Monday, 28 September 2015
PERNIKAHAN SIRI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menikah ) merupakan salah satu fase kehidupan yang lazim dilakukan oleh setiap manusia dewasa (akil baligh), siap secara lahir dan batin, serta memiliki rasa tanggung jawab dalam membangun rumah tangga. Setiap orang yang telah memenuhi persyaratan tersebut dianjurkan agar menginjakkan kakinya ke jenjang pernikahan. Jenjang inilah yang menandai sebuah fase kehidupan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup seseorang pada masa mendatang. Dibandingkan dengan hidup sendirian (membujang atau melajang), kehidupan berkeluarga memiliki banyak tantangan dan sekaligus mengandung sejumlah harapan positif.
Saat ini pernikahan siri menjadi sebuah fenomena dimana-mana dan kian marak terjadi tidak hanya dilakukan oleh artis, pejabat, atau birokrat pemerintahan, tetapi juga oleh masyarakat umum dengan taraf ekonomi yang relatif pas-pasan. Istilah “nikah siri” berasal dari bahasa Arab yang biasanya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia lebih kurang menjadi “nikah di bawah tangan”. Nikah siri menjadi perdebatan hangat karena sangat berbeda dengan nikah resmi pada umumnya. Apabila ditinjau dari sudut hukum Islam dan hukum positif nasional, pernikahan model ini menjadi perdebatan yang kompleks, dilematis, dan juga bersifat problematik. Menjabarkan dua pendekatan hukum itu sangat penting untuk menelisik problem nikah siri. Fenomena nikah siri memberikan kesan yang menarik, antara lain sebagai berikut:
1. Nikah siri sepertinya memang benar-benar telah menjadi tren yang tidak saja dipraktekkan oleh masyarakat umum, namun juga dipraktekkan oleh publik figur masyarakat yang selama ini sering disebut dengan istilah tokoh politik, tokoh agama serta para selebritis tanah air.
2. Nikah siri sering ditempatkan menjadi sebuah pilihan ketika seseorang hendak berpoligami dengan sejumlah alasannya tersendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
Pernikahan siri ) sering diartikan oleh masyarakat umum sebagai berikut:
1. Pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat.
2. Pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu dan lain sebagainya.
3. Pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.
Adapun hukum syariat atas ketiga fakta tersebut adalah sebagai berikut:
a. Hukum Pernikahan Tanpa Wali
Sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda; “Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648]. )
b. Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil
Adapun fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda, yakni:
(1) hukum pernikahannya.
(2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan Negara.
Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat.
Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan bahwa pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan ) adalah sebagai berikut:
(1) wali
(2) dua orang saksi
(3) ijab qabul
Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil. Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut:
1. Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’iy. Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.
2. Pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis. Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka.
3. Dalam khazanah peradilan Islam ), memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan tindakan mukhalafat. Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya. Khalifah memiliki hak dan berwenang mengatur urusan-urusan semacam ini berdasarkan ijtihadnya. Aturan yang ditetapkan oleh khalifah atau qadliy dalam perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat.
4. Keempat, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara.
5. Kelima, pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda; “Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan di antaranya adalah ;
1. Untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat.
2. Memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai.
3. Memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.
Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hukum pernikahan siri bersifat dilematis, menurut hukum Islam, pernikahan siri mungkin bisa dianggap sah asalkan sesuai dengan syarat dan rukun pernikahan, sebagaimana dipahami oleh sebagian kalangan ulama dan masyarakat muslim. Namun, dalam prespektif hukum Islam dalam pernikahan siri tidak hanya didasarkan pada syarat dan rukunnya, tetapi juga perlu melihat persoalan mengumumkan dan mencatatkan pernikahan secar resmi melalui pejabat yang berwenang. Berdasarkan hukum positif nasional, sudah sangat jelas bahwa pernikahan siri dinyatakan sebagai pernikahan tidak sah, bahkan dianggap illegal. Yang paling terpenting dari pernikahan itu adalah sah secara syariat agama dan hukum negara, sehingga membawa kemaslahatan bagi semua pihak yang berhubungan dengan ikatan pernikahan itu.
2. Pernikahan siri tidak mulus diterapkan begitu saja. Terdapat sejumlah pengaruh yang mungkin saja di timbulkannya. Nikah siri juga menambah daftar praktik diskriminasi yang dilakukan laki-laki (suami) terhadap hak-hak perempuan. Pihak perempuan sering mendapatkan perlakuan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) akibat pernikahan secara siri ini. Tidak hanya itu, anak-anak juga menjadi korban pernikahan siri yang tidak bertanggung jawab.
B. Saran
1. Diperlukan regulasi dan sangsi yang tegas agar masyarakat tidak melakukan perbuatan pernikahan siri.
2. Perlu adanya kepastian hukum dari pemerintah tentang pernikahan siri agar masyarakat mengetahui pengaruh dari pernikahan siri.
DAFTAR PUSTAKA
1. Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 2004.
2. Hamid, Zahri, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Binacipta, 1978.
3. Malik bin Anas, Imam, Al-Mutwaththa’ Imam Malik, terj. Nur Alim, Asep Saefullah, dan Rachmat Hidyatullah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
4. Shihab, M. Quraish, Membumikan Alquran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1996.
5. Susanto, Happy, Nikah Siri Apa Untungnya, Jakarta: Visimedia, 2007.
KASUS SIMULATOR SIM POLRI Dibuat untuk memenuhi tugas tertulis Mata Kuliah Hukum Dagang
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mabes Polri menyerahkan sepenuhnya adanya aliran dana ke Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Polri terkait proyek Simulator SIM kepada KPK. Wakapolri Komjen (Pol) Oegroseno mengatakan pihaknya tidak akan menanggapi hal itu karena dikhawatirkan menjadi polemik. “Saya belum berani bicara ke arah situ, karena nanti akan ditindak lanjuti KPK. Jangan sampai pro dan kontra. Kita serahkan saja ke KPK,” kata Oegroseno di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (3/9/2013). Diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menilai aliran dana ke Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Polri terkait proyek Simulator SIM adalah fakta. Hal itu sebagaimana tertuang di dalam pertimbangan putusan Majelis Hakim terhadap terdakwa Irjen Pol Djoko Susilo. Majelis Hakim menyebut ada fakta pemberian uang senilai Rp 1 miliar kemudian Rp 1,5 miliar ke Itwasum Polri. Anggota Majelis Hakim Mathius Samiadji menuturkan, awalnya Direktur Utama PT Citra Mandiri Metalindo Abadi Budi Susanto meminta kepada Sukotjo S Bambang untuk memberikan uang Rp 1 miliar kepada Itwasum Polri. “Tapi Sukotjo mengatakan tidak punya uang tunai sehingga meminta agar ditalangi dulu oleh Budi,” kata hakim Samiadji membacakan amar putusan mantan Kakorlantas Polri itu di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (3/9/2013).
Hakim Samiadji mengatakan, uang itu untuk diberikan ke Itwasum dalam rangka memenangkan PT CMMA sebagai pelaksana proyek pengadaan simulator SIM roda empat tahun 2011. Selanjutnya, kata hakim Setiabudi, Itwasum merekomendasikan PT CCMA sebagai pemenang lelang proyek. Berdasarkan rekomendasi Itwasum tersebut, Kepala Kepolisian RI Jenderal Timur Pradopo lantas mengeluarkan surat keputusan yang menetapkan PT CMMA sebagai pemenang lelang proyek simulator roda empat.
B. Rumusan Masalah
a) Apa saja faktor penyebab adanya kasus simulator SIM.
b) Apa saja modus pencucian uang dalam kasus kasus simulator SIM.
c) Siapa saja dan badan usaha yang terlibat dalam kasus simulator SIM.
d) Akibat hukum jika seseorang atau penegak hukum melanggar hukum.
BAB II
KASUS SIMULATOR SIM POLRI
A. Latar Belakang / Kronologis Kasus Simulator SIM POLRI
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) memaparkan kronologi penanganan kasus dugaan korupsi proyek simulator roda dua dan roda empat ujian surat izin mengemudi (SIM) Korlantas Polri tahun 2011, Jumat (3/8/2012) kemarin. Pada, rangkaian kronologi ini Polri ingin menunjukkan kapan pihaknya memulai penyelidikan dan menuding sikap KPK yang dianggap melanggar MoU dan etika.
Berikut kronologi dari penyelidikan hingga penetapan tersangka yang dipaparkan Kepala Bareskrim Polri, Komisaris Jendral (Pol) Sutarman :
1. Polri mengaku memutuskan untuk memulai penyelidikan kasus tersebut setelah membaca berita pada Majalah Tempo tanggal 29 April 2012, halaman 35-38 yang berjudul "Simsalabim Simulator SIM". "Saya membaca itu, kemudian saya memerintahkan Direktur Tindak Pidana Korupsi saya yaitu Brigjen Nur Ali untuk melakukan penyelidikan tentang kemungkinan terjadinya tindak pidana yang ada di Korlantas khususnya terkait dengan pengadaan simulator," terang Sutarman, Jumat.
2. Pada 21 Mei 2012, Polri mengeluarkan surat perintah dimulainya penyelidikan (Sprindik) dengan telah melakukan interogasi dan memeriksa 33 saksi yang diduga terkait kasus tersebut. Dalam interogasi dengan Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia (ITI), Sukoco S Bambang, penyelidik memperoleh informasi bahwa ada data dan informasi yang telah diberikan kepada KPK. Oleh karenanya, pada 17 Juli 2012, dijelaskan Sutarman Bareskrim mengirimkan surat ke KPK perihal Dukungan Penyelidikan. Bareskrim meminta data dan informasi yang dimiliki KPK.
3. Kemudian, Sutarman menjelaskan, pada Senin (30/7/2012) pukul 14.00,pimpinan KPK menghadap Kapolri, Jendral Timur Pradopo di ruang kerja Kapolri. Hadir saat itu, Ketua KPK Abraham Samad dan Zulkarnaen, serta Kapolri yang didampingi Sutarman dan penyidik. Dalam pertemuan itu Abraham menyampaikan bahwa KPK akan melakukan penyidikan kasus simulator SIM di Korlantas.
Namun Kapolri meminta waktu satu atau dua hari untuk mendiskusikan tindak lanjutnya dengan alasan Polri juga tengan menyelidiki kasus tersebut.
4. Usai pertemuan tersebut, Bareskrim menghubungi ajudan pimpinan KPK untuk meminta waktu menghadap Ketua KPK pada Selasa (31/7/2012). Kemudian disetujui akan diadakan pertemuan pada pukul 10.00. Polri berniat akan mempresentasikan hasil penyelidikan pada KPK untuk ditingkatkan pada tahap penyidikan dihadapan pimpinan KPK.
5. Namun KPK dianggap menyerobot kesepakatan untuk melakukan pertemuan pada Selasa (31/7/2012) pukul 10.00 itu. KPK menggeledah gedung Korlantas Senin (30/7/2012) pukul 16.00 usai para pimpinan melakukan pertemuan pukul 14.00 itu. Menurut Sutarman, pertemuan para pimpinan di ruang kerja Kapolri tak menyinggung rencana KPK menggeledah gedung Korlantas Polri. Namun, sore harinya, KPK datang melakukan penggeledahan dengan mengatakan bahwa Kapolri telah mengizinkannya.
6. Kemudian, Selasa sore pukul 15.00, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto kembali menghadap Kapolri di Gedung Rupatama Mabes Polri. Maksud pertemuan itu adalah untuk membicarakan tindak lanjut penggeledahan dan penyidikan selanjutnya.Pada pertemuan itu KPK sekaligus menyatakan telah menetapkan Djoko Susilo sebagai tersangka. Menurut Sutarman saat itu KPK tak memberitahukan tersangka lainnya. Dalam pertemuan itu keduanya sepakat saling memberikan akses barang bukti, juga disepakati bahwa barang-barang yang tidak terkait kasus tersebut dikembalikan.
7. Dalam hal ini Sutarman beralasan barang tersebut menghambat aktivitas Korlantas dalam pelayanan masyarakat. "Ada barang-barang yang mengganggu aktivitas masyarakat ada di situ. Kalau hilang, pelayanan bisa terganggu," ujarnya.
8. Kemudian, Selasa (31/7/2012), Bareskrim Polri meningkatkan penyelidikan menjadi penyidikan dan menetapkan Budi Susanto sebagai penyedia barang menjadi tersangka, sesuai Sprindik nomor Sprindik/184a/VIII/2012/Tipidkor.
9. Rabu (1//8/2012) Sutarman mengaku telah mengirim Surat Pemberitahuan Dilakukan Penyidikan (SPDP) ke Kejaksaan Agung RI. Hari itu, Bareskrim Polri juga telah menetapkan Wakakorlantas Brigjen Pol Didik Purnomo, Kompol Legimo, Bendahara Korlantas Teddy Rusmawan, dan Sukoco S Bambang. Pada keempatnya Bareskrim juga telah mengeluarkan sprindik dan mengirimkan SPDP ke Kejagung.
10. Kamis (2/8/2012) Sutarman mengaku baru mengetahui bahwa KPK juga telah menetapkan tersangka selain Djoko, yakni Didik Purnomo, Sukoco Bambang, dan Budi Susanto. Sutarman mengaku mengetahui tersangka yang ditetapkan KPK itu dari beberapa media.
11. Jumat (3/82012) Sutarman membaca dibeberapa media bahwa Bareskrim Polri tak lagi berwenang menyidik kasus tersebut. Menurut Sutarman, sebelumnya pernah dilakukan join investigation dalam perkara yang ditangani KPK dan penegak hukum lain tahun 2010.
Seperti pada kasus penyalahgunaan APBD Kabupaten Langkat dengan tersangka Syamsul Arifin. Dalam penyidikan kasus tersebu KPK menyidik untuk penyelenggara negara, yakni Syamsul, sedangkan pihak lainnya di luar penyelenggara negara ditangani Kejati Sumatera Utara," tandasnya. Berdasarkan uraian di atas, dikatakan Sutarman, Bareskrim Polri tetap akan melakukan penyidikan simulator SIM sebelum ada ketentuan beracara yang mengatur hal tersebut atau melalui keputusan pengadilan yang menyatakan penyidik Polri tidak berwenang menangani kasus yang sedang atau bersamaan ditangani KPK.
B. Apa saja faktor penyebab adanya Kasus Simulator SIM POLRI
1. Jaksa: Djoko Arahkan PT CMMA Menangi Tender Simulator SIM )
Mantan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo didakwa melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang terkait proyek simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) roda dua dan roda empat tahun anggaran 2011. Dalam surat dakwaan tim jaksa penuntut umum KPK, Djoko disebut mengarahkan agar PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA) milik Budi Susanto dijadikan pemenang lelang proyek simulator SIM roda dua dan roda empat senilai total Rp 198,7 miliar. Untuk pelaksanaan pengadaan tersebut, Djoko selaku Kepala Korlantas dan kuasa pengguna anggaran (KPA) membentuk panita pengadaan yang diketuai Ajun Komisaris Besar Polisi Teddy Rusmawan, kemudian Djoko memanggil Teddy dan mengarahkan agar Budi Susanto yang mengerjakan proyek tersebut. "Sekitar akhir Desember 2010, terdakwa (Djoko) memanggil Teddy untuk datang ke ruangan terdakwa yang saat itu sudah ada Budi Susanto," kata jaksa KMS Roni membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (23/4/2013). Dalam pertemuan di ruangannya itu, kata jaksa, Djoko menyampaikan kepada Teddy agar proyek simulator SIM roda dua dan roda empat dikerjakan Budi. Kepada Teddy, menurut jaksa Roni, Djoko mengatakan, "Ted, nanti Ndoro Budi saja yang mengerjakan. "Atas permintaan atasannya ini, Teddy pun menyetujuinya. Pada Januari 2011, Teddy mengadakan rapat dengan anggota panitia pengadaan yang lain dan mengatakan bahwa proyek simulator SIM roda dua dan roda empat akan diberikan kepada Budi. "Perbuatan terdakwa yang memerintahkan ketua dan anggota panitia pengadaan agar proyek simulator roda dua dan roda empat diberikan kepada Budi Susanto bertentangan dengan Perpres RI tentang pengadaan barang dan jasa," tambah jaksa Roni.
2. Jaksa: Djoko Perintahkan "Mark Up" Harga Simulator SIM )
Surat dakwaan tim jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan, mantan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo melakukan beberapa perbuatan yang dapat dipandang melawan hukum untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain, korporasi, sehingga merugikan keuangan negara terkait proyek simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) di Korlantas Polri tahun anggaran 2011. Salah satu perbuatan yang dilakukan Djoko adalah memerintahkan penggelembungan harga atau mark up proyek simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) roda dua (R2) dan roda empat (R4). "Perbuatan terdakwa bersama-sama Budi Susanto (Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi) memerintahkan panitia pengadaan untuk menyusun harga perkiraan sendiri (HPS) driving simulator uji krilik pengemudi R2 dan R4 dengan melakukan penggelembungan atau mark up harga," kata jaksa KMS Roni, membacakan surat dakwaan.
Perbuatan Djoko ini, menurut jaksa, bertentangan dengan Peraturan Presiden RI Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Menurut surat dakwaan, Djoko bersepakat dengan Budi Susanto menentukan HPS simulator SIM R2 dan R4. Harga simulator SIM R2 disepakati menjadi Rp 70 juta per unit, sedangkan harga simulator SIM R4 Rp 260 juta per unit. Kemudian untuk menghindari kecurigaan pihak luar, HPS dibuat lebih "keriting" dengan menurunkan nilainya sedikit. Harga simulator R2 menjadi Rp 79,93 juta, sedangkan harga R4 menjadi Rp 258,9 juta. Untuk menindaklanjuti kesepakatan mengenai harga tersebut, Budi memerintahkan Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia Sukotjo S Bambang untuk menyusun HPS bersama-sama dengan anggota panitia lelang, Ni Nyoman Suartini. HPS disusun dengan menggelembungkan harga. Penggelembungan harga, menurut jaksa, dilakukan dengan tiga cara. "Pertama, komponen yang dibuat dengan cara komponen utuh dibuat harga, kemudian rincian komponen dihitung kembali sehingga komponen tersebut diperhitungkan dua kali," kata jaksa Roni.
Kedua, dengan memasukkan komponen part yang sebenarnya tidak digunakan dalam pembuatan simulator SIM sehingga membuat harga keseluruhan menjadi lebih mahal. Ketiga, dengan menaikkan harga satuan masing-masing komponen barang tertentu menjadi lebih tinggi dari harga sebenarnya dalam rangka menggelembungkan harga keseluruhan.
Setelah digelembungkan, menurut dakwaan, HPS yang disusun Sukotjo ini diserahkan kepada Ketua Panitia Lelang proyek, AKBP Teddy Rusmawan. Wakil Kepala Korlantas Porli Brigadir Jenderal Polisi Didik Purnomo selaku pejabat pembuat komitmen proyek (PPK) kemudian menyetujui HPS tersebut. "Padahal, Didik selaku PPK tidak pernah melakukan penyusunan terhadap spesifikasi teknis dan harga tersebut," tambah jaksa Roni. Adapun Budi, Sukotjo, dan Didik sudah ditetapkan KPK sebagai tersangka, sementara Teddy berstatus sebagai saksi. Proyek pengadaan simulator SIM ini pun dianggap merugikan keuangan negara sekitar Rp 144 miliar atau setidak-tidaknya sekitar Rp 121 miliar menurut perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Namun, melalui proyek ini, Djoko disebut mendapatkan keuntungan. Menurut dakwaan, pengadaan proyek simulator SIM yang digelembungkan harganya ini menguntungkan Djoko sebesar Rp 32 miliar, Didik Rp 50 juta, Budi sekitar Rp 93,3 miliar, dan Sukotjo sekitar Rp 3,9 miliar. Uang hasil korupsi proyek ini juga disebut mengalir ke kas Prima Koperasi Kepolisian (Primkopol) Polri sekitar Rp 15 miliar.
3. Kode Polisi Minta Uang )
Maret 2011, Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia (ITI) Sukotjo S Bambang dipanggil menghadap staf Korlantas Polri bernama Ni Nyoman Suartini dan Heru. ”Bos, kasihan Pak Waka (Wakil Kepala Korps Lalu Lintas saat itu dijabat Brigjen (Pol) Didik Purnomo). Budi Susanto enggak pernah perhatikan Waka,” kata staf Korlantas itu. Sukotjo yang jadi subkontraktor pekerjaan pengadaan simulator berkendara untuk ujian mendapatkan surat izin mengemudi di Korlantas berlagak bodoh dengan bertanya apa maksud memperhatikan. ”Ya berikan danalah, kaliber 50 atau kaliber 100,” kata staf Korlantas. Tiga hari kemudian, Jumat, Sukotjo datang membawa oleh-oleh dari Bandung. ”Sudah ada barangnya,” kata Sukotjo. ”Kaliber berapa yang dibawa,” tanya staf Korlantas. ”Kaliber 50,” kata Sukotjo. ”Bagaimana kemasannya?” kata staf Korlantas. ”Biasa, oleh-oleh Bandung. Brownies,” kata Sukotjo. Brownies itu, menurut Sukotjo, dibawa staf bernama Indra ke ruangan Pak Waka. Majelis hakim yang diketuai Suhartoyo dalam sidang dengan terdakwa Irjen Djoko Susilo pada Jumat (24/5) tampak terpana mendengar kisah Sukotjo. ”Apa maksudnya kaliber 50 dan kaliber 100,” tanya Suhartoyo. Sukotjo menjelaskan, itu maksudnya Rp 50 juta atau Rp 100 juta, uang kemudian disamarkan dalam bungkusan kue brownies, oleh-oleh khas Bandung, tempat PT ITI berada.
Sukotjo mengatakan, uang itu diberikan kepada Didik sebagai Wakil Korlantas untuk memuluskan komunikasi dirinya dengan Korlantas. Di ruangan Didik, Sukotjo lalu menyerahkan oleh-oleh sambil melaporkan masalah simulator berkendara 2009 dan teknis soal simulator berkendara 2011. Selain bersandi kaliber dan kue brownies, Sukotjo juga pernah dengan tangkas menangkap sandi permintaan uang dari staf bagian Perencanaan dan Administrasi Korlantas Polri, Ajun Komisaris Ni Nyoman Suartini.
Dalam penyiapan dokumen, Sukotjo sering bekerja dengannya. ”Sudah capek Bos, malam Minggu nih, butuh tambah darah,” kata Sukotjo, menirukan perkataan Nyoman. ”Tambah darah” merupakan sandi untuk permintaan uang. Jika sudah begitu, Sukotjo akan memberikan uang rata-rata Rp 10 juta. ”Apa dibagi ke temannya?” kata hakim Martinus. ”Saya tak tahu,” jawab Sukotjo.
Aliran dana
Pada 13 Januari 2011, Sukotjo mengaku menyerahkan uang Rp 8 miliar ke Primkoppol yang katanya untuk proyek tanda nomor kendaraan bermotor (TNKB). Uang itu atas permintaan Budi Susanto, Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi, mitra bisnisnya. Lalu ia menyerahkan Rp 2 miliar secara tunai untuk Djoko Susilo dan Rp 2 miliar untuk Budi. Untuk Djoko, uang diterima Erna, sekretaris pribadinya. Untuk Budi diterima langsung yang bersangkutan. ”Pada 14 Januari 2011, saya juga diminta transfer ke Primkoppol Rp 7 miliar,” kata Sukotjo. Permintaan uang itu disampaikan Ketua Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Ajun Komisaris Besar Teddy Rusmawan kepada Budi saat studi banding di Singapore Driving Safety Center. Menurut dia, Teddy bilang Djoko yang meminta uang itu. ”Saya ada di situ. Saya dengar permintaan itu, lalu Budi Susanto minta saya transfer Rp 7 miliar saat itu juga,” kata Sukotjo. Akhirnya, Sukotjo menghubungi bendaharanya, Vivi, agar mentransfer Rp 7 miliar ke Primkoppol. Pada 17 Januari 2011, kembali Budi Susanto minta Sukotjo mentransfer pegawainya Rp 1 miliar. Dana terus mengalir ke mana-mana. Jauh sebelumnya, Oktober 2010, ketika proyek masih direncanakan, Sukotjo juga sudah memberikan uang Rp 50 juta kepada staf bernama Darsian, bagian keuangan Mabes Polri untuk mengetahui dana yang dialokasikan ke Korlantas untuk proyek simulator berkendara.
Dalam menyiapkan lelang pun, ”tambah darah” terus disuntikkan untuk mencari perusahaan-perusahaan pendamping. Sukotjo memberi Rp 70 juta kepada Jumadi yang dimintai bantuan menyiapkan perusahaan-perusahaan pendamping. Semua ”tambah darah” lebih dari Rp 32 miliar itu berakhir tragis. Proyek tak bisa diselesaikan, perusahaan Sukotjo ”dirampas” dan para pelakunya kini diseret ke Pengadilan Tipikor.
C. Apa saja modus pencucian uang dalam kasus Simulator SIM POLRI
1. KPK Telusuri Aset Djoko Susilo )
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto mengatakan bahwa KPK sedang menelusuri aset tersangka dugaan korupsi pengadaan simulator SIM Korlantas Polri, Irjen Djoko Susilo. Penelusuran aset Djoko difokuskan pada hasil tindak pidana korupsi. "Biasanya dalam penelusuran aset itu kan ada dua. Aset milik tersangka dan aset-aset yang diduga berkaitan dengan tersangka, walaupun bukan atas nama tersangka," kata Bambang di Balai Kartini, Jakarta, Selasa (4/12/2012). Bambang mengatakan, biasanya penelusuran aset bersamaan dengan pembekuan rekening Djoko. Namun, dirinya belum dapat memastikan hal itu sebab dirinya belum mengecek kepastian hal tersebut. Pembekuan rekening ditujukan untuk melacak aset Djoko. "Kita melakukan freezing rekening untuk melacak dananya. Biasanya seperti itu," ujarnya. Bambang menambahkan, KPK belum menerapkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) dalam menjerat Djoko. KPK lebih memfokuskan diri dalam melakukan penelusuran aset. Namun, menurut Bambang, ada kemungkinan KPK menjerat Djoko dengan UU TPPU itu. "KPK belum sampai sejauh itu. Belum sampai sejauh merumuskan apakah nanti akan juga dikombinasi dengan TPPU," katanya.
KPK menahan Djoko seusai memeriksa jenderal bintang dua itu selama lebih kurang delapan jam, Senin (3/12/2012). Djoko diperiksa terkait posisinya sebagai tersangka atas dugaan melakukan perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan kewenangannya untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain terkait pengadaan simulator SIM di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri 2011. Saat itu Djoko menjadi Kepala Korlantas Polri. Juru Bicara KPK Johan Budi SP mengatakan, Djoko akan ditahan di Rumah Tahanan Guntur selama 20 hari ke depan. Di Rutan Guntur, Djoko akan bergabung dengan dua tersangka KPK lain, yakni Heru Kisbandono dan Zulkarnaen Djabar.
2. Pencucian Uang Djoko Susilo Diduga Capai Rp 45 Miliar )
Nilai pencucian uang yang diduga dilakukan tersangka kasus korupsi pengadaan simulator SIM di Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo mencapai Rp 45 miliar. Modus pencucian uang dilakukan, antara lain, melalui pembelian aset berupa properti, baik tanah maupun lahan, dan diatasnamakan kerabat serta orang dekat Djoko.
Informasi yang diperoleh Kompas dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan, nilai aset yang diperoleh sejak tahun 2012 mencapai Rp 15 miliar. Sementara nilai aset yang diduga diperoleh sejak Djoko saat menjabat Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya sebesar Rp 30 miliar. Nilai aset ini belum termasuk yang berupa sejumlah lahan di Leuwinanggung, Tapos, Bogor, dan Cijambe, Subang. Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja membenarkan, KPK telah melacak aset-aset yang diduga dimiliki atau dikuasai Djoko, kerabat, atau orang dekatnya. "Itu prosedur standar yang dilakukan KPK terhadap tersangka. Kami memang melacak sejumlah asetnya berupa rumah dan tanah," kata Adnan di Jakarta, Selasa (22/1/2013).
Namun, salah seorang pengacara Djoko, Tommy Sihotang, membantah perihal kepemilikan aset kliennya yang mencapai miliaran rupiah tersebut. "Tidak benar," ujar Tommy saat ditanya tentang informasi aset miliaran rupiah yang dimiliki atau dikuasai kliennya.
Tommy mengatakan, sampai saat ini, tim pengacara Djoko belum jelas perihal tindak pidana pencucian uang yang disangkakan terhadap kliennya. "Kami belum jelas, uang mana yang dicuci Pak DS (Djoko Susilo)," ujar Tommy. Adnan mengatakan, KPK telah bergerak ke sejumlah daerah untuk mengklarifikasi soal kepemilikan atau penguasaan aset-aset tersebut. Tim yang disebar KPK, antara lain, mengklarifikasi informasi kepemilikan atau penguasaan sejumlah properti di Solo, Semarang, Jakarta, Bogor, Subang, dan Depok. Adnan menambahkan, KPK juga bekerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional untuk memperoleh informasi terkait kepemilikan atau penguasaan aset-aset tersebut.
3. KPK Telusuri Dugaan Aliran Uang ke Primkoppol )
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menelusuri dugaan aliran dana korupsi pengadaan Simulator SIM Korlantas Polri yang masuk ke kas Primer Koperasi Polisi (Primkoppol). Hal tersebut diketahui dari kesaksian AKBP Teddy Rusmawan yang diperiksa KPK selama 9 jam pada Rabu (12/12/2012) ini. Teddy diperiksa sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM Korlantas Polri. "Saya klarifikasi pada KPK terkait Rp 15 miliar yang ada di Primkoppol,"kata Teddy di Gedung KPK. Teddy tidak merinci lebih jauh. Ia lebih memilih menghindari pertanyaan para wartawan dengan meninggalkan gedung KPK. Dalam proyek pengadaan simulator SIM di 2011 silam, Teddy bertindak sebagai ketua panitia pengadaan. Teddy dianggap tahu seputar seluk beluk pelaksanaan proyek yang diduga merugikan negara hingga Rp 100 miliar itu. Teddy sempat ditetapkan Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri sebagai tersangka kasus simulator SIM. Teddy kini berstatus sebagai saksi setelah Bareskrim menghentikan penyidikan kasus tersebut. KPK sendiri telah menetapkan empat tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah mantan Kepala Korlantas Irjen Djoko Susilo , mantan wakil Korlantas Didik Purnomo, dan dua rekanan proyek yakni Budi Susanto dan Sukotjo S Bambang.
Keempat orang itu disangka melakukan tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan kewenangan mereka sehingga menimbulkan kerugian negara. Saat proyek simulator SIM berlangsung, Djoko menjabat kepala Korlantas dan Didik menjabat wakil kepala Korlantas yang juga bertindak sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK). Pada Kamis (1/11/2012) silam, KPK memeriksa bendahara Korlantas Kompol Legimo. Seusai diperiksa sekitar delapan jam, Legimo mengaku ditanya penyidik KPK seputar sistem pembayaran. Selain Legimo, sedianya kemarin KPK memeriksa Budi. Namun, Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (PT CMMA) itu mangkir dari panggilan KPK.
4. Beli Mobil Gunakan Nama Keluarga, Djoko Mengaku Hindari Pajak Progresif )
Terdakwa kasus dugaan korupsi dan pencucian uang proyek simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo mengaku sengaja menggunakan nama keluarganya dalam membeli kendaraan untuk menghindari pajak progresif. Salah satu kendaraaan yang diatasnamakan keluarganya adalah Jeep Wrangler pada 2007 dengan menggunakan nama Bambang Ryan Setyadi, adik ipar istri kedua Djoko, Mahdiana. "Kami hindari pajak progresif, agar tidak kena pajak progresif," kata Djoko saat diperiksa sebagai terdakwa dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (13/8/2013). Dalam persidangan, Djoko memaparkan asal usul harta kekayaannya terkait dengan dakwaan tindak pidana pencucian uang yang dituduhkan kepadanya. Menurut dakwaan, Djoko diduga menyembunyikan asal usul hartanya yang berasal dari tindak pidana korupsi.
Anggota majelis hakim Tipikor Pangeran Napitupulu tampak tidak percaya dengan pernyataan Djoko. Pangeran mempertanyakan alasan Djoko tersebut kartena pajak progresif baru diberlakukan sekitar 2011 sementara Djoko membeli mobil tersebut pada 2007. "Nah ini kan 2007, 2008, 2009 (dibelinya)?" kata Pangeran.
Menjawab pertanyaan ini, Djoko mengaku telah mengantisipasi berlakunya pajak progresif saat membeli kendaraan tersebut meskipun aturan itu memang belum resmi diberlakukan. Selaku pejabat di Korps Lalu Lintas Kepolisian RI, Djoko mengaku terlibat sebagai tim yang menyusun aturan pajak progresif sehingga dia mengetahui bahwa aturan itu sebenarnya direncanakan berlaku sekitar 2006-2007, tetapi tertunda. "Kami sudah antisipasi lebih awal sehingga kalau itu diberlakukan, kami tidak kena," tuturnya. Seolah masih sanksi, hakim Pangeran kembali mencecar Djoko. "Ngapain saudara mengantisipasi dari awal?" tanyanya. Djoko tetap pada jawabannya semula, yaitu dia sengaja menggunakan nama keluarganya untuk menghindari pajak progresif. "Pembelian 2007, rencana pajak progresif 2004. Jadi waktu saya 2007 beli mobil, saat diperlakukan 2011, kami tidak kena pajak progresif.
Kami antisipasi lebih awal, cara pikir kami seperti itu majelis," ujar mantan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI ini. Djoko menambahkan, dia sengaja menggunakan nama keluarga yang tidak satu rumah dengannya karena keluarga yang satu rumah masih bisa kena aturan pajak progresif.
Untuk diketahui, sistem pajak progresif dikenakan bagi warga yang memiliki kendaraan lebih dari satu. Pajak progresif ini diterapkan bagi kendaraan pribadi baik roda dua maupun roda empat dengan nama pemilik dan alamat tempat tinggal yang sama. Jika nama pemilik dan alamatnya berbeda, maka tidak dikenakan pajak progresif.
Dalam persidangan sebelumnya, tiga saksi yang masih kerabat dari istri kedua terdakwa Djoko Susilo, Mahdiana, mengaku dipinjam namanya untuk pembelian kendaraan. Saksi Nopi Indah, adik kandung Mahdiana, membenarkan bahwa namanya digunakan untuk pembelian satu unit Kijang Innova. Mobil itu, menurut Nopi, dibeli oleh Mahdiana. Saksi Bambang Ryan Setiyadi yang adalah suami dari Nopi Indah juga membenarkan namanya digunakan satu untuk mobil merek Jeep Wrangler tahun 2007 dengan nomor Polisi B 1379 KJB. Saksi M Zaenal Abidin yang merupakan paman dari Mahdiana juga mengakui bahwa namanya digunakan untuk pembelian dua mobil Mahdiana.
5. Ini Harta Djoko Susilo Senilai Rp.200 Miliar )
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto mengungkapkan bahwa harta kekayaan Inspektur Jenderal Djoko Susilo yang diminta jaksa penuntut umum KPK dirampas untuk negara mencapai Rp 200 miliar. Harta itu diduga hasil tindak pidana pencucian uang terkait kasus korupsi pengadaan alat drivingsimulator SIM yang menjerat mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri itu. "Itu bisa sampai di atas Rp 200 miliar. Itu tidak pernah ada dalam sejarah republik ini, orang dirampas hartanya sampai Rp 200 miliar," kata Bambang di Jakarta, Rabu (21/8/2013). Bambang pun membandingkan dengan terpidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang Bahasyim Assifie dengan harta yang dirampas untuk negara jauh lebih sedikit dibanding Djoko, yakni mencapai Rp 60 miliar.
Seperti diketahui, jenderal bintang tiga itu dituntut pidana 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan. Djoko dianggap melakukan tindak pidana korupsi dengan memperkaya diri sendiri sebesar Rp 32 miliar. Uang itu diterima Djoko dari pemenang proyek simulator SIM, yakni Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (PT CMMA) Budi Susanto. Kerugian keuangan negara dalam proyek ini sebesar Rp 121,830 miliar. Djoko juga dianggap terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang pada kurun waktu 2003-2010 dan 2010-2012. Perbuatan itu dilakukan Djoko dengan menyamarkan hartanya yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Harta kekayaan Djoko dianggap tidak sesuai dengan profilnya sebagai Kepala Korps Lalu Lintas Polri dan pada jabatan sebelumnya.Djoko pun dituntut membayar uang pengganti Rp 32 miliar. Selain itu, jaksa juga meminta majelis hakim Pengadilan Tipikor agar mencabut hak Djoko untuk dipilih dan memilih.
Adapun harta yang diminta dirampas untuk negara berupa tanah, bangunan, dan kendaraan yaitu sebagai berikut:
1. Sebidang tanah dan bangunan dengan luas tanah 377 meter persegi (m2) di Jalan Cendrawasih Mas Blok A9 Nomor W RT 002 RW 01, Tanjung Barat, Jagakarsa, atas nama Ibu Yani.
2. Sebidang tanah seluas 1.098 m2 dan bangunan di Jalan Paso RT 004 RW 04, Pasar Minggu, atas nama Haji Ali Sudin.
3. Sebidang tanah seluas 106 m2 dan bangunan di KP Ragunan RT 007 RW 05, Jatipadang, Pasar Minggu, atas nama Mahdiana.
4. Sebidang tanah seluas 100 m2 dan bangunan di KP Ragunan, RT 007 RW 05 Jatipadang, Pasar Minggu, atas nama Mahdiana.
5. Sebidang tanah seluas 67 m2 dan bangunan di Jalan Dharmawangsa IX RT 005 RW 01 Nomor 64, Pulo, Kebayoran Baru, atas nama Mahdiana.
6. Sebidang tanah seluas 164 m2 dan bangunan di KP Ragunan RT 009 RW 05 Jatipadang, Pasar Minggu, atas nama Mahdiana.
7. Sebidang tanah seluas 65 m2 dan bangunan di KP Ragunan RT 008 RW 05, Jatipadang, Pasar Minggu, atas nama Mahdiana.
8. Sebidang tanah seluas 3.201 m2 dan bangunan di Jalan Paso RT 005 RW 04 Jagakarsa, Jakarta Selatan, atas nama Henny Rayani Margana.
9. Sebidang tanah seluas 220 m2 dan bangunan di Gang Pondo RT 005 RW 04 Jagakarsa, Jakarta Selatan, atas nama Mahdiana.
10. Satu kunci mobil dengan lambang Mercy warna hitam dengan nomor seri 320 4314.
11. Akta jual beli nomor 491/2012 tanggal 20 November 2012 atas nama Mahdiana.
12. Uang tunai Rp 1.156.000.000 yang telah disetorkan pada rekening BRI Cabang Rasuna Said dengan pengirim PT TCP Internusa dengan berita untuk pengembalian uang atas nama Eva Handayani atas pesanan tanah pada Blok D6/10 Tanjung Mas Raya.
13. Sebidang tanah seluas 752 m2 dan bangunan di Golf Residence 1, Jalan Bukit Golf II No 12 Jangli, Tembalang, Semarang, atas nama Dipta Anindita.
14. Sebidang tanah seluas 360 m2 dan bangunan di Pesona Khayangan Blok E No 01, Depok, atas nama Dipta Anindita.
15. Sebidang tanah seluas 877 m2 dan bangunan di Jalan Sam Ratulangi Nomor 16 Surakarta, Manahan, Banjarsari, Surakarta, atas nama Dipta Anindita.
16. Sebidang tanah seluas 246 m2 dan bangunan di Jalan Cikajang Nomor 18 RT 06 RW 06, Blok Q2 Pernis, Nomor 160 Petogogan, Kebayoran Baru, atas nama Dipta Anindita.
17. Sebidang tanah seluas 703 m2 dan bangunan di Jalan Prapanca Raya No 6 Cipete Utara, Kebayoran Baru, atas nama Dipta Anindita.
18. Satu bidang tanah seluas 287 m2 dan bangunan di Kelurahan Panembahan, Kraton, Yogyakarta, milik Poppy Femialya.
19. Satu bidang tanah seluas 286 m2 dan bangunan di Kelurahan Panembahan, Kraton, Yogyakarta, milik dari Poppy Femialya.
20. Satu bidang tanah seluas 3.077 m2 dan bangunan di Kelurahan Sondakan, Laweyan, Surakarta, milik Poppy Femialya.
21. Satu unit rumah susun The Peak lantai 25 Unit A dengan luas 159 m2 di Jalan Setiabudi Raya No 9 milik Sudiyono.
22. Satu mobil Toyota Rush 1.5 AT warna silver metalik berikut kunci kontak dan STNK atas nama Seto Aji Ismoyo.
23. Uang senilai Rp 6 miliar. Uang sitaan yang berasal dari RTGS dari rekening Bank Mandiri atas nama Djoko Waskito.
24. Satu mobil Toyota Avanza warna silver metalik dengan nomor polisi B 197 SW serta kunci, STNK, dan BPKB atas nama Sonya Mariana Ruth Warouw dari Erick Maliangkay pada bulan April 2007. Menurut Erick, ini adalah honor dari Djoko Susilo.
25. Sebidang tanah seluas 179 m2 dan bangunan di Jalan Lampo Batang Tengah No 20 Mojosongo, Solo, Jawa Tengah, atas nama Lady Diah Hapsari. Saat ini diagunkan ke Bank Mandiri untuk pinjaman sebesar Rp 50 juta dengan masa agunan selama dua tahun mulai dari Januari 2013 sampai Januari 2015.
26. Sebidang tanah seluas 2.640 m2 dan bangunan di Jalan Kapuk Raya RT 003 RW 00 No 36 Kelurahan Kapuk Muara, Penjaringan, Jakarta Utara, atas nama Djoko Waskito yang digunakan sebagai SPBU nomor 34.14404.
27. Sebidang tanah dan bangunan di Jalan Arteri Kaliwungu, Kendal, yang digunakan sebagai SPBU nomor 44.51315.
28. Satu kunci mobil Jeep dengan kode CE 0888.
29. Satu mobil Nissan Serena HGW STAR AT warna hitam berikut konci kontak dan STNK atas nama Siti Maropah bernomor polisi B 1571 BG.
30. Satu mobil Wrangler 4.0L At jenis Jeep warna hitam berikut kunci kontak dan STNK atas nama Bambang Ryan Setiadi bernomor polisi B 1379 KJB dengan tahun pembuatan 2007.
31. Satu mobil Toyota Harrier 2.4 AT warna hitam berikut kunci kontak dan STNK atas nama Muhamad Zaenal Abidin.
32. Uang tunai 14,637 dollar AS, 3,062 dollar Singapura, 20 Thb, Rp 68.860.000, dan 1 riyal Saudi.
33. Satu mobil Toyota Avanza 1.3G GMMF JJ bernomor polisi B 1029 SOH atas nama Muhamad Zainal Abidin dan kunci mobil.
34. Satu bidang tanah dan bangunan di Desa Cirangkong, Kumpay, Jawa Barat, milik Eva Susilo Handayani.
35. Satu unit satuan kondotel Swiss-Belhotel, Segara Nusa Dua, Bali, lantai 3 Unit 33 seluas 36,8 m2 atas nama Sudiyono.
36. Uang tunai Rp 500 juta di Bank BRI dengan penyetor Soeharno.
37. Satu mobil merek Isuzu tipe Del Van tahun 1996 warna putih bernomor polisi B 9372 FG atas nama Karjono.
38. Uang tunai sebesar Rp 14.628.600 dengan pengiriman uang BCA tanggal 6 Maret 2013 atas nama penyetor Apriliani Susiwulansari.
D. Siapa saja dan Badan Usaha yang terkait Kasus Simulator SIM POLRI
1. Djoko Suruh Teddy Antarkan 4 Kardus Uang untuk Anggota DPR )
Ketua panitia pengadaan proyek simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) Ajun Komisaris Besar Polisi Teddy Rusmawan mengaku pernah diperintah atasannya, Kepala Korlantas Polri Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo, untuk memberikan sejumlah dana kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut Teddy, perintah ini sesuai dengan arahan Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, yang ketika itu masih menjadi anggota DPR sekaligus anggota Badan Anggaran DPR. "Sesuai dengan perkataan Nazaruddin, kami diperintahkan untuk menyerahkan dana-dana kepada anggota dewan," kata Teddy saat bersaksi dalam persidangan kasus dugaan korupsi simulator SIM dengan terdakwa Djoko Susilo di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (28/5/2013). Teddy tidak begitu ingat kapan perintah untuk memberikan uang itu disampaikan Djoko. Seingat Teddy, dana untuk anggota DPR itu diberikan di tengah-tengah proses pengadaan proyek simulator roda dua dan roda empat dalam kurun waktu 2011-2012. Ketika itu, menurut Teddy, Nazaruddin menawarkan anggaran Rp 600 miliar untuk kepolisian. "Nazaruddin menyampaikan bahwa Rp 600 miliar itu masuk dalam bagian pendidikan sehingga bisa diturunkan ke polisi untuk pendidikan. Akhirnya kita mengusulkan di Lantas,” ungkap Teddy.
Anak buah Djoko ini pun mengaku tidak tahu pasti berapa dana yang diantarkan untuk anggota DPR tersebut. Akan tetapi, seingatnya, ada empat kardus uang yang diantarkannya kepada anggota DPR, khususnya kelompok Banggar DPR. "Dikumpulkan (uangnya) di Nazaruddin," tambahnya. Namun, saat didesak anggota majelis hakim, Teddy mengungkapkan kalau nilai uang yang diserahkan kepada anggota DPR itu mencapai Rp 4 miliar.
2. Djoko Perintahkan Proyek Simulator Dikerjakan Budi Susanto )
Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Teddy Rusmawan selaku ketua panitia lelang proyek simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) mengaku diperintahkan atasannya, Kepala Korlantas Kepolisian RI Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo, untuk menyerahkan pengerjaan proyek simulator SIM roda dua dan roda empat tersebut kepada Direktur Utama PT Citra Mandiri Metalindo Abadi Budi Susanto. "Kami mendapatkan perintah Kakorlantas bahwa yang mengerjakan Budi. Siap, perintah Kakorlantas Djoko Susilo," kata Teddy, saat bersaksi dalam persidangan kasus dugaan korupsi dan pencucian uang proyek simulator SIM di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (28/5/2013). Menurut Teddy, perintah ini disampaikan Djoko pada Desember 2010 atau sebelum pelaksanaan lelang pengadaan simulator SIM roda dua dan roda empat. Teddy dipanggil ke ruangan Djoko untuk membicarakan masalah lelang proyek senilai total Rp 198,7 miliar tersebut. Ketika itu, menurut Teddy, Budi Susanto sudah ada di ruangan Djoko. "Malam itu Budi Susanto sudah ada di ruangannya, saya dipanggil, 'Ted nanti ndoro Budi yang ngerjakan simulator," tuturnya.
Teddy juga mengungkapkan kalau Budi memang dipercaya untuk mengerjakan sejumlah proyek di Korlantas. Selain proyek simulator SIM, katanya, Budi mendapatkan pengerjaan proyek pengadaan pelat nomor kendaraan bermotor (PNKB). Dalam pelaksanaannya, menurut Teddy, pengadaan simulator SIM ini dikerjakan PT Inovasi Teknologi Indonesia yang dimiliki Sukotjo S Bambang. Teddy juga mengatakan bahwa Sukotjo sempat berkantor di Korlantas Polri guna mengurus dokumen-dokumen terkait pengadaan. Sebelumnya, surat dakwaan Djoko menyebutkan, selain mengarahkan PT CMMA sebagai pemenang tender proyek, jenderal bintang dua itu memberi rekomendasi kepada bank atas kredit modal kerja yang diajukan Budi Susanto sehingga PT CMMA mendapatkan pinjaman modal untuk pengerjaan simulator SIM dari Bank BNI sekitar Rp 100 miliar.
3. Sukotjo Mengaku Punya Informasi Penting soal Proyek Simulator )
Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesi Sukotjo S Bambang mengaku punya informasi penting terkait proyek simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) dan proyek plat nomor kendaraan yang diadakan Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri. Melalui pengacaranya, Erick S Paat, Sukotjo mengirimkan surat ke KPK yang isinya meminta untuk diperiksa terkait penyidikan kasus dugaan korupsi proyek simulator SIM. "Ada hal yang sangat penting sekali yang ingin dia (Sukotjo) sampaikan berhubungan dengan simulator roda dua, roda empat, atau plat nomor. Ini yang ingin saya sampaikan, berupa surat ke KPK, minta klien saya diperiksa kembali karena ini sangat penting," kata Erick, di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Senin (10/12/2012).
Hal yang pasti, menurut Erick, informasi yang akan disampaikan Sukotjo nantinya dapat digunakan KPK untuk membongkar keadaan yang lebih mendalam yang berhubungan dengan proyek simulator roda dua, roda empat, dan plat nomor. Informasi tersebut, kata dia, didukung alat bukti yang sudah disiapkan. Menurut Erick, informasi yang akan disampaikan kliennya ke KPK itu berkaitan dengan orang. Saat ditanya apakah informasi ini juga berkaitan dengan aliran dana yang mengalir ke orang tertentu, Erick menjawab, "Nanti yang jelas, berkaitan dengan tiga kasus itu. Dugaannya ada Rp 700 miliar, itu kaitannya. Itu yang mau disampaikan klien kami," ucapnya. Terkait permintaan pihak Sukotjo ini, Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan bahwa yang bersangkutan pasti akan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka kasus simulator SIM, Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo. Mengenai kapan pemeriksaan dilakukan, belum dapat dipastikan. Seperti diketahui, Sukotjo juga menjadi tersangka kasus dugaan korupsi simulator SIM. PT ITI yang dipimpinannya merupakan perusahaan subkontraktor proyek tersebut. KPK menetapkan empat tersangka dalam kasus ini. Selain Djoko dan Sukotjo, KPK menetapkan dua tersangka lainnya, yakni Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi Budi Susanto dan Brigadir Jenderal Polisi Didik Purnomo.
E. Apa saja akibat hukum jika seseorang atau penegak hukum melanggar hukum
1. KPK Periksa Budi Susanto sebagai Tersangka )
Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi Budi Susanto sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) Korps Lalu Lintas Kepolisian RI, Jumat (12/7/2013). Budi tiba di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta dengan didampingi pengacaranya, Rufinus Hutauruk.
Saat diberondong pertanyaan wartawan, Budi enggan berkomentar. Demikian juga dengan Rufinus. “Nanti ya,” ujar Rufinus. Dalam kasus dugaan korupsi proyek simulator SIM, Budi diduga bersama-sama dengan Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo, Brigadir Jenderal Polisi Didik Purnomo, dan Direktur PT Inovasi Teknologi Indoensia Sukotjo S Bambang telah melakukan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian Negara dalam proyek simulator SIM.
Perusahaan Budi memenangkan tender proyek simulator SIM roda dua dan roda empat senilai Rp 196,8 miliar. Dalam pelaksanaannya, PT CMMA diduga membeli barang dari PT Inovasi Teknologi Indonesia sekitar Rp 90 miliar. Harga barang yang dibeli ini jauh lebih rendah dari nilai kontrak yang dimenangkan PT CMMA sehingga perusahaan itu memperoleh keuntungan sekitar Rp 100 miliar.
Selain itu, Budi diduga meminta Direktur PT ITI Sukotjo S Bambang untuk memberikan uang Rp 2 miliar ke Djoko Susilo. Dari empat tersangka tersangka kasus simulator SIM, baru Dkoko yang ditahan KPK. Kini, Djoko tengah mengikuti proses persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
2. Divonis 10 Tahun, Djoko Susilo Segera Ajukan Banding )
Mantan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo divonis 10 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan, dalam kasus korupsi dan pencucian uang proyek simulator ujian surat izin mengemudi (SIM). Djoko menyatakan akan banding terhadap vonis yang dibacakan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (3/9/2013), di Pengadilan Tipikor, Jakarta Selatan, itu. "Setelah kami berunding dengan klien kami, terhitung sejak dibacakan putusan ini, kami mengajukan banding terhadap putusan ini," ungkap Juniver Girsang setelah berdiskusi dengan Djoko dan tim penasihat hukum lainnya.Sementara itu, tim jaksa menyatakan akan pikir-pikir terlebih dahulu terhadap putusan tersebut.
Dituntut 18 tahun penjara
Sebelumnya, tim jaksa penuntut umum KPK menuntut Djoko dihukum 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan. Djoko juga dituntut membayar uang pengganti kerugian negara sebesar keuntungan yang diperolehnya dari proyek simulator SIM, yakni Rp 32 miliar. Selain menuntut hukuman pidana, jaksa KPK meminta majelis hakim Tipikor agar dalam putusannya menambah hukuman berupa pencabutan hak politik Djoko untuk memilih atau dipilih. Dalam tuntutannya, jaksa KPK menilai Djoko terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang untuk periode 2003-2010 dan 2010-2012 saat menduduki sejumlah posisi penting di kepolisian. Djoko dinilai terbukti menyamarkan hartanya yang diduga berasal dari hasil tindak pidana korupsi dalam bentuk investasi bisnis, kendaraan, dan tempat tinggal dengan mengatasnamakan para istrinya dan keluarganya. Kepemilikan harta Djoko dianggap tidak sesuai dengan profilnya sebagai pejabat kepolisian. Untuk periode 2003-2010, Djoko memiliki total aset senilai Rp 54,6 miliar dan 60.000 dollar AS. Padahal, total penghasilan yang diperolehnya sebagai pejabat Polri ketika itu hanya Rp 407 juta dan penghasilan lainnya sekitar Rp 1,2 miliar.
3. Budi Susanto Didakwa Korupsi Rp 88,4 Miliar )
Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (PT CMMA) Budi Susanto didakwa melakukan tindak pidana korupsi Rp 88.446.926.695 dalam proyek pengadaan alat driving simulator surat izin mengemudi (SIM) roda empat (R4) dan roda dua (R2) di Korps Lalu Lintas Polri tahun 2011. Budi didakwa bersama-sama melakukan perbuatan melawan hukum sehingga memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi. "Memperkaya diri terdakwa selaku Direktur PT CMMA sebesar Rp 88.446.926.695 dan orang lain," ujar Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi, Riyono, saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (10/9/2013). Budi disebut memperkaya orang lain yaitu mantan Kakorlantas Polri Inspektur Jenderal (Irjen) Djoko Susilo sebesar Rp 36,9 miliar, Wakakorlantas Brigjen (Pol) Didik Purnomo sebesar Rp 50 juta, Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia (PT ITI) Sukotjo S Bambang sebesar Rp 3,9 miliar. Dalam dakwaan juga dikatakan Budi telah memperkaya pihak lain yaitu Primkoppol Polri senilai Rp 15 miliar. Selain itu, kepada Wahyu Indra Rp 500 juta, Gusti Ketut Gunawa Rp 50 juta, Darsian Rp 50 juta, dan Warsono Sugantoro alias Jumadi sebesar Rp 20 juta. Budi sebagai Direktur PT CMMA sejak awal telah mengetahui adanya rencana pengadaan proyek driving simulator SIM di Korlantas Polri. Setelah itu, dia langsung menghubungi Sukotjo selaku Direktur PT ITI untuk pengerjaannya. Terdakwa bersama pihak panitia pengadaan telah mengatur proses lelang hingga akhirnya dimenangkan oleh PT CMMA.
Dalam kasus ini, dia didakwa Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHPidana. Perbuatannya disebut telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 144,984 miliar atau Rp 121,830. Miliar dalam perhitungan kerugian negara oleh ahli dari BPK RI.
4. Banding, Hukuman Irjen Djoko Susilo Diperberat Jadi 18 Tahun )
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukuman mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo dari 10 tahun penjara menjadi 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Djoko juga diperintahkan membayar uang pengganti senilai Rp 32 miliar subsider lima tahun penjara. PT DKI juga mencabut hak Djoko untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik. Pengadilan juga memerintahkan semua barang bukti yang telah disita dirampas untuk negara. Putusan itu dijatuhkan majelis banding dalam sidang terbuka, Rabu (18/12/2013), yang dipimpin oleh Roki Panjaitan (hakim ketua) didampingi dengan empat hakim anggota, yaitu Humuntal Pane, M Djoko, Amiek, dan Sudiro.
Majelis Hakim PT DKI berpendapat, Djoko terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek simulator ujian surat izin mengemudi roda dua dan roda empat, serta melakukan tindak pidana pencucian uang. Selain barang bukti yang bernilai lebih dari Rp 200 miliar yang sudah ditetapkan oleh Pengadilan Tipikor untuk dirampas untuk negara, PT DKI juga memerintahkan penyitaan rumah seluas 377 meter persegi di Tanjung Barat, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, dan dua mobil Toyota Avanza. Putusan PT DKI ini sama dengan tuntutan tim jaksa penuntut umum pada KPK yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Namun, pada 3 September lalu, Pengadilan Tipikor hanya mengabulkan sebagian tuntutan jaksa. Pengadilan Tipikor menjatuhkan pidana penjara selama 10 tahun dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan.
Pengadilan Tipikor menjerat Djoko dengan Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 juncto Pasal 65 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (dakwaan pertama primer). Djoko terbukti melanggar Pasal 3 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 juncto Pasal 65 Ayat (1) ke-1 KUHP (dakwaan kedua) serta Pasal 3 Ayat (1) Huruf c UU yang sama (dakwaan ketiga).
5. "Hukuman Djoko Susilo Diperberat, Bagus supaya Ada Efek Jera” )
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Nudirman Munir mengapresiasi putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memperberat hukuman mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Ia yakin, putusan PT DKI Jakarta memiliki dasar yang jelas dan wajib dihormati. "Kita dukung (hukumannya diperberat) supaya menimbulkan efek jera," kata Nudirman, di Kompleks Gedung Parlemen Jakarta, Kamis (19/12/2013). Politisi Partai Golkar itu menegaskan, semua putusan PT DKI Jakarta tak melanggar hak azasi manusia, termasuk ketika memutuskan dicabutnya hak politik Djoko Susilo. Ia justru mendorong agar ditegakkan juga ancaman pemiskinan untuk semua terdakwa korupsi.
Majelis hakim ia yakini memiliki pertimbangan yang cermat dalam memberi putusan pada suatu perkara yang ditangani. "Kewenangan hukum itu harus dihargai. Semua sesuai Undang-Undang, dan keputusannya pasti telah dipertimbangkan secara matang," pungkasnya.
Seperti diberitakan, PT DKI Jakarta mencabut hak Djoko untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik. Selain itu, hukumannya juga diperberat berikut denda Rp 1 miliar. Djoko juga diperintahkan membayar uang pengganti senilai Rp 32 miliar subsider lima tahun penjara dan pengadilan memerintahkan barang bukti senilai lebih dari Rp 200 miliar dirampas untuk negara, termasuk rumah seluas 377 meter persegi di Tanjung Barat, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, dan dua mobil Toyota Avanza. Putusan itu dijatuhkan majelis banding dalam sidang terbuka, Rabu (18/12/2013), yang dipimpin oleh Roki Panjaitan (hakim ketua) didampingi dengan empat hakim anggota, yaitu Humuntal Pane, M Djoko, Amiek, dan Sudiro. Majelis Hakim PT DKI berpendapat, Djoko terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek simulator ujian surat izin mengemudi roda dua dan roda empat, serta melakukan tindak pidana pencucian uang.
Putusan PT DKI ini sama dengan tuntutan tim jaksa penuntut umum pada KPK yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
6. Kapolri: Kalau Sudah "Inkracht", Baru Djoko Susilo Diberhentikan )
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah menjatuhkan vonis kepada mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri, Irjen Djoko Susilo, atas kasus korupsi simulator ujian SIM. Kendati demikian, Polri hingga saat ini belum memberhentikan Djoko Susilo. Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutarman mengatakan, pihaknya masih menunggu hasil keputusan atas kasus yang menjerat mantan Gubernur Akademi Kepolisian tersebut. Pasalnya, Djoko Susilo masih memiliki kesempatan untuk mengajukan upaya hukum kasasi atas keputusan banding yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta (PT DKI). "Nanti kalau sudah inkracht (berkekuatan hukum tetap), kita berhentikan," kata Sutarman seusai menggelar Apel Gelar Pasukan Operasi Kepolisian Terpusat Lilin 2013, di pelataran utara lapangan Monas, Jumat (20/12/2013).
Sebelumnya, Irjen Djoko Susilo divonis lebih berat oleh PT DKI dari 10 tahun penjara menjadi 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar serta diperintahkan membayar uang pengganti senilai Rp 32 miliar. Selain itu, PT DKI juga mencabut hak Djoko untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik. Pengadilan juga memerintahkan semua barang bukti yang telah disita senilai lebih dari Rp 200 miliar dirampas untuk negara. Majelis makim PT DKI berpendapat, Djoko terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek simulator ujian SIM ketika menjabat Kepala Korps Lalu Lintas Polri, serta melakukan tindak pidana pencucian uang. Putusan tersebut sama dengan putusan tim jaksa KPK. Pada vonis di Pengadilan Tipikor, Djoko tidak diwajibkan membayar uang pengganti karena menilai pidana tersebut tidak adil bagi Djoko, mengingat aset-asetnya sudah disita. Majelis tingkat pertama juga menolak mencabut hak politik mantan Gubernur Akademi Kepolisian itu.
BAB III
KESIMPULAN
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) ) menilai, keputusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menolak banding yang diajukan terdakwa kasus korupsi simulator SIM dinilai tepat. Terlebih lagi, hukuman yang dijatuhkan PT DKI Jakarta jauh lebih tinggi daripada hukuman yang dijatuhkan pada peradilan tingkat pertama. "Hal ini seharusnya menjadi pelajaran bagi pejabat Polri lainnya agar tidak melakukan kolusi dan korupsi," kata anggota Kompolnas Hamidah Abdurrahman melalui pesan singkat yang diterima Kompas.com, Kamis (19/12/2013).
Seperti diketahui, PT DKI Jakarta menjatuhkan vonis 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar serta diperintahkan membayar uang pengganti senilai Rp 32 miliar. Vonis tersebut lebih tinggi dari vonis yang dijatuhkan Pengadilan Tipikor Jakarta yang hanya memvonis Djoko 10 tahun penjara. Hamidah mengatakan, mantan Gubernur Akpol tersebut layak mendapatkan vonis tersebut lantaran tak menunjukkan sikap layaknya seorang penegak hukum. Meski begitu, menurutnya, besarnya uang pengganti yang harus dibayar Djoko tak sebanding dengan total kerugian negara yang ditimbulkan akibat perbuatannya. Seperti diketahui, kerugian negara akibat kasus simulator SIM tersebut mencapai Rp 121 miliar. "Uang pengganti itu seharusnya sejumlah kerugian negara, dan uang pengganti ini harus dibayar secara tunai.
Majelis Hakim PT DKI berpendapat, Djoko terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek simulator ujian SIM ketika menjabat Kepala Korps Lalu Lintas Polri serta melakukan tindak pidana pencucian uang. Putusan tersebut sama dengan gugatan tim jaksa KPK. Pada vonis di Pengadilan Tipikor, Djoko tidak diwajibkan membayar uang pengganti karena menilai pidana tersebut tidak adil bagi Djoko.
BAB IV
SARAN
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menangani sepenuhnya penyidikan kasus dugaan korupsi proyek simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) di Korps Lalu Lintas Polri. Ketua KPK Abraham Samad mengatakan, pihaknya akan melengkapi pemeriksaan yang sudah dilakukan Kepolisian atas perkara lima tersangka kasus tersebut. Kelima tersangka itu adalah Brigadir Jenderal (Pol) Didik Purnomo, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Teddy Rusmawan, Kompol Legimo, Budi Susanto dan Sukotjo S Bambang.
Penanganan kasus simulator SIM ini memunculkan ketegangan hubungan antara Kepolisian dan KPK setelah kedua lembaga penegak hukum itu seolah berebut kewenangan. Setelah KPK menetapkan empat tersangka kasus ini, Kepolisian meningkatkan status penanganan kasus ke tahap penyidikan dengan menetapkan lima tersangka. Adapun tiga dari lima tersangka Polri itu juga menjadi tersangka di KPK.
Sengketa kewenangan ini kemudian ditengahi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Senin (8/10/2012). Dalam pidatonya, Presiden menyampaikan, agar penanganan kasus ini diserahkan pada KPK. Namun, jika ditemukan kasus berbeda terkait penyimpangan pengadaan barang dan jasa akan ditangani oleh Polri.
Agar kasus korupsi tidak terulang penulis berpendapat agar lembaga pembuat Undang-undang yang selama ini menjadi kewenangan dari Legislatif diserahkan ke lembaga independen seperti halnya pada KPK. Sehingga diharapkan pada saat membuat undang-undang lembaga ini bisa independen tanpa ada kepentingan politik. Menjadikan produk undang-undang yang dihasilkan lebih berbobot dan pro terhadap rakyat kecil. Lembaga semacam ini penting agar hukum bisa menjadi panglima bukan menjadi permainan para politikus kotor. Karena sebagus apapun sistem apabila para penyelenggaranya tidak amanah dan rakus akan kekuasaan, hukum hanya akan menjadi slogan belaka. Tentu ada 2 solusi agar korupsi dinegeri ini bisa diminimalisir yaitu sangsi pidana hukuman mati dan pemiskinan para koruptor sehingga menimbulkan efek jera pada para pelaku koruptor berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Kompas.com
Tribunnews.com
Detik.com
Beritasatu.com
Tempo.com
Replubika.com
KEDUDUKAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP GANGGUAN KEAMANAN LALULINTAS DI JALAN RAYA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan dan perkembangan ilmu dan teknologi yang sangat pesat, mengakibatkan manusia dapat hidup lebih tentram. Akan tetapi di sisi lain terdapat pengaruh tertentu yang mengakibatkan terjadinya gangguan terhadap ketentraman kehidupan manusia. Kenyataan menunjukkan betapa banyaknya kecelakaan lalu lintas terjadi setiap hari yang mengakibatkan matinya manusia, cideranya manusia dan kerugian secara material.
Penyebabnya berkisar pada faktor-faktor seperti pengemudi maupun pemakai jalan yang lainnya, konstruksi jalan yang kurang baik, kendaraan yang tidak memenuhi syarat, rambu-rambu lalu lintas yang tidak jelas, dan lain sebagainya. Jalan raya, misalnya, merupakan suatu sarana bagi manusia untuk mengadakan hubungan antar tempat, dengan mempergunakan pelbagai jenis kendaraan baik yang bermotor maupun tidak. Jalan raya mempunyai peranan penting dalam bidang ekonomi, politik, sosial-budaya, pertahanan-keamanan dan hukum, serta dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pihak-pihak yang bertanggungjawab atas keselamatan penggunaan jalan raya telah berusaha sekuat tenaga untuk menanggulangi kecelakaan lalu lintas. Pelbagai peraturan telah disusun dan diterapkan yang disertai dengan penyuluhan, kualitas kendaraan dan jalan raya ditingkatkan, serta bermacam-macam kegiatan dilakukan untuk menjaga jangan sampai jatuh korban maupun kemerosotan materi .
B. Identifikasi Masalah
Dalam kenyataannya masih terdapat masalah-masalah di jalan raya yang sangat sulit untuk ditanggulangi, oleh karena itu akan dicoba untuk menelaah penegakan hukum di jalan raya dengan meninjau aspek-aspek sosiologisnya. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan dibahas pada bab selanjutnya adalah :
a) Mengapa pengendara menjalankan kendaraan terlalu cepat, kurang hati-hati dan tidak bertanggungjawab.
b) Bagaimana para pelanggar harus ditangani dan rehabilitasi.
B. Tujuan Penulisan
Sosiologi hukum adalah merupakan suatu disiplin ilmu dalam ilmu hukum yang baru mulai dikenal pada tahun 60-an. Kehadiran disiplin ilmu sosiologi hukum di Indonesia memberikan suatu pemahaman baru bagi masyarakat mengenai hukum yang selama ini hanya dilihat sebagai suatu sistem perundang-undangan atau yang biasanya disebut sebagai pemahaman hukum secara normatif. Lain halnya dengan pemahaman hukum secara normatif, sosiologi hukum adalah mengamati dan mencatat hukum dalam kenyataan kehidupan sehari-hari dan kemudian berusaha untuk menjelaskannya. Sosiologi Hukum sebagai ilmu terapan menjadikan sosiologi sebagai subyek seperti fungsi sosiologi dalam penerapan hukum, pembangunan hukum, pembaharuan hukum, perubahan masyarakat dan perubahan hukum, dampak dan efektivitas hukum, kultur hukum .
Sosiologi hukum merupakan suatu ilmu pengetahuan yang secara teoritis analitis dan empiris menyoroti pengaruh gejala sosial lain terhadap hukum dan sebaliknya . Soerjono Soekanto/Satjipto Rahardjo membuat rumusan yang sama tentang sosiologi hukum yakni sosiologi hukum mempelajari hubungan timbal balik antar hukum dan masyarakat. Sedangkan Prof. M. Abduh, kurang menyetujui pemakaian istilah; Hubungan—karena hukum bukan manusia yang mempunyai hubungan cinta. Akan lebih tepat jika dikatakan sosiologi hukum adalah bias/refleksi hukum dalam masyarakat dan sebaliknya bias/refleksi masyarakat ke dalam hukum .
Sosiologi hukum memiliki kegunaan antara lain, memberikan kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum dalam konteks sosial; penguasaan konsep-konsep sosial hukum dapat memberikan kemampuan untuk mengadakan analisa terhadap efektifitas hukum dalam masyarakat baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk mengubah masyarakat, sarana mengatur interaksi sosial agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu; sosiologi hukum memberikan kemungkinan serta kemampuan untuk mengadakan evaluasi-evaluasi terhadap efektifitas hukum dalam masyarakat .
BAB III
KEDUDUKAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP GANGGUAN KEAMANAN LALULINTAS DI JALAN RAYA
A. Penegakan Peraturan Lalu lintas
Tinjauan utama dari peraturan lalu lintas adalah untuk mempertinggi mutu kelancaran dan keamanan dari semua lalulintas di jalan-jalan . Identifikasi masalah-masalah yang dihadapi di jalan raya berkisar pada lalu lintas. Masalah-masalah lalu lintas, secara konvensional berkisar pada kemacetan lalu lintas, pelanggaran lalu lintas, kecelakaan lalu lintas, kesabaran dan pencemaran lingkungan. Keadaan kemacetan lalu lintas berarti hambatan proses atau gerak pemakai jalan yang terjadi di suatu tempat. Hambatan dapat terjadi dalam batas-batas yang wajar; namun mungkin dalam batas waktu yang relatif pendek. Di samping itu mungkin gerakan kendaraan berhenti sama sekali atau mandeg.
Aparat penegak hukum (Polisi lalu lintas) berperan sebagai pencegah (politie toezicht) dan sebagai penindak (politie dwang) dalam fungsi politie. Di samping itu maka polisi lalu lintas juga melakukan fungsi regeling (misalnya, pengaturan tentang kewajiban bagi kendaraan bermotor tertentu untuk melengkapi dengan segi tiga pengaman) dan fungsi bestuur khususnya dalam hal perizinan atau begunstiging (misalnya, mengeluarkan Surat Izin Mengemudi) .
Mengendarai kendaraan secara kurang hati-hati dan melebihi kecepatan maksimal, tampaknya merupakan suatu perilaku yang bersifat kurang matang. Walau demikian kebanyakan pengemudi menyadari akan bahaya yang dihadapi apabila mengendarai kendaraan dengan melebihi kecepatan maksimal tersebut. Akan tetapi di dalam kenyataannya tidak sedikit pengemudi yang melakukan hal itu. Mereka demikian beraninya untuk mengambil resiko, akibatnya adalah perilaku-perilaku yang dihasilkan adalah frustasi, oleh karena konflik sebenarnya merupakan suatu bentuk dari frustasi. Di dalam menghadapi konflik, maka seseorang biasanya melakukan apa yang disebut displacement yang berwujud sebagai pengalihan sasaran perilaku agresif.
Kekhawatiran timbul sebagai akibat dari perasaan akan adanya bahaya dari luar, yang kadang-kadang hanya merupakan anggapan saja dari yang bersangkutan. Tidak jarang manusia mempergunakan mekanisme pertahanannya untuk mengatasi rasa khawatirnya itu, seperti misalnya acting out yakni individu yang bersangkutan melakukan tindakan-tindakan impulsif. Perilaku semacam ini dapat terjadi pada pengemudi, yang kemudian mengendarai kendaraannya secara membabi buta. Hal-hal yang dikemukakan di atas, merupakan ciri-ciri mental manusia yang sedang mengalami tekanan tidak jarang bahwa manusia mengalami kegembiraan yang luar biasa, oleh karena sebab-sebab tertentu. Tanpa disadari, rasa gembira tersebut mengakibatkan pengemudi menjalankan kendaraan dengan kecepatan yang melebihi kecepatan maksimal. Keadaan lelah, lapar, usia yang sudah mulai tua, obat-obatan dan lain sebagainya, merupakan beberapa faktor yang kemungkinan besar akan dapat mempengaruhi kemampuan untuk mengemudikan kendaraan dengan baik. Kelelahan fisik dapat mengurangi kemampuan mengemudi, serta konsentrasi yang diperlukan untuk mengemudikan kendaraan yang baik .
Peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah lalu lintas dan angkutan jalan raya, tidaklah sepenuhnya sinkron dan ada ketentuan-ketentuan yang sudah tertinggal oleh perkembangan masyarakat. Namun demikian tidaklah berlebih-lebihan untuk mengemukakan beberapa cara penegakan peraturan lalu lintas yang menurut pengalaman akan lebih efisien.
Cara yang lazim disebutkan periodic reinforcement atau partial reinforcement. Cara ini diterapkan apabila terhadap perilaku tertentu, tidak selalu diberi imbalan atau dijatuhi hukuman. Kalau seorang pengemudi sudah terbiasakan menjalani rute jalan raya tertentu, maka ada kecenderungan untuk melebihi kecepatan maksimal. Hal itu disebabkan oleh karena pengemudi menganggap dirinya telah mengenal bagian dari jalan raya tersebut dengan baik. Kalau pada tempat-tempat tertentu dari jalan tersebut ditempatkan petugas patroli jalan raya, maka dia tidak mempunyai kesempatan untuk melanggar batas maksimal kecepatan. Akan tetapi apabila penempatan petugas dilakukan secara tetap, maka pengemudi mengetahui kapan dia harus mematuhi peraturan dan bilamana dia dapat melanggar ketentuan-ketentuan tersebut. Dengan menerapkan cara periodic reinforcement, maka ingin ditimbulkan kesan pada pengemudi bahwa di mana-mana ada petugas, sehingga dia akan lebih berhati-hati di dalam mengemudikan kendaraannya, kalaupun petugas kadang-kadang ditempatkan di jalan raya tersebut ada kesan bahwa petugas itu selalu ada disitu. Cara ini bertujuan untuk menghasilkan pengemudi yang berperilaku baik.
Cara kedua biasanya disebut conspicuous enforcement, yang biasanya bertujuan untuk mencegah pengemudi mengendarai kendaraan secara membahayakan. Dengan cara ini dimaksudkan sebagai cara untuk menempatkan mobil polisi atau sarana lainnya secara menyolok, sehingga pengemudi melihatnya dengan sejelas mungkin. Hal ini biasanya akan dapat mencegah seseorang untuk melanggar peraturan. Cara ini bertujuan untuk menjaga keselamatan jiwa manusia. Dan sudah tentu, bahwa kedua cara tersebut memerlukan fasilitas yang cukup dan tenaga manusia yang mampu serta terampil .
B. Menangani Para Pelanggar
Pertama-tama seorang petugas harus bertanya pada dirinya sendiri, siapakah pelanggar peraturan lalu lintas tersebut. Hal ini bukanlah menyangkut apa pekerjaannya, siapa namanya, dan seterusnya. Yang pokok disini adalah bahwa seorang yang melanggar peraturan lalu lintas, bukanlah selalu seorang penjahat (walaupun kadang-kadang petugas berhadapan dengan penjahat). Seorang pengemudi yang melanggar peraturan lalu lintas adalah seseorang yang lalai di dalam membatasi penyalahgunaan hak-haknya.
Yang kedua adalah bahwa seorang petugas atau penegak hukum harus menyadari bahwa dia adalah seseorang yang diberi kepercayaan oleh negara untuk menangani masalah-masalah lalu lintas. Pakaian seragam maupun kendaraan dinasnya merupakan lambang dari kekuasaan negara yang bertujuan untuk memelihara kedamaian di dalam pergaulan hidup masyarakat. Seorang petugas yang emosional dan impulsif tidak saja akan merusak seluruh korps, walaupun dia selalu disebut oknum apabila berbuat kesalahan. Penanganan terhadap para pelanggar, memerlukan kemampuan dan ketrampilan professional. Oleh karena itu, maka para penegak hukum harus mempunyai pendidikan formal dengan taraf tertentu, serta pengetahuan dan pemahaman hukum yang cukup besar. Pengutamaan kekuatan fisik, bukanlah sikap professional di dalam menangani masalah-masalah lalulintas .
Perencanaan jalan raya dan pemasangan rambu lalu lintas yang disertai pertimbangan, akan mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas. Pemasangan rambu yang tepat untuk memperingati pengemudi bahwa di mukanya terdapat tikungan yang berbahaya, misalnya, akan dapat mencegah terjadinya kecelakaan. Pemasangan rambu yang tidak wajar akan menyebabkan terjadinya kebingungan pada diri pengemudi. Bentuk jalan raya, besar kecilnya bentuk huruf, dan warna rambu lalu lintas, mempunyai pengaruh terhadap pengemudi.
Pemasangan lampu lalu lintas, juga mempunyai pengaruh terhadap perilaku pengemudi. Apabila lampu lalu lintas tersebut ditempatkan sejajar dengan garis berhenti, maka hal itu akan menyebabkan pengemudi menghadapi masalah. Masalahnya adalah, untuk melihat lampu dengan jelas, maka dia harus berhenti jauh di belakang garis behenti. Apabila hal itu dilakukan, maka dia akan dimaki-maki oleh pengemudi-pengemudi yang berada di belakangnya. Kalau dia berhenti tepat di garis berhenti, maka agak sukar baginya untuk melihat lampu lalulintas .
Pendidikan bagi pengemudi, juga merupakan salah satu cara dalam menangani para pelanggar lalu lintas. Pada masyarakat lain di luar Indonesia, sekolah mengemudi merupakan suatu lembaga pendidikan yang tujuan utamanya adalah menghasilkan pengemudi-pengemudi yang cakap dan terampil di dalam mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas. Sekolah-sekolah tersebut dikelola oleh para ahli, yang tidak hanya melingkupi mereka yang biasa menangani masalah-masalah lalu lintas, akan tetapi kadang-kadang juga ada psikologinya maupun ahli ilmu-ilmu sosial lainnya. Di dalam sekolah pendidikan pengemudi tersebut, yang paling pokok adalah sikap dari instruktur. Instruktur harus mampu menciptakan suatu suasana dimana murid-muridnya dengan konsentrasi penuh menerima pelajarannya.
Seorang instruktur harus mempunyai kemampuan untuk mendidik, kemampuan untuk mengajar saja tidaklah cukup. Murid-murid harus diperlakukan sebagai orang dewasa, berilah kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengambil keputusan, oleh karena di dalam mengendarai kendaraan yang terpenting adalah dapat mengambil keputusan yang cepat dan tepat. Kalau tidak maka kemungkinan besar akan terjadi kecelakaan yang mengakibatkan kerugian benda atau hilangnya nyawa seseorang .
Secara hukum positif, Polri sebagi instansi yang di beri wewenang untuk menangani segala bentuk pelanggaran lalulintas di jalan raya. Sebagai pelaksana undang – undang yang secara dogmatis dalam pasal 310 ayat (4) UU No.22 tahun 2009 “Dalam hal kecelakaan sebagaimana di maksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia,dipidana dengan pidana penjara paling lama 6(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.12.000.000,00(Dua belas juta rupiah).
Politik hukum pidana mengejewantah dalam bentuk penegakan hukum pidana. Sebagai pengejewantahan politik hukum pidana, penegakan hukum pidana merupakan suatu proses dan kebijakan untuk menanggulangi kejahatan secara rasional melalui sarana hukum pidana yang dilaksanakan melalui beberapa tahap. Tahap pertama adalah tahap formulasi, yaitu tahap pembuatan peraturan perundang-undangan pidana yang tahap pembuatan oleh Badan Pembuat Undang-undang, kemudian tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana yang dilakukan oleh aparat atau instansi penegak hukum, mulai dari kepolisian sampai pengadilan, akhirnya tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan pidana oleh aparat atau instansi pelaksana pidana.
Namun harus di ingat pula, Polisi sebagai pengambil kebijakan di bekali payung hukum berupa kewenangan diskresi kepolisian seperti yang tertuang dalam Pasal 18 UU No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sehingga alangkah lebih indahnya hukum Republik ini apabila aparat penegak hukumnya bisa mengintepretasikan peraturan tekstual di selaraskan dengan kontekstualitasnya. Sehingga anomali hukum yang terjadi tidak melepaskan tujuan hukum dari subtansinya yaitu untuk menuju keadilan sosial dan rakyat yang sejahtera.
Tercontoh pada kasus Syaiful Jamil kali ini, Polisi memeriksa Syaiful jamil dan menetapkanya sebagai tersangka itu semata hanya untuk memenuhi perintah dari regulasi formil. Artinya, persyaratan yang di butuhkan dalam berkas penyidikan memang wajib di lengkapi oleh Polisi. Itu sebagai tanggung jawab kerja atas profesinya, tanggung jawab atas SPDP yang di kirimkan kepada kejaksaan.
Pertanggung jawaban ijin penyitaan yang dikirimkan kepada pengadilan. Sehingga tindakan melengkapi berkas perkara yang di lakukan oleh penyidik itu merupakan sebagai wujud langkah antisipatif.
Syaiful bisa saja dijerat Pasal 310 UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dengan ancaman hukuman maksimal 6 tahun. Pasal 310 ayat (4) berbunyi ‘Dalam hal kecelakaan sebagaiman dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)’. Dan atau
Pasal kelalaian berakibat kematian Pasal 359 KUHP
‘Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun’.
Maka pasal 359 KUHP tersebut dapat diuraikan menjadi beberapa bagian yaitu:
1) Unsur barang siapa, dalam hal ini Saipul Jamil sebagai pengendara mobil tersebut.
2) Karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati.
Adapun beberapa faktor gangguan keamanan lalulintas di jalan raya antara lain yaitu:
1) Kapasitas mobil melebihi muatannya
2) Tidak ada pengecekan terhadap kondisi kendaraannya
3) Karena memaksakan diri untuk mengemudi walaupun dalam kondisi yang tidak memungkinkan.
4) Mengendarai kendaraaan melebihi batas kecepatan maksimum didalam jalan tol
Secara tekstual, tidak salah memang “seandainya” Polri melanjutkan perkara tersebut sampai ke ranah pengadilan. Karena memang teks dari undang-undang yang di jeratkan kepada Saiful Jamil sebagai tersangka atas meninggalnya istrinya sendiri akibat kelalaiannya. Namun pertanyaannya sekarang, apakah itu yang di harapkan si pembuat peraturan pada waktu menggagas serangkaian kalimat dan kemudian di sahkan menjadi UU yang kini menjerat Saiful Jamil? Ruang sosial begitu dinamis, sehingga segelintir kalimat tidak akan mampu mewakili fenomena sosial yang tak terbatas. Polisi yang berasal dari kata Policy (kebijakan) tentunya harus jeli dalam menerapkan logika hukum, sehingga substansi dari penegakan hukum itu tercapai.
Kiranya kebijakan seperti itulah yang di nanti oleh pengagum keadilan di negeri ini. Masih ada harapan di Republik yang sakit ini untuk kembali siuman. Semoga manusia dengan kewenangan yang di berikan oleh Negara. Yang kita sepakati bersama aparat penegak hukum di negeri ini, dapat memahami regulasi yang di formulakan sedari awal dengan dasar filsafat yang mulia. Untuk mencapai kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Itulah substansi dan tujuan dan penegakan hukum bila ingin di katakan berhasil.
Namun di balik tindakan antisipatif Polri tersebut, sang pengambil kebijakan menyimpan solusi yang cemerlang. Polri masih mempunyai penyelesaian berupa “Mediasi penal atau Alternatif Dispute Resolution (ADR)”. Secara komprehensif, pasal 18 UU No. 2 tahun 2002 dapat menjadi payung hukum bagi Polri untuk memediasikan perkara Saipul Jamil. Apalagi Kapolri dengan keputusannya yaitu Surat Kapolri No.Pol. : B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 di tentukan beberapa langkah – langkah penanganan kasus melalui ADR.
Meski Syaiful layak dihukum bila memang terbukti lalai, namun kepolisian tidak harus menjatuhkan hukuman maksimal selama 6 tahun untuk Syaiful. Hukuman bisa percobaan atau pencabutan izin mengemudi yang dimiliki oleh Syaiful. Karena dia sebagai pelaku sekaligus sebagai menjadi korban maka hukuman harus diperingan. Mungkin kepolisian menilai penghukuman penting diberikan sebagai pembelajaran bagi Syaiful ke depan. kira-kira hukuman yang bisa memberikan treatment kepada yang bersangkutan atau masyarakat lain di lain waktu harus hati-hati. Itu diserahkan kepada diskresi hakim. Lebih lanjut, kepolisian tak perlu menahan Syaiful meski ancaman hukumannya di atas lima tahun. Di dalam praktek, bila ancaman hukuman maksimal lima tahun, polisi memang sudah bisa menahan seorang tersangka bila memang dianggap perlu menurut penilaiannya. Sejarahnya, ancamannya sengaja dinaikan menjadi lima tahun agar polisi bisa menahan tersangka bila rumahnya jauh dari kantor polisi untuk mempercepat pemeriksaan. Namun, dalam konteks ini, Saiful tidak perlu ditahan. Dalam catatan umum dan pada praktiknya, mengangkut penumpang melebihi kapasitas selama ini adalah hal biasa, terlebih bagi angkutan umum. Hal itu juga dianggap ''biasa'' ketika terjadi kecelakaan dan kembali terulang karena ketidaktegasan dalam proses penyelesaian masalah hukumnya.
Sekalipun sudah ditetapkan menjadi tersangka, bukan berarti Saipul mati langkah. Ada hal-hal yang dapat membantu meringankan bebannya hingga proses hukum selesai. Misalnya, sikap dia yang kooperatif, ada saksi yang meringankan, ada faktor lain yang layak diperhitungkan sebagai penyebab mobil Saiful mengalami kecelakaan dan sebagainya. Tindakan bus yang menyalip kencang dari sisi kiri (sebagaimana diungkapkan tersangka) juga dapat menjadi pertimbangan yang meringankan dalam persidangan. Bila pengusutan kasus ini harus disertai dengan penahanan, sebaiknya diusahakan penahanan luar. Sesuai UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penahanan luar adalah hak seorang tersangka dan Saipul pantas mendapatkannya, di samping persoalannya tidaklah kasus berat.
Saat persidangan, sebaiknya majelis hakim memperkuat pertimbangan aspek kemanusiaan dan mengikutsertakannya dalam pertimbangan hukum sehingga vonisnya adalah hukuman pidana percobaan. Lain halnya kalau sopirnya ugal-ugalan, mabuk, dan pernah mengalami kecelakaan yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain.
Terkait dengan pemosisian Saipul sebagai tersangka, hal itu seyogianya bisa menjadi peringatan bagi semua pengendara/ pengemudi, dan pengguna jalan, termasuk pengemudi kendaraan TNI dan Polri, untuk selalu berhati-hati, tertib, dan mematuhi peraturan lalu lintas. Termasuk mematuhi etika, kesopanan, dan ketentuan mengenai kecepatan yang diizinkan, serta jumlah penumpang dan berat beban yang diangkut kendaraan yang dikemudikannya.
Jadi kasus ini tidak akan memenuhi nilai keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan andaikata kasus ini diajukan ke ranah hukum oleh kepolisian karena tidak ada seorangpun yang menghendaki istrinya tewas tragis seperti kasus kecelakaan lalu lintas Saiful Jamil tersebut, apalagi dikabarkan sang istri sedang hamil. Saiful lebih membutuhkan sesuatu untuk penenangan diri daripada harus mengikuti ranah hukum yang harus dia tempuh.
Ingat pidana adalah sebagai ultimum remedium!
BAB IV
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Penegakan peraturan lalu lintas secara baik sangat tergantung pada beberapa faktor yang selama ini kurang mendapatkan perhatian yang seksama, yakni: pemberian teladan kepatuhan hukum dari para penegak hukum sendiri, sikap yang lugas (zakelijk) dari para penegak hukum, penyesuaian peraturan lalu lintas dengan memperhatikan usaha menanamkan pengertian tentang peraturan lalu lintas, penjelasan tentang manfaat yang konkrit dari peraturan tersebut, serta appeal kepada masyarakat untuk membantu penegakan peraturan lalu lintas.
Penegak hukum di jalan raya, merupakan suatu hal yang sangat rumit. Pertama-tama penegak hukum harus dapat menjaga kewibawaannya untuk kepentingan profesinya. Di lain pihak dia harus mempunyai kepercayaan pada dirinya sendiri untuk mengambil keputusan yang bijaksana, sehingga menghasilkan keadilan. Semenjak calon pengemudi menjalani ujian untuk memperoleh surat izin mengemudi harus dipertimbangkan hal-hal yang menyangkut tingkat kecerdasan pengemudi, kemampuan untuk mengambil keputusan dengan cepat, aspek fisik pengemudi/calon pengemudi.
B. Saran
Para pengguna jalan harus memiliki etika kesopanan di jalan serta harus mematuhi dan melaksanakan peraturan lalu lintas, misalnya ke kiri jalan terus atau ke kiri ikuti lampu, dilarang parkir juga tidak membuang sampah sembarangan di jalan. Kecepatan dalam mengendarai kendaraan harus disesuaikan dengan kondisi jalan, apakah jalan tersebut ramai atau sepi, waktu pagi, siang, sore, ataupun malam. Untuk angkutan umum hendaknya tidak menaikkan atau menurunkan penumpang sembarangan. Dalam memanfaatkan jalan, kita harus menyadari bahwa bukan hanya kita saja yang menggunakan jalan tersebut, tetapi setiap orang berhak menggunakannya. Walaupun itu merupakan hak setiap orang namun, setiap orang berkewajiban untuk menjaga kesopanan di jalan, salah satunya dengan mematuhi peraturan lalu lintas yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, M. 2002. Sosiologi Hukum. Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Soekanto, Soerjono. 1989. Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial. Bandung: Citra Aditya Bakti
Soekanto, Soerjono. 1990. Polisi dan Lalu Lintas (Analisis Menurut Sosiologi Hukum). Bandung: Mandar Maju
Soekanto, Soerjono. 1994. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum.
iwww.antaranews.com
www.kompas.com
MAKALAH
SISTEM KEWARGANEGARAAN INDONESIA
Di buat untuk memenuhi tugas tertulis Mata Kuliah
Hukum Tata Negara
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Prestasi besar yang ditorehkan oleh bangsa Indonesia di bidang peraturan perundang-undangan adalah diundangkannya undang-undang no.12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan Republik Indonesia untuk menggantikan undang-undang no. 62 tahun 1958 yang dinilai oleh khalayak sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia baik dalam kontes nasional maupun global. Salah satu persyaratan diterimanya status sebuah negara adalah adanya unsur warganegara yang diatur menurut ketentuan hukum tertentu, sehingga warga negara yang bersangkutan dapat dibedakan dari warga dari negara lain. Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memberikan informasi tentang kewarganegaraan Indonesia beserta UU yang berlaku di negara Indonesia agar kita dapat mengetahui tentang bagaimana cara menjadi Warga Negara Indonesia yang baik.
BAB II
PEMBAHASAN
B. Pengaturan Kewarganegaraan Republik Indonesia
Pengaturan mengenai kewarganegaraan ditentukan berdasarkan salah satu dari dua prinsip, yaitu prinsip ‘ius soli’ atau prinsip ‘ius sanguinis’. Yang dimaksud dengan ‘ius soli’ adalah prinsip yang mendasarkan diri pada pengertian hukum mengenai tanah kelahiran, sedangkan ‘ius sanguinis’ mendasarkan diri pada prinsip hubungan darah. Berdasarkan prinsip ‘ius soli’, seseorang yang dilahirkan di dalam wilayah hukum suatu negara, secara hukum dianggap memiliki status kewarganegaraan dari negara tempat kelahirannya itu.
Negara Amerika Serikat dan kebanyakan negara di Eropa termasuk menganut prinsip kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini, sehingga siapa saja yang dilahirkan di negara-negara tersebut, secara otomatis diakui sebagai warga negara. Oleh karena itu, sering terjadi warga negara Indonesia yang sedang bermukim di negara-negara di luar negeri, misalnya karena sedang mengikuti pendidikan dan sebagainya, melahirkan anak, maka status anaknya diakui oleh Pemerintah Amerika Serikat sebagai warga negara Amerika Serikat. Padahal kedua orangtuanya berkewarganegaraan Indonesia.
Berbeda dengan prinsip kelahiran itu, di beberapa negara, dianut prinsip ‘ius sanguinis’ yang mendasarkan diri pada faktor pertalian seseorang dengan status orangtua yang berhubungan darah dengannya. Apabila orangtuanya berkewarganegaraan suatu negara, maka otomatis kewarganegaraan anak-anaknya dianggap sama dengan kewarganegaraan orangtuanya itu. Akan tetapi, sekali lagi, dalam dinamika pergaulan antar bangsa yang makin terbuka dewasa ini, kita tidak dapat lagi membatasi pergaulan antar penduduk yang berbeda status kewarganegaraannya. Sering terjadi perkawinan campuran yang melibatkan status kewarganegaraan yang berbeda-beda antara pasangan suami dan isteri. Terlepas dari perbedaan sistem kewarganegaraan yang dianut oleh masing-masing negara asal pasangan suami-isteri itu, hubungan hukum antara suami-isteri yang melangsungkan perkawinan campuran seperti itu selalu menimbulkan persoalan berkenaan dengan status kewarganegaraan dari putera-puteri mereka.
Oleh karena itulah diadakan pengaturan bahwa status kewarganegaraan itu ditentukan atas dasar kelahiran atau melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan. Dengan cara pertama, status kewarganegaraan seseorang ditentukan karena kelahirannya. Siapa saja yang lahir dalam wilayah hukum suatu negara, terutama yang menganut prinsip ‘ius soli’ sebagaimana dikemukakan diatas, maka yang bersangkutan secara langsung mendapatkan status kewarganegaraan, kecuali apabila yang bersangkutan ternyata menolak atau mengajukan permohonan sebaliknya.
Cara kedua untuk memperoleh status kewarganegaraan itu ditentukan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi). Melalui proses pewarganegaraan itu, seseorang dapat mengajukan permohonan kepada instansi yang berwenang, dan kemudian pejabat yang bersangkutan dapat mengabulkan permohonan tersebut dan selanjutnya menetapkan status yang bersangkutan menjadi warganegara. Selain kedua cara tersebut, dalam berbagai literatur mengenai kewarganegaraan, juga dikenal adanya cara ketiga, yaitu melalui registrasi. Cara ketiga ini dapat disebut tersendiri, karena dalam pengalaman seperti yang terjadi di Perancis yang pernah menjadi bangsa penjajah di berbagai penjuru dunia, banyak warganya yang bermukim di daerah-daerah koloni dan melahirkan anak dengan status kewarganegaraan yang cukup ditentukan dengan cara registrasi saja.
Dari segi tempat kelahiran, anak-anak mereka itu jelas lahir di luar wilayah hukum negara mereka secara resmi. Akan tetapi, karena Perancis, misalnya, menganut prinsip‘ius soli’, maka menurut ketentuan yang normal, status kewarganegaraan anak-anak warga Perancis di daerah jajahan ataupun daerah pendudukan tersebut tidak sepenuhnya dapat langsung begitu saja diperlakukan sebagai warga negara Perancis. Akan tetapi, untuk menentukan status kewarganegaraan mereka itu melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan juga tidak dapat diterima.
Karena itu, status kewarganegaraan mereka ditentukan melalui proses registrasi biasa. Misalnya, keluarga Indonesia yang berada di Amerika Serikat yang menganut prinsip ‘ius soli’, melahirkan anak, maka menurut hukum Amerika Serikat anak tersebut memperoleh status sebagai warga negara AS. Akan tetapi, jika orangtuanya menghendaki anaknya tetap berkewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya cukup melalui registrasi saja.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proses kewarganegaraan itu dapat diperoleh melalui tiga cara, yaitu:
(i) kewarganegaraan karena kelahiran atau ‘citizenship by birth’
(ii) kewarganegaraan melalui pewarganegaraan atau ‘citizenship by naturalization’
(iii) kewarganegaraan melalui registrasi biasa atau ‘citizenship by registration’.
Ketiga cara ini seyogyanya dapat sama-sama dipertimbangkan dalam rangka pengaturan mengenai kewarganegaraan ini dalam sistem hukum Indonesia, sehingga kita tidak membatasi pengertian mengenai cara memperoleh status kewarganegaraan itu hanya dengan cara pertama dan kedua saja sebagaimana lazim dipahami selama ini. Kasus-kasus kewarganegaraan di Indonesia juga banyak yang tidaksepenuhnya dapat diselesaikan melalui cara pertama dan kedua saja.
Sebagai contoh, banyak warganegara Indonesia yang karena sesuatu, bermukim di Belanda, di Republik Rakyat Cina, ataupun di Australia dan negara-negara lainnya dalam waktu yang lama sampai melahirkan keturunan, tetapi tetap mempertahankan status kewarganegaraan Republik Indonesia. Keturunan mereka ini dapat memperoleh status kewarganegaraan Indonesia dengan cara registrasi biasa yang prosesnya tentu jauh lebih sederhana daripada proses naturalisasi.
Dapat pula terjadi, apabila yang bersangkutan, karena sesuatu sebab, kehilangan kewarganegaraan Indonesia, baik karena kelalaian ataupun sebab-sebab lain, lalu kemudian berkeinginan untuk kembali mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya seyogyanya tidak disamakan dengan seorang warganegara asing yang ingin memperoleh status kewarganegaraan Indonesia. Lagi pula sebab-sebab hilangnya status kewarganegaraan itu bisa saja terjadi karena kelalaian, karena alasan politik, karena alasan teknis yang tidak prinsipil, ataupun karena alasan bahwa yang bersangkutan memang secara sadar ingin melepaskan status kewarganegaraannya sebagai warganegara Indonesia.
Sebab atau alasan hilangnya kewarganegaraan itu hendaknya dijadikan pertimbangan yang penting, apabila yang bersangkutan ingin kembali mendapatkan status kewarganegaraan Indonesia. Proses yang harus dilakukan untuk masing-masing alasan tersebut sudah semestinya berbeda-beda satu sama lain. Yang pokok adalah bahwa setiap orang haruslah terjamin haknya untuk mendapatkan status kewarganegaraan, sehingga terhindar dari kemungkinan menjadi ‘stateless’ atau tidak berkewarganegaraan. Tetapi pada saat yang bersamaan, setiap negara tidak boleh membiarkan seseorang memiliki dua status kewarganegaraan sekaligus. Itulah sebabnya diperlukan perjanjian kewarganegaraan antara yang sah.
Negara-negara modern untuk menghindari status dwi-kewarganegaraan tersebut. Oleh karena itu, disamping pengaturan kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi) tersebut, juga diperlukan mekanisme lain yang lebih sederhana, yaitu melalui registrasi biasa. Di samping itu, dalam proses perjanjian antar negara, perlu diharmonisasikan adanya prinsip-prinsip yang secara diametral bertentangan, yaitu prinsip ‘ius soli’ dan prinsip ‘ius sanguinis’ sebagaimana diuraikan di atas.
Kita memang tidak dapat memaksakan pemberlakuan satu prinsip kepada suatu negara yang menganut prinsip yang berbeda. Akan tetapi, terdapat kecenderungan internasional untuk mengatur agar terjadi harmonisasi dalam pengaturan perbedaan itu, sehingga di satu pihak dapat dihindari terjadinya dwi-kewarganegaraan, tetapi di pihak lain tidak akan ada orang yang berstatus‘stateless’ tanpa kehendak sadarnya sendiri. Karena itu, sebagai jalan tengah terhadap kemungkinan perbedaan tersebut, banyak negara yang berusaha menerapkan sistem campuran dengan tetap berpatokan utama pada prinsip dasar yang dianut dalam sistem hukum masing-masing. Indonesia sebagai negara yang pada dasarnya menganut prinsip ‘ius sanguinis’, mengatur kemungkinan warganya untuk mendapatkan status kewarganegaraan melalui prinsip kelahiran.
Sebagai contoh banyak warga keturunan Cina yang masih berkewarganegaraan Cina ataupun yang memiliki dwi-kewarganegaraan antara Indonesia dan Cina, tetapi bermukim di Indonesia dan memiliki keturunan di Indonesia.
Terhadap anak-anak mereka ini sepanjang yang bersangkutan tidak berusaha untuk mendapatkan status kewarganegaraan dari negara asal orangtuanya, dapat saja diterima sebagai warganegara Indonesia karena kelahiran. Kalaupun hal ini dianggap tidak sesuai dengan prinsip dasar yang dianut, sekurang-kurangnya terhadap mereka itu dapat dikenakan ketentuan mengenai kewarganegaraan melalui proses registrasi biasa, bukan melalui proses naturalisasi yang mempersamakan kedudukan mereka sebagai orang asing sama sekali.
C. Memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia
• Menurut undang-undang ini Kewarganegaraan Republik Indonesia diperoleh:
a. Karena Kelahiran.
Dalam undang-undang ini kewarganegaraan Republik Indonesia diperoleh karena kelahiran berdasarkan keturunan dan berdasarkan kelahiran di dalam wilayah Republik Indonesia untuk mencegah adanya orang yang tanpa kewarganegaraan. Bahwa keturunan dipakai sebagai suatu dasar adalah lazim. Sudah sewajarnya suatu negara menganggap seorang anak sebagai warganegaranya dimanapun ia dilahirkan, apabila orang tua anak itu warganegara dari negara itu.
Dalam pada itu tidak selalu kedua orang tua anak itu bersamaan kewarganegaraan, dan tidak selalu anak itu mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan kedua orang tuanya. Oleh karena itu, maka salah seorang dari orang tuanya itu harus didahulukan. Dalam hal kewarganegaraan undang-undang ini menganggap selalu ada hubungan hukum kekeluargaan antara anak dan ibu; hubungan hukum kekeluargaan antara anak dan ayah hanya ada apabila anak itu lahir dalam atau dari perkawinan sah atau apabila anak itu diakui secara sah oleh ayahnya. Apabila ada hubungan hukum kekeluargaan antara anak dan ayah, maka ayah itulah yang menentukan kewarganegaraan anak, kecuali jika ayah itu tidak dapat menentukan kewarganegaraan anaknya karena ia tidak mempunyai kewarganegaraan atau karena kewarganegaraannya tidak diketahui, dalam hal mana ibunya yang menentukan apabila tidak ada hubungan hukum kekeluargaan antara dengan ayah, maka yang menentukan kewarganegaraan anak ialah ibunya.
Kelahiran di dalam wilayah Republik Indonesia sebagai dasar untuk memperoleh kewarganegaran Republik Indonesia dalam undang-undang ini hanya dipakai untuk menghindarkan adanya orang tanpa kewarganegaraan yang lahir di dalam wilayah RepubikIndonesia dan hanya dipakai selama perlu untuk menghindarkan itu.
b. Karena Pengangkatan.
Pengangkatan anak adalah biasa di Indonesia. Sah atau tidak sahnya pengangkatan anak itu ditentukan oleh hukum mengangkat anak. Adakalanya anak yang diangkat itu anak asing, akan tetapi karena betul-betul diperlakukan sebagai anak sendiri, tidak diketahui atau dirasakan lagi asal orang itu. Maka hendaknya kepada anak demikian itu diberikan status orang tua yang mengangkatnya. Sebagai jaminan bahwa pengangkatan itu sungguh-sungguh pengangkatan sebagai digambarkan di atas dan supaya anak asing yang diangkat itu betul-betul masih bisa merasa warganegara Indonesia, maka pemberian kewarganegaraan Republik Indonesia kepada anak angkat itu hendaknya dibatasi pada anak yang masih muda sekali
c.Karena Dikabulkan Permohonan.
Ada kemungkinan seorang anak karena berlakunya suatu aturan turut kewarganegaraan ayahnya, sedangkan sesungguhnya ia merasa lebih berdekatan dengan ibunya, yang berkewarganegaraan Republik Indonesia. Hendaknya kepada anak itu diberi kesempatan untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, apabila ia dianggap sudah bisa menentukan kewarganegaraannya sendiri.
Pemberian kesempatan itu hendaknya dibatasi pada anak di luar perkawinan, karena dalam perkawinan orang tua dan anak pada prinsipnya merupakan suatu kesatuan yang statusnya ditentukan oleh Bapaknya. Dalam pada itu karena orang yang bersangkutan sekian lamanya orang asing, maka kesempatan itu berupa suatu permohonan.Tentang memperoleh kewarganegaraan dengan permohonan ini. Negara yang memperkenankan orang dari luar bertempat tinggal menetap di dalam wilayahnya, pada suatu saat selayaknya menerima keturunan dari orang luar itu dalam lingkungan kewargaannya.
Sampai dimana dan dengan cara bagaimana ius soli dilakukan terhadap orang-orang yang tidak tanpa kewarganegaraan ini itulah tergantung pada keadaan negara masing-masing. Karena kewarganegaraan itu janganlah dipaksakan kepada orang yang sudah mempunyai kewarganegaraan lain, maka pemasukan dalam lingkungan kewarganegaraan Republik Indonesiaitu hendaknya datang dari keinginan orang itu sendiri. Karena alasan-alasan seperti di atas maka kesempatan yang diberikan itu berupa permohonan. Orang-orang yang diberi kesempatan itu, menurut undang-undang ini ialah mereka yang lahir dari seorang penduduk atau yang kemudian menjadi penduduk, yang juga lahir di Indonnesia. Syarat selanjutnya ialah bahwa ia tidak menjadi berkelebihan kewarganegaraan.
d. Karena Pewarganegaraan.
Kepada seorang asing yang sungguh ingin menjadi warganegara Republik Indonesia hendaknya diberi kesempatan untuk melaksanakan keinginan itu. Tentu saja kepentingan Indonesia tidak boleh terganggu oleh pemberian pewarganegaraan itu. Supaya pemberian pewarganegaraan tidak bertentangan dengan maksud pemberian itu, maka diadakan syarat-syarat yang kesemuanya bersifat obyektif.
Karena pemberian kewarganegaraan itu termasuk kebijaksanaan kekuasaan eksekutif, maka yang memberikan pewarganegaraan itu ialah Pemerintah, dalam hal ini Menteri Kehakiman dengan persetujuan Dewan Menteri. Tentu saja Pemerintah dalam hal pemberian pewarganegaraan itu bertanggung jawab kepada Parlemen, dan tidak boleh menyimpang dari syarat-syarat yang ditentukan. Tentang hal ikhwal pewarganegaraan selanjutnya dipersilahkan membaca pasal 5 yang kiranya sudah cukup jelas. Itu adalah pewarganegaraan biasa atas permohonan orang yang ingin menjadi warganegara Republik Indonesia.
Ada kemungkinan bahwa guna kepentingan Indonesia sendiri perlu seorang diwarganegarakan, atau seorang asing, karena telah berjasa terhadap Republik Indonesia selayaknya diwarganegarakan. Dalam hal ini syarat-syarat yang ditentukan untuk permohonan pewarganegaraan biasa tentu saja tidak berlaku.
e. Karena atau Sebagai Akibat dari Perkawinan.
Undang-undang ini berpendirian bahwa dalam perkawinan kedua mempelai sedapat-dapatnya mempunyai kewarganegaraan yang sama. Apabila hal itu akan menimbulkan kelebihan kewarganegaraan atau tanpa kewarganecraraan atau menghilangkan kewarganegaraan seorang yang dirasakan berat, maka azas kesatuan kewarganegaraan itu dilepaskan.
Perkawinan Seperti telah diterangkan di atas undang-undang ini mengutamakan azas kesatuan kewarganegaraan dari kedua mempelai, azas mana tidak dijalankan apabila menimbulkan kelebihan kewarganegaraan atau tanpa kewarganegaraan, atau dirasakan berat apabila mengasingkan begitu saja seorang warganegara yang kawin dengan orang asing.
f. karena turut ayah/ibu-nya.
Pada dasarnya anak yang belum dewasa turut memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia dengan ayahnya atau ibunya, apabila tidak ada hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya. Kedudukan anak akan ditentukan lebih lanjut di bawah.
Pada umumnya anak yang belum dewasa — yaitu belum berumur 18 tahun dan belum kawin – turut ayahnva atau turut ibunya, jika tidak ada hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya. Dalam satu hal perubahan status seorang ibu berlaku buat semua anaknya; yaitu kalau ibu itu sudah janda karena suaminya meninggal dunia dan perubahan status itu disebabkan karena suatu perbuatan yang memerlukan pertimbangan sungguh-sungguh, yaitu karena pewarganegaraan. Karena memperoleh kewarganegaraan baru dapat dikatakan ada arti yang riil kalau orang itu bertempat tinggal di negara yang memberikan kewarganegaraan baru itu, maka anak tersebut baru turut memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia setelah ia berada di Indonesia.
g. karena pernyataan.
Selain dari kepada seorang perempuan asing yang kawin dengan seorang warganegara Republik Indonesia untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia lebih dulu dari satu tahun setelah perkawinannya berlangsung dan kepada orang-orang untuk memperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia yang hilang karena turut orang, lain, Undang-undang ini hanya memberi kemungkinan untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia dengan pernyataan kepada orang-orang, yang berhubung dengan keadaaan peralihan dimana ada vacuum dalam peraturan kewarganegaraan Republik Indonesia, tidak bisa menjadi warganegara Republik Indonesia.
Seorang yang berubah kewarganegaraan karena kebawa oleh orang lain atau mengikuti orang lain pada pokoknya hendaknya diberi kesempatan untuk kembali asal bilamana orang itu tidak lagi turut orang lain itu. Maka seorang perempuan yang memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia karena turut suaminya, pada waktunya boleh melepaskan kewarganegaraan Republik Indonesia itu lagi, seorang yang kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia karena turut suami/istrinya boleh memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia lagi.
C. Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia
Selain dari akibat dari perkawinan dan turut ayah/ibu, yang akan diterangkan di bawah, hal-hal yang menyebabkan kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia, dalam undang-undang ini dicantumkan dalam pasal 17. Kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia itu dapat disebabkan oleh karena orang yang bersangkutan memperoleh kewarganegaraan baru dengan kemauannya sendiri atau karena ia ingin mempunyai kewarganegaraan saja sedangkan ia tidak bertempat tinggal di Indonesia, atau karena perbuatan-perbuatan yang dapat menunjukkan bahwa orang yang bersangkutan tidak atau kurang menghargakan kewarganegaraan Republik Indonesia. Dalam pada itu memperoleh kewarganegaraan lain dengan kemauannya sendiri tidak selalu dengan sendirinya mengakibatkan kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia pasal 17
BAB IV
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari kewarganegaraan Indonesia adalah salah satu persyaratan diterimanya status sebuah negara adalah adanya unsur warganegara yang diatur menurut ketentuan hukum tertentu, sehingga warga negara yang bersangkutan dapat dibedakan dari warga negara lain. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kewarganegaraan Indonesia menganut dua asas yaitu ius soli dan ius sanguinis.
B. Saran
Beberapa saran yang dapat disampaikan oleh penulis:
- Hendaknya kita mengerti tentang kewarganegaraan Indonesia.
- Bahwa kewarganegaraan Indonesia memiliki aturan yang telah ditetapkan oleh UU yang sangat berpengaruh bagi warga negara Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen pendidikan dan kebudayaan.1993. Kurikulum 1994 SMU GBPP Mata Pelajaran Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan. Jakarta Depdikbud.
2. Depdiknas.2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Kewarganegaraan (Citizenship). Jakarta: Puskurlitbang.
3. Maria Farida Indrati Supranto.1998 Ilmu perundang-undangan.Yogyakarta: Kanisius.
Subscribe to:
Comments (Atom)