan dasar. Pengajaran sekolah rendah harus diwajibkan. Pengajaran teknik dan vak harus terbuka bagi semua orang dan pengajaran tinggi harus dapat dimasuki dengan cara yang sama oleh semua orang berdasarkan kecerdasan”.
Hak yang begitu penting ini dalam Konvensi Internasional HAM dimasukkan dalam Pasal 13 Konvensi Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant Economi, Social and Cultural Right). Konvensi ini mewajibkan bagi setiap negara peserta kovenan untuk memenuhi hak pendidikan bagi warga negaranya. Hak ini termuat dalam UUD 1945 Pasal 31 dan dalam amandemen IV mengharuskan anggaran pendidikan APBN dan APBD minimal 20%. )
Dalam Pasal 12 UU HAM No. 39 Tahun 1999, telah diatur mengenai hak pendidikan, yang berbunyi : "Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusiayang beriman, bertaqwa, bertanggungjawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia." Ketentuan UU HAM mempertegas untuk memperoleh pendidikan maupun mencerdaskan dirinya.
Artinya tidak hanya pendidikan semata, namun fasilitas untuk meningkatkan kecerdasan juga harus terpenuhi. Penanggungjawab utama untuk memenuhi hak-hak itu adalah Pemerintah.
Adapun beberapa instrumen terpenting hukum internasional dalam perlindungan hak-hak anak, antara lain :
1.) United Nations Standard Minimun Rules for the Administration of Juvenile Justice (Peraturan-peraturan minimum standar PBB mengenai administrasi peradilan bagi remaja) “Beijing Rules” (Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/33 tanggal 29 November 1985).
Penentuan umur bagi seorang anak/remaja ditentukan berdasarkan sistem hukum masing-masing negara. “Beijing Rules” hanya memberikan rambu-rambu agar penentuan batas usia anak jangan ditetapkan dalam usia yang terlalu rendah. Hal ini akan berkaitan dengan masalah emosional, mental dan intelektual. Artinya, “Beijing Rules” menganggap bahwa pada usia yang terlalu rendah, seorang belum dapat dikatakan dewasa secara emosional, dewasa secara mental, dan dewasa secara intelektual, sehingga perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. )
2.) United Nations Rules for the Protection of Juvenile Deprived of Their Liberty (Peraturan-peraturan PBB bagi perlindungan remaja yang kehilangan kebebasannya) (Resolusi Majelis Umum PBB No. 45/133 tanggal 14 November 1990).
Ada beberapa hal pokok dalam peraturan ini, diantaranya:
a) Sistem peradilan bagi remaja harus menjujung tinggi hak-hak dan keselamatan serta memajukan kesejahteraan fisik dan mental remaja.
b) Penjara harus menjadi alternatif terakhir, karena membiarkan seorang anak memasuki Lembaga Pemasyarakatan berarti memberikan pendidikan negatif kepada anak, sebab apabila di dalam LP penghuninya adalah mereka yang diidentifikasikan sebagai yang jahat, maka anak tersebut akan mengimitasi tingkah laku yang jahat.
c) Peraturan bagi anak/remaja tidak boleh membedakan ras, warna kulit, usia, bahasa, agama, kebangsaan, pandangan politik, kepercayaannya, atau praktek-praktek budaya, kepemilikan, kelahiran atau status keluarga, asal-usul etnis atau sosial, cacat jasmani, agama serta konsep moral yang bersangkutan harus dihormati.
d) Para remaja yang belum diadili, harus dianggap tidak bersalah. Remaja yang masih dalam proses hukum, harus dipisahkan dari remaja yang telah dijatuhi hukuman.
e) Data yang berkaitan dengan remaja bersifat rahasia.
f) Anak/remaja yang ditahan berhak untuk memperoleh:
1) Pendidikan
2) Latihan keterampilan dan latihan kerja
3) Rekreasi
4) Memeluk agama
5) Mendapat perawatan kesehatan
6) Pemberitahuan tentang kesehatan
7) Berhubungan dengan masyarakat luas
3.) United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Deliquency (Pedoman PBB dalam rangka pencegahan tindak pidana anak dan remaja) “Riyadh Guidelines” (Resolusi Majelis Umum PBB No. 45/112 tanggal 14 Desember 1990).
D. Peran Pemerintah Terhadap Kasus Pekerja dibawah Umur
Hak asasi anak diakui secara universal sebagaimana tercantum dalam piagam PBB, deklarasi PBB tahun 1945 tentang Hak Asasi Manusia, Deklarasi ILO di Philadelphia tahun 1944 tentang Hak-Hak Anak, Konvensi PBB tahun 1989 tentang hak-hak anak. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi yang termuat dalam Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan Konvensi perserikatan Bangsa-Bangsa tenatng hak-hak anak (Convention on the rights of the child). Bahwa dalam deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, PBB telah menyatakan bahwa dalam masa kanak-kanak, anak berhak memperoleh pemeliharaaan dan bantuan khusus.
Sebagai anggota PBB dan organisasi ketenagakerjaan Internasional atau ILO (International Labour Organization) Indonesia emnghargai , menjunjung tinggi, dan berupaya menerapkan perlindungan hak asasi manusia, termausk di dalamnya adalah hak anak. Konvensi IILO No. 182 tahun 1999 mengenai pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak yang disetujui pada ketenagakerjaan Internasional ke-87 tanggal 17 Juni 1999 di Jenewa dan telah diratifikasi oleh Republik Indonesia dengan Undang-undang No.1 tahun 2000, merupakan salah satu konvensi yang melindungi hak asasi anak. Konvensi ini mewajibkan setiap negara anggota ILO yang telah merativikasinya harus segera melakukan tindakan –tindakan untuk menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
Pada tahun 2002, dua tahun setelah meratifikasi konvensi bentuk-bentuk pekerja terburuk untuk anak, pemerintah Indonesia, melalui dekrit presiden, meluncurkan Rencana Aksi Nasional dua puluh tahun untuk Penghapusan Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak (Rencana Aksi Nasional). )
Melalui sebuah langkah, yang mendapatkan sambutan baik rencana tersebut menyebut anak-anak yang mengalami eksploitasi fisik maupun ekonomi “sebagai pelayan rumah tangga”, bersama dengan dua belas bidang perburuhan anak lainnya, sebagai sebuah bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Namun sayangnya sejak itu pemerintah gagal dalam mengambil langkah apapun untuk melindungi pekerja dibawah umur. Rencana Aksi nasional itu terdiri dari tiga tahap. Tahap yang pertama direncanakan untuk di capai dalam waktu lima tahun, tahap kedua selama 10 tahun dan tahap ketiga dalam waktu dua puluh tahun.
Tujuan tahap pertama Rencana Aksi Nasional pada tahun 2003-2007 adalah untuk :
1) Meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
2) Memetakan keberadaan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
3) Menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak di lima bidang: anak yang terlibat dalam penjualan, pembuatan, dan perdagangan obat terlarang, anak yang diperdagangkan untuk pelacuran, dan anak yang bekerja dalam penangkapan ikan lepas pantai, pertambangan, dan produksi alas kaki.
Tahap kedua Rencana Aksi Nasional akan dicapai 10 tahun dan akan mencontoh model-model dari tahap pertama yang digunakan untuk menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak untuk diterapkan di bidang-bidang lain. )
Pemerintah melalui kerjasamnya dengan ILO-IPEC, telah memulai sebuah program terikat waktu di lima bidang yang ditunjuk sebagai target dalam tahap pertama. Pekerja Rumah Tangga Anak, yang melibatkan sedikitnya 688.132 orang anak, yang sebagian besar adalah anak perempuan yang bekerja dalam situasi kerja yang tersembunyi dan menghadapi resiko pelecehan seksual, fisik, dan psikologis, belum dianggpa oleh pemerintah sebagai suatu prioritas seperti sektor-sektor lain yang ada dalam tahap pertama rencana aksi tersebut. Pemerintah Indonesia juga belum mengumumkan rencananya untuk menangani masalah bentuk-bentuk terburuk pekerjaan tumah tangga untuk anak pad atahap kedua rencana aksi nasional ini. )
Pemerintah harus memprioritaskan program-program untuk menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak bersama dengan bidang-bidang lain yang telah dikemukakan. Konvensi bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak mewajibkan negara-negara yang terikat di dalamnya untuk menerapkan program kerja dengan tujuan utamnya penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk unruk anak “dengan mempertimbangkan situasi khusus yang dihadapi anak perempuan”. )
Rekomendasi bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, secara khusus mendorong negara untuk memberi “perhatian istimewa” terhadap “masalah situasi kerja tersembunyi, dimana anak perempuan menghadapi resiko khusus”. ) selain itu, komite Hak anak, yang bertugas mengawasi kepatuhan negara terhadap konvensi itu , pada tahun 2004 mengeluarkan rekomendasi agar Indonesia “menjamin bahwa (pemerintah) akan menjangkau dan melindungi anak-anak yang dipekerjakan di sektor informal, khususnya pekerja rumah tangga. Hingga saat ini Indonesia belum melakukan hal tersebut.
BAB III
KESIMPULAN
Sering kita jumpai kasus anak yang bekerja dibawah umur. Alasan yang paling utama yaitu faktor ekonomi, dimana seorang anak dipaksa atau terpaksa membantu mencari nafkah untuk kelangsungan hidup keluarganya. Terkadang anak pun lebih memilih untuk bekerja dari pada untuk bersekolah karena situasi disekolah menurut anak-anak tidak menyenangkan,atau fasilitas yang kurang memadai,jarak yang begitu jauh,medan yang sulit untuk dilalui, atau bahkan biaya yang begitu mahal.
Urbanisasi juga menjadi faktornya, di pedesaan dianggap kutang bisa memperbaiki ekonomi keluarga sehingga mereka ke kota dengan kemampuan terbatas yang pada akhirnya anak di wajibkan untuk ikut membantu mencari nafkah.Faktor sosial budaya Indonesia, di Indonesia anak yang membantu mencari nafkah dipandang sebagai anak yang penurut yang artinya hal tersebut dipandang sebagai wujub bakti seorang anak terhadap orang tua. Wujud keprihatianan akan hak-hak anak di mulai ketika perang dunia I usai, dimana terdapat banyak anak yang menderita kelaparan dan terserang penyakit yang kemudian oleh Mrs.Eglantyne Jebb Pada tahun 1923, membuat 10 pernyataan Hak-hak anak dan mengubah gerakannya menjadi perjuangan Hak-hak anak.
Adapun instrumen Hukum Internasional mengenai perlindungan hak-hak anak antara lain United Nations Standard Minimun Rules for the Administration of Juvenile Justice (Peraturan-peraturan minimum standar PBB mengenai administrasi peradilan bagi remaja) “Beijing Rules” (Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/33 tanggal 29 November 1985), United Nations Rules for the Protection of Juvenile Deprived of Their Liberty (Peraturan-peraturan PBB bagi perlindungan remaja yang kehilangan kebebasannya) (Resolusi Majelis Umum PBB No. 45/133 tanggal 14 November 1990), dan United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Deliquency (Pedoman PBB dalam rangka pencegahan tindak pidana anak dan remaja) “Riyadh Guidelines” (Resolusi Majelis Umum PBB No. 45/112 tanggal 14 Desember 1990).
ILO sangat memperhatikan masalah pekerja dibawah umur terbukti dengan Konvensi ILO No. 182 tahun 1999 mengenai pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak yang disetujui pada ketenagakerjaan Internasional ke-87 tanggal 17 Juni 1999 di Jenewa dan telah diratifikasi oleh Republik Indonesia dengan Undang-undang No.1 tahun 2000.
Kemudian pada tahun 2002 Indonesia meluncurkan Rencana Aksi Nasional dua puluh tahun untuk Penghapusan Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak (Rencana Aksi Nasional). Renacana ini terdiri dari 3 tahap. Tahap yang pertama dicapai dalam 5 tahun, kedua 10 tahun, dan ketiga 20 tahun. Namun Indonesia hingga saat ini belum mencapai semua itu.
BAB IV
SARAN
Timbulnya gagasan mengenai hak anak berawal dari kenyataan bahwa anak berbeda dengan orang dewasa baik secara fisik, mental, maupun kondisi sosialnya. Oleh karenanya, seorang anak wajib diberi perlindungan hukum mulai dari ia didalam kandungan, dilahirkan, tumbuh, dan berkembang untuk mendapatkan hak asasi manusianya secara utuh. Adapun yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia dalam Pasal 1 UU No.39 Tahun 1999 Tentang HAM adalah:
“Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mekhluk Tuhan Yang Masa Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Untuk mendapatkan hak asasi manusianya secara utuh, anak perlu dilindungi secara hukum oleh lingkungan dimana ia berada mulai dari orangtua, keluarga, masyakarat, pemerintah daerah, pemerintah pusat, bahkan dunia internasional.
Setiap anak pada saat ia dilahirkan adalah termasuk subjek hukum yakni sebagai pribadi kodrati dimana ia dilahirkan dalam keadaan merdeka, tidak boleh disiksa atau bahkan dilenyapkan. Anak-anak bahkan sejak ia didalam kandungan mempunyai hak untuk hidup, dipelihara, dan dilindungi bagaimanapun kondisi fisik dan mental anak tersebut. Upaya pemenuhan hak anak dapat dilakukan terutama oleh orang tua dan keluarga, masyarakat, maupun bangsa dan negara.
Hal itu disebabkan anak merupakan individu yang belum matang baik secara fisik, mental, maupun sosial sehingga bergantung pada orang dewasa. Kondisi anak yang rentan seperti itulah seringkali beresiko terhadap kegiatan yang mengandung unsur eksploitasi maupun kekerasan.
Menurut Pasal 1 Konvensi Hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November 1989; UU No. 26/2000 Tentang Pengadilan HAM dan UU No.1 Tahun 2000 Tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 182, anak didefinisikan sebagai: “Setiap manusia yang berusia delapan belas tahun kecuali undang-undang yang berlaku terhadap anak, kedewasaan telah dicapai lebih cepat.”
Sementara menurut Pasal 1 Ayat 1 UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak anak disebut sebagai: “Seseorang yang belum berusia delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”
Mengenai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak di bawah umur, dibutuhkan adanya kebijakan tegas dari pemerintah yang mempunyai peranan vital untuk mencegah dan menghapuskannya. Sebab, anak dianggap sebagai korban bukan pelaku atau seperti orang dewasa yang secara sadar memilih untuk bekerja. Anak haruslah dianggap tidak bisa memahami akibat dari pekerjaan yang dilakukannya baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain, tidak bisa memahami isi perjanjian kerja baik tertulis maupun lisan bahkan secara hukum pun anak belum dianggap cakap untuk menandatangani dan menyetujui kontrak kerja.
Dengan demikian, orang yang mempekerjakan anak dianggap orang yang mengambil keuntungan ekonomi dari si anak tersebut. Pemerintah tidak cukup menegaskan segala bentuk aturan terkait perlindungan terhadap anak hanya dalam berbagai bentuk perundang-undangan, melainkan dibutuhkan implementasi dari pemerintah secara menyeluruh, konkrit, dan pasti dalam hal menegakkan dan menjamin hak asasi anak tersebut. Hal ini sangat diperlukan sebab jika tidak, cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD NKRI 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa tidaklah mungkin terwujud selama anak dibawah umur yang merupakan generasi penerus bangsa dibiarkan bekerja, terlantar dan tidak diberikan penghidupan yang sepantasnya terutama dalam bidang pendidikan.
Sehingga pemerintah sebaiknya melakukan:
a) Selayaknya KPK, sebaiknya Komnas HAM juga diberi kewenangan untuk menuntut.
b) Dibuat database nasional pelanggar Hak Anak untuk memberikan efek jera bagi para pelanggar (publik mengetahui pelanggarannya).
c) Diperluasnya pengawasan oleh Komnas HAM dengan cara merekrut orang yang kompeten untuk melakukan pengawasan terhadap Hak Asasi Anak.
d) Diadakannya inspeksi mendadak oleh pihak yang berwenang di lokasi-lokasi yang diduga terdapat banyak pekerja anak.
DAFTAR PUSTAKA
1. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia, Jakarta
2. Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, PT. Gramedia, Jakarta 1986
3. http://wwwemyfajar.blogspot.com/2011/01/makalah-meraih-rupiah-dari-bengkel.html
4. http://www.hariansumutpos.com/arsip/?p=64806
5. http://emeidwinanarhati.blogspot.com/2012/08/jurnal-reformasi.html
6. http://news.liputan6.com/read/38644/derita-pekerja-anak-dari-kota-kembang
7. Ramdlon Naning,Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia Di Indonesia,Lembaga Kriminologi universitas Indonesia,Jakarta,1983,hlm.7
8. M. Jodi Santoso, Rausya dan Agenda Perlindumgam Anak dari laman web: http://jodisantoso.blogspot.com/2007/09/raisya-dan-agenda-perlindunganhak anak.html
9. http://nirmalanurdin.blogspot.com/2011/03/perspektif-hukum-terhadap-pemenuhan hak.html
10. Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm.41-42
11. Dekrit Presiden No. 59/2002 mengenai Rencana Aksi Nasional untuk Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak
12. Rencana Aksi Nasional untuk Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, bab II(A)(2)
13. Human Rights Watch, Selalu siap disuruh, 2004. hal 62
14. Konvensi Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, Pasal 6-7(2)(e)
15. Rekomendasi Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak,para. 2(c)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment