“Mosaik Ketatanegaraan
dan Problema Penegakan Konstitusi dan Hukum di Indonesia”
A. Demokrasi
dan Nomokrasi
BPUPKI memilih demokrasi sebagai resultante (kesepakatan).
Demokrasi yaitu kedaulatan rakyat (menang-kalah), sedangkan nomokrasi yaaitu
kedaulatan hukum (benar-salah). Contoh dari demokrasi adalah pemilu kepala
desa, kepala daerah dan presiden. Hasil dari pemilu itu ada yang kalah dan ada
yang menang. Sedangkan contoh nomokrasi adalah
ada di pengadilan, baik pengadilan negeri, pengadilan tinggi, pengadilan agama,
MA, MK yang mana semangatnya adalah mencari kebenaran dan menguak kesalahan.
Namun begitu demokrasi dan nomokrasi seperti dua keping
mata uang yang tidak bisa dipisahkan karna ;
- Demokrasi tanpa nomokrasi melahirkan anarki.
- Nomokrasi tanpa demokrasi melahirkan
kesewenang-wenangan.
Demokrasi
bukan ideal, karena didalam demokrasi selalu ada resiko resiko-resiko ;
- Pemberian kekuasaan pada orang awam (sangat rentan
seseorang/rakyat memilih pada pilkades, pilkada, pilgub dan pilpres hanya
karena faktor uang (money politik) bukan karena faktor kompetensi, track
record, leadership serta management sang Caleg).
- Munculnya demagog
dan narsis, maksud demagog
adalah orator-orator pembohong (seperti kita lihat menjelang pilpres
misalnya banyak tim sukses yang mengobral janji surga, setelah duduk di
DPR lupa dengan janji yang pernah di sampaikannya tempo dulu waktu
kampanye).
Sedangkan narsis, maksudnya banyak
spanduk caleg yang berfoto narsis dipajang atau ditempel di sepanjang jalan dan
tempat-tempat strategis yang kebanyakan berisikan slogan “Pilihlah saya, maka negara akan makmur”, serta Pilihlah saya, maka angka pengangguran akan berkurang dan seterusnya”.
Hal
terpenting dalam demokrasi (pencar kekuasaan) :
- Horisontal, melahirkan sistem pemerintahan negara.
- Vertikal, melahirkan bentuk negara.
Bentuk
negara kesatuan Indonesia disepakati oleh para pendiri negara Repuplik
Indonesia (founding people) yang mana dari kubu Sukarno CS mengusung negara
kesatuan (87%) dan Hatta CS mengusung negara federal (13%).
Bahwa
persatuan (integrasi), tidak sama dengan kesatuan :
- Persatuan, yaitu tentang konsep kejiwaan, ingin
bersatu (misalnya di dalam pemerintahan Amerika dan Malaysia yang
mengadopsi sistem federal).
- Kesatuan, yaitu konsep susunan kebangsaan (misalnya
di dalam pemerintahan Indonesia, China, Afrika Selatan serta Inggris).
B. Sedangkan
ciri-ciri negara hukum :
- Peradilan bebas dan tidak memihak (imparsial)
- Perlindungan HAM (Hak asasi manusia)
- Azas legalitas
Didalam
penegakan hukum, konflik-konflik yang mungkin terjadi adalah :
- Konflik antara sesama warga masyarakat
- Konflik antara masyarakat dan pejabat pemerintah
dalam bidang administrasi
- Konflik antara lembaga negara/pemrintah dengan
lembaga negara/pemerintah lainnya.
Untuk
itu dibentuklah Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif yang mempunyai empat
lingkungan pengadilan, yaitu ;
- Lingkungan peradilan umum, berkompeten mengadili
konflik atau pelanggaran bidang perdata dan pidana pada umumnya.
- Lingkungan peradilan agama, berkompeten mengadili
masalah perdata tertentu bagi orang-orang yang beragama Islam (bidang
NTCR, Wasiat, Waris, Hibah).
- Lingkungan peradilan militer, berkompeten mengadili
pelanggaran pidana yang khusus dilakukan oleh anggota TNI atau orang-orang
yang disamakan dengan militer.
- Lingkungan peradilan tata usaha negara (PTUN),
berkompeten mengadili sengketa administrasi yakni sengketa antara warga
negara dengan badan/pejabat pemerintah sebgai akibat dikeluarkannya
keputusan yang bersifat konkret, individual dan final (tidak bisa
banding).
C. Jenis-jenis
perbuatan pemerintah dan peradilannya :
- Regelings (membuat peraturan) -> judicial review
- Beschikking (membuat keputusan) -> PTUN
- Materiale Daad (perbuatan hukum biasa) ->
peradilan umum
Struktur
Kenegaraan ;
- Dulu bersifat vertikal-struktural yaitu ada lembaga
MPR tertinggi dan yang lain-lain adalah lembaga tinggi negara.
- Sekarang bersifat horisontal-fungsional (sejajar)
yaitu MPR,DPR,DPD, Presiden, MA, MK, BPK, KY adalah sejajar.
- Peradilan Konstitusi adalah lembaga baru yaitu
Mahkamah Konstitusi (MK)
Latar
belakang mahkamah konstitusi :
- Bahwa Undang-undang itu selalu benar (di zaman orde
baru). Dulu semua undang-undang harus dianggap benar dan bisa diuji atau
diadili oleh lembaga yudikatif meskipun dirasakan melanggar hak-hak
masyarkat. Perubahan UU dulu hanya bisa dilakukan melalui legislative
review. Sekarang ada MK yang bisa menguji UU terhadap UUD melalui judicial
review.
- Presiden sering dijatuhkan secara politik bukan
secara hukum (Era Sukarno, Suharto, Gusdur), sekarang kalau mau menjatuhkan Presiden dan
Wapres ditengah masa jabatannya harus melalui impeachment (pendakwaan) dan
pendapat oleh DPR yang harus dinilai melalui peradilan di MK.
- Hasil pemilu selalu benar (di zaman orde baru), pada
masa lalu hasil pemilu tidak bisa digugat ke pengadilan walaupun banyak
kecurangan-kecurangan yang terjadi.
Empat
wewenang dan satu kewajiban Mahkamah Konstitusi (MK) :
- Berwenang menguji konstitusionalitas Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar
- Berwenang mengadili sengketa hasil pemilu
- Berwenang mengadili sengketa kewenangan antar
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD
- Berwenang membubarkan Parpol
- Wajib memutus pendapat DPR bahwa Presiden/ Wapres
telah melanggar hal-hal tertentu/Presiden atau Wapres tidak memenuhi
syarat lagi sebagi Presiden (memutuskan impeachment DPR terhadap Presiden).
Impeachment bisa dilakukan
apabila Presiden atau Wakil Presiden terlibat;
·
Korupsi
·
Penyuapan
·
Pengkhianatan
terhadap negara
·
Tindakan pidana
minimal ancaman penjara 5 tahun
·
Melakukan tindakan
tercela
D. Sedangkan
problem penegakan hukum di Indonesia adalah :
Problem
yang dihadapi oleh Indonesia pada saat ini adalah tidak tegaknya hukun atau lemahnya
supremasi hukum. Penyebabnya antara laina adalah :
- Mafia Hukum yakni permainan antar penegak hukum
untuk membuat putusan yang menguntungkan pihak tertentu melalui saling
kolusi antar mereka. Dalam kasus Gayus Tambunan terbukti adanya permainan
kotor antara Hakim, Jaksa, Polisi dan Pengacara.
- Jual beli perkara (yang berperkara pada hakim) yakni
penyuapan langsung yang melibatkan dan orang-orang yang berperkara.
Disinilah orang yang berperkara bisa membeli putusan tertentu dengan
pembayaran tertentu pula. Sangkaan yang ditujukan kepada mantan Ketua MK,
AM sebagian besar adalah jual beli seperti ini, sebenarnya ini bagian dari
mafia hukum juga.
- Orang berperkara bukan mencari ahli, tapi mencari
pelobi. Sekarang ini orang berperkara pada umumnya bukan untuk mencari
benar atau salah secara hukum melainkan untuk mencari menang. Karena
tujuannya menang maka seringkali kuasa hukum yang laris adalah mereka yang
pandai melobi bukan yang profesional atau mahir dalam ilmu hukum.
- Hukum dintervensi oleh politik. Disinyalir banyak
kasus hukum menjadi macet karena adanya intervensi politik baik melalui
pengaruh langsung kepada pengak hukum (seperti oknum anggota DPR yang ikut
campur dan membuat insinuasi terhadap penegak hukum) maupun melalui saling
kunci dan saling sandera diantara para politisi yang kemudian menyulitkan
penegak hukum untuk bergerak.
Problem
dalam Supremasi Hukum :
- Tidak tegaknya hukum karena akan membahayakan
eksistensi negara. Berdasarkan pengalaman sejarah bangsa-bangsa menjadi
hancur ketika hukum tidak ditegakkan. Jika hukum tidak ditegakkan maka
keberanian untuk melawan dan memisahkan diri menjadi muncul dan bisa
terealisasi ditengah-tengah masyarakat.
- Transaksi Politik karena akan menyebabkan
ketersanderaan para pejabat. Ketersanderaan bisa terjadi karena
keterlibatan dalam korupsi dan pelanggaran hukum masa lalu, bisa juga
karena transaksi masa kini saat seseorang akan maju atau tampil ke posisi
kepemimpinan.
- Hukum sebagai panglima, artinya menegakkan hukum
tanpa pandang bulu. Untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu diperlukan
strong leadership. Yang bisa lahir dari pemimpin yang merah dan putih.
Merah artinya berani, tegas, cepat dan cermat sedangkan putih artinya
bersih, tidak punya track record yang buruk sehingga tidak tersandera
untuk melakukan tindakan dengan berani. Merah tanpa putih berbahaya, putih
tanpa merah tak memberi apa-apa atau tak berguna. Merah-putih adalah dua
syarat komulatif, bukan alternatif dalam menciptakan strong leadership. Upaya
kearah situ harus dimulai dengan membangun kesadaran kolektif agar kita
memberantas dan mengakhiri transaksi politik yang bisa menyandera tokoh
yang tampil ke pentas kepemimpinan.
No comments:
Post a Comment