Monday, 28 September 2015
“MAKALAH HUKUM INTERNASIONAL DALAM TATANAN SOSIAL YANG BERUBAH”
Dibuat untuk memenuhi tugas tertulis
Mata Kuliah Hukum Internasional
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberadaan Hukum International dalam Kondisi Sistem International yang Berubah
Keberadaan hukum internasional dalam ranah hubungan internasional menimbulkan berbagai kontroversi, terkait fungsinya yaitu untuk menciptakan keteraturan atau ketertiban dalam sistem internasional yang rumit. Kontroversi tersebut menimbulkan tanda tanya besar bagi para pemikir hubungan internasional, untuk menganalisis keberadaan dan relevansi hukum international dalam menciptakan keteraturan hubungan antar unit dalam sistem internasional saat ini. Berusaha untuk menjawab dan membuktikan tanda tanya besar tersebut, review ini secara spesifik dakan membahas mengenai pemikiran Harvey Starr, dalam Bab 6 bukunya yang berjudul “ Anarchy, Order and Integration”, yang menjelaskan efektivitas keberadaan hukum international untuk menciptakan keteraturan dalam sistem internasional yang anarchy, lalu membandingkannya dengan pemikiran Basak Cali dan Joseph Nye, Jr, yang memiliki analisis sedikit berbeda namun saling mendukung. Selanjutnya penulis akan menganalisis persamaan dan perbedaan dari ketiga pemikiran tersebut, lalu memberikan pandangan penulis mengenai topik tersebut.
Starr memulai pembahasan dalam BAB 6 ini dengan penjelasan mengenai definisi hukum internasional, sebagai hukum yang tersusun atas seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antar negara dan menggambarkan hak serta kewajiban dari setiap negara yang saling berhubungan itu ). Strarr kemudian menggunakan dua pendekatan umum untuk menjelaskan keterikatan negara-negara berdaulat terhadap hukum internasional yang anarchy, dimana terdapat absennya badan yang dapat melaksanakan hukum tersebut terhadap setiap negara berdaulat yaitu :
1. Berdasarkan perspektif natural law, hukum muncul berdasarkan prinsip-prinsip universal, yang menyebabkan berlaku bagi semua orang pada setiap waktu dalam keadaan apapun. Dasar dari kewajiban menurut perspektif ini adalah prinsip universal, seperti layaknya prinsip natural sciences yang berlaku untuk semua keadaan alamiah. )
2. Berdasarkan perspektif teori hukum positivis, hukum adalah apa yang dikatakan seseorang sebagai hukum. Dasar dari kewajiban menurut perspektif kedua ini muncul dari kepentingan pribadi, kegunaan consent atau persetujuan. Keterikatan dari hukum atau peraturan ini muncul dari kebiasaan atau customary behaviour. Prespektif positivis ini menimbulkan asumsi hukum bersifat situasional, sesuai dengan kondisi dan struktur politik yang berubah. )
Sistem internasional, yang menurut Starr bersifat anarchy dengan level interdependency tertentu dari setiap negara anggotanya, mempunyai tujuan yang sama seperti sistem masyarakat. Tujuan tersebut yaitu rasa aman dari kekerasan, jaminan bahwa setiap persetujuan yang dibuat akan ditaati dan stabilitas hak kepemilikan atas suatu benda. Dengan terpenuhinya ketiga tujuan tersebut Starr percaya keteraturan akan tercipta. )
Munculnya permasalahan yang dianggap menghambat pencapaian ketiga tujuan tersebut, serta adanya pengaruh keadaan politik, ekonomi dan kedaulatan negara yang kompleks, mengakibatkan lahirnya permintaan dari masyarakat negara untuk membuat sebuah sitem pengaturan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. ) Sistem pengaturan informal, yang tidak bersifat vertikal dan terpusat, kemudian terbentuk sebagai upaya untuk membuat keteraturan namun tetap menjaga kedaulatan dan otonomi setiap negara. ) Starr menolak sistem pengaturan informal realis yang berupa sistem balance of power sebagai jawaban permintaan atas keteraturan tersebut dan menyanggah pendapat realis yang tidak percaya pada efektivitas pengaturan hukum internasional. Starr lebih percaya pada pendapat liberalis yang melihat hukum internasional sebagai kesepakatan antara kebutuhan setiap negara, yang merefleksikan kepentingan dan persetujuan negara-negara tersebut. Hukum internasional ini kemudian akan menciptakan keteraturan karena berisi norma dan peraturan yang dapat memunculkan pola tingkah laku dari setiap negara sehingga tindakan negara meskipun sesuai dengan keinginan masing-masing yang berbeda-beda, menjadi lebih pasti dan dapat diprediksi. ) Hal ini dapat terjadi karena norma berlaku sebagai pembatas dan pemberi tanda bagi setiap tingkah laku, apakah baik atau buruk yang dipengaruhi ekspektasi aktor lain ini dapat terjadi cukup dengan norma, tanpa adanya peraturan normal atau tertulis ).
Menurut Starr, sanksi informal yang dimiliki hukum internasional sudah cukup untuk mendukung terciptanya keadaaan teratur dalam sistem internasional. Prinsip reciprocity atau hubungan timbal balik, yang merupakan mekanisme informal, menjadi salah satu pendorong negara untuk mematuhi hukum internasional. Prinsip reciprocity ini muncul karena adanya hubungan antar negara, sehingga setiap negara akan memiliki ketakutan akan sanksi dari negara lain sebagai pembalasan. Jika ada sebuah negara yang melanggar hukum internasional maka kekacauan akan terjadi dan keadaan yang tadinya teratur menjadi tidak dapat lagi diprediksi sehingga menyebabkan masa depan terkesan berbahaya ).
Masih menurut Starr, keberadaan hukum internasional yang berfungsi:
1. Mencegah
2. Mengatur
3. Menyelesaikan konflik dalam sistem internasional menjadi sangat relevan saat ini, mengingat sistem internasional yang semakin berubah dan membutuhkan keteraturan.
Perubahan yang paling utama hubungan saling ketergantungan antar aktor-aktor internasional yang semakin kompleks. Hal tersebut diidentifikasikan dengan meningkatnya pengaruh dari peran aktor-aktor non negara yang semakin banyak dan keterkaitan antar isu sehingga keamanan bukan lagi menjadi permasalahan utama dalam sistem internasional ).
Terlepas dari pemaparan sebelumnya, Starr tetap menyadari adanya pelanggaran terhadap hukum internasional yang dilakukan oleh beberapa aktor internasional. Menurutnya ketidakjelasan dari masa depan sering menjadi penyebab pelanggaran terhadap hukum. Namun karena setiap aktor internasional sekarang sudah berinteraksi dalam berbagai isu, cost atau kerugian yang disebabkan oleh pelanggaran menjadi lebih besar sehingga mengurangi insentif negara untuk melanggar hukum. Meskipun begitu, tindak pelanggaran itu akan selalu ada karena karakter sistem internasional yang anarchy tidak akan berubah ).
Sama seperti Harvey Starr, Basak Cali, editor buku International Law for International Relations, mendukung keberadaan hukum internasional dalam kancah sistem internasional. Dalam bukunya, Cali menjelaskan teori voluntarist atau will dari hukum internasional yang mendeskripsikan hukum internasional sebagai sistem peraturan yang dibuat secara sengaja dan eksplisit oleh negara-negara. Menurut teori ini sanksi dalam sistem peraturan tidak dibutuhkan karena setiap negara pada dasarnya sudah secara eksplisit mempunyai will atau keinginan untuk terikat oleh hukum tersebut ).
Namun will atau keinginan tersebut tidak stabil dan dapat berubah-rubah, sehingga sebuah negara dapat mengundurkan diri atau menarik dukungannya terhadap hukum internasional tersebut kapan saja. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh dari hukum internasional terhadap tingkah laku negara sangat terbatas, karena sebuah negara tidak akan mematuhi hukum internasional tertentu jika mereka tidak memiliki keinginan untuk mematuhinya ).
Karena dianggap tidak stabil dan tidak lagi relevan, konsep will tersebut kemudian diganti oleh kaum positivis menjadi consent atau persetujuan. Dengan memberikan consent atau persetujuan artinya setiap negara sudah setuju menjadi sebuah hukum dan tidak akan dengan mudah mengubah preferensinya karena sudah mengakui kekuatan mengikat hukum tersebut ).
Meskipun permasalahan mengenai perbedaan cara untuk mengekspresikan persetujuan tersebut akan muncul, positivis menganggap consent akan tetap efektif karena setidaknya setiap negara sudah menerima persetujuan tersebut sebagai norma, sehingga akan ada sebuah alasan baik untuk menghargai persetujuan negara lain ).
Cali juga memasukan pendapat para pengacara internasional yang mengatakan bahwa absennya hukum internasional dapat menimbulkan efek negatif bagi hubungan internasional, karena merupakan pertanda dari ketidakstabilan, konflik, eksploitasi, dan ketidakadilan. Hukum internasional memang tidak selalu dapat menyelesaikan semua permasalahan tersebut, tetapi keberadaan hukum internasional merupakan sebuah pengingat akan hadirnya sebuah peraturan yang berlaku bagi semua negara, dan tindakan setiap negara menjadi subjek dari penilaian yang berdasarkan peraturan tersebut ). Meskipun begitu, Cali mengakui bahwa keadaan over-regulation oleh hukum internasional dapat menimbulkan masalah, karena kelompok politik dalam negara akan melihat pengaturan yang berlebihan tersebut sebagai sebuah intervensi yang terlalu jauh pada politik dan proses legal domestic, atau kedaulatan mereka sendiri ).
Dukungan terhadap hukum internasionak juga datang dari Joseph S. Nye, Jr dalam bukunya Understanding International Conflicts, an Introduction to Theory and History. Nye pertama-tama menjelaskan mengenai pengertian hukum internasional yang tidak dapat disamakan dengan pengertian hukum domestik sebuah negara, sehingga indicator efekktivitas kedua hukum tersebut menjadi berbeda. Memang pada dasarnya ada kesamaan dari aspek isi antara hukum internasional dan hukum domestik, yaitu sama-sama berisi treaty dan customs atau kebiasaan, dimana treaty merupakan kesepakatan antar negara, sedangkan customs atau kebiasaan merupakan praktek-praktek tingkah laku yang diterima secara umum oleh negara-negara. Meskipun begitu, perbedaan antara hukum internasional dan hukum domestik terlalu mencolok dalam aspek enforcement, adjudication, dan ambiguity ).
Dalam aspek enforcement, tidak seperti hukum domestik, hukum internasional tidak mempunyai kekuatan eksekutif untuk membuat setiap negara menerima dan mematuhi keputusan yang ditetapkan oleh aktor tertentu. Hal ini terkait dengan karakter sistem internasional yang lebih mengutamakan pada mekanisme self-help, dimana setiap negara berusaha unutk mencapai kepentingannya masing-masing ). Di sisi lain dalam aspek adjudication atau penjurian, hukum internasional hanya memberikan kewenangan untuk memproses masalah hukum atau sengketa hukum pada negara, bukan individu ). Selanjutnya dalam masalah ambiguity atau ambiguitas, karena hukum internasional bukan merupakan legislasi yang mengikat setiap negara secara mutlak, maka permasalahan mengenai iterpretasi peraturan menjadi sangat mungkin terjadi meskipun prinsip yang sama sudah disetujui. Faktor ambiguitas inilah yang terkadang menyebabkan adanya beberapa negara yang tidak menyetujui dan mematuhi hukum internasional tertentu ).
Nye melihat pada dasarnya ada dua alasan utama mengapa sebuah negara memiliki ketertarikan untuk menyetujui hukum internasional, yaitu predictability dan legitimasi. Untuk menjelaskan predictability, Nye menjelaskan terlebih dahulu keadaan sistem internasional, dimana konflik antar negara terus saja terjadi, sementara transaksi dan hubungan antar negara dalam berbagai bidang terus meningkat sehingga mengakibatkan meningkatnya tingkat interdependency antar negara.
Hubungan interdependency yang semakin meningkat ini sangatlah rapuh karena satu masalah akan mempengaruhi semua negara atau actor yang terlibat di dalamnya. Dalam keadaan tersebut, hukum internasional memberikan kejelasan mengenai pola tingkah laku yang diharapkan dari setiap negara untuk menghindari konflik ).
Hal kedua yaitu legitimasi terkait dengan konsep power. Legitimasi dan power merupakan dua hal yang komplementer atau saling melengkapi, karena legitimasi dianggap sebagai salah satu sumber power. Dengan meningkatnya legitimasi sebuah negara melalui hukum internasional, status power negara tersebut akan meningkat, terutama dalam aspek soft power. Jika power sebuah negara meningkat, maka ia akan lebih mudah mempengaruhi negara atau aktor lain untuk mendukungnya dalam meraih kepentingan tertentu. Penjelasan tersebut menunjukan bahwa sebenarnya hukum juga merupakan salah satu bagian dari power struggle ).
Menurut pandangan penulis, pemikiran Harvey Starr mengenai hukum hukum internasional dipengaruhi oleh perspektif kaum realis liberalis dalam masalah keteraturan dalam sistem internasional. Di satu sisi, Starr percaya pada pandangan realis yang mengatakan bahwa karakter dunia internasional adalah anarchy, dimana dengan absennya keberadaan badan eksekutif yang dapat memaksakan hukum internasional pada setiap negara yang berdaulat, negara-negara tersebut akan cenderung memiliki perbedaan pemahaman dalam menanggapi masalah tertentu. Sehingga konflik dan perpecahan menjadi sangat mungkin untuk terjadi ).
Di sisi lain Starr percaya pada pandangan liberalis bahwa dalam keadaan sistem internasional saat ini yang memiliki hubungan antar unit yang semakin kompeks dan saling ketergantungan satu sama lain. Hukum internasional yang dihasilkan dari kesepakatan negara-negara dapat secara efektif menyelesaikan perbedaan pemahaman dan kepentingan antar negara dalam sistem anarchy tersebut, karena adanya mekanisme sanksi dan prosedur yang bersifat informal ).
Meskipun memiliki dasar pendapat yang sama dengan Starr, Cali dan Nye memberikan analisis yang berbeda untuk menjelaskan efektifitas hukum internasional dalam menciptakan keteraturan dalam sistem internasional saat ini. Cali menjelaskan dukungannya terhadap keberadaan hukum internasional dengan memberikan analisis mengenai kekuatan yang mendorong negara atau aktor internasional lain untuk mematuhi hukum internasional dengan menekankan penjelasannya pada konsep will dan consent. Cali menggunakan pandangan positivis untuk memudahkan membandingkan keterkaitan kedua konsep tersebut dalam hukum internasional. Di lain pihak Nye lebih menekankan pada analis pemahaman hukum dalam konteks internasional dan domestik.
Melalui perbandingan tersebut, Nye menunjukan bahwa efektifitas penggunaan hukum internasional dan hukum domestik sangatlah berbeda, sehingga wajar bila konflik kekuatan yang intens antar negara dalam sistem internasional akan selalu dalam keadaan tertentu karena karakteristik sistem dan hukum berada pada konteks yang berbeda ).
Selain itu Nye juga berhasil mengaitkan konsep hukum internasional dengan konsep power dengan menjelaskan hubungan complementary antara kedua konsep tersebut, sehingga menjadikan kedudukan hukum internasional dalam sistem yang anarchy dan power-centric dapat diterima.
Meskipun memiliki beberapa perbedaan dalam tingkat analisis, penulis berpendapat bahwa pada dasarnya ketiga pemikir tersebut sama-sama mendukung keberadaan hukum internasional dalam sistem internasional yang memiliki tingkat interdependency antar unit semakin tinggi saat ini, karena merupakan pedoman bagi tingkah laku setiap aktor yang terlibat didalamnya. Pedoman tersebut menimbut menimbulkan pola tingkah laku yang sesuai peraturan menjadi kebiasaan dan dapat diprediksi sehingga menimbulkan keteraturan yang berdasarkan rasa keamanan bersama.
Mekanisme prosedur dan sanksi yang bersifat informal, meskipun tidak dapat secara total menyelesaikan semua permasalahan yang ada tetapi dapat secara umum menyelesaikan ketegangan yang terjadi dalam sistem internasional yang anarchy.
Berdasarkan paparan tersebut penulis berpendapat bahwa keberadaan hukum internasional sebagai norma dan peraturan dalam sistem internasional saat ini memang diperlukan untuk mencegah dan mengatasi berbagai permasalahan yang timbul dalam hubungan antar negara. Menurut penulis hukum internasional pada dasarnya dibuat karena adanya perasaan tidak aman atau insecure dari setiap negara dalam sistem internasional yang anarchy dan tidak dapat diprediksi ini.
Hukum internasional dapat memberikan rasa aman atau security kepda setiap negara tersebut karena memberikan jaminan atas keteraturan melalui prinsip-prinsip norma, reciprocity, predictibility, dan interdependency seperti yang telah diterangkan cukup jelas oleh Starr, Cali dan Nye. Keteraturan yang tercipta melalui prinsip-prinsip dalam hukum internasional tersebut akan menjadi lebih stabil dan berkelanjutan karena pada dasarnya tidak ada negara yang mempunyai niat atau tujuan untuk melanggar peraturan dalam hukum tersebut.
Hal ini disebabkan oleh faktor cost atau kerugian yang akan diterima oleh suatu negara yang melanggar peraturan tertentu. Selain rugi karena mendapatkan sanksi atas pelanggarannya, status negara yang melanggar hukum internasional tertentu akan menurun karena dianggap mengacaukan keteraturan sistem dan merugikan negara lain sehingga status dan pengaruhnya dalam sistem internasional akan berkurang.
Selain itu, penulis melihat bahwa keadaan sistem internasional saat ini sangat mendukung posisi hukum internasional sebagai pedoman dalam mencapai keteraturan. Kenyataan bahwa hubungan antar aktor internasional yang semakin intens dan fakta bahwa isu-isu politik, ekonomi, sosial budaya, lingkungan dan keamanan dalam ranah internasional memiliki tingkat keterkaitan dan kesinambungan yang semakin tinggi. Hukum internasional semakin dibutuhkan untuk menjawab kebutuhan untuk menjawab kebutuhan akan kondisi yang teratur dalam hubungan antar negara sehingga dapat menguntungkan bagi keuntungan semua pihak.
Melihat bahwa aktor-aktor internasional terutama negara sudah semakin menyadari pentingnya kerjasama dalam rangka mencapai tujuan dan kepentingan bersama maupun pribadi, hukum internasional semakin dibutuhkan sebagai perekat dan penjaga hubungan kerja sama tersebut karena dapat menjamin akan adanya keuntungan bagi setiap anggota yang menaatinya. Oleh sebab itu hukum internasional ini sebenarnya mampu untuk menumbuhkan unity atau kesatuan antar unit dalam sistem internasional karena adanya konsensus terhadap hal yang sama.
Memang akan lebih baik jika mekanisme penerapan hukum intenasional dalam sistem internasional ini dapat didukung oleh sebuah badan eksekutif yang dapat memaksakan wewenangnya untuk membuat setiap negara aktor internasonal lain tunduk pada hukum yang sama sehingga keteraturan menjadi lebih baik. Dengan adanya badan eksekutif legal internasional tersebut, masalah-masalah mengenai pelanggaran terhdapa hukum yang dapat merugikan pihak lain dapat dicegah dan diselesaikan secara lebih efektif karena didasari oleh alasan legal yang jelas dan disepakati bersama.
Meskipun begitu, hal tersebut masih tidak mungkin untuk dialkukan karena sistem internasional saat ini masih menjunjung tinggi prinsip otonomi setiap negara karena adanya sovereignity sebagai hak dasar mutlak yang dimiliki oleh setiap negara sehingga negara atau aktor internasional lain harus menghargainya.
Bagaimanapun juga dunia memang tidak sempurna, akan selalu ada permasalahan yang disebabkan oleh kekurangan dan kesalahan aktor-aktor internasional yang terlibat didalamnya. Namun hal tersebut tidak menjadi alasan bagi kita untuk berhenti mencoba membuat keadaaan lebih baik, lebih teratur dan lebih menguntungkan melalui berbagai mekanisme maupun sistem, salah satunya adalah hukum internasional.
Jika kesimpulannya hukum internasional dapat menjadi salah satu solusi efektif untuk mengatasi permasalahan kekacauan dalam sistem internasional yang bersifat anarchy selama didukung oleh aktor-aktor yang terlibat didalamnya. Hukum internasional dianggap efektif untuk menciptakan keteraturan karena adanya prinsip-prinsip norma, reciprocity, predictibility dan interdependency. Hukum internasional juga dianggap sangat relevan dalam konteks hubungan internasional saat ini dimana hubungan interdependency antar negara dan aktor internasional menjadi semakin rumit dengan adanya berbagai isu yang saling berkaitan.
Meskipun terkadang mekanisme sanksi informal tidak dapat secara effektif mencegah dan menyelesaikan secara menyeluruh semua permasalahan dalam dunia internasional. Namun setidaknya hukum internasional dapat memberikan pedoman dan pengaturan secara umum yang terbukti berhasil pada sebagian besar permasalahan dalam sistem internasional ini. Kekurangan tersebut seharusnya dapat menjadi dorongan kuat bagi kita untuk terus mencoba memperbaiki sistem hukum internasional tersebut sehingga dapat dijadikan sebagai sebuah solusi sempurna dalam tatanan sosial yang berubah didalam hubungan internasional.
Apabila kita menganggap bahwa uraian diatas mengenai masyarakat internasional itu menggambarkan suatu keadaan yang telah semprna dan tidak akan berubah-rubah tentu anggapan itu keliru. Masyarakat internasional kini sedang mengalami berbagai perubahan yang besar dan pokok, yang perlu diperhatikan untuk dapat benar-benar memahami hakikat masyarakat internasional dewasa ini.
Perubahan besar itu adalah :
1. Perubahan peta bumi politik yang terjadi terutama setelah Perang Dunia II
Proses ini yang sudah dimulai pada permulaan abad XX yakni mengubah pola kekuasaan politik di dunia ini dari satu masyarakat internasional yang terbagi dalam beberapa negara besar yang masing-masing mempunyai daerah jajahan dan lingkungan pengaruhnya menjadi satu masyarakat bangsa-bangsa (nation state) yang terdiri dari banyak sekali negara yang merdeka.
Proses emansipasi bangsa-bangsa ini, atau lebih tepat lagi proses rehabilitasi kalau kita menganggap kemerdekaan bangsa-bangsa sebagai sesuatu yang wajar dan penjajahan oleh bangsa lain sebagai selingan di dalam sejarah yang bertentangan dengan kodrat bangsa-bangsa merupakan suatu proses yang wajar dan pada hakikatnya merupakan suatu penjelmaan masyarakat internasional dalam arti yang sebenarnya.
Timbulnya negara-negara baru yang merdeka, berdaulat dan sama derajatnya satu dengan yang lain terutama setelah Perang Dunia II patut disambut dengan baik.
Akan tetapi, sebagaimana selalu terjadi dengan berbagai perubahan besar, perubahan dalam peta bumi politik ini mempunyai akibat yang jauh bagi hukum internasional sehingga meyebabkan beberapa orang pesimis berbicara tentang krisis dalam hukum internasional ).
Kita yang melihatnya sebagai proses pertumbuhan susunan masyarakat yang tidak wajar yaitu suatu masyarakat internasional dimana asas pokok pergaulan internasional belum berwujud ke arah satu masyarakat dimana asas pokok masyarakat dan hukum internasional ini mendapat perwujudannya dalam kenyataan, harus menyambut proses ini sebagai suatu proses yang tidak dapat dielakkan. Perubahan terhadap konsep lama bukan sesuatu yang mengkhawatirkan melainkan harus kita lihat sebagai kejadian yang tak dapat dielakkan.
Dilihat secara demikian, perubahan penting yang terjadi dalam konsep ilmu hukum yang berkenaan dengan perjanjian, kewajiban negara (responsibility of state), nasionalisasi, hukum laut publik tidak perlu dikhawatirkan. Bahkan harus dilhat sebagai proses pertumbuhan kearah hukum internasional yang wajar, bebas dari berbagai konsep dan lembaga yang menggambarkan atau merupakan akibat dominasi bangsa-bangsa oleh beberapa bangsa di dunia ini.
2. Kemajuan Teknologi
Kemajuan teknik dalam berbagai alat perhubungan menambah mudahnya perhubungan yang melintasi batas negara. Kemajuan teknologi persenjataan menimbulkan berbagai masalah baru dan keharusan meninjau kembali ketentuan mengenai hukum perang. Kemajuan teknologi dalam pengolahan kekayaan alam telah dan sedang mengakibatkan berbagai perubahan besar dalam konsep hukum laut dan timbulnya konsep baru untuk mengikuti perkembangan yang pesat ini.
Perkembangan teknologi dan akibatnya mau tidak mau harus diikuti dan dilayani oleh para sarjana ilmu hukum internasional apabila cabang ilmu hukum ini tidak mau ketinggalan.
3. Struktur organisasi masyarakat internasional
Perubahan dalam struktur organisai masyarakat internasional ini sangat penting karena berlainan dengan kedua golongan diatas, yang mempunyai akibat langsung terhadap struktur masyarakat internasional yang didasarkan atas negara yang berdaulat. Perkembangan yang penting adalah timbulnya berbagai organisasi atau lembaga internasional yang mempunyai eksistensi terlepas dari negara-negara.
Di pihak lain ada perkembangan yang memberikan kompetensi hukum kepada para individu dalam beberapa hal tertentu. Kedua gejala ini menunjukkan bahwa di samping mulai terlaksananya satu masyarakat internasional dalam arti yang benar dan efektif berdasarkan asas kedaulatan, kemerdekaan dan persamaan derajat antar negara-negara sehingga dengan demikian terjelma hukum internasional sebagai hukum koordinasi, timbul suatu kompleks kaidah yang lebih memperlihatkan ciri-ciri hukum subordinasi.
Kita menyaksikan suatu proses pemusatan kekuasaan dan wewenang pada organisasi-organisasi internasional lepas dari negara-negara sehingga masyarkat internasional kini tidak lagi identik dengan masyarakat antar negara. Perkembangan ini sangat menarik karena mempunyai akibat bagi sistematik pembahasan hukum internasional. Persoalan yang timbul ialah dapatkah kita terus menggunakan cara pendekatan yang didasarkan pada hukum internasional yang tradisional yakni yang didasarkan atas negara yang berdaulat, merdeka dan persamaan derajat negara-negara? Ataukah diperlukan suatu cara pendekatan lain yang menggambarkan perkembangan baru yang disebutkan diatas, terutama timbulnya beberapa lembaga internasional sebagai subyek hukum internasional.
Penulis hendak menempuh suatu jalan tengah dengan menggunakan sistematik tradisional bagi hukum internasional umum yang terutama didasarkan atas hubungan antar negara-negara, sedangkan perkembangan baru yang menyebabkan timbulnya berbagai lembaga atau organisasi internasional akan mendapat perhatian khusus.
Sistematik dan cara pendekatan demikian mungkin tidak akan memuaskan mereka yang menghendaki satu kesatuan sistem yang bulat yang mencakup seluruh materi hukum internasional, akan tetapi penulis berpendapat bahwa dalam masa peralihan ini belum waktunya mengadakan percobaan perubahan sistematik yang radikal demikian.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah Faktor Penyebab Adanya Pekerja di bawah umur?
2. Apakah Contoh Kasus Pekerja di Bawah Umur?
3. Bagaimana Hak-hak Anak Dalam Persepektif Hukum internasional?
4. Bagaimana Peran Pemerintah Terhadap Kasus Pekerja dibawah umur?
BAB II
PEKERJA ANAK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA (HAM)
A. Faktor Penyebab Adanya Pekerja di bawah umur
Seperti yang telah kita ketahui anak merupakan titipan Tuhan Yang Maha Esa sehingga nasib dan masa depan anak-anak tersebut merupakan tanggung jawab utama orang tua dan tanggung jawab kita bersama. Anak merupakan masa depan bagi setiap orang tua dan merupakan aset masa depan bangsa. )
B. Contoh Kasus Pekerja di Bawah Umur
CV Langgeng Computer Embroydery, pabrik konveksi milik Budi Halim dan istrinya, Herawati yang terdapat di kelurahan Kebon Jeruk kecamatan Andir Bandung, Jawa Barat ini diketahui telah memperkerjakan anak dibawah umur. Laporan ini didapat dari Dewi, seorang anak yang menjadi korban pekerja dibawah umur.
C. Hak-hak Anak Dalam Persepektif Hukum Internasional
Hak-hak asasi manusia merupakan terjemahan dari istilah droits de I’homme dalam bahasa Perancis yang berarti “hak manusia” atau dalam bahasa Inggrisnya human rights, yang dalam bahasa Belanda disebut menselijke rechten. Di Indonesia umumnya dipergunakan istilah: “hak-hak asasi”, yang merupakan terjemahan dari basic rights dalam bahasa Inggris dan grondrecten dalam bahasa Belanda.
D. Peran Pemerintah Terhadap Kasus Pekerja dibawah Umur
Hak asasi anak diakui secara universal sebagaimana tercantum dalam piagam PBB, deklarasi PBB tahun 1945 tentang Hak Asasi Manusia, Deklarasi ILO di Philadelphia tahun 1944 tentang Hak-Hak Anak, Konvensi PBB tahun 1989 tentang hak-hak anak. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi yang termuat dalam Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan Konvensi perserikatan Bangsa-Bangsa tenatng hak-hak anak (Convention on the rights of the child). Bahwa dalam deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, PBB telah menyatakan bahwa dalam masa kanak-kanak, anak berhak memperoleh pemeliharaaan dan bantuan khusus.
BAB III
KESIMPULAN
Sering kita jumpai kasus anak yang bekerja dibawah umur. Alasan yang paling utama yaitu faktor ekonomi, dimana seorang anak dipaksa atau terpaksa membantu mencari nafkah untuk kelangsungan hidup keluarganya. Terkadang anak pun lebih memilih untuk bekerja dari pada untuk bersekolah karena situasi disekolah menurut anak-anak tidak menyenangkan,atau fasilitas yang kurang memadai,jarak yang begitu jauh,medan yang sulit untuk dilalui, atau bahkan biaya yang begitu mahal.
BAB IV
SARAN
Sering kita jumpai kasus anak yang bekerja dibawah umur. Alasan yang paling utama yaitu faktor ekonomi, dimana seorang anak dipaksa atau terpaksa membantu mencari nafkah untuk kelangsungan hidup keluarganya. Terkadang anak pun lebih memilih untuk bekerja dari pada untuk bersekolah karena situasi disekolah menurut anak-anak tidak menyenangkan,atau fasilitas yang kurang memadai,jarak yang begitu jauh,medan yang sulit untuk dilalui, atau bahkan biaya yang begitu mahal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Harvey Starr, Anarchy, Order and Integration : How to Manage Interdependence, (USA: The University of Michigan Press,1997
2. Basak Cali, International Law for International Relations, (New York : Oxford University Press, 2010
3. Joseph S. Nye, Jr. Understanding International Conflicts: an Introduction to Theory and History. (New York : Harper Collins, 2009
4. H.A. Smith, The Crisis in The Law of Nations, London 1974
5. Joseph L. Kunz, The Changing Law of Nations, 51 A.J.I.L. (1957)
6. Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional. (Penerbit PT. Alumni, 2003)
RANGKUMAN PP 53 2010 TENTANG DISIPLIN PNS
Berlakunya PP 53/2010 : Sejak tanggal diundangkan : tgl 6 Juni 2010
Obyek/ sasaran : a. PNS Pusat dan PNS Daerah (Pasal 1 ayat 2)
b.Calon PNS (pasal 2)
DISIPLIN PNS : Adalah kesanggupan PNS untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang undangan dan/atau peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati atau dilanggar dijatuhi hukuman disiplin
Pengertian HD : Pelanggaran disiplin adalah setiap ucapan, tulisan, atau perbuatan PNS yang tidak menaati kewajiban dan/atau melanggar larangan ketentuan disiplin PNS, baik yang dilakukan di dalam maupun di luar jam kerja
Bentuk Hukuman Disiplin
a. hukuman disiplin ringan;
b. hukuman disiplin sedang; dan
c. hukuman disiplin berat.
Jenis Hukuman Disiplin
1. Jenis hukuman disiplin ringan terdiri dari:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan
c. pernyataan tidak puas secara tertulis.
2. Jenis hukuman disiplin sedang terdiri dari:
a. penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun;
b. penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu) tahun; dan
c. penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun.
PP 30 :
a. Penundaan KGB paling lama 1 th
b. Penurunan gaji 1 x KGB paling lama 1 tahun
c. Penundaan KP paling lama 1 tahun
3. Jenis hukuman disiplin berat terdiri dari:
a. penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun;
b. pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah;
c. pembebasan dari jabatan;
d. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS; dan
e. pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.
PP 30 :
a. Penurunan pangkat : 1 tahun
b. Huruf b tidak ada, c sampai e sama
I. JENIS HD UNTUK PELANGGARAN KETENTUAN JAM KERJA
A. Hukuman Disipli Ringan ( pasal 8 )
1. Teguran Lisan : tidak masuk selama 5 hari kerja
2. Teguran Tertulis : tidak masuk selama 6 s.d 10 hari kerja
3. Pernyataan tidak puas scr tertulis : tidak masuk selama 11 s.d 15 hari kerja
B. Hukuman Disiplin Sedang ( pasal 9 )
1. Penundaan KGB selama 1 (satu ) tahun : tidak masuk selama 16 s.d 20 hari kerja
2. Penundaan kenaikan Pangkat selama 1 (satu ) tahun : tidak masuk selama 21 s.d 25 hari kerja
3. Penurunan Pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu ) tahun : tidak masuk selama 26 s.d 30 hari kerja
C. Hukuman Disipliln Berat ( pasal 10 )
1. Penurunan Pangkat setingkat lebih rendah selama 3 ( tiga ) tahun : tidak masuk selama 31 s.d 35 hari kerja
2. Pemindahan dalam rangka Penurunan jabata setingkat lebih rendah : tidak masuk selama 36 s.d 40 hari kerja
3. Pembebasan dari jabatan Strktural atau JFT : tidak masuk selama 41 s.d 45 hari kerja
4. Pemberhentian dengan hormat dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau Pemberhentian tidak dengan hormat : tidak masuk selama 46 hari kerja atau lebih
Pasal 14 : Pelanggaran Pasal 8, 9 dan 10 dihitung secara komulatif s.d akhir tahun berjalan
Penjelasan Pasal 3 angka 11 :
Keterlambatan masuk kerja dan/atau pulang cepat dihitung secara kumulatif dan dikonversi 7 ½ (tujuh setengah) jam sama dengan 1 (satu) hari tidak masuk kerja;
II JENIS HD UNTUK PELANGGARAN KAMPANYE
A. BENTUK PELANGGARAN KAMPANYE :
1. ikut serta sebagai pelaksana kampanye;
2. menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS;
3. sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain; dan/atau
4. sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara;
B. Hukuman Disiplin Sedang ( pasal 12 ) angka :
6. memberikan dukungan kepada capres/Cawapres, DPR, DPD, atau DPRD, dg menjadi pelaksana/peserta kampanye dg gunakan atribut partai atau atribut PNS, sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain;
7. memberikan dukungan kepada capres/Cawapres dg mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 13 huruf b;
8. memberikan dukungan kepada calon anggota DPD atau calon Kepala /Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan surat dukungan disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk sesuai peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 14; dan
9. memberikan dukungan kepada calon Kepala /Wakil Kepala Daerah dengan cara terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala/Wakil Kepala Daerah serta mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 15 huruf a dan huruf d.
C. HUKUMAN DISPLIN BERAT (Pasal 13) angka :
11. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, DPR, DPD atau DPRD dengan menjadi peserta dg menggunakan fasilitas negara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 12 huruf d;
12. memberikan dukungan kepada capres/cawapres dengan cara membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 13 huruf a; dan
13. memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye dan/atau membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 15 huruf b dan huruf c.
III. PEJABAT YANG BERWENANG MENGHUKUM
A. BUPATI ( pasal 20 ayat 1)
Menetapkan penjatuhan HD bagi PNSD :
1. Sekretaris Daerah untuk semua jenih HD tingkat ringan, Sedang dan Berat
2. JFT pada jenjang Utama untuk semua jenih HD tingkat ringan, Sedang dan Berat
3. JFU pada golru IV/d dan IV/e semua jenih HD tingkat ringan, Sedang dan Berat huruf a, huruf d dan huruf e.
4. Pejabat Struktural eselon II dan JFT jenjang Madya (IV/c) dan Penyelia (III/c dan III/d) untuk semua jenih HD tingkat ringan, Sedang dan Berat;
5. JFU golru IV/a s.d IV/c untuk jeniS HD tingkat ringan, Sedang dan Berat huruf a, huruf d dan huruf e ;
6. Pejabat Struktural eselon III kebawah dan JFT jenjang muda dan penyelia kebawah untuk semua jenis HD tingkat Sedang dan Berat;
7. JFU golru III/d kebawah untuk jenis HD tingkat ringan, Sedang dan Berat huruf a, huruf d dan huruf e ;
B. SEKRETARIS DAERAH ( Pasal 20 ayat 2 )
Menetapkan penjatuhan HD bagi PNSD :
1. Pejabat struktural eselon II di lingkungannya, untuk jenis HD Tingkat ringan ;
2. Pejabat struktural eselon III, JFT jenjang Muda ( III/c dan III/d Kesehatan ) dan Penyelia (III/c dan III/d non kesehatan), dan JFU golru III/c dan III/d, untuk semua jenis HD ringan ;
3. Pejabat struktural eselon IV, JFT jenjang Pertama ( gol IIIa atau III/b non guru ) dan Pelaksana Lanjutan ( III/a Kesehatan), dan JFU golru II/c s.d III/b untuk jenis HD tingkat sedang huruf a dan b;
4. PNS yang dipekerjakan atau diperbantukan dilingkungannya yang menduduki jabatan struktural eselon III dan JFU golru III/c dan III/d, untuk semua jenis HD ringan
C. PEJABAT ESELON II
Menetapkan penjatuhan HD bagi PNSD
1. Pejabat struktural eselon III, JFT jenjang Muda ( III/c dan III/d Kesehatan ) dan Penyelia ( III/c dan III/d non kesehatan ), dan JFU golru III/c dan III/d, untuk jenis hukuman ringan
2. Pejabat struktural eselon IV, JFT jenjang Pertama dan Pelaksana Lanjutan, dan JFU golru II/c s.d III/b, untuk jenis hukuman disiplin sedang huruf a dan b;
D. PEJABAT ESELON III
Menetapkan penjatuhan HD bagi PNSD
1. Pejabat eselon IV, JFT jenjang Pertama ( gol IIIa atau III/b ) dan Pelaksana Lanjutan ( III/a Kesehatan) , dan JFU golru II/c s.d III/b, untuk jenis hukuman disiplin ringan; dan
2. Pejabat eselon V, JFT jenjang Pelaksana dan Pelaksana Pemula, dan JFU golru II/a dan II/b, untuk jenis HD sedang huruf a dan huruf b;
E. PEJABAT ESELON IV
Menetapkan penjatuhan HD bagi PNSD
1. Pejabat struktural eselon V, JFT jenjang Pelaksana(II/a sd II/d) dan Pelaksana Pemula (II/a), dan JFU golru II/a dan II/b, untuk jenis HD ringan
2. JFU golru I/a s.d I/d, untuk HD tingkat sedang huruf a dan huruf b;
III. SANKSI BAGI PEJABAT YANG TIDAK MENJATUHKAN HD : Pasal 21
1. Atasan Pejabat tersebut menjatuhkan sanksi kepada PNS yang melanggar HD
2. Atasan Pejabat juga wajib menjatuhkan HD kepada Pejabat yang berwenang menghukum.
3. HD bagi pejabat yang tidak menjatuhkan sanksi = HD bagi PNS yang melanggar
Apabila tidak terdapat pejabat yang berwenang menghukum, maka kewenangan menjatuhkan hukuman disiplin menjadi kewenangan pejabat yang lebih tinggi. (Pasal 21)
TATACARA PEMERIKSAAN
PENJELASAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2003
TENTANG
PERATURAN DISIPLIN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
I. UMUM
Suatu organisasi selalu mempunyai aturan intern dalam rangka meningkatkan kinerja, profesionalisme, budaya organisasi maupun kebersamaan, kehormatan dan kredibilitas organisasi tersebut serta untuk menjamin terpeliharanya tata tertib dan pelaksanaan tugas sesuai tujuan, peranan, fungsi, wewenang dan tanggung jawab institusi tersebut.
Organisasi yang baik bukanlah segerombolan orang yang berkumpul dan bebas bertindak semaunya, organisasi harus punya aturan tata tertib perilaku bekerja, bertindak, maupun bergaul antar anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan bergaul dengan masyarakat lingkungan organisasi tersebut. Namun juga ikatan aturan tersebut janganlah memasung inovasi dan kreatifitas anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang lalu membuat organisasi tersebut statis tidak berkembang.
Organisasi yang baik dan kuat adalah organisasi yang punya aturan tata tertib intern yang baik dan kuat pula. Aturan tersebut dapat berbentuk peraturan disiplin, kode etik, maupun kode jabatan. Peraturan ini adalah tentang disiplin, namun disadari bahwa sulit memisahkan secara tegas antara berbagai aturan intern tesebut, selalu ada warna abu-abu, selalu ada sisi terang dan sisi gelap, akan selalu ada tumpang tindih antara berbagai aturan, namun harus diminimalkan hal-hal yang tumpang tindih tersebut.
Disiplin adalah kehormatan, kehormatan sangat erat kaitannya dengan kredibilitas dan komitmen, disiplin anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah kehormatan sebagai anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menunjukkan kredibilitas dan komitmen sebagai anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, karenanya pembuatan peraturan disiplin bertujuan untuk meningkatkan dan memelihara kredibilitas dan komitmen yang teguh. Dalam hal ini kredibilitas dan komitmen anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah sebagai pejabat negara yang diberi tugas dan kewenangan selaku pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat, penegak hukum dan pemelihara keamanan.
Komitmen berbeda dengan loyalitas, loyalitas cendrung mengarah ke loyalitas mutlak dan berujung pada kecendrungan penguasa/pimpinan untuk menyalahgunakan loyalitas tersebut (abuse of power). Oleh karena itu pelaksanaan disiplin itu harus didasarkan pada persetujuan/kesadaran daripada rasa takut, dan didasarkan kepada komitmen daripada loyalitas.
Dewasa ini tidak ada batas yang jelas antara kehidupan pribadi dan kehidupan di pekerjaan, apalagi tuntutan masyarakat akan peranan Kepolisian Negara Republik Indonesia pada semua kegiatan masyarakat, sangat besar dan tidak mengenal waktu. Kegiatan Polisi, khususnya karena hal itu merupakan identitas dua puluh empat jam terus menerus. Seorang anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sedang tidak bertugas, tetap dianggap sebagai sosok polisi yang selalu siap memberikan perlindungan kepada masyarakat. Karena itu peraturan ini juga mengatur tata kehidupan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku pribadi dalam kehidupan bermasyarakat.
Perubahan situasi ketatanegaraan yang menyebabkan peraturan disiplin yang dipergunakan selama ini tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan, maka
dirasa perlu untuk menyusun Peraturan Disiplin bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan tetap menekankan akan pentingnya pemajuan dan penghormatan akan hak asasi manusia.
Untuk membina anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam suasana kerja yang penuh dengan konflik, ketegangan dan ketidakpastian, serta membina pula karakter dan kultur baru sesuai tuntutan reformasi, antara lain diperlukan adanya Peraturan Disiplin yang memuat pokok-pokok kewajiban, larangan dan sanksi apabila kewajiban tidak ditaati, atau larangan dilanggar.
Dalam Peraturan pemerintah ini diatur dengan jelas kewajiban yang harus ditaati dan larangan yang tidak boleh dilanggar oleh setiap Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melakukan pelanggaran disiplin.
Selain dari pada itu dalam Peraturan Pemerintah ini diatur pula tata cara pemeriksaan, tata cara penjatuhan hukuman disiplin, serta tata cara pengajuan keberatan apabila Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dijatuhi hukuman disiplin itu merasa keberatan atas hukuman disiplin yang dijatuhkan kepadanya.
Tujuan hukuman disiplin adalah untuk memperbaiki dan mendidik anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melakukan pelanggaran disiplin. Oleh sebab itu setiap Ankum wajib memeriksa lebih dahulu dengan seksama Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melakukan pelanggaran disiplin itu. Hukuman disiplin yang dijatuhkan haruslah setimpal dengan pelanggaran disiplin yang dilakukan, sehingga hukuman disiplin itu dapat diterima oleh rasa keadilan.
Karena itu dalam setiap penjatuhan tindakan atau hukuman disiplin, hendaknya para Ankum harus pula mempertimbangkan suasana lingkungan dan suasana
emosional anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melanggar disiplin, dan mempertimbangkan pula penggunaan kewenangan yang berlebihan dan tidak proporsional, yang punya dampak merusak kredibilitas Kepolisian Negara Republik Indonesia pada umumnya.
Meskipun telah disusun peraturan disiplin anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia ini dengan sebaik mungkin, namun keberhasilan penerapannya akan ditentukan oleh komitmen seluruh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, terhadap pembentukan disiplinnya dengan titik berat pada keberhasilan pelaksanaan tugas sesuai amanat dan harapan warga masyarakat.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud “mereka” ialah siswa pada Lembaga Pendidikan dan Latihan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
yang dimaksud dengan peraturan kedinasan yang berlaku ialah berbagai bentuk keputusan, instruksi, surat keputusan, petunjuk, peraturan, dan surat telegram, misalnya: peraturan penghormatan, peraturan baris berbaris, peraturan urusan dalam, tata upacara, peraturan seragam dinas.
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Cukup jelas
Huruf k
Cukup jelas
Huruf l
Cukup jelas
Huruf m
Cukup jelas
Huruf n
Cukup jelas
Huruf o
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Huruf a
Hukuman disiplin yang berupa teguran tertulis dinyatakan dan disampaikan secara tertulis oleh Ankum kepada anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melakukan pelanggaran disiplin.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Hukuman disiplin yang berupa penundaan gaji berkala, ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan dan untuk paling lama 1 (satu) tahun. Masa penundaan kenaikan gaji berkala tersebut dihitung penuh untuk kenaikan gaji berkala berikutnya.
Huruf d
Penundaan kenaikan pangkat dalam arti ditunda usul kenaikan pangkatnya atau ditunda pelantikan pangkatnya.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “mutasi yang bersifat demosi” ialah mutasi yang tidak bersifat promosi jabatan.
Huruf f
Pembebasan dari jabatan dalam arti pembebasan dari jabatan struktural. Pembebasan dari jabatan berarti pula pencabutan segala wewenang yang melekat pada jabatan itu. Selama pembebasan dari jabatan, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bersangkutan menerima penghasilan penuh, kecuali tunjangan jabatan.
Huruf g
“tempat khusus” yang dimaksud adalah dapat berupa markas, rumah kediaman, ruangan tertentu, kapal, atau tempat yang ditunjuk oleh Ankum.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “secara kumulatif” ialah dapat diberikan lebih dari satu tindakan disiplin terhadap satu pelanggaran disiplin.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “secara alternatif” ialah penjatuhan hukuman disiplin hanya dapat dikenakan satu jenis hukuman.
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Pelanggar disiplin dapat diberhentikan tidak dengan hormat apabila melakukan pengulangan pelanggaran dalam waktu penugasan pada kesatuan yang sama.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
“Kewenangan Ankum” mengandung arti Ankum mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan
Pasal 15
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Anggota Provos dalam hal menjatuhkan tindakan disiplin harus disesuaikan dengan hierarki kepangkatan dan jabatan yang berlaku di lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Pemeriksaan Provos adalah mempunyai kualifikasi sebagai penyidik.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “pejabat lain” ialah perwira yang ditugaskan untuk melakukan pemeriksaan pelanggaran disiplin yang bersifat sementara.
Pasal 18
Ayat (1)
Penjatuhan tindakan disiplin dengan terlebih dahulu menanyakan alasan penyebabnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 19
Hasil pemeriksaan berbentuk berkas perkara disiplin.
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Paling lambat 30 (tiga puluh) hari dengan pertimbangan adanya kesulitan transportasi dan/atau komunikasi.
Pasal 24
Huruf a
Yang dimaksud dengan “situasi dan kondisi” ialah suasana pada saat pelanggaran tersebut dilakukan, misalnya pada waktu bertugas mengendalikan unjuk rasa yang cenderung anarkis dan/atau masa yang memprovokasi tindakan kekerasan.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Huruf a
Apabila jangka waktu 14 (empat belas) hari itu anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bersangkutan tidak mengajukan keberatan, maka hal itu berarti ia menerima putusan hukuman disiplin itu, oleh sebab itu hukuman disiplin tersebut harus dijalankan mulai hari ke 15 (lima belas).
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “atas izin Ankum” antara lain melaksanakan kegiatan keagamaan, melaksanakan kewajiban sosial yang sangat mendesak.
Pasal 34
Yang dimaksud dengan “yang bersifat sangat teknis” adalah ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan tata kehidupan disiplin anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, antara lain: Peraturan Penghormatan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tata Upacara Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Urusan Dalam Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4256
SEJARAH, PENGERTIAN, SUMBER DAN ASAS
HUKUM ACARA PERDATA
1. Sejarah Singkat Terbentuknya HIR dan Hukum Acara Perdata
Tanggal 5 Desember 1846 Gubernur Jendral Ijan Jacob Rochussen memberi tugas Ketua Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung Tentara untuk membuat sebuah Reglemen bagi golongan Indonesia.
Tanggal 6 Agustus 1847 Jhr. Mr. H.L Wichers Ketua Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung Tentara telah selesai dengan rancangannya serta peraturan penjelasannya.
Tanggal 5 April 1848, Stbl. 1848 No.16 Rancangan Wichers diterima dan di umumkan oleh Gubernur Jendral dengan diberi nama “Het Inlands Reglement” HIR dan mulai berlaku tanggal 1 Mei 1848.
Perancang HIR adalah Ketua Makamah Agung dan Mahkamah Agung Tentara pada tahun 1846 di Batavia. Beliau adalah Jhr. Mr. H.L. Wichers, seorang jurist bangsawan kenamaan pada waktu itu. Hanya dalam waktu 8 bulan, Jhr. Mr HL Wichers selesai dengan rancangannya (tanggal 6 agustus 1847) serta peraturan penjelasannya. Rancangan Wichers tersebut diterima oleh Gubernur Jendral dan di umumkan pada tanggal 5 April 1848 dengan Stbl. 1848 No.16. pada tanggal 29 september 1849 IR ini disyahkan dan dikuatkan dengan firman raja no.93 dan diumumkan dalam Stbl. 1849 No. 63 dan oleh karena pengesahan ini IR sifatnya menjadi Koninklijk Besuilt.
Perubahan tambahan terjadi beberapa kali, suatu perubahan yang mendalam terjadi pada tahun 1941. Adanya perubahan yang mendalam dalam bahasa Belanda disebut “herizen’, maka IR selanjutnya disebut Het Herziene Indonesisch Reglement atau disingkat HIR, dengan terjemahan yang dilakukan di Indonesia ialah disingkat dari Reglemen Indonesia diperbaharui atau Reglement Indonesia baru.
Dan sejarah singkatnya Hukum Acara Perdata berawal pada tahun 1950 pada pasal 102 Undang-Undang Dasar sementara Republik Indonesia menentukan antara lain, bahwa hukum acara perdata diatur dengan UU dalam kitab-kitab hukum, kecuali jika perundang-undangan menganggap perlu untuk mengatur beberapa hal dalam undang-undang tersendiri.
Berhubung dengan adanya peraturan-peraturan peralihan berturut-turut tersebut diatas, maka untuk mengetahui hukum acara perdata yang sekarang berlaku di Indonesia, orang harus mulai meninjau keadaan di zaman Belanda dan perubahan-perubahan yang diadakan pada zaman-zaman yang berikut sampai sekarang.
Pada Masa Belanda
Pada masa Belanda ada "Raad Van Justitie" dan "Residentiegerecht" sebagai hakim sehari-hari untuk orang-orang Eropa yang disamakan dengan mereka, sedang bagi orang Indonesia asli dan disamakan dengan mereka "Lendraad" lah yang menjadi hakim sehari-hari didampingi oleh beberapa badan-badan untuk perkara-perkara kecil seperti pengadilan kabupaten, pengadilan distrik dan lain-lain.
Pada Masa Jepang
Lenyapnya Raad Van Justitie dan Residentiegerecht sebagai hakim sehari-hari untuk orang–orang Eropa dan yang disamakan dengan mereka dan di adakan satu macam pengadilan sehari-hari untuk semua orang, yaitu pengadilan negeri {Tihoo Hooin} sebagai pelanjutan dari landraad dahulu. Pada pokoknya selama masa Jepang hukum acara perdata yang berlaku adalah yang termuat dalam "Herziene Inlandesch Reglement" dan itu merupakan salah satunya.
Pada Masa Republik Indonesia
Pada pokoknya tiada perubahan perihal hukum acara perdata dan pada masa jepang maka tetaplah berlaku Herziene Inlandsch Reglement {HIR}.
2. Pengertian Hukum Acara Perdata
Hukum acara mengatur bagaimana cara dan siapa yang berwenang menegakkan hukum materiil dalam hal apabila terjadi pelanggaran terhadap hukum materiil. Hukum acara perdata secara umum yaitu peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata melalui hakim (di pengadilan) sejak diajukan gugatan, dilaksanakannya gugatan, sampai pelaksanaan putusan hakim.
Contohnya dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, semacam ada ketentuan yang menetapkan bahwa apabila dahan-dahan, ranting-ranting atau akar-akar dari pohon pekarangan seseorang tumbuh menjalar diatas atau masuk ke pekarangan tetangganya, maka yang terakhir ini dapat memotongnya menurut kehendak sendiri setelah tetangga pemilik pohon menolak atas permintaanya untuk memotongnya. (ps.666 ayat 3 B.W.)
Tuntutan hak yang seperti diatas diuraikan sebagai tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hukum yang di berikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting” , ada dua macam yaitu tuntutan hak yang mengandung sengketa yang disebut gugatan, dimana terdapat sekurang-kurangnya dua pihak dan tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa yang disebut permohonan, dimana hanya ada satu pihak saja.
Peradilan dibagi menjadi dua, yaitu peradilan volunter yang disebut juga peradilan sukarela atau peradilan yang tidak sesungguhnya dan peradilan contentieus atau peradilan sesungguhnya. Tuntutan hak yang merupakan permohonan yang tidak mengandung sengketa termasuk dalam peradilan volunter sedangkan gugatan termasuk peradilan contentieus.
Dalam sifat hukum acara perdata bahwa orang yang merasa haknya dilanggar disebut penggugat sedang bagi orang yang ditarik ke muka pengadilan karena ia dianggap melanggar hak seseorang atau beberapa orang itu disebut dengan tergugat.
Penggugat adalah seorang yang “merasa” bahwa haknya dilanggar dan menarik orang yang “dirasa” melanggar haknya itu sebagai tergugat dalam suatu perkara kedepan hakim.
Beberapa pendapat pakar mengenai pengertian hukum acara perdata sebagai berikut :
Wirjono Prodjodikoro
Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum acara perdata ialah rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan hukum perdata.
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH
Hukum acara perdata menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. ). ialah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantara hakim. Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Hukum acara perdata yang mengatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutuskan dan pelaksanaan dari pada putusanya. Tuntutan hak dalam hal ini tidak lain adalah tindakan yang bertujuan memperolah perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting” atau tindakan menghakimi sendiri.
Abdul kadir Muhamad
Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang berfungsi untuk mempertahankan berlakunya hukum perdata sebagaimana mestinya.
Hukum Acara Perdata dirumuskan sebagai peraturan Hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata melalui Pengadilan (hakim), sejak diajukan gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan hakim.
Retnowulan
Hukum acara perdata juga disebut hukum perdata formil, yaitu semua kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil ).
R. Soesilo
Hukum Acara Perdata /Hukum Perdata Formal yaitu kumpulan peraturan-peraturan Hukum yang menetapkan cara memelihara Hukum perdata material karena pelanggaran hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari Hukum perdata material itu, atau dengan perkataan lain kumpulan peraturan-peraturan Hukum yang menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi pada melangsungkan persengketaan dimuka hakim perdata, supaya memperoleh suatu keputusan daripadanya, dan selanjutnya yang menentukan cara pelaksaan putusan hakim itu.
Dari beberapa pengertian di atas bahwa Hukum Acara Perdata adalah peraturan Hukum yang memiliki karakteristik :
• Menentukan dan mengatur bagaimana cara menjamin ditaatinya Hukum Perdata Materiil.
• Menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk beracara di muka persidangan pengadilan, mulai dari pengajuan gugatan, pengambilan keputusan sampai pelaksanaan putusan pengadilan.
3. Sumber-sumber Hukum Acara Perdata
Secara sederhana, sumber hukum dapat diartikan tempat kita menemukan hukum. Namun, menurut sumber hukum dibagi menjadi dua, yaitu sumber hukum formil dan sumber hukum materil.
1) Sumber hukum dalam arti materiil (welbron), adalah sumber sebagai penyebab adanya hukum atau sumber yang menentukan isi hukum.
2) Sumber hukum dalam arti formil (kenbron), adalah sumber hukum yang dikenal dari bentuknya yang menyebabkan ia berlaku umum, mengikat, dan ditaati.
Sumber-sumber Hukum Acara Perdata diantaranya :
1) Reglement Op de Burgelijke Rechtsvordering (Rv).
2) Reglement op de Burgelijk Rechtsvordering Stb. 1847 No. 52 Jo. Stb. 1849 No. 63 Hukum Acara Perdata untuk golongan eropa. Rv adalah hukum perdata eropa yang dibawa oleh Belanda ke Indonesia. Tapi ternyata tidak cocok dengan Indonesia, oleh karena itu kemudian diadakan penyesuaian-penyesuaian dan dibentuklah HIR. Kemudian setelah beberapa lama, terjadi ketidak sesuaian dengan daerah luar Jawa dan Madura, maka dibentuklah RBg. HIR berlaku untuk orang-orang di Jawa dan Madura sedangkan untuk orang-orang di luar Jawa dan Madura berlaku RBg. Pasal 188- pasal 194 HIR mengenai banding diganti dengan UU No. 20 tahun 1947. Sedangkan dalam RBg tidak ada penghapusan/penggantian peraturan mengenai banding. Dengan kata lain, mengenai banding terdapat dualisme hukum yaitu untuk orang-orang diluar Jawa dan Madura menggunakan RBg dan untuk orang-orang di jawa dan Madura menggunakan UU No. 20 tahun 1947.
3) Hierzeine Indinesische Reglement (HIR). Stb. 1848 No. 16 Jonto Stb, 1941 No. 44 berlaku untuk daerah jawa dan Madura.
4) Reglement Voor de Buitendewesten (R.Bg). Stb. 1927 No. 227 Untuk luar jawa dan Madura.
5) BW (KUHPerdata).
BW Buku ke IV : Burgelijke Wetboek Voor Indonesisch
Berdasarkan pasal 5 ayat 1 UUDar. 1/1951, maka hukum acara perdata pada pengadilan negeri dilakukan dengan memperhatikan ketentuan UUDar. Yang dimaksud dengan UUDar. 1/1951 tersebut adalah Het Herziene Indoneisch Reglement (HIR) untuk daerah Jawa dan Madura, dan Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg.) untuk luar Jawa dan Madura ( S.E.M.A. 19/1964 dan 3/1965 menegaskan berlakunya HIR dan Rbg ).
RO atau Reglemen tentang Organisasi Kehakiman: S.1847 no. 23 dan BW buku IV sebagai sumber juga dari pada hukum juga dari pada hukum acara perdata dan selebihnya terdapat tersebar dalam BW.
6) UU No. 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang.
7) UU No. 27 tahun 1947 tentang peradilan ulangan (banding) di Jawa dan Madura.
8) UU No. 18 tahun 2003 tentang advokat.
9) UU No. 48 tahun 2009
10) UU No. 1 tahun 1951
11) PP 9/1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
12) UU No. 3 tahun 2009 Jo UU No. 14 tahun 1985 Jo UU No.5 tahun 2004.
13) UU No.11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik.
14) Yurisprudensi atau putusan putusan Hakim yang telah berkembang dan sudah pernah di putus di Pengadilan. Atau yurisprudensi juga dapat diartikan sebagai putusan hakim terdahulu yang sudah memiliki kekuatan mengikat dan diikuti oleh hakim-hakim sesudahnya apabila terdapat kasus yang sama. Menurut S.J.F. Andreae dalam rechtgeleerd handwoordenboek, yurisprudensi dapat berarti juga peradilan pada umumnya dan ajaran hukum yang diciptakan dan dipertahankan oleh peradilan.
15) Adat Kebiasaan, Wirjono Prodjodikoro menyebutkan juga adat kebiasaan yang dianut oleh para hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara perdata, sebagai sumber dari pada hukum acara perdata. Hukum acara perdata dimaksudkan untuk menjamin dilaksanakanya atau ditegakanya hukum perdata materiil, yang berarti mempertahankan tata hukum perdata, maka pada asasnya hukum acara perdata bersifat mengikat dan memaksa. Adat kebiasaan hakim yang tidak tertulis dalam melakukan pemeriksaan, tidak akan menjamin kepastian hukum.
16) Doktrin, adalah ajaran atau pendapat para sarjana hukum terkemuka. Doktrin menjadi sumber hukum dikarenakan adanya pendapat umum yang mennyatakan bahwa manusia tidak boleh menyimpang dari Communis Opinion Doctorum (pendapat umum para sarjana). Oleh karena itulah doktrin mempunyai kekuatan mengikat. Tetapi doktrin itu sendiri bukanlah hukum. Instruksi dan surat edaran merupakan sumber tempat hakim dapat menggali hukum acara perdata maupun hukum perdata materiil. Doktrin maka instruksi dan surat edaran bukanlah hukum, melainkan sumber hukum : bukan dalam dari tempat kita menemukan hukum, melainkan tempat kita menggali hukum
17) Instruksi dan Surat Edaran Mahkamah Agung.
18) Perjanjian, adalah hubungan hukum antara dua orang/lebih yang bersepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Unsur-unsur perjanjian diantaranya :
• Essentialia (syarat sahnya perjanjian)
• Naturalia (unsur yang lazimnya melekat pada perjanjian meskipun tidak secara tegas diatur.
• Accidentalia adalah unsur tambahan yang harus secara tegas diatur dalam perjanjian.
4. Azas-asas Hukum Acara Perdata
Paul Scholten mendefinisikan asas Hukum sebagai pikiran-pikiran dasar yang dapat didalam dan dibelakang sistem Hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim yang berkenaan dengannya, ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai jabarannya. Harjono memberikan pengertian atas Hukum yang mempunyai fungsi sebagai normal pemberi nilai. Jadi dengan singkat sistem Hukum dibagi (secara substantive/ atas dasar nilai-nilai yang dikandung dalam asas Hukum.
Asas-Asas Hukum Acara Perdata
Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH menyebut ada 9 asas yaitu :
1) Hakim Bersifat Menunggu (Pasal 118 HIR dan Pasal 142 RBg.), Inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepeuhnya kepada yang bersangkutan. Jadi apakah akan ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak semua diserahkan kepada pihak yang berkepentingan, sedangkan Hakim bersifat menunggu datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya.
Demikianlah bunyi pemeo yang tidak asing lagi (wo kein klager ist, ist kein eichter, nemo judex sine actore). Jadi tuntutan hak yang mengajukan adalah pihak yang berkepentingan, sedang hakim menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya “index ne procedat ex officio” ( lihat pasal 118 HIR, 142 Rgb.). Hanya yang menyelenggarakan proses adalah negara. Akan tetapi sekali perkara diajukan kepadanya, Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (pasal 10 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009).
Larangan untuk menolak memeriksa perkara sebabkan anggapan bahwa hakim tahu akan hukumnya (ius curi novit), kalau sekiranya ia tidak dapat menemukan Hukum tertulis, maka ia wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai Hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 UU No. 4/2004).
2) Hakim Pasif (Pasal 178 (3) HIR dan Pasal 154 RBg.)
Ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada Hakim untuk diperiksa pada dasarnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan Hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya Peradilan (Pasal 28 UU No. 4/2004).
Hanya peristiwa yang disengketakan sajalah yang harus dibuktikan. Hakim terikat pada peristiwa yang menjadi sengketa yang diajukan oleh para pihak. Para pihaklah yang diwajibkan untuk membuktikan dan bukan hakim. Asas ini disebut verhandlungsmaxime.
Hakim harus aktif memimpin sidang, melancarkan jalannya persidangan, membantu kedua belah pihak dalam mencari kebenaran, tetapi dalam memeriksa perkara perdata hakim harus bersikap Tut wuri, hakim terikat pada peritiwa yang diajukan oleh para pihak. Para pihak dapar secara bebas mengakhiri sendiri sengketa yang telah diajukannya ke muka pengadilan, sedangkan hakim tidak dapat menghalaginya. Hal ini dapat berupa perdamaian atau pencabutan gugatan (Pasal 130 HIR, 154 RBg).
Hakim wajib mengadili semua gugatan dan larangan menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak di tuntut, atau mengabulkan lebih dari yang di tuntut (Pasal 178 ayat 2 dan 3 HIR, Pasal 189 ayat 2 dan 3 RBg.) apakah yang bersangkutan mengajukan banding atau tidak itupun bukan kepentingan Hakim (Pasal 6 UU No. 20/1047, Pasal 199 RBg).
3) Sifat Terbuka Persidangan (Pasal 19 (1) dan Pasal 20 UU No. 4 Tahun 2004.)
Bahwa setiap orang dibolehkan hadir, mendengar, dan menyaksikan pemeriksaan persidangan (kecuali di tuntut lain oleh UU). Tujuannya adalah untuk memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan serta untuk lebih menjamin obyektifitas peradilan dengan pertanggungjawaban pemeriksaan yang adil, tidak memihak serta putusan yang adil kepada masyarakat, (Pasal 19 ayat 1 UU No. 4/2004).
Namun ada juga persidangan yang sifatnya tertutup, misalnya perkara perceraian, akan tetapi sidang pembacaan putusan harus terbuka, jika tidak dinyatakan terbuka untuk umum keputusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum serta mengakibatkan batalnya putusan itu menurut Hukum.
4) Mendengar Kedua Belah Pihak (Pasal 5 (1) UU No. 4/2004 dan Pasal 132a, 121 (2) HIR dan Pasal 145 (2), 157 RBg serta Pasal 47 RV.)
Bahwa kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama. Bahwa Pengadilan mengadili menurut Hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (Pasal 5 UU No. 4/2004). Bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak didengar dan diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya, hal itu berarti juga bahwa pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak (Pasal 132a, 121 Yt 2 HIR, Pasal 145 ayat 2, 157 RBg dan Pasal 47 Rv).
5) Putusan Harus Disertai Alasan-alasan (Pasal 25 UU No. 1/2004 Pasal 184 (1), 319 HIR dan Pasal 195, 618 RBg.)
Semua putusan hakim harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal 25 ayat 1 UU No.4/2004, Pasal 184 ayat 1, 319 HIR, Pasal 195, 618RBg). Betapa pentingnya alasan-alasan sebagai dasar putusan dapat kita lihat dari beberapa putusan MA yang menetapkan, bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan merupakan alasan untuk kasasi dan harus dibatalkan.
6) Beracara dikenakan Biaya, Pasal 4 (2), 5 (2) UU No. 4/2004. Pasal 121 (4), 182, 183 HIR, Pasal 145 (4), 192 RBg, kecuali Pasal 237 HIR, Pasal 273 RBg. Untuk berperkara pada dasarnya dikenakan biaya (Pasal 4 ayat 2,5 ayat 2 UU No. 4/2004).
Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk penggalian pemberitahuan para pihak serta biaya materai. Disamping itu apabila diminta bantuan seorang pengacara maka harus pula dikeluarkan biaya.
Bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara Cuma-Cuma (Pro Deo) dengan mendapatkan ijin untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh Kepala Polisi (Pasal 237 HIR, 237 RBg). Akan tetapi dalam praktek surat keterangan tidak mampu dibuat oleh Camat daerah tempat tinggal yang berkepentingan.
7) Tidak ada keharusan mewakilkan (Pasal 123 HIR, 147 RBg.)
HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakili kapada orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya kalau dikehendakinya (Pasal 123 HIR, 147 RBg).
Dengan demikian hakim tetap wajib memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya, meskipun para pihak tidakmewakilkan kepada seorang kuasa. Wewenang untuk mengajukan gugatan dengan lisan tidak berlaku bagi kuasa. Dengan memeriksa para pihak yang berkepentingan secara langsung hakim dapat mengetahui lebih jelas persoalannya. Walaupun HIR menentukan, bahwa para pihak dapat dibantu atau diwakili, akan tetapi tidak ada ketentuan bahwa seorang pembantu atau diwakili harus seorang ahli atau sarjana hukum.
Menurut RO ada persyaratannya untuk bertindak sebagai prosedur. Antara lain ia harus sarjana hukum (pasal 186). Pada hakikatnya tujuan dari pada perwakilan wajib oleh sarjana hukum (verplichte procureurstelling) ini tidak lain untuk lebih menjamin pemeriksaan yang objektif, melancarkan jalannya peradilan dan memperoleh putusan yang adil.
Adapun mengenai terjadinya perwakilan, antara lain:
a. Ketentuan undang-undang, misalnya untuk anak dibawah umur oleh orangtua atau wali, sakit ingatan oleh pengampunya.
b. Perjanjian kuasa khusus, untuk perwakilan yang dilakukan oleh pengacara atau penasehat hukum.
c. Tanpa surat kuasa khusus, untuk acara gugatan perwakilan kelompok oleh satu atau beberapa orang dari kelompoknya (Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok).
Perlu diketahui bahwa wewenang untuk mengajukan gugatan secara lisan tidak berlaku bagi kuasa.
8) Peradilan Dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 2 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009), Maksudnya adalah hakim harus selalu insyaf karena sumpah jabatannya, ia tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum, diri sendiri dan kepada masyarakat, tetapi bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Setiap putusan pengadilan harus mencantumkan klausa “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” agar putusan tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk melaksanakan putusan secara paksa, apabila pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan dengan sukarela.
9) Peradilan Dilakukan dengan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan (Pasal 2 ayat (4) UU No.48 tahun 2009),
Sederhana maksudnya acaranya jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Makin sedikit dan sederhana formalitas dalam beracara maka semakin baik. Sebaliknya terlalu banyak formalitas atau peraturan akan sulit dipahami dan akan menimbulkan beraneka ragam penafsiran sehingga kurang menjamin adanya kepastian hukum. Cepat menunjuk jalannya peradilan yang cepat dan proses penyelesaiannya tidak berlarut-larut yang terkadang harus dilanjutkan oleh ahli warisnya. Biaya ringan maksudnya biaya yang serendah mungkin sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat. Biaya perkara yang tinggi membuat orang enggan beracara di pengadilan.
5. Azas-asas Hukum Acara dalam Islam
5.1. Asas Umum Lembaga Peradilan Agama
a) Asas Bebas Merdeka, Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukumRepublik Indonesia. Pada dasarnya azas kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah merujuk pada pasal 24 UUD 1945 dan jo. Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam penjelasan Pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004 ini menyebutkan “Kekuasaan kehakiman yang medeka ini mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial kecuali dalam hal yang diizinkan undang-undang.”
b) Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman, penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Semua peradilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan Negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Dan peradilan Negara menerapkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
c) Asas Ketuhanan, Peradilan agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hokum Agama Islam, sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan kalimat Basmalah yang diikuti dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.”
d) Asas Fleksibelitas, Pemeriksaan perkara di lingkungan peradilan agama harus dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Adapun asas ini diatur dalam pasal 57 (3) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama jo pasal 4 (2) dan pasal 5 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Untuk itu, pengadilan agama wajib membantu kedua pihak berperkara dan berusaha menjelaskan dan mengatasi segala hambatan yang dihadapi para pihak tersebut. Yang dimaksud sederhana adalah acara yang jelas, mudah difahami dan tidak berbelit-belit serta tidak terjebak pada formalitas-formalitas yang tidak penting dalam persidangan. Sebab apabila terjebak pada formalitas-formalitas yang berbelit-belit memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran. Cepat yang dimaksud adalah dalam melakukan pemeriksaan hakim harus cerdas dalam menginventaris persoalan yang diajukan dan mengidentifikasikan persolan tersebut untuk kemudian mengambil intisari pokok persoalan yang selanjutnya digali lebih dalam melalui alat-alat bukti yang ada. Apabila segala sesuatunya sudah diketahui majelis hakim, maka tidak ada cara lain kecuali majelis hakim harus secepatnya mangambil putusan untuk dibacakan dimuka persidangan yang terbuka untuk umum. Biaya ringan yang dimaksud adalah harus diperhitungkan secara logis, rinci dan transparan, serta menghilangkan biaya-biaya lain di luar kepentingan para pihak dalam berperkara. Sebab tingginya biaya perkara menyebabkan para pencari keadilan bersikap apriori terhadap keberadaan pengadilan.
e) Asas Non Ekstra Yudisial, Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD RI Tahun 1945. Sehingga setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud akan dipidana.
f) Asas Legalitas, Peradilan agama mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Asas ini diatur dalam pasal 3 (2), pasal 5 (2), pasl 6 (1) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
Pada asasnya Pengadilan Agama mengadili menurut hukum agama Islam dengan tidak membeda-bedakan orang, sehingga hak asasi yang berkenaan dengan persamaan hak dan derajat setiap orang di muka persidangan Pengadilan Agama tidak terabaikan. Asas legalitas dapat dimaknai sebagai hak perlindungan hukum dan sekaligus sebagai hak persamaan hokum. Untuk itu semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan harus berdasar atas hokum, mulai dari tindakan pemanggilan, penyitan, pemeriksaan di persidangan, putusan yang dijatuhkan dan eksekusi putusan, semuanya harus berdasar atas hukum. Tidak boleh menurut atau atas dasar selera hakim, tapi harus menurut kehendak dan kemauan hukum.
5.2. Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
a) Asas Personalitas Ke-islaman, Yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan peradilan agama, hanya mereka yang mengaku dirinya beragama Islam. Asas personalitas ke-islaman diatur dalam UU nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 Tentang peradilan agama Pasal 2 Penjelasan Umum alenia ketiga dan Pasal 49 terbatas pada perkara-perkara yang menjadi kewenangan peradilan agama. Ketentuan yang melekat pada UU No. 3 Tahun 2006 Tentang asas personalitas ke-islaman adalah : a) Para pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam. b) Perkara perdata yang disengketakan mengenai perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh, dan ekonomi syari’ah. c) Hubungan hukum yang melandasi berdsarkan hukum islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam. Khusus mengenai perkara perceraian, yang digunakan sebagai ukuran menentukan berwenang tidaknya Pengadila Agama adalah hukum yang berlaku pada waktu pernikahan dilangsungkan.
Sehingga apabila seseorang melangsungkan perkawinan secara Islam, apabila terjadi sengketa perkawinan, perkaranya tetap menjadi kewenangan absolute peradilan agama, walaupun salah satu pihak tidak beragam Islam lagi (murtad), baik dari pihak suami atau isteri, tidak dapat menggugurkan asas personalitas ke-Islaman yang melekat pada saat perkawinan tersebut dilangsungkan, artinya, setiap penyelesaian sengketa perceraian ditentukan berdasar hubungan hukum pada saat perkawinan berlangsung, bukan berdasar agama yang dianut pada saat terjadinya sengketa. Letak asas personalitas ke-Islaman berpatokan pada saat terjadinya hubungan hukum, artinya patokan menentukan ke-Islaman seseorang didasarkan pada factor formil tanpa mempersoalkan kualitas ke-Islaman yang bersangkutan. Jika seseorang mengaku beragama Islam, pada dirinya sudah melekat asas personalitas ke-Islaman. Faktanya dapat ditemukan dari KTP, sensus kependudukan dan surat keterangan lain. Sedangkan mengenai patokan asas personalitas ke-Islaman berdasar saat terjadinya hubungan hukum, ditentukan oleh dua syarat : Pertama, pada saat terjadinya hubungan hukum, kedua pihak sama-sama beragama Islam, dan Kedua, hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu cara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.
b) Asas Ishlah (Upaya perdamaian), Upaya perdamaian diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tentang perkawinan jo. Pasal 65 dan Pasal 82 (1 dan 2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 115 KHI, jo. Pasal 16 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Islam menyuruh untuk menyelesaikan setiapperselisihan dengan melalui pendekatan “Ishlah”. Karena itu, tepat bagi para hakim peradilan agama untuk menjalankn fungsi “mendamaikan”, sebab bagaimanapun adilnya suatu putusan, pasti lebih cantik dan lebih adil hasil putusan itu berupa perdamaian.
c) Asas Terbuka Untuk Umum diatur dalam pasal 59 (1) UU No.7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradila Agama jo. Pasal 19 (3 dan 4) UU No. 4 Tahun 2004. Sidang pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama adalah terbuka untuk umum, kecuali Undang-Undang menentukan lain atau jika hakim dengan alasan penting yang dicatat dalam berita acara siding memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagianakan dilakukan dengan siding tertutup. Adapun pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama yang harus dilakukan dengan siding tertutup adalah berkenaan dengan pemeriksaan permohonan cerai talak dan atau cerai gugat (pasal 68 (2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama).
d) Asas Equality, Setiap orang yang berperkara dimuka sidang pengadilan adalah sama hak dan kedudukannya, sehingga tidak ada perbedaan yang bersifat “diskriminatif” baik dalam diskriminasi normative maupun diskriminasi kategoris.
Adapun patokan yang fundamental dalam upaya menerapkan asas “equality” pada setiap penyelesaian perkara dipersidangan adalah :
• Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan atau “equality before the law”.
• Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau “equal protection on the law”
• Mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum atau “equal justice under the law”.
e) Asas “Aktif” memberi bantuan, Terlepas dari perkembangan praktik yang cenderung mengarah pada proses pemeriksaan dengan surat atau tertulis, hukum acara perdata yang diatur dalam HIR dan RBg sebagai hukum acara yang berlaku untuk lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama sebagaimana yang tertuang pada Pasal 54 UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.\
f) Asas Upaya Hukum Banding, Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada Pengadilan Tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali Undang-undang menentukan lain.
g) Asas Upaya Hukum Kasasi, Terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh para pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain. Asas Upaya Hukum Peninjauan Kembal Terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Dan terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
h) Asas Pertimbangan Hukum (Racio Decidendi), Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula paal tertentu dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
BAB II. KOMPETENSI/WEWENANG
1. Pengertian Kompetensi/Wewenang
Kompentensi adalah kewenangan mengadili dari badan peradilan. Kompetensi yuridiksi/kewenangan mengadili adalah untuk menentukan pengadilan mana yang berwenang memeriksa dan memutus suatu perkara sehingga pengajuan perkara tersebut dapat diterima dan tidak ditolak dengan alasan pengadilan tidak berwenang mengadilinya. Kewenangan mengadili merupakan syarat formil sahnya gugatan, sehingga pengajuan perkara kepada pengadilan yang tidak berwenang mengadilinya menyebabkan gugatan tersebut dapat dianggap salah alamat dan tidak dapat diterima karena tidak sesuai dengan kewenangan absolut dan relatif pengadilan.
2. Macam-macam Kompetensi/Wewenang
2.1. Kompetensi di Badan Peradilan Umum dan Khusus
A. Susunan Badan Peradilan Umum dan Khusus.
Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan :
a) Mahkaman Agung dan Badan Peradilan yang ada dibawahnya : Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer.
b) Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk : Menguji UU terhadap UUD, Memutuskan sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan UUD, Memutus pembubaran Partai Politik, Memutus sengketa hasil Pemilu. (Pasal 24 ayat 2 UUD 1945 ; Pasal 10 UU No. 4/2004; Pasal 12 UU No.4/2004; Pasal 2 UU NO.4/2004).
Kekuasaan Kehakiman )
Pasal 1 : Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka.
Pasal 4 : Peradilan dilakukan “Demi keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Pasal 8 : “Asas Praduga tak bersalah”
Pasal 10 : Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah MA dan badan Peradilan yang ada dibawahnya dan oleh sebuah MK.
Pasal 12 : MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
o Menguji UU terhadap UUD 1945
o Memutus Sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara RI 1945.
o Memutus pembubaran Parpol dan
o Memutus Perselisihan tentang hasil Pemilu.
Pasal 16 : Pengadilantidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa Hukum tidak atau kurang jela, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Pasal 11 : MA Berwenang menguji Peraturan Perundang-undangan di bawah ayat 2.b UU terhadap UU
Pasal 19 : Sidang Pemeriksaan Pengadilanadalah terbuka untuk umum, kecuali UU menentukan lain.
Pasal 28 : Hakim wajib Menggali,mengikuti dan memahami nilai-nilai Hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Pasal 20 : Semua peraturan Peradilan hanya sah dan mempunyai kekuatan Hukum apabila di ucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Pasal 37 : Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan Hukum.
B. Kekuasan Peradilan Umum dan Khusus.
1. Kekuasan Peradilan Umum (UU No.2/1986 & UU No. 8/2004
Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh PengadilanTinggi (Pasal 3 UU No. 2/1986).
PengadilanNegeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama (Pasal 50 UU No. 2/1986).
PengadilanTinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan perfata di tingkat banding (Pasal 51 (1) dan mengadili tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara PN dan daerah hukumannya (Pasal 51 (2) UU No.2/1986).
2. Kekuasaan Pengadilan Agama (UU No. 7/1989 Jo, UU No.3/2006)
Pasal 49 UU No.3/2006 :
PengadilanAgama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang :
a. Perkawinan :
Perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-undang Perkawinan yang berlaku dan dilakukan menurut syari’ah (Penjelasan UU No. 3 Tahun 2006 Pasal 49).
b. Kewarisan :
Waris adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan Pengadilanatas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
c. Wasiat :
Wasiat adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga badan Hukum, yang berlaku setelah yang member tersebut meningal dunia.
d. Hibah :
Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan Hukum kepada orang lain atas badan Hukum untuk dimiliki.
e. Wakaf :
Wakaf adalah perbuatan seorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.
f. Zakat :
Zakat adalahharta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan Hukum yang memiliki oleh orang islam sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada orang yang berhak menerimanya.
g. Infaq :
Infaq adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan risky (karuania) atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dank arena Allah S.W.T.
h. Shodaqoh dan
i. Ekonomi Syari’ah.
PengadilanTinggi Agama Kewenangannya diatur dalam Pasal 51 ayat 1 dan 2 UU No. 7/1989.
C. Kekuasaan Pengadilan TUN (UU No. 5/1986 & UU No. 9/2004)
Kewenangan PTUN diatur dalam Pasal 47 UU no. 5/1986 Sengketa TUN.
Kewenangan PTUN diatur dalam Pasal 51 UU no. 5/1986
D. Kekuasaan Peradilan Militer.
UU No. 31 Tahun 1997
E. Kekuasaan MA (UU No. 14/1985 Jo. UU No.5/2004)
- MA Bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan :
1. Permohonan Kasasi.
2. Sengketa tetang kewenangan mengadili.
3. Permohonan meninjauh kembali putusan Pengadilanyang yelah memperoleh kekuatan Hukum tetap (Pasal 28 UU No.14/1985)
- MA dalam tingkat kasasi membatalkan putusan datau penetapa Pengadilandari semua lingkungan peradilan karena :
1. Tidak berwenang dan melampaui batas wewenang.
2. Salah menerapkan atau melanggar Hukum yang berlaku.
3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan (Pasal 30 ayat 1 UU No. 5/2004).
3. Pengertian Kompetensi Absolut ).
• Kompetensi mutlak/absolut yaitu masing masing badan peradilan itu mempunyai wewenang untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara-perkara jenis tertentu yang mutlak tidak dapat dilakukan badan peradilan yang lain.
Contoh :
Sengketa dibidang tanah, maka yang berwenang (kompetensi asbulut) adalah pengadilan negeri, atau sengketa warisan bagi orang islam maka yang berwenang (kompetensi absolut) adalah pengadilan agama.
4. Pengertian Kompetensi Relatif
• Kompetensi relatif/nisbi yaitu peradilan mempunyai wewenang untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara-perkara berdasarkan daerah Hukumnya dimana wilayah tergugat bertempat tinggal.
Misalnya
Sengketa sebidang tanah tergugatnya berada di Kotabaru maka komptensi relatifnya adalah Pengadilan Negeri Kotabaru. Lain hal jika alamat tergugat berada di Kabupaten Banjarmasin, maka kompetensi relatifnya adalah Pengadilan Negeri Banjarmasin.
Secara khusus dan terperinci tentang wewenang nisbi Pengadilan Negeri diatur dalam Pasal 118 HIR/142 RBg yang mengatur sebagai berikut :
1. Gugatan perdata pada tingkat pertama yang termasuk wewenang Pengadilan Negeri diajukan kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat atau jika tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat kediamannya yang sebenarnya.
2. Apabila tergugat lebih dari satu orang diajukan di tempat tinggal salah satunya sesuai pilihan penggugat.
3. Jika tidak dikenal tempat tinggal dan kediaman tergugat diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat atau salah seorang penggugat.
4. Jika objeknya benda tetap (benda tidak bergerak) maka gugatsn diajukan kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi benda tetap itu berada, jika benda tetap itu berada dibeberapa daerah hukum Pengadilan Negeri maka gugatan diajukan kepada salah satu Pengadilan Negeri menurut pilihan Penggugat.
5. Jika ditentukan dalam perjanjian (akta) ada tempat tinggal yang dipilih maka gugatan diajukan di tempat tinggal yang dipilih tersebut, penggugat kalau ia mau dapat mengajukan gugatannya kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal yang dipilih tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1. UU No. 48 Tahun 2009. Tentang Kekuasaan Kehakiman.
2. Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH. Hukum Acara Perdata Indonesia
3. Retno Wulan, SH dan Iskandar O, SH. Hukum Acara Perdata dalam teori dan praktek.
4. Sri Hartini. 2008. Diktat Hukum Acara Perdata Indonesia.
5. H. Riduan Syahrani, S.H., Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, Cet. V
PEKERJA ANAK DALAM PERSPEKTIF HAM
Dibuat untuk memenuhi tugas tertulis Mata Kuliah Hak Asasi Manusia
Dosen : Bp. Suhendar,SH.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah umat manusia yang penuh dengan keprihatinan akan perjuangan pembebasan diri atas penindasan, pemerkosaan, pembantaian dan pencampakan hak-hak asasi manusia baik secara individu maupun kolegial. Tindakan mengabaikan dan memandang rendah hak-hak dasar manusia telah menimbulkan kemarahan dalam hati sanubari setiap orang dan konsekuensinya terjadilah konflik fisik dan persenjataan yang tidak pernah terselesaikan. )
John Locke mengatakan bahwa manusia mula-mula belum bermasyarakat , teteapi berada dalam keadaan alamiah (State of nature), yaitu suatu keadaan dimana belum terdapat kekuasaan dan otorita apa-apa, semua orang sama sekali bebas dan sederajat. Dalam perkembanganya selanjutnya, di antara orang-orang itu sering terjadi percekcokan yang terjadi dikarenakan perbedaan pemilikan, dan yang lebih celaka lagi ada yang hidup berkelimpahan diatas penderitaan orang lain, dan dalam kondisi state war seperti ini timbulah pemikiran untuk melindungi nilai-nilai mereka yang paling fundamental dan esensial seperti hak untuk hidup, hak untuk merdeka, dan hak terhadap milik pribadi sebagai suatu kebutuhan yang mendesak. )
Didalam konteks hukum internasional, sebuah peraturan ditetapkan berdasarkan persetujuan dari negara-negara. Semakin banyak negara yang menandatangi, menyetujui atau meratifikasi sebuah peraturan internasional, maka nilai, moralitas atau norma-norma yang diatur dialamnya juga semakin tinggi.
“Negara yang baik adalah negara yang sering memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat banyak” demikian wejangan dari Aristoteles kepada para pengikutnya (384-322). Termasuk dalam hal hak-hak asasi setiap warga negaranya.
Hak asasi manusia adalah hak pokok atau hak dasar yang dibawa oleh manusia sejak lahir yang secara kodrat melekat pada setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat karena merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Manusia sedari lahir telah memiliki hak asasi, jadi hak asasi adalah milik semua orang berapapun umurnya, termasuk anak-anak. Pemakalah akan coba menjelaskan hak-hak anak dan usia minimun untuk seorang anak bekerja. Karena seperti yang kita ketahui bahwa banyak kita menjumpai pekerja-pekerja dibawah umur.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah Faktor Penyebab Adanya Pekerja di bawah umur?
2. Apakah Contoh Kasus Pekerja di Bawah Umur?
3. Bagaimana Hak-hak Anak Dalam Persepektif Hukum internasional?
4. Bagaimana Peran Pemerintah Terhadap Kasus Pekerja dibawah umur?
BAB II
PEKERJA ANAK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA (HAM)
A. Faktor Penyebab Adanya Pekerja di bawah umur
Seperti yang telah kita ketahui anak merupakan titipan Tuhan Yang Maha Esa sehingga nasib dan masa depan anak-anak tersebut merupakan tanggung jawab utama orang tua dan tanggung jawab kita bersama. Anak merupakan masa depan bagi setiap orang tua dan merupakan aset masa depan bangsa. ) Untuk itu orang tua hendaklah merawat dan membesarkan anak dengan sebaik-baiknya. Langkah paling utama yang harus orang tua lakukan adalah memberinya pendidikan formal dan non-formal. Memberi pendidikan non-formal dapat dilakukan sendiri oleh orang tua dirumah atau diluar sekolah, sedangkan pendidikan formal dapat diberikan melalui sekolah. Dimana anak-anak bisa bermain sambil belajar setiap hari dengan jadwal yang telah ditentukan. Namun pada kenyataannya kita melihat tidak sedikit anak-anak yang mengais rejeki diberbagai tempat dan wilayah. Lantas, bagaimana dengan sekolah mereka? Mengapa mereka bekerja dengan usia sedini itu?
Hal yang paling mendasar yang kita ketahui bersama mengapa mereka bekerja pada usia dini yaitu karena faktor ekonomi.
Hal senada juga dikatakan oleh Koordinator Divisi Litigasi Yayasan Pusaka Indonesia Elisabeth. Menurut Elisabeth UU nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak tidak terimplementasi dengan maksimal khususnya yang terjadi pada pekerja anak karena faktor ekonomi keluarga menyebabkan si anak harus bekerja dengan alasan membantu ekonomi orangtua.
Kemudian Edy Sunarwan, Project Officer ILO IPEC wilayah Sumut mengatakan bahwa suasana sekolah juga menjadi penentu anak-anak suka sekolah atau tidak. Sebab banyak sekolah yang menurut anak-anak tidak menarik dan memunculkan kebosanan. ) Hal ini dapat menjadi pertimbangan seorang anak untuk tetap berada disekolah atau lebih baik bekerja membantu orang tuanya. Jika suasana sekolah yang dirasa tidak nyaman oleh anak, kemungkinan hal yang akan terjadi ia akan memilih untuk bekerja membantu orang tuanya.
Apalagi jika jarak sekolah dengan rumah jauh atau bahkan medan yang harus ditempuh untuk kesekolah itu berbahaya, misalnya harus melewati sungai dengan jembatan yang nyaris roboh. Kita juga tidak bisa memungkiri bahwa biaya pendidikan yang cukup mahal merupakan salah satu faktor penyebab anak dibawah umur bekerja.
Urbanisasi juga menjadi faktor penyebab maraknya pekerja anak. Pedesaan dipandang kurang menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Alhasil orang tua yang mengharapkan perbaikan ekonomi ini mengajak anaknya untuk ikut membantu bekerja mulai dari pengemis atau bahkan buruh pabrik.
Di Indonesia anak yang membantu orang tuanya bekerja bisa dipandang sebagai anak yang berbakti kepada orang tua. Faktor sosial dan budaya ini juga menyebabkan pekerja dibawah umur di beberapa wilayah di Indonesia menjadi lumrah. )
B. Contoh Kasus Pekerja di Bawah Umur
CV Langgeng Computer Embrodery, pabrik konveksi milik Budi Halim dan istrinya, Herawati yang terdapat di kelurahan Kebon Jeruk kecamatan Andir Bandung, Jawa Barat ini diketahui telah memperkerjakan anak dibawah umur. Laporan ini didapat dari Dewi, seorang anak yang menjadi korban pekerja dibawah umur. Polisi berhasil menggerebek kediaman Budi dan Herawati dan menemukan 12 anak yang berusia 12 sampai 18 tahun. Menurut Dede (salah seorang korban) mengatakan bahwa mereka harus bekerja dari jam 07.00 sampai jam 19.00 WIB. Selama 12 jam bekerja mereka hanya diberi waktu setengah jam untuk istirahat, parahnya mereka tidak diperbolehkan ke luar atau beranjak dari tempat kerja hanya jongkok atau berdiri. )
Tersangka kemudian diganjar Pasal 333 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tentang Perampasan Kebebasan Seseorang. Dalam Undang-undang Perburuhan No. 20 Tahun 1999, disebutkan bahwa usia minimum anak yang diperbolehkan bekerja di Indonesia adalah 15 tahun. Maka hal ini jelaslah telah melanggar ketentuan undang-undang. Kasus ini hanyalah segelintir dari sekian banyak kasus pekerja anak dibawah umur yang ada. Kenyataanya masih banyak kita jumpai kasus-kasus serupa.
C. Hak-hak Anak Dalam Persepektif Hukum Internasional
Hak-hak asasi manusia merupakan terjemahan dari istilah droits de I’homme dalam bahasa Perancis yang berarti “hak manusia” atau dalam bahasa Inggrisnya human rights, yang dalam bahasa Belanda disebut menselijke rechten. Di Indonesia umumnya dipergunakan istilah: “hak-hak asasi”, yang merupakan terjemahan dari basic rights dalam bahasa Inggris dan grondrecten dalam bahasa Belanda.
Sebagian orang menyebutkannya dengan istilah hak-hak fundamental, sebagai terjemahan dari fundamental rights dalam bahasa Inggris dan fundamentele rechten dalam bahasa Belanda. Di Amerika Serikat di samping dipergunakan istilah human rights, dipakai juga istilah civil rights. )
Di Indonesia sering dipergunakan istilah “hak dasar manusia”. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan, misalnya dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, Undang-Undang Dasar Sementara 1950, Ketetapan MPRS Nomor XIV/MPRS/1966 bahkan dalam Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Pancakarsa), dipergunakan istilah: “Hak-Hak Asasi Manusia”.
Seorang aktivis perempuan bernama Eglantyne Jebb mengarahkan mata dunia untuk melihat situasi anak-anak setelah perang dunia I. Perang ini mengakibatkan kelaparan dan penyakit terhadap anak-anak.
Pada tahun 1923, Eglantyne Jebb membuat 10 pernyataan Hak-hak anak dan mengubah gerakannya menjadi perjuangan Hak-hak anak : )
1. Bermain
2. Mendapatkan nama sebagai identitas
3. Mendapatkan makanan
4. Mendapatkan kewarganegaraan sebagai status kebangsaan
5. Mendapatkan persamaan
6. Mendapatkan pendidikan
7. Mendapatkan perlindungan
8. Mendapatkan sarana rekreasi
9. Mendapatkan akses kesehatan
10. Mendapatkan kesempatan berperan serta dalam pembangunan
Pada tahun 1959, tepatnya tanggal 1 Juni PBB mengumumkan pernyataan Hak anak dan ditetapkan sebagai Hari Anak Sedunia. Kemudian, pada tahun 1979 diputuskan sebagai Tahun Anak dan ditetapkan 20 November sebagai Hari Anak Internasional. Setelah sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1989, Konvensi Hak-hak anak disahkan oleh PBB. Inilah pengakuan khusus secara internasional atas hak asasi yang dimiliki anak-anak.
Salah satu Hak Asasi Manusia yang mendasar adalah hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Hak itu tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yaitu Pasal 26 ayat 1 “Setiap orang berhak mendapat pengajaran. Pengajaran harus dengan gratis, setidak-tidaknya dalam tingkatan rendah dan tingkatan dasar. Pengajaran sekolah rendah harus diwajibkan. Pengajaran teknik dan vak harus terbuka bagi semua orang dan pengajaran tinggi harus dapat dimasuki dengan cara yang sama oleh semua orang berdasarkan kecerdasan”.
Hak yang begitu penting ini dalam Konvensi Internasional HAM dimasukkan dalam Pasal 13 Konvensi Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant Economi, Social and Cultural Right). Konvensi ini mewajibkan bagi setiap negara peserta kovenan untuk memenuhi hak pendidikan bagi warga negaranya. Hak ini termuat dalam UUD 1945 Pasal 31 dan dalam amandemen IV mengharuskan anggaran pendidikan APBN dan APBD minimal 20%. )
Dalam Pasal 12 UU HAM No. 39 Tahun 1999, telah diatur mengenai hak pendidikan, yang berbunyi : "Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusiayang beriman, bertaqwa, bertanggungjawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia." Ketentuan UU HAM mempertegas untuk memperoleh pendidikan maupun mencerdaskan dirinya.
Artinya tidak hanya pendidikan semata, namun fasilitas untuk meningkatkan kecerdasan juga harus terpenuhi. Penanggungjawab utama untuk memenuhi hak-hak itu adalah Pemerintah.
Adapun beberapa instrumen terpenting hukum internasional dalam perlindungan hak-hak anak, antara lain :
1.) United Nations Standard Minimun Rules for the Administration of Juvenile Justice (Peraturan-peraturan minimum standar PBB mengenai administrasi peradilan bagi remaja) “Beijing Rules” (Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/33 tanggal 29 November 1985).
Penentuan umur bagi seorang anak/remaja ditentukan berdasarkan sistem hukum masing-masing negara. “Beijing Rules” hanya memberikan rambu-rambu agar penentuan batas usia anak jangan ditetapkan dalam usia yang terlalu rendah. Hal ini akan berkaitan dengan masalah emosional, mental dan intelektual. Artinya, “Beijing Rules” menganggap bahwa pada usia yang terlalu rendah, seorang belum dapat dikatakan dewasa secara emosional, dewasa secara mental, dan dewasa secara intelektual, sehingga perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. )
2.) United Nations Rules for the Protection of Juvenile Deprived of Their Liberty (Peraturan-peraturan PBB bagi perlindungan remaja yang kehilangan kebebasannya) (Resolusi Majelis Umum PBB No. 45/133 tanggal 14 November 1990).
Ada beberapa hal pokok dalam peraturan ini, diantaranya:
a) Sistem peradilan bagi remaja harus menjujung tinggi hak-hak dan keselamatan serta memajukan kesejahteraan fisik dan mental remaja.
b) Penjara harus menjadi alternatif terakhir, karena membiarkan seorang anak memasuki Lembaga Pemasyarakatan berarti memberikan pendidikan negatif kepada anak, sebab apabila di dalam LP penghuninya adalah mereka yang diidentifikasikan sebagai yang jahat, maka anak tersebut akan mengimitasi tingkah laku yang jahat.
c) Peraturan bagi anak/remaja tidak boleh membedakan ras, warna kulit, usia, bahasa, agama, kebangsaan, pandangan politik, kepercayaannya, atau praktek-praktek budaya, kepemilikan, kelahiran atau status keluarga, asal-usul etnis atau sosial, cacat jasmani, agama serta konsep moral yang bersangkutan harus dihormati.
d) Para remaja yang belum diadili, harus dianggap tidak bersalah. Remaja yang masih dalam proses hukum, harus dipisahkan dari remaja yang telah dijatuhi hukuman.
e) Data yang berkaitan dengan remaja bersifat rahasia.
f) Anak/remaja yang ditahan berhak untuk memperoleh:
1) Pendidikan
2) Latihan keterampilan dan latihan kerja
3) Rekreasi
4) Memeluk agama
5) Mendapat perawatan kesehatan
6) Pemberitahuan tentang kesehatan
7) Berhubungan dengan masyarakat luas
3.) United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Deliquency (Pedoman PBB dalam rangka pencegahan tindak pidana anak dan remaja) “Riyadh Guidelines” (Resolusi Majelis Umum PBB No. 45/112 tanggal 14 Desember 1990).
D. Peran Pemerintah Terhadap Kasus Pekerja dibawah Umur
Hak asasi anak diakui secara universal sebagaimana tercantum dalam piagam PBB, deklarasi PBB tahun 1945 tentang Hak Asasi Manusia, Deklarasi ILO di Philadelphia tahun 1944 tentang Hak-Hak Anak, Konvensi PBB tahun 1989 tentang hak-hak anak. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi yang termuat dalam Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan Konvensi perserikatan Bangsa-Bangsa tenatng hak-hak anak (Convention on the rights of the child). Bahwa dalam deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, PBB telah menyatakan bahwa dalam masa kanak-kanak, anak berhak memperoleh pemeliharaaan dan bantuan khusus.
Sebagai anggota PBB dan organisasi ketenagakerjaan Internasional atau ILO (International Labour Organization) Indonesia emnghargai , menjunjung tinggi, dan berupaya menerapkan perlindungan hak asasi manusia, termausk di dalamnya adalah hak anak. Konvensi IILO No. 182 tahun 1999 mengenai pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak yang disetujui pada ketenagakerjaan Internasional ke-87 tanggal 17 Juni 1999 di Jenewa dan telah diratifikasi oleh Republik Indonesia dengan Undang-undang No.1 tahun 2000, merupakan salah satu konvensi yang melindungi hak asasi anak. Konvensi ini mewajibkan setiap negara anggota ILO yang telah merativikasinya harus segera melakukan tindakan –tindakan untuk menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
Pada tahun 2002, dua tahun setelah meratifikasi konvensi bentuk-bentuk pekerja terburuk untuk anak, pemerintah Indonesia, melalui dekrit presiden, meluncurkan Rencana Aksi Nasional dua puluh tahun untuk Penghapusan Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak (Rencana Aksi Nasional). )
Melalui sebuah langkah, yang mendapatkan sambutan baik rencana tersebut menyebut anak-anak yang mengalami eksploitasi fisik maupun ekonomi “sebagai pelayan rumah tangga”, bersama dengan dua belas bidang perburuhan anak lainnya, sebagai sebuah bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Namun sayangnya sejak itu pemerintah gagal dalam mengambil langkah apapun untuk melindungi pekerja dibawah umur. Rencana Aksi nasional itu terdiri dari tiga tahap. Tahap yang pertama direncanakan untuk di capai dalam waktu lima tahun, tahap kedua selama 10 tahun dan tahap ketiga dalam waktu dua puluh tahun.
Tujuan tahap pertama Rencana Aksi Nasional pada tahun 2003-2007 adalah untuk :
1) Meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
2) Memetakan keberadaan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
3) Menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak di lima bidang: anak yang terlibat dalam penjualan, pembuatan, dan perdagangan obat terlarang, anak yang diperdagangkan untuk pelacuran, dan anak yang bekerja dalam penangkapan ikan lepas pantai, pertambangan, dan produksi alas kaki.
Tahap kedua Rencana Aksi Nasional akan dicapai 10 tahun dan akan mencontoh model-model dari tahap pertama yang digunakan untuk menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak untuk diterapkan di bidang-bidang lain. )
Pemerintah melalui kerjasamnya dengan ILO-IPEC, telah memulai sebuah program terikat waktu di lima bidang yang ditunjuk sebagai target dalam tahap pertama. Pekerja Rumah Tangga Anak, yang melibatkan sedikitnya 688.132 orang anak, yang sebagian besar adalah anak perempuan yang bekerja dalam situasi kerja yang tersembunyi dan menghadapi resiko pelecehan seksual, fisik, dan psikologis, belum dianggpa oleh pemerintah sebagai suatu prioritas seperti sektor-sektor lain yang ada dalam tahap pertama rencana aksi tersebut. Pemerintah Indonesia juga belum mengumumkan rencananya untuk menangani masalah bentuk-bentuk terburuk pekerjaan tumah tangga untuk anak pad atahap kedua rencana aksi nasional ini. )
Pemerintah harus memprioritaskan program-program untuk menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak bersama dengan bidang-bidang lain yang telah dikemukakan. Konvensi bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak mewajibkan negara-negara yang terikat di dalamnya untuk menerapkan program kerja dengan tujuan utamnya penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk unruk anak “dengan mempertimbangkan situasi khusus yang dihadapi anak perempuan”. )
Rekomendasi bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, secara khusus mendorong negara untuk memberi “perhatian istimewa” terhadap “masalah situasi kerja tersembunyi, dimana anak perempuan menghadapi resiko khusus”. ) selain itu, komite Hak anak, yang bertugas mengawasi kepatuhan negara terhadap konvensi itu , pada tahun 2004 mengeluarkan rekomendasi agar Indonesia “menjamin bahwa (pemerintah) akan menjangkau dan melindungi anak-anak yang dipekerjakan di sektor informal, khususnya pekerja rumah tangga. Hingga saat ini Indonesia belum melakukan hal tersebut.
BAB III
KESIMPULAN
Sering kita jumpai kasus anak yang bekerja dibawah umur. Alasan yang paling utama yaitu faktor ekonomi, dimana seorang anak dipaksa atau terpaksa membantu mencari nafkah untuk kelangsungan hidup keluarganya. Terkadang anak pun lebih memilih untuk bekerja dari pada untuk bersekolah karena situasi disekolah menurut anak-anak tidak menyenangkan,atau fasilitas yang kurang memadai,jarak yang begitu jauh,medan yang sulit untuk dilalui, atau bahkan biaya yang begitu mahal.
Urbanisasi juga menjadi faktornya, di pedesaan dianggap kutang bisa memperbaiki ekonomi keluarga sehingga mereka ke kota dengan kemampuan terbatas yang pada akhirnya anak di wajibkan untuk ikut membantu mencari nafkah.Faktor sosial budaya Indonesia, di Indonesia anak yang membantu mencari nafkah dipandang sebagai anak yang penurut yang artinya hal tersebut dipandang sebagai wujub bakti seorang anak terhadap orang tua. Wujud keprihatianan akan hak-hak anak di mulai ketika perang dunia I usai, dimana terdapat banyak anak yang menderita kelaparan dan terserang penyakit yang kemudian oleh Mrs.Eglantyne Jebb Pada tahun 1923, membuat 10 pernyataan Hak-hak anak dan mengubah gerakannya menjadi perjuangan Hak-hak anak.
Adapun instrumen Hukum Internasional mengenai perlindungan hak-hak anak antara lain United Nations Standard Minimun Rules for the Administration of Juvenile Justice (Peraturan-peraturan minimum standar PBB mengenai administrasi peradilan bagi remaja) “Beijing Rules” (Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/33 tanggal 29 November 1985), United Nations Rules for the Protection of Juvenile Deprived of Their Liberty (Peraturan-peraturan PBB bagi perlindungan remaja yang kehilangan kebebasannya) (Resolusi Majelis Umum PBB No. 45/133 tanggal 14 November 1990), dan United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Deliquency (Pedoman PBB dalam rangka pencegahan tindak pidana anak dan remaja) “Riyadh Guidelines” (Resolusi Majelis Umum PBB No. 45/112 tanggal 14 Desember 1990).
ILO sangat memperhatikan masalah pekerja dibawah umur terbukti dengan Konvensi ILO No. 182 tahun 1999 mengenai pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak yang disetujui pada ketenagakerjaan Internasional ke-87 tanggal 17 Juni 1999 di Jenewa dan telah diratifikasi oleh Republik Indonesia dengan Undang-undang No.1 tahun 2000.
Kemudian pada tahun 2002 Indonesia meluncurkan Rencana Aksi Nasional dua puluh tahun untuk Penghapusan Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak (Rencana Aksi Nasional). Renacana ini terdiri dari 3 tahap. Tahap yang pertama dicapai dalam 5 tahun, kedua 10 tahun, dan ketiga 20 tahun. Namun Indonesia hingga saat ini belum mencapai semua itu.
BAB IV
SARAN
Timbulnya gagasan mengenai hak anak berawal dari kenyataan bahwa anak berbeda dengan orang dewasa baik secara fisik, mental, maupun kondisi sosialnya. Oleh karenanya, seorang anak wajib diberi perlindungan hukum mulai dari ia didalam kandungan, dilahirkan, tumbuh, dan berkembang untuk mendapatkan hak asasi manusianya secara utuh. Adapun yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia dalam Pasal 1 UU No.39 Tahun 1999 Tentang HAM adalah:
“Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mekhluk Tuhan Yang Masa Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Untuk mendapatkan hak asasi manusianya secara utuh, anak perlu dilindungi secara hukum oleh lingkungan dimana ia berada mulai dari orangtua, keluarga, masyakarat, pemerintah daerah, pemerintah pusat, bahkan dunia internasional.
Setiap anak pada saat ia dilahirkan adalah termasuk subjek hukum yakni sebagai pribadi kodrati dimana ia dilahirkan dalam keadaan merdeka, tidak boleh disiksa atau bahkan dilenyapkan. Anak-anak bahkan sejak ia didalam kandungan mempunyai hak untuk hidup, dipelihara, dan dilindungi bagaimanapun kondisi fisik dan mental anak tersebut. Upaya pemenuhan hak anak dapat dilakukan terutama oleh orang tua dan keluarga, masyarakat, maupun bangsa dan negara.
Hal itu disebabkan anak merupakan individu yang belum matang baik secara fisik, mental, maupun sosial sehingga bergantung pada orang dewasa. Kondisi anak yang rentan seperti itulah seringkali beresiko terhadap kegiatan yang mengandung unsur eksploitasi maupun kekerasan.
Menurut Pasal 1 Konvensi Hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November 1989; UU No. 26/2000 Tentang Pengadilan HAM dan UU No.1 Tahun 2000 Tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 182, anak didefinisikan sebagai: “Setiap manusia yang berusia delapan belas tahun kecuali undang-undang yang berlaku terhadap anak, kedewasaan telah dicapai lebih cepat.”
Sementara menurut Pasal 1 Ayat 1 UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak anak disebut sebagai: “Seseorang yang belum berusia delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”
Mengenai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak di bawah umur, dibutuhkan adanya kebijakan tegas dari pemerintah yang mempunyai peranan vital untuk mencegah dan menghapuskannya. Sebab, anak dianggap sebagai korban bukan pelaku atau seperti orang dewasa yang secara sadar memilih untuk bekerja. Anak haruslah dianggap tidak bisa memahami akibat dari pekerjaan yang dilakukannya baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain, tidak bisa memahami isi perjanjian kerja baik tertulis maupun lisan bahkan secara hukum pun anak belum dianggap cakap untuk menandatangani dan menyetujui kontrak kerja.
Dengan demikian, orang yang mempekerjakan anak dianggap orang yang mengambil keuntungan ekonomi dari si anak tersebut. Pemerintah tidak cukup menegaskan segala bentuk aturan terkait perlindungan terhadap anak hanya dalam berbagai bentuk perundang-undangan, melainkan dibutuhkan implementasi dari pemerintah secara menyeluruh, konkrit, dan pasti dalam hal menegakkan dan menjamin hak asasi anak tersebut. Hal ini sangat diperlukan sebab jika tidak, cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD NKRI 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa tidaklah mungkin terwujud selama anak dibawah umur yang merupakan generasi penerus bangsa dibiarkan bekerja, terlantar dan tidak diberikan penghidupan yang sepantasnya terutama dalam bidang pendidikan.
Sehingga pemerintah sebaiknya melakukan:
a) Selayaknya KPK, sebaiknya Komnas HAM juga diberi kewenangan untuk menuntut.
b) Dibuat database nasional pelanggar Hak Anak untuk memberikan efek jera bagi para pelanggar (publik mengetahui pelanggarannya).
c) Diperluasnya pengawasan oleh Komnas HAM dengan cara merekrut orang yang kompeten untuk melakukan pengawasan terhadap Hak Asasi Anak.
d) Diadakannya inspeksi mendadak oleh pihak yang berwenang di lokasi-lokasi yang diduga terdapat banyak pekerja anak.
DAFTAR PUSTAKA
1. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia, Jakarta
2. Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, PT. Gramedia, Jakarta 1986
3. http://wwwemyfajar.blogspot.com/2011/01/makalah-meraih-rupiah-dari-bengkel.html
4. http://www.hariansumutpos.com/arsip/?p=64806
5. http://emeidwinanarhati.blogspot.com/2012/08/jurnal-reformasi.html
6. http://news.liputan6.com/read/38644/derita-pekerja-anak-dari-kota-kembang
7. Ramdlon Naning,Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia Di Indonesia,Lembaga Kriminologi universitas Indonesia,Jakarta,1983,hlm.7
8. M. Jodi Santoso, Rausya dan Agenda Perlindumgam Anak dari laman web: http://jodisantoso.blogspot.com/2007/09/raisya-dan-agenda-perlindunganhak anak.html
9. http://nirmalanurdin.blogspot.com/2011/03/perspektif-hukum-terhadap-pemenuhan hak.html
10. Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm.41-42
11. Dekrit Presiden No. 59/2002 mengenai Rencana Aksi Nasional untuk Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak
12. Rencana Aksi Nasional untuk Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, bab II(A)(2)
13. Human Rights Watch, Selalu siap disuruh, 2004. hal 62
14. Konvensi Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, Pasal 6-7(2)(e)
15. Rekomendasi Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak,para. 2(c)
Subscribe to:
Comments (Atom)