Thursday, 24 September 2015

PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA

          Di dalam hukum acara pidana pembuktian merupakan titik sentral di dalam pemeriksaan perkara di pengadilan. Hal ini karena melalui tahapan pembuktian inilah terjadi suatu proses, cara, perbuatan membuktikan untuk menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa terhadap suatu perkara pidana di dalam sidang pengadilan. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.
Pembuktian adalah kegiatan membuktikan, dimana membuktikan berarti memperlihatkan bukti-bukti yang ada, melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakkan, menandakan, menyaksikan dan meyakinkan. Secara konkret, Adami Chazawi menyatakan, bahwa dari pemahaman tentang arti pembuktian di sidang pengadilan, sesungguhnya kegiatan pembuktian dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu:
1.    Bagian kegiatan pengungkapan fakta.
2.    Bagian pekerjaan penganalisisan fakta yang sekaligus penganalisisan hukum.
Di dalam bagian pengungkapan fakta, alat-alat bukti diajukan ke muka sidang oleh Jaksa Penuntut Umum dan Penasehat Hukum atau atas kebijakan majelis hakim untuk diperiksa kebenarannya. Proses pembuktian bagian pertama ini akan berakhir pada saat ketua majelis mengucapkan secara lisan bahwa pemeriksaan terhadap perkara  dinyatakan selesai (Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP). Setelah bagian kegiatan pengungkapan fakta telah selesai, maka selanjutnya Jaksa Penuntut Umum, Penasehat Hukum, dan majelis hakim melakukan penganalisisan fakta yang sekaligus penganalisisan hukum. Oleh Jaksa Penuntut Umum pembuktian dalam arti kedua ini dilakukannya dalam surat tuntutannya (requisitoir). Bagi Penasehat Hukum pembuktiannya dilakukan dalam nota pembelaan (peledooi), dan akan dibahas majelis hakim dalam putusan akhir (vonnis) yang dibuatnya.
Pembuktian ini menjadi penting apabila suatu perkara tindak pidana telah memasuki tahap penuntutan di depan sidang pengadilan. Tujuan adanya pembuktian ini adalah untuk membuktikan apakah terdakwa benar bersalah atas tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

Secara Teoretis terdapat empat teori mengenai sistem pembuktian yaitu:

1.    Sistem pembuktian menurut Undang-undang secara positif (positief wettelijke bewijs theorie). Menurut teori ini, sistem pembuktian positif bergantung pada alat-alat bukti sebagaimana disebut secara limitatif dalam undang-undang. Singkatnya, undang-undang telah menentukan tentang adanya alat-alat bukti mana yang dapat dipakai hakim, cara bagaimana hakim menggunakannya, kekuatan alat bukti tersebut dan bagaimana hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili. Jadi jika alat-alat bukti tersebut digunakan sesuai dengan undang-undang maka hakim mesti menentukan terdakwa bersalah walaupun hakim berkeyakinan bahwa terdakwa tidak bersalah. Teori pembuktian ini sekarang tidak mendapat penganut lagi. Teori ini terlalu banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang disebut oleh undang-undang. Teori pembuktian ini ditolak juga oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut di Indonesia, karena katanya bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat.
2.    Sistem pembuktian menurut keyakinan hakim melulu (conviction intime)
Pada sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim, hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan. Melalui sistem “Conviction Intime”, kesalahan terdakwa bergantung kepada keyakinan belaka sehingga hakim tidak terikat pada suatu peraturan. Dengan demikian, putusan hakim dapat terasa nuansa subjektifnya. Disadari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiri pun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar melakukan perbuatan yang didakwakan. Oleh karena itu, diperlukan bagaimanapun juga keyakinan hakim sendiri. Bertolak pangkal pada pemikiran itulah, maka teori berdasarkan keyakinan hakim melulu yang didasarkan kepada keyakian hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Sistem ini memberi kebebasan hakim yang terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Di samping itu, terdakwa atau penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang didakwakan.
3.    Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alas an yang logis (Laconviction Raisonnee). Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Keyakinan hakim tetap memegang peranan penting untuk menentukan kesalahan terdakwa, tetapi penerapan keyakinan  hakim tersebut dilakukan dengan selektif dalam arti keyakinan hakim dibatasi dengan harus didukung oleh alasan-alasan jelas dan rasional dalam mengambil keputusan. Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrije bewijstheorie). Sistem atau teori pembuktian jalan tengah atau yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu in terpecah kedua jurusan. Yang pertama yang tersebut di atas yaitu pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction raisonnee) dan yang kedua ialah teori pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewcijstheorie).Persamaan antara keduanya ialah keduanya sama berdasar atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakirn bahwa is bersalah. Perbedaannya ialah bahwa yang tersebut pertama berpangkal tolak pada keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan kepada  undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan  hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan  pembuktian yang mana yang ia akan pergunakan. Sedangkan yang kedua berpangkal tolak pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang, tetapi hat itu harus diikuti dengan keyakinan hakim.
4.    Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie). Pada prinsipnya, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana tehadap terdakwa apabila alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh undang-undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut. Di dalam membuktikan apakah terdakwa bersalah atau tidak dalam suatu perkara pidana, menurut Lilik Mulyadi KUHAP di Indonesia menganut sitem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Di dalam sitem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewujs theorie) terdapat unsur dominan berupa sekurang-kurangnya dua alat bukti sedangkan unsur keyakinan hakim hanya merupakan unsur pelengkap. Jadi dalam menentukan apakah orang yang didakwakan tersebut bersalah atau tidak, haruslah kesalahannya dapat dibuktikan paling sedikit dengan dua jenis alat bukti seperti yang tertuang di dalam KUHAP pasal 183 “ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurng-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya”. 

Alat bukti yang sah dalam KUHAP Pasal 184 ayat (1) undang-undang yaitu:

a. keterangan saksi,
b. keterangan ahli,
c.  surat,
d. petunjuk, dan
e. keterangan terdakwa.

Menurut Yahya Harahap hanya alat bukti yang mencapai batas minimal yang memiliki nilai kekuatan pembuktian untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Apabila alat bukti tidak mencapai sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dalam KUHAP, maka pelanggaran itu dengan sendirinya menyampingkan standar Beyond a reasonable doubt (patokan penerapan standar terbukti sevara sah dan meyakinkan) dan pemidanaan yang dijatukan dapat dianggap sewenang-wenang.

Ditinjau dari perspektif sistem peradilan pidana, perihal pembuktian merupakan hal yang sangat determinan bagi setiap pihak yang terlibat secara langsung dalam proses pemeriksaan perkara pidana, khususnya dalam hal menilai terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.

Dalam hal pembuktian ini keterangan korban merupakan hal yang sangat penting, dimana korban adalah mereka yang menderita secara jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita

1.    Alat Bukti Keterangan Saksi.
Keterangan saksi dalam pasal 1 angka 27 KUHAP adalah suatu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya. Menurut ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, memberi batasan pengertian keterangan saksi dalam kapasitasnya sebagai alat bukti, adalah “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.” Pada umumnya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau “the degree of evidence” keterangan saksi, agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi. Artinya, agar keterangan seorang saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus dipenuhi aturan ketentuan sebagai berikut.
2.    Harus mengucapkan sumpah atau janji.
Hal ini diatur dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP, dan hal ini sudah panjang lebar diuraikan dalam ruang lingkup pemeriksaan saksi. Menurut ketentuan Pasal 160 ayat (3), sebelum saksi memberi keterangan: “wajib mengucapkan” sumpah atau janji. Adapun sumpah atau janji:
·         dilakukan menurut cara agamanya masing-masing,
·         lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya. Pada prinsipnya sumpah atau janji wajib diucapkan sebelum saksi memberi keterangan. Akan tetapi, Pasal 160 ayat (4) memberi kemungkinan untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberikan keterangan.
·         Dengan dernikian, saat pengucapan sumpah atau janji:
1)   pada prinsipnya wajib diucapkan “sebelum” saksi memberi keterangan,
·         2)   tapi dalam hal yang dianggap perlu oleh pengadilan, sumpah atau janji dapat diucapkan “sesudah” saksi memberi keterangan.

·         Mengenai saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau janji, sudah diterangkan, yakni terhadap saksi yang menolak untuk mengucapkan sumpah atau janji tanpa alasan yang sah:
1.    dapat dikenakan sandera,
2.    penyanderaan dilakukan berdasar “penetapan” hakim ketua sidang,
3.    penyanderaan dalam hal seperti ini paling lama empat belas hari (Pasal 161 KUHAP).
4.    Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti.

Tidak semua keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 angka 27 KUHAP:
1.    yang saksi lihat sendiri,
2.    saksi dengar sendiri,
3.    dan saksi alami sendiri,
4.    serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Dari penegasan bunyi Pasal 1 angka 27 KUHAP dihubungkan dengan bunyi penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, dapat ditarik kesimpulan:
1.    setiap keterangan saksi di luar apa yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi atau di luar yang dilihat atau dialaminya dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan di luar pendengaran, penglihatan,  atau pengalaman sendiri mengenai suatu peristiwa pidana yang terjadi, “tidak  dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti”. Keterangan semacam itu tidak  mempunyai kekuatan nilai pembuktian,
2.    testimonium de auditu” atau keterangan saksi yang ia peroleh sebagai hasil pendengaran dari orang lain, “tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti”. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulangan dari apa yang didengarnya dari orang lain, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti.
3.     “pendapat” atau “rekaan” yang saksi peroleh dari hasil pemikiran, bukan merupakan keterangan saksi. Penegasan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (5) KUHAP. Oleh karena itu, setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi, harus dikesampingkan dari pernbuktian dalarn membuktikan kesalahan terdakwa. Keterangan yang bersifat dan berwarna pendapat dan pemikiran pribadi saksi, tidak dapat dinilai sebagai alat bukti.
4.    Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan.
Agar supaya keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus yang “dinyatakan” di sidang pengadilan. Hal ini sesuai dengan penegasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP. Kalau begitu, keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa yang didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri atau dialaminya sendiri mengenai suatu peristiwa pidana, baru dapat bernilai sebagai alat bukti apabila keterangan itu saksi nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan yang dinyatakan di luar sidang pengadilan (outside the court) bukan alat bukti, tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa.



·         Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup.

Hal ini terdapat pada prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Supaya keterangan saksi dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti. Keterangan seorang saksi saja, baru bernilai sebagai satu alat bukti yang harus ditambah dan dicukupi dengan alat bukti lain.
Jadi, bertitik tolak dari ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan seorang saksi saja belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, atau “unus testis nullus testis“.
Persyaratan yang dikehendaki oleh Pasal 185 ayat (2)  KUHAP adalah:
1.    untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus didukung oleh “dua orang saksi”,
2.    atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka kesaksian tunggal itu harus “dicukupi” atau “ditambah” dengan salah satu alat bukti yang lain.
Selanjutnya, dalam praktik agar keterangan saksi mempunyai nilai pembuktian pada dasarnya keterangan saksi tersebut haruslah memenuhi:
1.    Syarat Formal.
Perihal syarat formal ini dalam praktik asasnya bahwa keterangan saksi harus diberikan dengan di bawah sumpah/janji menurut cara agamanya masing-masing bahwa ia akan memberi keterangan sebenarnya dan tidak lain dari pada yang sebenarnya (Pasal 160 ayat (3) KUHAP). Apabila keterangan seorang saksi tanpa sumpah meskipun sesuai satu sama lain bukanlah merupakan alat bukti. Akan tetapi, jikalau keterangan tersebut selaras dengan saksi atas sumpah, keterangannya dapat dipergunakan sebagai alat bukti sah yang lain (Pasal 185 ayat (7) KUHAP). Asas “Unus testis nullus testis” yang terdapat dalam Pasal 185 ayat (2) yaitu: “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”. Isi pasal ini menjelaskan bahwa satu alat bukti tidak dapat membuktikan bahwa terdakwa bersalah.
2.    Syarat Materiil.
Perihal syarat materiel dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1 angka 27 jo Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang ditentukan bahwa: Pasal 1 angka 27 KUHAP “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dan pengetahuannya itu.” Pasal 185 ayat (1) KUHAP “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”.
Dengan demikian, jelaslah sudah terhadap pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dan hasil pemikiran saja dan beredar di luar persidangan, bukan merupakan keterangan saksi (Pasal 185 ayat (5) KUHAP).
Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi menurut ketentuan Pasal 185 ayat (6) KUHAP, Hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan aspek-aspek:
1.    Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
2.    Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain;
3.    Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu ;
4.    Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.


                                                                     HUKUM PAJAK

Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
          Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Tanggung jawab atas kewajiban pembayaran pajak, sebagai pencerminan kewajiban kenegaraan di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat sendiri untuk memenuhi kewajiban tersebut. Hal tersebut sesuai dengan sistem self assessmentyang dianut dalam Sistem Perpajakan Indonesia.
          Eksistensi pajak merupakan sumber pendapatan utama sebuah negara, karena itu merupakan isu strategis yang selalu menjadi pantauan masyarakat. Apalagi sekarang telah dilakukan pembahasan RUU Pajak yang baru yang akan menggantikan UU No. 16/2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Penduduk Indonesia sebesar 215 juta jiwa merupakan potensi pajak yang berlimpah. Ironisnya, hingga 2004 jumlah wajib pajak/ pembayar pajak hanya mencapai 3.670.060 jiwa dengan perincian 2.622.184 pembayar pajak orang pribadi dan 1.047.876 lainnya pembayar pajak badan. Hal ini menandakan bahwa  kebijakan perpajakan tidak cukup kuat untuk melakukan ekstensifikasi pajak di samping proses pendataan wajib pajak yang kurang gencar dilakukan.
          Urgensi pajak bagi kelangsungan pembangunan tak lagi disangsikan. Karena itu wajar jika pemerintah terus berupaya menggali berbagai potensi tax coverage (lingkup/cakupan pajak) sekaligus menekankan tax compliance (kepatuhan pajak) dari masyarakat. Namun demikian, kepatuhan pajak yang bersumber dari kesadaran masyarakat terhadap penunaian kewajiban membayar pajak itu tentu bukan sesuatu yang berdiri sendiri.
          Berbagai persoalan perpajakan yang kerap muncul, baik yang bersumber dari wajib pajak (masyarakat), aparatur pajak (fiscus), maupun yang bersumber dari sistem perpajakan itu sendiri menunjukkan bahwa persoalan pajak merupakan hal yang kompleks. Oleh karena itu, penanganannya perlu diupayakan secara sinergis dan komprehensif.
          Dengan sendirinya, berbagai upaya untuk menciptakan masyarakat agar memiliki apresiasi yang baik terhadap kewajiban membayar pajak tidak terpaku pada wajib pajak belaka, tapi perlu mempertimbangkan aspek-aspek lainnya secara korelatif. Dengan pertimbangan yang simultan, solusi alternatif yang signifikan akan lebih memungkinkan. Dari begitu banyak dan keanekaragaman hak dan kewajiban wajib pajak, salah satunya adalah wajib pajak orang pribadi yaitu  orang yang memperoleh penghasilan baik sebagai seorang direktur dari satu, beberapa, atau bahkan ratusan perusahaan atau seorang pemegang saham atau komisaris atau pegawai menengah atau pegawai rendah atau pekerja mandiri seperti dokter, notaris , pengacara.
          Sebelum sampai pada pembahasan tentang Wajib Pajak Pribadi, sebagai cakrawala pengetahuan perpajakan perlu diketahui terlebih dahulu tentang pengertian, jenis dan macam pajak serta manfaat pajak yang berlaku di Indonesia.
1.2 Perumusan Masalah
Wajib Pajak Pribadi adalah orang yang memperoleh penghasilan baik sebagai seorang direktur dari satu, beberapa, atau bahkan ratusan perusahaan atau seorang pemegang saham atau komisaris atau pegawai menengah atau pegawai rendah atau pekerja mandiri seperti dokter, notaries , pengacara . Wajib Pajak Orang Pribadi memiliki resiko mengalami pemeriksaan pajak .
Namun sering kali terjadi berbagai permasalahan mengenai pembyaran pajak pribadi itu sendiri.
1. Bagaimanakah Perlakuan PPh atas pengalihan tanah?
2. Bagimanakah Perlakuan PPh atas kerugian yang timbul akibat terjadinya bencana alam?
1.3 Tujuan dan Manfaat
1.3.1 Tujuan:
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini adalah:
1.    Supaya penulis pribadi dan para pihak yang membaca makalah ini mengetahui tentang macam-macam serta penggolongan penggolongan pajak di Indonesia.
2.    Untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan pengenaan pajak terhadap penghasilan.
3.    Untuk mengetahui bagaimana mengenai kewajiban pajak bagi wanita.
1.3.2 Manfaat:
Manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah:
1.    Bagi para pihak yang membaca, hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi serta pengetahuan mengenai ilmu Hukum Pajak Khususnya mengenai hal Pajak Penghasilan.
2.    Bagi penulis merupakan penerapan secara ilmiah ilmu Hukum Pajak khususnya Pajak Penghasilan.










BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
            Berkenaan mengenai pengenaan pajak, pajak mempunyai latar belakang falsafah. Falasafah pajak ini lebih lanjut lagi berdasarkan falsafah negara yaitu pancasila. Pasal 23 UUD 1945, merupakan dasar hukum pemungutan pajak yang berbunyi “segala pajak pajak untuk kegunaan kas negara berdasarkan undang-undang” walaupun pasal 23 (2) UUD 1945, merupakan dasar hukum pemungutan pajak, namun pada dasarnya dalam ketentuan ini tersirat Falsafah Pajak. Pajak harus berdasar undang-undang karena dapat diibaratkan pajak adalah menyayat daging diri kita sendiri. Pajak tidak memerikan imbalan yang secara langsung dapat dinikmati, atau dapat dikatakan pajak tidak memberikan imbalan.
            Selain memiliki dasar falsafah dalam pengenaan pajak terdapat asas-asas menurut Falsafah Hukum  yaitu asas-asas keadilan, untuk memberikan dasar menyatakan keadilannya, terdapat teori-teori pajak yang dapat diterapkan dalam pemungutan pajak dalam masyarakat, dan juga terdapat sistem pemungutan pajak  diantaranya adalah :
2.2.1 Teori Pemungutan Pajak
1.    Teori Asuransi: Pajak dianggap sama dengan premi yang harus dibayar rakyat karena negara yang mempunyai tugas menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat dan lingkungan di seluruh wilayah negara.
2.    Teori Kepentingan: Teori kepentingan hanya memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut pemerintah kepada rakyat yang disesuaikan dengan kepentingan masing-masing dalam tugas-tugas pemerintah yang bermanfaat baginya termasuk perlindungan atas jiwa beserta harta bendanya.
3.    Teori Daya Pikul: Pajak harus dibayar menurut daya pikul atau kemampuan seseorang.
4.    Teori Bakti: teori yang berdasar atas paham organisasi negara yang mengajarkan bahwa negara negara sebagai organisasi mempunyai tugas untuk menyelenggarakan kepentingan umum. Dengan organisasi dan tindakan negara seperti itu, di satu sisi negara mempunyai hak untuk memungut pajak.
5.    Teori Daya Beli: penyelenggaraan kepentingan rakyat dapat dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu dan juga bukan kepentingan negara melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya.
2.2.2 Asas Pemungutan Pajak
1.    Asas Domisili: Asas ini didasarkan pada domisili atau tempat tinggal wajib pajak di suatu negara. Negara tempat tinggal seseorang berhak mengenakan pajak terhadap seseorang tersebut tanpa melihat darimana sumber penghasilan atau pendapatanya diperoleh dan tanpa melohat kebangsaan atau kewarga negarann wajib pajak tersebut.
2.    Asas Sumber: Dalam asas ini pemungutan didasarkan pada adanya sumber pendapatan alam suatu negara. Negara menjadi tempat sumber pendapatan tersebut  berhak memungut pajak tanpa memperhatikan domisili dan kewarganegaraan wajib pajak.
3.    Asas Kebangsaan: Pada asas ini pemungutan pajak didasarkan pada kebangsaan seseorang. Yang berhak memungut pajak seseorang adalah negara yang menjadi kebangsaan orang tersebut.
2.2.3 Sistem Pemungutan Pajak
1.    Official Assesment System: adalah sistem pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak yang dilunasi atau terhutang oleh wajib pajak  dihitung dan ditetapkan oleh aparat pajak atau fiscus.
2.    Self Assesment System: adalah sistem pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak yang dilunasi atau terhutang oleh wajib ajak dihitung sendiri oleh wajib pajak.
2.2    Dasar Hukum
·         Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
·         Undang-undang No. 10/1994 Undang-Undang Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. Pasal 4 ayat (2). “ Atas Pengasilan berupa bungan deposito dan tabungan dan tabungan-tabungan lainya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harat berupa  tanah dan atau tabungan serta pengasilan tertentu lainya, pengenaan pajaknya diatur dengan peraturan pemerintah.
·         Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
·         Undang-undang nomor: 7 tahun 1991tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan
·         Undang-undang nomor 46 tahun 1994 tentang pembayaran pajak penghasilan bagi orang pribadi yang bertolak keluar negeri
·         UUD 1945 pasal23 ayat (2): segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang
·         UU No. 6 Tahun 1983 ttg KUP jo. UU No. 9/1994
·         UU No. 8 Tahun 1983 ttg PPN jo. UU No. 11/1994
·         UU No. 12 Tahun 1985 ttg PBB sbg diubah dengan UU no. 12 Tahun 1994
·         UU No. 13 Tahun 1985 ttg Bea Materai
·         UU No. 21 Tahun 1997 ttg BPHTP sbg diubah dengan UU No. 20 tahun 2007
                                                                                                                                       

BAB III
Contoh kasus penunggakan pajak pada kelompok perusahaan Bakrie
3.1. Prinsip Pemungutan Pajak 
          Pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan yang terutang menurut ketentuan perundang-undangan tanpa mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk yang tujuannya untuk digunakan membiayai pengeluaran public sehubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
          Menurut teori yang ada bahwa negara berhak memungut pajak dari penduduknya, karena penduduk negara tersebut mempunyai kepentingan kepada negara. Makin besar kepentingan penduduk kepada negara, maka makin besar pula perlindungan negara kepadanya. Sama dengan teori asuransi, teori ini mempunyai kelemahan antara lain tentang fungsi negara untuk melindungi segenap rakyatnya. Negara tidak boleh memilih-milih dalam melindungi penduduknya. Jika misalnya di suatu RT (Rukun Tetangga) terjadi kebakaran, apakah hanya mereka yang sudah bayar pajak yang dibantu dan diselamatkan oleh petugas mobil kebakaran? Di samping itu jika ditinjau dari unsur definisi pajak, maka adanya hubungan langsung atau kontraprestasi (dalam hal ini kepentingan wajib pajak) telah menggugurkan eksistensi pajak itu sendiri
3.2. Pengertian tunggakan pajak
          Tunggakan pajak merupakan pajak yang terutang ataupun yang belum dibayar kepada negara dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, jumlah hutang pajak yang harus dibayar dalam batas waktu yang telah ditetapkan tercantum dalam surat ketetapan pajak (SKP) dan harus dibayar oleh wajib pajak ataupun penanggung pajak.
Dalam pelaksanaannya tidak semua wajib pajak atau penanggung pajak melunasi pajak yang terhutang tepat waktu. Apabila sampai batas waktu yang telah ditentukan hutang pajak tersebut belum juga dilunasi, maka dilakukkan tindakan penagihan pajak.

          Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penaggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan pelaksanaan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.
          Prosedur penagihan pajak dimulai dari dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak oleh Kantor Pelayanan Pajak. SKP tersebut berdasarkan Surat Pemberitahuan yang disampaikan dan disusun oleh wajib pajak sendiri yang dikenal dengan istilah self assessment system.
3.3. Penjabaran Kasus
          Di tengah adanya ketegangan hubungan antara Menkeu Sri Mulyani dan Aburizal Bakrie, Dirjen Pajak menemukan dugaan pidana pajak di tiga perusahaan kelompok Bakrie. Tak tanggung-tanggung, dugaan penyelewengan pajak lebih dari Rp2 triliun. Menurut Dirjen Pajak Mochamad Tjiptardjo, pengungkapan kasus ini sama sekali tidak terkait perseteruan antara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dengan bekas Menteri Koordinator Kesejahteraan Sosial, Aburizal Bakrie, dalam kasus Bank Century. “Kami profesional di sini, pisahkan dengan politik. Saya masuk duluan lho menangani wajib pajak ini. Saya masuk duluan sebelum masalah ribut-ribut. Cuma saya aja orang baik, selama ini enggak ngomong-ngomong, diam-diam. Lha, wong tidak ditanya,” kata Tjiptardjo usai solat Jumat di kantornya, Jumat (11/12).
          Dia memastikan tak ada perintah khusus dari Menteri Keuangan dalam menangani kasus pajak Grup Bakrie. “Jadi DJP (Direktorat Jenderal Pajak) itu bukan alat politik. DJP itu bekerja secara profesional melaksanakan undang-undang,” katanya. Seperti diketahui, Direktorat Jenderal Pajak mengungkapkan penelusuran dugaan pidana pajak tiga perusahaan tambang batubara di bawah payung bisnis Grup Bakrie senilai kurang lebih Rp 2 triliun. Tiga perusahaan tambang itu antara lain PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Bumi Resources Tbk., (BR) dan PT Aruitmin Indonesia.
         

          Ketiganya diduga melanggar pasal 39 Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan atau terindikasi tak melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan secara benar. “Tekniknya bermacam-macam, intinya tidak melaporkan penjualan sebenarnya, biayanya. Itu kan modusnya,” kata Tjiptardjo. Hingga saat ini Direktorat telah menetapkan status penyidikan pada kasus pajak KPC sejak Maret 2009. Pada kasus Bumi, Direktorat baru menerbitkan Surat Perintah Penyidikan dan segera akan melayangkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan kepada Kejaksaan Agung.        Adapun terhadap kasus Arutmin, Direktorat baru melakukan pemeriksaan bukti permulaan. Sumber di Direktorat Jenderal Pajak mengungkapkan total kewajiban pajak tiga perusahaan tambang milik Grup Bakrie yang kini sedang dalam penelusuran tim penyidik mencapai Rp 2,1 triliun. Sumber juga memaparkan, PT Kaltim Prima Coal diduga kurang membayar pajak Rp 1,5 triliun, PT Bumi Resources Tbk sebesar Rp 376 miliar, dan PT Arutmin Indonesia sebesar US$ 30,9 juta atau ekuivalen kurang lebih Rp 300 miliar. Hingga 30 November 2009, Direktorat Pajak telah menerima pembayaran pajak dari KPC sebesar Rp 800 miliar dan dari Arutmin sebesar US$ 27,5 juta atau sekitar Rp 250 miliar.
3.4. Kasus Penunggakan Pajak
          Pajak merupakan suatu kewajiban yang harus dibayarkan penduduk kepada negara. Penduduk yang seharusnya ikut serta membangun negara dari pajak yang disetorkannya, tetapi terkadang malah merugikan negara sendiri dengan tidak membayar pajak maupun melakukan segala cara untuk menekan pajak yang seharusnya dibayarkan. Penyelewengan pajak maupun hutang pajak pun terjadi.
Menagih hutang pajak selalu menjadi masalah yang serius. Salah satunya contoh kasus di atas yang terjadi pada perusahaan group Bakrie. Dalam kasus tersebut disebutkan bahwa tiga perusahaan tambang batubara di bawah payung bisnis Grup Bakrie antara lain PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Bumi Resources Tbk., (BR) dan PT Aruitmin Indonesia telah melanggar pasal 39 Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan atau terindikasi tak melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan secara benar . Ditjen Pajak Depkeu tengah memeriksa dugaan tunggakan pajak senilai Rp 2,1 triliun pada tahun buku 2007 dari tiga perusahaan tersebut.
          BR diduga menunggak senilai Rp 376 miliar, sedangkan dua anak perusahaannya yakni KPC sebesar Rp l,5 triliun dan Arutmin sebesar Rp 300 miliar. Kasus ini terungkap pada laporan tahunan target penerimaan pajak 2009 yang meleset dan langsung menyorot ke dugaan tunggakan pajak tiga perusahaan tambang milik Grup Bakrie tersebut. Komisi VII DPR RI diam-diam melihat ada celah untuk menagih tunggakan pajak Bakrie. Anggota Komisi VII DPR meminta pemerintah segera menyelesaikan kewajiban tiga perusahaan Bakrie tersebut, sehingga kasus tersebut dapat diselesaikan secepatnya dan tidak hanya menguap seperti kasus lainnya.
          Selain itu menurut Komisi VII DPR, Grup Bakrie juga harus tetap diberi kesempatan membayar secara mencicil, jika pembayaran tunai tidak dimungkinkan. Yang paling penting, mereka bayar utang pajaknya. Pemerintah sebenarnya bisa menyelesaikan terlebih dahulu tunggakan pajak yang sudah masuk tindak pidana. Kalau mereka tidak mau terkena pidana, maka bisa membayar denda yang besarnya empat kali lipat nilai tunggakkannya atau asetnya disita.
          Pemeriksaan terhadap Kaltim Prima dan Bumi Resources sudah memasuki tahap penyidikan. Sedangkan Arutmin masih dalam tahap pemeriksaan bukti permulaan. Dari jumlah tunggakan itu, Bakrie sudah menyetor dana sekitar Rp 1 triliun.
Hal ini tidak akan terjadi apabila Group Bakrie dan oknum Ditjen Pajak dapat bekerja sama dalam pengelolaan pajak sesuai dengan ketetapan yang berlaku.
Dampak-dampak yang terjadi dalam kasus tersebut :
Dampak positif :
1.    Pemerintah dan masyarakat dapat mengetahui ketidakberesan dalam pemungutan pajak yang selama ini terjadi.
2.    Membersihkan oknum-oknum Ditjen Pajak yang tidak berkompeten dan bertanggungjawab terhadap kewajibannya.
3.    Memberikan kesadaran kepada wajib pajak untuk taat dalam membayar pajak.


Dampak Negatif :
1.    Dengan adanya penyelewengan dan hutang pajak tentunya dapat mengurangi penerimaan negara dari sektor perpajakan, sehingga menghambat pembangunan infrastuktur.
2.    Penyelesaian masalah dari segi hukum terlalu berbelit-belit, sehingga masalah tersebut tidak dapat diatasi secara cepat.
3.    Memperburuk citra dan kinerja pemerintah khususnya pada Ditjen Pajak.
4.    Menghambat penyusunan RAPBN.
3.5. Penyelesaian Kasus
1.    Jika permasalahan penunggakan pajak Group Bakrie ini ingin dihentikan dan dapat terselesaikan dengan cepat, Group Bakrie harus membayar kewajiban lima kali lipat dari total tunggakan atau 500% dari total hutangnya atau asetnya disita. Setelah melunasi tunggakan pajak tersebut, masih ada prosedur lain yang harus ditempuh Group Bakrie, mereka harus mengajukan permohonan ke Menkeu kemudian dari Menkeu ke Kejagung untuk meminta penghentian penyidikan. Sesuai dengan peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 130/PMK.03/2009 tentang Tata Cara Penghentian Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan untuk kepentingan penerimaan Negara.
2.    Memeriksa pihak – pihak terkait dalam kasus ini baik dari pihak Group Bakrie maupun dari pihak Direktorat Jenderal Pajak.
3.    Memperketat sistem pengendalian dan controlling di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dalam masalah perpajakan.
4.    Mengedepankan pendekatan persuasive dalam penyelesaian persoalan utang pajak, dengan melakukan klarifikasi terlebih dahulu ke perusahaan yang bersangkutan. Jika dimungkinkan akan diberikan dispensasi dengan memberikan kelonggaran kepada Group Bakrie tersebut membayar secara mencicil jika pembayaran tunai tidak dimungkinkan.
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
          Perlakuan PPh atas keuntungan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan terhadap wajib pajak orang pribadi menimbulkan ketidakadilan bagi wajib pajak orang pribadi biasa. Yang dimaksud dengan wajib pajak orang pribadi biasa adalah mereka yang tidak melakukan kegiatan usaha jual-beli hak atas tanah dan/atau bangunan. Wajib pajak kelompok ini akan memikul beban pajak yang lebih besar dari pada mereka yang mempunyai usaha pokok jual beli hak atas tanah dan/atau bangunan.
Undang-undang PPh hanya mengatur bahwa kerugian yang boleh dibebankan sebagai biaya adalah:
1.    Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (Pasal 6 ayat (1) huruf d)
2.    Kerugian dari selisih kurs mata uang asing (Pasal 6 ayat (1) huruf e)
3.    Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sepanjang memenuhi persyaratan tertentu  Pasal 6 ayat (1) huruf h
          Ketentuan diatas belum mencakup hak wajib pajak untuk membebankan kerugian yang diderirta karena bencana alam oleh karena itu perlu dipertimbangkan untuk memperluas cakupan Pasal 6 sehingga mencakup kerugian yang diderita karena bencana dimaksud.
          Pengertian-pengertian dan pemahaman mengenai pajak seperti diatas yang perlu terus disosialisasikan kepada masyarakat lewat kampanye sadar pajak dalam berbagai bentuknya, seperti seminar, diskusi, penataran, lokakarya, simulasi, dan bentuk aktifitas lainnya Dengan upaya ini diharapkan tumbuhnya apresiasi positif masyarakat terhadap pajak yang pada akhirnya sampai pada suatu keinsyafan bahwa sadar pajak merupakan kunci pembangunan.

4.2 Saran
          Sebaiknya perlakuan pajak atas pengalihan harta dimaksud diubah dengan mengenakan pajak final terhadap wajib pajak orang pribadi yang tidak mempunyai usaha, sedangkan wajib pajak orang pribadi yang kegiatan usahanya adalah pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenai pajak dengan tarif umum.
          Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan perlakuan PPh dimaksud perlu dipikirkan dan ditentukan dokumen-dokumen yang dapat diterima oleh fiskus.Pembebanan kerugian atas harta yang tidak dapat atau tidak boleh disusutkan mungkin dapat dilakukan seperti pembebanan penyusutan atau amortisasi, artinya tidak dibebankan sekaligus.
          Hal ini perlu dipikirkan agar perlakuannya juga seimbang dari sudut pandang Undang-undang PPh. Di samping itu perlu dipikirkan untuk mengatur prosedur atas penyesuaian setoran PPh dalam tahun berjalan bagi wajib pajak yang mengalami bencana. Wajib pajak yang masuk dalam kategori ini perlu mendapatkan perlakuan yang favourable dengan tujuan agar usahanya dapat bangkit kembali sehingga pada gilirannya akan meningkatkan kembali setoran PPh-nya seperti sebelum terjadinya bencana.
          Banyaknya tokoh dari berbagai kalangan dan profesi yang terbukti mangkir membayar Pajak Penghasilan (PPh) merupakan contoh buruk bagi masyarakat wajib pajak secara keseluruhan. Oleh karena itu, keteladanan dalam hal penunaian kewajiban pajak perlu mendapat perhatian tersendiri. Keteladanan ini tentu saja harus dimulai dari jajaran pemerintah sendiri sebagai pengelola pajak. Jika pemerintah mampu memberikan teladan dan juga diikuti tokoh-tokoh dan public figur lainnya, agaknya masyarakat akan lebih mudah untuk menyadari betapa pentingnya pajak bagi kehidupan dan masa depan negaranya. Sebaliknya, jika pemerintah, para pemimpin, dan tokoh-tokoh populis sudah memperlihatkan keingkarannya terhadap kewajiban pajak ini, masyarakat di bawah akan lebih sulit lagi tersadarkan untuk membayar pajak.

DAFTAR PUSTAKA

n  Soemitro, Rochmat. 1992. Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT Eresco, Bandung
n  Muqodim, 2000. Perpajakan Buku Satu, UII Press dan Ekonesia , Jogyakarta
n  Brotodiharjo Santoso R, 1993. Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT Eresco, Bandung
n  Burton, Richard dan Ilyas Wirawan B. 2001. Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta
n  Alrasid,Harun. Naskah UUD 1945, 2003. Universitas Indonesia, UII Press
n  Hostaritua, Situmorang. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
n  Pandiangan, Liberti. 2002. Undang-Undang Perpajakan Indonesia,Erlangga,
n  Soemitro, Rocmat.1991. Pajak Ditinjau Dari SegiHukum, PT Eresco, Bandung