Thursday, 19 March 2015

RENVOI
Dibuat untuk memenuhi tugas tertulis Mata Kuliah Hukum Antar Tata Hukum (HATAH)
Dosen : Sutan Mahmud Syaukat,SH.,MH.

Di buat oleh                            : Suparno                                    
NIM                                        : 2012020368
Program Studi                         : Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PAMULANG
TANGERANG SELATAN
2015

Pengertian Renvoi
Pengertian Renvoi secara terminologi[1] adalah ren·voi /rénvoi/ n pembetulan (perbaikan) tambahan dalam suatu akta autentik dengan memberikan tanda di pinggir dan harus diparaf.
Istilah-istilah lain seperti:
v  Renvoi au premier degree atau partial or single renvoi (Perancis) 
v  Ruckverweisbung (Jerman)
v  Renvoi ersten Grades, Remission, “remitting” reference back remittal (Inggris, USA)
v  Rinvio Indrieto (Italia), terugwijzing, terugverwijzing (Belanda).
Sementara istilah penunjukan lebih jauh sebagai pembagian renvoi selain penunjukan kembali diistilahkan :
v  Renvoi au second degree (Perancis)
v  Transmission (Anglo saxon)
v  Wei-terverweisung“renvoi emeiten grades (Jerman)
v  Verderverwijzing (Belanda).
Dalam teori Hukum Perdata Internasional suatu kaidah HPI (choice of law rule) pada dasarnya dibuat untuk menunjuk (aanwijzen) ke arah suatu sistem hukum tertentu, sebagai sistem hukum yang seharusnya berlaku untuk menyelesaikan masalah HPI yang sedang dihadapi (the applicable law in a given case).
Pengertian Renvoi dalam bahasa Indonesia Hukum merupakan penunjukan kembali oleh kaedah-kaedah di dalam hukum perdata internasional asing yang ditunjuk oleh kaedah Hukum Perdata Indonesia Lex fori[2].
Apa yang menyebabkan sehingga dalam suatu negara terhadap warga negara yang berada dalam suatu negara tertentu, saling lempar tanggung jawab, terhadap permasalahan hukum yang dihadapi oleh warga tersebut, terutama Hakim yang mengadili kasusnya ?
Hal tersebut disebabkan berkenaan dengan status personil yang ditentukan menurut prinsip nasionalitas dan prinsip domisili. Berhubungan dengan adanya dua sistem yang masing-masing berbeda ini maka timbullah renvoi atau penunjukan kembali.

v  Penjabaran Renvoi
Apa yang dimaksud menunjuk ke arah suatu sistem hukum tertentu itu? Pertanyaan semacam itu  timbul karena dalam kenyataan orang dapat melakukan penunjukan dengan dua pengertian yang berbeda yaitu:
a)      Penunjukan ke arah kaidah-kaidah hukum intern (sachnormen) dari suatu sistem hukum tertentu. Penunjukan semacam ini dalam bahasa jerman dinamakan sachnormenverweishung.
b)      Penunjukan ke arah keseluruhan sistem hukum tertentu, yang artinya, prima facie adalah kaidah-kaidah HPI (Kollisionsnormen) dari sistem hukum tersebut. Penunjukan semacam ini dinamakan gesamtverweisung.
Renvoi hanya mungkin terjadi bila penunjukan oleh kaidah-kaidah HPI lex fori ke seluruh sistem hukum yang bersangkutan (gesamtverweisung). Mungkin terjadi maksudnya, hanya terjadi apabila kaidah-kaidah HPI asing itu menunjuk lagi ke arah suatu sistem hukum ke tiga.
Namun renvoi baru dianggap diterima jika hakim (lex fori) menganggap bahwa penunjukan kembali oleh kaidah HPI asing itu diarahkan ke kaidah-kaidah hukum intern lex fori (sachnormverweisung)
Dalam hukum perdata internasional ada dua kemungkinan renvoi diantaranya:
  1. Penunjukan kembali (remission, ruckverweisung, terugverwijzing) yaitu penunjukan oleh kaidah HPI asing kembali ke arah lex fori.
  2. Penunjukan lebih lanjut (transmission, weiterver-weisung, verderverweijzing). Dalam hal ini kadiah HPI asing yang telah ditunjuk oleh lex fori tidak menunjuk kembali ke arah lex fori, tetapi menunjuk ke arah sistem hukum asing lain.
Penyebab timbulnya renvoi adalah adanya berbagai macam sistem hukum di dunia yang memiliki sistem hukum perdata internasional secara sendiri-sendiri. Persoalan renvoi erat sekali kaitannya dengan persoalan prinsip nasionalitas atau domisili dalam menentukan status personal seseorang.
v  Persyaratan Renvoi
Syarat-syarat terjadinya RENVOI di dalam Hukum Perdata Internasional :
  1. Adanya suatu perbedaan di dalam sistem hukumnya.
  2. Adanya suatu penunjukan keseluruhan sistem hukum negara asing termasuk kaedah hukum perdata internasional (gesamptveweisung).
  3. Adanya  suatu penunjukan lebih lanjut ke sistem hukum internasional negara ke-3 / penunjukan kembali ke sistem hukum Lex fori (sachnormverweisung) 
Dalam keberagaman sistem hukum di dunia, dikenal 2 asas, yakni asas nasionalitas dan asas domisili. Masalah renvoi (penunjukan kembali) kemudian muncul sebagai akibat dari perbenturan asas tersebut. Pertanyaan yang juga bisa timbul terkait masalah renvoi ini adalah soal kualifikasi. Apakah hukum yang nanti diberlakukan itu adalah hukum intern ataukah HPI di Indonesia, atau mungkinkah hukum intern atau HPI dari negara lain yang diberlakukan.
Selain itu, penerapan untuk kasus yang bisa dianggap serupa juga timbul perbedaan. Penerapan berbeda itu karena pada beberapa negara juga tidak semuanya menerima renvoi ini. Dengan kata lain, sejumlah negara memiliki kecenderungan menolak renvoi. Untuk itu kita harus bisa mengetahui negara mana yang memiliki kecondongan menerima dan mana pula yang punya kecenderungan menolak. Untuk Indonesia, pada beberapa praktek administratif ternyata telah menunjukkan bahwa negeri ini telah menerima renvoi.
v  Keberadaan Renvoi
Berikut keberadaan renvoi di sejumlah negara:
  1. Perancis Diketahui sejak ada peristiwa Forgo, menunjukkan bahwa di Perancis telah menerima Ronvoi, namun sejumlah pengamat menyebutkan bahwa ada kecondongan renvoi ditolak di negara ini.
  2. Italia Umumnya renvoi ditolak. Pengaruh teori Mancini menunjukkan bahwa di Italia ada hasrat melindungi diri dari HPI asing.
  3. Jerman Jerman memiliki kecondongan ke arah penerimaan.
  4. Swiss Secara tegas, tidak ada aturan tentang renvoi tetapi memiliki kecenderungan ke arah penerimaan.
  5. Nederland Menurut yurisprudensinya, umumnya renvoi ditentang tetapi di sana-sini tetap ditemukan keputusan yang dianggap menyimpang.
  6. Negara Asia-Afrika Diantaranya yang menerima atau mengakui keberadaan renvoi yakni Tiongkok, Thailand, dan Jepang. Sedang Mesir menolak, karena dalam Code Civil Mesir tahun 1948 dinyatakan bahwa penunjukan pada hukum asing dianggap penunjukan kepada kaidah intern materil dan kaidah HPI asing dikesampingkan.
  7. Negara-negara Anglo Saxon Seperti Inggris, ada kecenderungan kea rah penerimaan.
  8. Amerika Serikat Tak ada aturan tertulis. Tapi ada kecondongan menolak. Terkecuali persoalan yang berkenaan dengan titel tanah diatur dimana tanah itu terletak, termasuk kaidah HPI negara bersangkutan. Pun tentang sahnya perceraian, ini ditentukan domisili para pihak termasuk kaidah HPI-nya.
  9. Negara-negara sosialis. Ada kecenderungan menerima misalnya saja di Moscow.
v  Contoh Kasus Renvoi
Berikut ini beberapa contoh kasus yang dapat dikategorikan berkenaan masalah renvoi :
v  Kasus in re Annesley (Davidson v. Annesley tahun 1926)
Annesley seorang wanita berkewarganegaraan Inggris (British subject). Ia meninggal di Perancis tahun 1924. Sehingga menurut hukum Inggris, domisilinya adalah di Perancis. Tahun 1919, wanita ini telah membuat surat wasiat dalam bentuk hukum Inggris. Dalam suratnya, sedemikian rupa dibuat sehingga anak lelakinya harus kehilangan hak warisnya. Di Inggris ini dibolehkan. Sedang di Perancis dikenal legitima portio bahwa sang anak sekurang-kurangnya menerima sepertiga bagian dari harta warisan. Lantas hukum yang mana yang akan digunakan, apakah dari Inggris atau Perancis? Menurut hukum bersangkutan, maka kasus ini melihat dari domisili wanita tersebut. Oleh karena itu, hukum Perancis yang harus digunakan. Sedang dalam hukum Perancis, asas yang digunakan adalah asas nasionalitas. Maka hukum yang berlaku dari warga negara asing adalah hukum negaranya, dalam hal ini Inggris. Tetapi dari Inggris menunjuk kembali kepada hukum Perancis yaitu hukum domisili. Lalu setelah Perancis menerima renvoi ini, apakah kemudian hukum intern Perancis yang akan digunakan? Hakim lalu menyelidiki HPI Perancis soal renvoi. Dan kemudian menurut hakim ini, kasus tersebut akan memakai hukum intern Perancis. Oleh karena itu, hakim Russel yang mengadili perkara juga menggunakan hukum intern Perancis. Berdasarkan itu, maka wewenang dari Annesley untuk membuat surat wasiat harus dibatasi.
v  Kasus in re Ross (Ross v. Waterfield)
Janet Anne Ross, wanita berkewarganegaraan Inggris meninggal di Italia tahun 1927. Ketika ia meninggal, maka diketahui menurut hukum Inggris, domisilinya adalah di Italia. Ia telah hidup di Florence sejak tahun 1888, yakni tahun dimana ia membeli sebuah rumah besar nan mewah yang terkenal dengan nama Poggio Gherardi. Tahun 1902, suaminya meninggal terlebih dahulu. Tidak ada kesangsian bahwa keduanya meninggal dengan domisili di Italia. Sewaktu Janet meninggal di tahun 1927, barulah surat wasiatnya dipersoalkan. Dalam semua wasiatnya, harta kekayaannya jatuh kepada tergugat Caroline Lucy Isabel Waterfield, sedangkan kepada anak laki-lakinya tidak diwariskan apa-apa. Penggugat mengklaim bahwa dirinya berhak atas ½ benda tak bergerak di Italia dan ½ benda tidak bergerak yang berada di wilayah manapun. Dalam hukum Italia juga dikenal legitima portio. Sedang Inggris tidak, tetapi yang jadi soal adalah hukum mana yang akan diberlakukan. Luxmoore J. yang mengadili perkara ini menimbang bahwa kasus ini harus diadili sebagaimana masalah ini diselesaikan oleh badan-badan peradilan di Italia. Jika menunjuk kepada hukum di Italia. Maka itu akan termasuk di dalam hukum intern serta kaidah HPI yang terkandung di dalamnya, dalam hal ini Italia. Sehingga surat wasiat tetap dianggap sah. Karena kenyataannya, menurut doktrin hukum di Italia, renvoi tidak diterima. Maka pada kasus ini, kenyataannya gugatan penggugat tidak berhasil dengan kata lain penggugat tetap tidak mendapatkan apa-apa.

v  The forgo case (1883)
Forgo adalah seorang yang berwarga negara Bavaria (Jerman), ia berdomisili di Prancis sejak berusia lima tahun tanpa memperoleh kewarganegaraan Prancis. Kemudain Forgo meninggal dunia di Prancis secara ab intestatis (tanpa meninggalkan testamen), di mana sebelumnya Forgo adalah seorang anak luar kawin yang telah meninggalkan sejumlah barang bergerak di Prancis. Akhirnya perkara pembagian harta warisan Forgo di ajukan di depan pengadilan Prancis. Permasalahannya adalah berdasarkan pada hukum mana pengaturan pembagian warisan itu dilakukan ? berdasarkan hukum Bavaria ataukah hukum Prancis. Oleh karena kaidah HPI lex fori Perancis menegaskan “persoalan pewarisan benda-benda bergerak harus diatur berdasarkan kaidah-kaidah hukum dari tempat di mana pewaris menjadi warga negara.” Sementara Forgo sendiri berasal dari warga negara Bavaria  yang menurut versi HPI Prancis. Kaidah HPI Bavaria menegaskan bahwa “pewarisan benda-benda bergerak harus diatur berdasarkan hukum dari tempat di mana pewaris bertempat tinggal sehari-hari (habitual residence).
Dengan mekanisme renvoi Proses penyelesaian masalah tersebut di atas melalui beberapa tahap:
1)      Pada tahap pertama hakim Prancis melakukan penunjukan ke arah hukum Bavaria sesuai perintah kaidah HPI Prancis.
2)      Tampaknya hakim Prancis menganggap penunjukan itu sebagai gesamtverweisung sehingga meliputi pula kaidah-kaidah HPI Bavaria.
3)      Sementara kaidah HPi Bavaria yang menyangkut pewarisan benda-benda bergerak, menetapkan bahwa hukum yang harus digunakan untuk mengatur hal itu adalah hukum dari tempat tinggal si Pewaris. Jadi kaidah HPI Bavaria menunjuk kembali ke arah hukum Prancis (hukum dari tempat kediaman tetap si Pewaris). Pada tahap ini baru dapat dikatakan terjadi renvoi.
4)      Hakim Prancis ternyata kemudian menganggap bahwa “penunjukan kembali” oleh kaidah HPI Bavaria sebgai suatusachnormverweisung (penunjukan ke arah kaidah-kaidah hukum intern Prancis) dalam teori HPI sikap hakim lex fori ini dikatakan menerima renvoi.
Beradasarkan anggapan hakim tersebut, hakim lalu memberlakukan kaidah hukum waris Prancis dan pada akhirnya saudara-saudara Forgo tidak bisa mendapatkan harta warisan, oleh karena aturan HPI yang berlaku adalah HPI Prancis. Dan HPI Prancis akhirnya memutuskan terhadap harta Forgo jatuh ke tangan pemerintahan Prancis.
v  Apabila seorang warga inggris yang berdomisili di Indonesia harus ditentukan apakah ia sudah dewasa atau belum, atau dia hendak menikah, maka menurut HPI Indonesia berdasarkan pasal 16 AB harus dipakai hokum Inggris. Dengan kata lain perkataan kaidah HPI Indonesia menunjuk kepada hokum Inggris dan hokum inggris menunjuk kembalikepada hokum Indonesia ,karena menurut HPI inggris yang harus dipakai untuk status personil yaitu domisili dari seseorang. Dalam hal ini domisili orang inggris bersangkutan adalah di Indonesia, maka hokum Indonesialah yang harus diberlakukan




v  Kesimpulan Renvoi
Berkenaan dengan renvoi, tidak semua penulis setuju dengan adanya renvoi dengan beberapa alasan, yaitu:
1.      Renvoi dianggap tidak logis. Hal ini didasarkan pada suatu penunjukan kembali secara terus menerus, maka yang ada adalah suatu permasalahan yang menggantung karena tidak ada pihak yang mau menanganinya dan terus saling melakukan suatu penunjukkan kembali. Pendapat kalangan penulis yang menolak renvoi ini lantas dibantah oleh pihak yang pro renvoi dengan alasan bahwa baik yang menerima atau yang menolak dua-duanya secara selogis mungkin. Dalam kenyataannya tidak akan ditemui adanya suatu penujukkan tiada akhir melainkan hanya ada satu kali renvoi/ penujukkan kembali.
2.      Renvoi merupakan penyerahan kedaulatan legislatif.  Menurut pandangan yang kontra dengan renvoi, menurut Cheshire dan Meyers, dengan adanya suatu renvoi, maka seolah-olah kaidah-kaidah hakim itu sendiri yang dikorbankan terhadap seuatu hukum asing yang kemudian dianggap berlaku.
Sementara itu, pendapat ini dibantah dengan alasan kaidah yang digunakan oleh hakim itu bukan dari sembarang kaidah negara asing, dengan arti hanya sebatas kaidah HPI saja dimana yang menunjuk penggunaannya adalah sang hakim itu sendiri sehingga secara tidak langsung, yang berlaku adalah HPI negaranya sendiri dan bukan HPI dari negara asing.
3.      Renvoi membawa ketidak pastian hukum. Jika renvoi diterima, maka yang ada kemudian adalah penyelesaian HPI itu yang samar-samar, tidak kokoh dan tidak stabil sebagai hukum. Akan tetapi menurut kubu yang pro renvoi mangatakan bahwa justru jika tidak ada renvoi, maka yang ada adalah ketidakpastian itu sendiri.
Sementara itu, alasan-alasan yang digunakan oleh para penulis yang pro dengan adanya renvoi adalah sebagai berikut:
1)      Renvoi memberikan keuntungan praktis. Jika sebuah renvoi itu diterima, maka hukum intern sendiri dari sang hakim yang akan digunakan dan tentunya hal ini akan memberikan keuntungan praktis bagi hakim.
2)      Jangan bersifat lebih raja daripada raja itu sendiri. Justru dengan adanya renvoi, chauvinisme juridis dapat dihindari dan merupakan suatu penghormatan pada hukum asing yang bertautan dengan kasus yang ada.
3)      Keputusan-keputusan yang berbeda. Untuk menghindari adanya ketidak pastian hukum dalam bentuk keputusan yan berbeda-beda atas perkara yang sama pada dua sistem hukum yang terkait.
Dari hal-hal yang telah disampaikan sebelumnya di atas perihal pro dan kontra pada renvoi, kita mendapati bahwa yang digunakan dalam menilai masalah renvoi ini adalah logika. Kita harus dapat melihatnya berdasarkan pada hukum positif dimana renvoi dipandang sebagai suatu bentuk dari apa yang dinamakan dengan pelembutan hukum, meskipun tidak ditemukan dalam suatu peraturan tertulis di Indonesia, renvoi diterima dalam kaidah hukum positif Indonesia secara nyata yang tercantum secara tidak langsung dalam pasal 16 sampai 18 AB.

Adapun beberapa yurisprudensi yang berkaitan dengan renvoi di Indonesia adalah sebagai berikut :
1.      Perkara orang Armenia Nasrani tahun 1928
2.      Perkara palisemen seorang British India tahun 1925
Renvoi juga diatur dalam konvensi-konvensi internasional meliputi :
1.      Persetujuan Den Haag tentang HPI tahun 1955.
Diterima suatu konsep untuk mengatur “perselisihan” antara prinsip nasionalitas dan domisili yang lantas ditindak lanjuti pada tanggal 15 Juni 1955 dengan ditetapkannya konvensi yang bersangkutan. Pasal 1 mengatur bahwa apabila suatu negara di mana orang yang dipersoalkan menganut sistem domisili, memakai sistem nasionalitas sementara negara asal orang itu memakai sistem domisili, maka tiap negara peserta menggunakan Sachornen daripada domisili.
2.      Persetujuan hukum uniform HPI negara-negara Benelux 1951
Persetujuan itu dilakukan antara negara Belgia, Belanda dan Luxemburg. Dalam pasal 1-nya ditentukan bahwa renvoi tidak dapat diterima. Jika tidak ditentukan berlainan, maka dalam persetujuan tersebut diartikan dengan istilah hukum intern daripadanya dan bukan HPI-nya.



DAFTAR PUSTAKA
n  Sudarto Gautama, Hukum perdata Internasional, jilid kedua bagian kedua (buku ketiga), (Eresco, Bandung 1998) hal.167
n  http://kbbi.web.id/renvoi diakses tanggal 25 Januari 2015 jam 16.00 WIB




[1]http://kbbi.web.id/renvoi diakses tanggal 25 Januari 2015 jam 16.00 WIB
[2]Sudarto Gautama, Hukum perdata Internasional; jilid kedua bagian kedua (buku ketiga); Eresco, Bandung 1998, hal.167

No comments:

Post a Comment