RENVOI
Dibuat untuk memenuhi tugas tertulis Mata Kuliah Hukum
Antar Tata Hukum (HATAH)
Dosen : Sutan Mahmud Syaukat,SH.,MH.
Di
buat oleh : Suparno
NIM :
2012020368
Program
Studi : Ilmu Hukum
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PAMULANG
TANGERANG SELATAN
2015
Pengertian Renvoi
Pengertian Renvoi secara terminologi[1] adalah ren·voi /rénvoi/ n pembetulan (perbaikan) tambahan dalam suatu akta
autentik dengan memberikan tanda di pinggir dan harus diparaf.
Istilah-istilah lain seperti:
v Renvoi
au premier degree atau partial or single renvoi (Perancis)
v Ruckverweisbung (Jerman)
v Renvoi
ersten Grades, Remission, “remitting” reference back remittal (Inggris, USA)
v Rinvio
Indrieto (Italia), terugwijzing, terugverwijzing (Belanda).
Sementara istilah penunjukan lebih jauh sebagai pembagian renvoi selain
penunjukan kembali diistilahkan :
v Renvoi
au second degree (Perancis)
v Transmission (Anglo saxon)
v Wei-terverweisung, “renvoi emeiten grades (Jerman)
v Verderverwijzing
(Belanda).
Dalam teori Hukum Perdata Internasional suatu kaidah HPI (choice of law rule) pada dasarnya dibuat
untuk menunjuk (aanwijzen) ke arah suatu sistem
hukum tertentu, sebagai sistem hukum yang seharusnya berlaku untuk
menyelesaikan masalah HPI yang sedang dihadapi (the applicable law in a given case).
Pengertian Renvoi dalam bahasa Indonesia Hukum merupakan penunjukan kembali
oleh kaedah-kaedah di dalam hukum perdata internasional asing yang ditunjuk
oleh kaedah Hukum Perdata Indonesia Lex fori[2].
Apa yang menyebabkan sehingga dalam suatu negara terhadap warga negara yang
berada dalam suatu negara tertentu, saling lempar tanggung jawab, terhadap
permasalahan hukum yang dihadapi oleh warga tersebut, terutama Hakim yang
mengadili kasusnya ?
Hal tersebut disebabkan berkenaan dengan status personil yang
ditentukan menurut prinsip nasionalitas dan prinsip domisili. Berhubungan dengan adanya dua sistem
yang masing-masing berbeda ini maka timbullah renvoi atau penunjukan kembali.
v Penjabaran Renvoi
Apa yang dimaksud menunjuk ke arah suatu sistem hukum tertentu itu? Pertanyaan
semacam itu timbul karena dalam kenyataan orang dapat melakukan
penunjukan dengan dua pengertian yang berbeda yaitu:
a) Penunjukan ke arah kaidah-kaidah hukum intern (sachnormen) dari suatu sistem hukum tertentu.
Penunjukan semacam ini dalam bahasa jerman dinamakan sachnormenverweishung.
b) Penunjukan ke arah keseluruhan sistem hukum tertentu, yang artinya, prima facie adalah
kaidah-kaidah HPI (Kollisionsnormen) dari sistem
hukum tersebut. Penunjukan semacam ini dinamakan gesamtverweisung.
Renvoi hanya mungkin terjadi bila penunjukan oleh kaidah-kaidah HPI lex fori ke seluruh sistem hukum yang
bersangkutan (gesamtverweisung). Mungkin
terjadi maksudnya, hanya terjadi apabila kaidah-kaidah HPI asing itu menunjuk
lagi ke arah suatu sistem hukum ke tiga.
Namun renvoi baru dianggap diterima jika hakim (lex fori) menganggap bahwa penunjukan kembali
oleh kaidah HPI asing itu diarahkan ke kaidah-kaidah hukum intern lex fori (sachnormverweisung)
Dalam hukum perdata internasional ada dua kemungkinan renvoi diantaranya:
- Penunjukan kembali (remission, ruckverweisung, terugverwijzing) yaitu
penunjukan oleh kaidah HPI asing kembali ke arah lex fori.
- Penunjukan lebih lanjut (transmission, weiterver-weisung, verderverweijzing).
Dalam hal ini kadiah HPI asing yang telah ditunjuk oleh lex fori tidak menunjuk kembali ke
arah lex fori, tetapi menunjuk
ke arah sistem hukum asing lain.
Penyebab timbulnya renvoi adalah adanya berbagai macam sistem hukum di
dunia yang memiliki sistem hukum perdata internasional secara sendiri-sendiri. Persoalan renvoi erat sekali kaitannya dengan persoalan prinsip
nasionalitas atau domisili dalam menentukan status personal seseorang.
v Persyaratan Renvoi
Syarat-syarat terjadinya RENVOI di dalam Hukum Perdata Internasional :
- Adanya suatu perbedaan di dalam sistem hukumnya.
- Adanya suatu penunjukan keseluruhan sistem hukum
negara asing termasuk kaedah hukum perdata internasional
(gesamptveweisung).
- Adanya suatu penunjukan lebih lanjut ke
sistem hukum internasional negara ke-3 / penunjukan kembali ke sistem
hukum Lex fori (sachnormverweisung)
Dalam keberagaman sistem hukum di dunia, dikenal 2 asas, yakni asas
nasionalitas dan asas domisili. Masalah renvoi (penunjukan kembali) kemudian
muncul sebagai akibat dari perbenturan asas tersebut. Pertanyaan yang juga bisa
timbul terkait masalah renvoi ini adalah soal kualifikasi. Apakah hukum yang
nanti diberlakukan itu adalah hukum intern ataukah HPI di Indonesia, atau
mungkinkah hukum intern atau HPI dari negara lain yang diberlakukan.
Selain itu, penerapan untuk kasus yang bisa dianggap
serupa juga timbul perbedaan. Penerapan berbeda itu karena pada beberapa negara
juga tidak semuanya menerima renvoi ini. Dengan kata lain, sejumlah negara
memiliki kecenderungan menolak renvoi. Untuk itu kita harus bisa mengetahui
negara mana yang memiliki kecondongan menerima dan mana pula yang punya
kecenderungan menolak. Untuk Indonesia, pada beberapa praktek administratif
ternyata telah menunjukkan bahwa negeri ini telah menerima renvoi.
v Keberadaan Renvoi
Berikut keberadaan renvoi di sejumlah negara:
- Perancis Diketahui sejak
ada peristiwa Forgo, menunjukkan bahwa di Perancis telah menerima Ronvoi,
namun sejumlah pengamat menyebutkan bahwa ada kecondongan renvoi ditolak
di negara ini.
- Italia
Umumnya renvoi ditolak. Pengaruh teori Mancini menunjukkan bahwa di Italia
ada hasrat melindungi diri dari HPI asing.
- Jerman
Jerman memiliki kecondongan ke arah penerimaan.
- Swiss
Secara tegas, tidak ada aturan tentang renvoi tetapi memiliki
kecenderungan ke arah penerimaan.
- Nederland
Menurut yurisprudensinya, umumnya renvoi ditentang tetapi di sana-sini
tetap ditemukan keputusan yang dianggap menyimpang.
- Negara
Asia-Afrika Diantaranya yang menerima atau mengakui keberadaan renvoi
yakni Tiongkok, Thailand, dan Jepang. Sedang Mesir menolak, karena dalam
Code Civil Mesir tahun 1948 dinyatakan bahwa penunjukan pada hukum asing
dianggap penunjukan kepada kaidah intern materil dan kaidah HPI asing
dikesampingkan.
- Negara-negara
Anglo Saxon Seperti Inggris, ada kecenderungan kea rah penerimaan.
- Amerika
Serikat Tak ada aturan tertulis. Tapi ada kecondongan menolak. Terkecuali
persoalan yang berkenaan dengan titel tanah diatur dimana tanah itu
terletak, termasuk kaidah HPI negara bersangkutan. Pun tentang sahnya
perceraian, ini ditentukan domisili para pihak termasuk kaidah HPI-nya.
- Negara-negara sosialis. Ada kecenderungan menerima misalnya saja di
Moscow.
v Contoh Kasus Renvoi
Berikut ini beberapa contoh kasus yang dapat dikategorikan berkenaan
masalah renvoi :
v Kasus in re Annesley (Davidson v. Annesley tahun 1926)
Annesley seorang
wanita berkewarganegaraan Inggris (British subject). Ia meninggal di Perancis
tahun 1924. Sehingga menurut hukum Inggris, domisilinya adalah di Perancis. Tahun 1919, wanita
ini telah membuat surat wasiat dalam bentuk hukum Inggris. Dalam suratnya,
sedemikian rupa dibuat sehingga anak lelakinya harus kehilangan hak warisnya.
Di Inggris ini dibolehkan. Sedang di Perancis dikenal legitima portio bahwa
sang anak sekurang-kurangnya menerima sepertiga bagian dari harta warisan. Lantas hukum yang
mana yang akan digunakan, apakah dari Inggris atau Perancis? Menurut hukum
bersangkutan, maka kasus ini melihat dari domisili wanita tersebut. Oleh karena
itu, hukum Perancis yang harus digunakan. Sedang dalam hukum Perancis, asas
yang digunakan adalah asas nasionalitas. Maka hukum yang berlaku dari warga
negara asing adalah hukum negaranya, dalam hal ini Inggris. Tetapi dari Inggris
menunjuk kembali kepada hukum Perancis yaitu hukum domisili. Lalu setelah
Perancis menerima renvoi ini, apakah kemudian hukum intern Perancis yang akan
digunakan? Hakim lalu menyelidiki HPI Perancis soal renvoi. Dan kemudian
menurut hakim ini, kasus tersebut akan memakai hukum intern Perancis. Oleh
karena itu, hakim Russel yang mengadili perkara juga menggunakan hukum intern
Perancis. Berdasarkan itu, maka wewenang dari Annesley untuk membuat surat wasiat
harus dibatasi.
v Kasus in re Ross (Ross v. Waterfield)
Janet Anne Ross,
wanita berkewarganegaraan Inggris meninggal di Italia tahun 1927. Ketika ia meninggal,
maka diketahui menurut hukum Inggris, domisilinya adalah di Italia. Ia telah
hidup di Florence sejak tahun 1888, yakni tahun dimana ia membeli sebuah rumah
besar nan mewah yang terkenal dengan nama Poggio Gherardi. Tahun 1902, suaminya
meninggal terlebih dahulu. Tidak ada kesangsian bahwa keduanya meninggal dengan
domisili di Italia. Sewaktu Janet meninggal di tahun 1927, barulah surat
wasiatnya dipersoalkan. Dalam semua wasiatnya, harta kekayaannya jatuh kepada
tergugat Caroline Lucy Isabel Waterfield, sedangkan kepada anak laki-lakinya
tidak diwariskan apa-apa. Penggugat mengklaim bahwa dirinya berhak atas ½ benda
tak bergerak di Italia dan ½ benda tidak bergerak yang berada di wilayah
manapun. Dalam hukum Italia juga dikenal legitima portio. Sedang Inggris tidak,
tetapi yang jadi
soal adalah hukum mana yang akan diberlakukan. Luxmoore J. yang
mengadili perkara ini menimbang bahwa kasus ini harus diadili sebagaimana
masalah ini diselesaikan oleh badan-badan peradilan di Italia. Jika menunjuk
kepada hukum di Italia. Maka itu akan termasuk di dalam hukum intern serta
kaidah HPI yang terkandung di dalamnya, dalam hal ini Italia. Sehingga surat
wasiat tetap dianggap sah. Karena kenyataannya, menurut doktrin hukum di
Italia, renvoi tidak diterima. Maka pada kasus ini, kenyataannya gugatan
penggugat tidak berhasil dengan kata lain penggugat tetap tidak mendapatkan
apa-apa.
v The
forgo case (1883)
Forgo adalah seorang yang berwarga negara Bavaria (Jerman), ia berdomisili
di Prancis sejak berusia lima tahun tanpa memperoleh kewarganegaraan Prancis.
Kemudain Forgo meninggal dunia di Prancis secara ab intestatis (tanpa meninggalkan testamen), di mana sebelumnya Forgo adalah seorang anak
luar kawin yang telah meninggalkan sejumlah barang bergerak di Prancis.
Akhirnya perkara pembagian harta warisan Forgo di ajukan di depan pengadilan
Prancis. Permasalahannya adalah berdasarkan pada hukum mana pengaturan
pembagian warisan itu dilakukan ? berdasarkan hukum Bavaria ataukah hukum
Prancis. Oleh karena kaidah HPI lex fori Perancis
menegaskan “persoalan pewarisan benda-benda bergerak harus diatur berdasarkan
kaidah-kaidah hukum dari tempat di mana pewaris menjadi warga negara.”
Sementara Forgo sendiri berasal dari warga negara Bavaria yang menurut
versi HPI Prancis. Kaidah HPI Bavaria menegaskan bahwa “pewarisan benda-benda
bergerak harus diatur berdasarkan hukum dari tempat di mana pewaris bertempat
tinggal sehari-hari (habitual residence).
Dengan mekanisme renvoi Proses penyelesaian masalah tersebut di atas
melalui beberapa tahap:
1) Pada tahap pertama hakim Prancis melakukan penunjukan ke arah hukum Bavaria
sesuai perintah kaidah HPI Prancis.
2) Tampaknya hakim Prancis menganggap penunjukan itu sebagai gesamtverweisung sehingga meliputi pula
kaidah-kaidah HPI Bavaria.
3) Sementara kaidah HPi Bavaria yang menyangkut pewarisan benda-benda
bergerak, menetapkan bahwa hukum yang harus digunakan untuk mengatur hal itu
adalah hukum dari tempat tinggal si Pewaris. Jadi kaidah HPI Bavaria menunjuk
kembali ke arah hukum Prancis (hukum dari tempat kediaman tetap si Pewaris).
Pada tahap ini baru dapat dikatakan terjadi renvoi.
4) Hakim Prancis ternyata kemudian menganggap bahwa “penunjukan kembali” oleh
kaidah HPI Bavaria sebgai suatusachnormverweisung (penunjukan
ke arah kaidah-kaidah hukum intern Prancis) dalam teori HPI sikap hakim lex fori ini dikatakan menerima renvoi.
Beradasarkan anggapan hakim tersebut, hakim lalu memberlakukan kaidah hukum
waris Prancis dan pada akhirnya saudara-saudara Forgo tidak bisa mendapatkan
harta warisan, oleh karena aturan HPI yang berlaku adalah HPI Prancis. Dan HPI
Prancis akhirnya memutuskan terhadap harta Forgo jatuh ke tangan pemerintahan
Prancis.
v Apabila seorang warga inggris yang berdomisili di Indonesia harus
ditentukan apakah ia sudah dewasa atau belum, atau dia hendak menikah, maka
menurut HPI Indonesia berdasarkan pasal 16 AB harus dipakai hokum Inggris.
Dengan kata lain perkataan kaidah HPI Indonesia menunjuk kepada hokum Inggris
dan hokum inggris menunjuk kembalikepada hokum Indonesia ,karena menurut HPI
inggris yang harus dipakai untuk status personil yaitu domisili dari seseorang.
Dalam hal ini domisili orang inggris bersangkutan adalah di Indonesia, maka
hokum Indonesialah yang harus diberlakukan
v Kesimpulan Renvoi
Berkenaan dengan renvoi, tidak semua penulis setuju dengan
adanya renvoi dengan beberapa alasan, yaitu:
1.
Renvoi dianggap tidak
logis. Hal ini didasarkan pada suatu penunjukan kembali secara terus menerus,
maka yang ada adalah suatu permasalahan yang menggantung karena tidak ada pihak
yang mau menanganinya dan terus saling melakukan suatu penunjukkan kembali. Pendapat
kalangan penulis yang menolak renvoi ini lantas dibantah oleh pihak yang pro
renvoi dengan alasan bahwa baik yang menerima atau yang menolak dua-duanya
secara selogis mungkin. Dalam kenyataannya tidak akan ditemui adanya suatu
penujukkan tiada akhir melainkan hanya ada satu kali renvoi/ penujukkan
kembali.
2.
Renvoi merupakan
penyerahan kedaulatan legislatif. Menurut
pandangan yang kontra dengan renvoi, menurut Cheshire dan Meyers, dengan adanya
suatu renvoi, maka seolah-olah kaidah-kaidah hakim itu sendiri yang dikorbankan
terhadap seuatu hukum asing yang kemudian dianggap berlaku.
Sementara itu, pendapat ini dibantah dengan
alasan kaidah yang digunakan oleh hakim itu bukan dari sembarang kaidah negara
asing, dengan arti hanya sebatas kaidah HPI saja dimana yang menunjuk
penggunaannya adalah sang hakim itu sendiri sehingga secara tidak langsung,
yang berlaku adalah HPI negaranya sendiri dan bukan HPI dari negara asing.
3.
Renvoi membawa ketidak
pastian hukum. Jika renvoi diterima, maka yang ada kemudian adalah penyelesaian
HPI itu yang samar-samar, tidak kokoh dan tidak stabil sebagai hukum. Akan
tetapi menurut kubu yang pro renvoi mangatakan bahwa justru jika tidak ada
renvoi, maka yang ada adalah ketidakpastian itu sendiri.
Sementara itu, alasan-alasan yang digunakan
oleh para penulis yang pro dengan adanya renvoi adalah sebagai berikut:
1)
Renvoi memberikan
keuntungan praktis. Jika sebuah renvoi itu diterima, maka hukum intern sendiri
dari sang hakim yang akan digunakan dan tentunya hal ini akan memberikan
keuntungan praktis bagi hakim.
2)
Jangan bersifat lebih
raja daripada raja itu sendiri. Justru dengan adanya renvoi, chauvinisme juridis
dapat dihindari dan merupakan suatu penghormatan pada hukum asing yang
bertautan dengan kasus yang ada.
3)
Keputusan-keputusan
yang berbeda. Untuk menghindari adanya ketidak pastian hukum dalam bentuk
keputusan yan berbeda-beda atas perkara yang sama pada dua sistem hukum yang
terkait.
Dari hal-hal yang telah
disampaikan sebelumnya di atas perihal pro dan kontra pada renvoi, kita
mendapati bahwa yang digunakan dalam menilai masalah renvoi ini adalah logika.
Kita harus dapat melihatnya berdasarkan pada hukum positif dimana renvoi
dipandang sebagai suatu bentuk dari apa yang dinamakan dengan pelembutan hukum,
meskipun tidak ditemukan dalam suatu peraturan tertulis di Indonesia, renvoi
diterima dalam kaidah hukum positif Indonesia secara nyata yang tercantum
secara tidak langsung dalam pasal 16 sampai 18 AB.
Adapun beberapa yurisprudensi yang berkaitan
dengan renvoi di Indonesia adalah sebagai berikut :
1.
Perkara orang Armenia
Nasrani tahun 1928
2.
Perkara palisemen
seorang British India tahun 1925
Renvoi juga diatur dalam konvensi-konvensi
internasional meliputi :
1.
Persetujuan Den Haag
tentang HPI tahun 1955.
Diterima suatu konsep untuk mengatur
“perselisihan” antara prinsip nasionalitas dan domisili yang lantas ditindak
lanjuti pada tanggal 15 Juni 1955 dengan ditetapkannya konvensi yang
bersangkutan. Pasal 1 mengatur bahwa apabila suatu negara di mana orang yang
dipersoalkan menganut sistem domisili, memakai sistem nasionalitas sementara
negara asal orang itu memakai sistem domisili, maka tiap negara peserta
menggunakan Sachornen daripada domisili.
2.
Persetujuan hukum
uniform HPI negara-negara Benelux 1951
Persetujuan itu dilakukan antara negara
Belgia, Belanda dan Luxemburg. Dalam pasal 1-nya ditentukan bahwa renvoi tidak
dapat diterima. Jika tidak ditentukan berlainan, maka dalam persetujuan
tersebut diartikan dengan istilah hukum intern daripadanya dan bukan HPI-nya.
DAFTAR PUSTAKA
n Sudarto Gautama, Hukum perdata Internasional,
jilid kedua bagian kedua (buku ketiga), (Eresco, Bandung 1998) hal.167
[2]Sudarto Gautama, Hukum
perdata Internasional; jilid kedua bagian kedua (buku ketiga); Eresco,
Bandung 1998, hal.167
No comments:
Post a Comment