HAK TANGGUNGAN
LEMBAGA JAMINAN : BANGUNAN DIATAS TANAH MILIK ORANG LAIN
KAJIAN YURIDIS
Pengikatan Jaminan Berupa Bangunan yang Dibangun Diatas Tanah
Milik Pihak Lain
Kasus Posisi
BANK sedang melakukan restrukturisasi atas debiturnya dimana
salah satu obyek yang menjadi jaminan kredit adalah bangunan milik
debitur yang dibangun di atas tanah milik pihak lain dan belum dilakukan
pengikatan jaminan.
Permasalahan
Apakah
lembaga jaminan yang dipergunakan untuk mengikat bangunan di atas tanah yang
berbeda kepemilikannya ?
Dasar Hukum
Undang-Undang
No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang
Berkaitan dengan Tanah (UUHT)
Undang-Undang
No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Pembahasan
Pembebanan Hak Tanggungan menurut UUHT
Hak
Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu
Persyaratan
yang yang harus dipenuhi agar dapat dikatakan sebagai objek Hak Tanggungan (Bab
II UU Hak Tanggungan) antara lain :
1.
Dapat dinilai dengan uang, karena hutang yang
dijamin adalah berupa uang.
2.
Termasuk hak yang wajib didaftar dalam Daftar
Umum karena harus memenuhi syarat spesialitas dan publisitas.
3.
Mempunyai sifat yang dapat dipindah tangankan
karena apabila debitur cidera janji, benda yang dijaminkan akan dijual di depan
umum.
4.
Memerlukan penunjukkan oleh Undang-Undang.
Berdasarkan syarat diatas mengenai
objek Hak Tanggungan sebagaimana tersebut dalam Pasal 4 jo Pasal 27 UU Hak
Tanggungan dan Penjelasan Umum angka 5 bahwa yang merupakan objek Hak
Tanggungan adalah :
Yang
ditunjuk oleh UUPA sesuai dengan Pasal 16 ayat (1) huruf a, b, c sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA (Pasal 4 ayat (1) UUHT) yaitu Hak
Milik (Pasal 25), Hak Guna Usaha (Pasal 33) dan Hak Guna Bangunan (Pasal 39):
1.
Yang ditunjuk oleh UURS (Pasal 27 UUHT jo. Pasal
12 dan 13 UURS).
2.
Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik,
Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah Negara (Pasal 12 ayat (1) a UU Rumah
Susun jo. Pasal 27 UUHT berikut penjelasannya).
3.
Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang
bangunannya berdiri di atas tanak Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai
atas Tanah Negara (Pasal 13 huruf a UU Rumah Susun jo. Pasal 27 UUHT berikut
penjelasannya).
4.
Yang ditunjuk oleh UUHT (Pasal 4 ayat (2) UUHT).
5.
Hak Pakai atas Tanah Negara yang menurut
ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat
dipindahtangankan.
Dimungkinkan pula pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan,
tanaman dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah tanah tersebut yang tidak dimiliki oleh pemegang hak atas
tanah (dimiliki oleh orang lain) dengan syarat pembebanan Hak
Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan
penandatanganan pada Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh pemiliknya
(pemilik tanah maupun pemilik bangunan/tanaman dsb) atau yang diberi
kuasa untuk itu olehnya dengan akta otentik (Pasal 4 ayat (4) dan Pasal 5
UUHT).
Pembebanan Fidusia menurut UU Fidusia
Pengertian Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda
bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak
khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan
bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya.
Dalam
Pasal 1 angka 1 UU Fidusia menyatakan bahwa :
”Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda
atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya
dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda”
Dari perumusan tersebut, dapat diketahui bahwa yang
diserahkan dan dipindahkan dari pemiliknya kepada kreditor (pemegang fidusia)
adalah hak kepemilikan suatu benda yang dijadikan sebagai
jaminan, sehingga hak kepemilikan secara yuridis atas benda yang dijaminkan
beralih kepada kreditor.
Berdasarkan
Pasal 1 angka 4 UU Fidusia, objek jaminan Fidusia meliputi benda bergerak dan
tidak bergerak tertentu yang tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan, dengan
syarat bahwa kebendaaan tersebut ”dapat dimiliki dan dialihkan”, sehingga
dengan demikian objek Jaminan Fidusia meliputi :
1.
Benda bergerak yang berwujud;
2.
Benda bergerak yang tidak berwujud;
3.
Benda bergerak yang terdaftar;
4.
Benda bergerak yang tidak terdaftar;
5.
Benda tidak bergerak tertentu, yang tidak
dapat dibebani dengan Hak Tanggungan;
6.
Benda tidak bergerak tidak tertentu, yang tidak
dibebani dengan Hipotik;
7.
Benda tersebut harus dapat dimiliki dan
dialihkan.
Dalam penjelasan Pasal 6 huruf c UU Fidusia disebutkan uraian
mengenai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia cukup dilakukan dengan
mengidentifikasikan benda tersebut, dan dijelaskan mengenai surat bukti
kepemilikannya sehingga debitur yang ingin menjaminkan bangunan harus
memiliki bukti kepemilikan atas bangunan yang berdiri pada tanah yang disewa
tersebut.
Lebih
lanjut dalam ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Fidusia menegaskan bahwa
undang-undang ini tidak berlaku terhadap :
·
Hak Tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan
bangunan, sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku
menentukan jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftar;
·
Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi
kotor berukuran 20 (dua puluh)M3 atau lebih;
·
Hipotik atas pesawat terbang; dan
·
Gadai.
Berdasarkan penjelasan butir 5 diatas jelaslah bahwa bangunan
yang dibangun diatas tanah sewa tersebut secara peraturan wajib
didaftarkan untuk memenuhi asas publisitas sehingga dalam pengikatannya tidak
dapat menggunakan lembaga Jaminan Fidusia, akan tetapi melalui lembaga Jaminan
Hak Tanggungan.
Pendapat Para Ahli terkait Permasalahan di atas.
Pendapat
beberapa ahli hukum diantaranya diwakili oleh pendapat Rachmadi Usman, SH. MH.
dalam bukunya berjudul ”Hukum Jaminan Keperdataan”, dalam menerjemahkan dan
mengintepretasikan pengertian yang terkandung dalam Pasal 3 huruf a UU Fidusia
berikut penjelasannya adalah berbeda.
Pendapat
tersebut pada intinya menyatakan bahwa terhadap bangunan yang terpisah
kepemilikannya dengan tanah tempat berdirinya bangunan tersebut dapat dilakukan
pengikatan secara Fidusia, berdasarkan bunyi Penjelasan Pasal 3 huruf a UU
Fidusia sebagai berikut (dikutip) : ”Berdasarkan ketentuan ini, maka
bangunan di atas tanah milik orang lain yang tidak dapat dibebani Hak
Tanggungan berdasarkan UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, dapat
dijadikan objek Jaminan Fidusia.”
Sehingga
menurut pendapat tersebut apabila pemilik tanah tidak ingin (baca : tidak mau)
tanahnya diikat dengan Hak Tanggungan sehubungan dengan keinginan pemilik
bangunan untuk membebani bangunannya dengan Hak Tanggungan, maka yang dapat
ditempuh oleh pemilik bangunan adalah menjaminkan bangunan miliknya dengan
Jaminan Fidusia.
Pendapat yang
demikian ini menurut hemat kami sudah keluar dari prinsip-prinsip dasar yang
diatur dalam UU Hak Tanggungan maupun UU Fidusia serta lebih mengartikan
Penjelasan Pasal 3 huruf a UU Fidusia secara letterlijke dan
justru mengabaikan bunyi Pasal 3 huruf a UU Fidusia itu sendiri.
Pengertian ”tidak dapat dibebani Hak Tanggungan” dalam bunyi
pasal dimaksudbukanlah dalam pengertian si pemilik tanah tidak mau dibebani
Hak Tanggungan, namun pengertiannya adalah belum adanya ketentuan hukum
yang dapat dipergunakan untuk mengatur pengikatan terhadap bangunan yang
berdiri di atas tanah tersebut. Maksud pembentuk undang-undang adalah sebagai
antisipasi dari perkembangan dan kemajuan zaman yang memungkinkan terciptanya
bangunan-bangunan atau benda yang secara yuridis tidak dapat dibebani Hak
Tanggungan. Bentuk bangunan atau benda yang ada saat ini dan tidak dapat
dibebani Hak Tanggungan kiranya seperti rumah caravan, rumah knockdown, dsb.
Salah
satu aspek yuridis lainnya yang perlu diperhatikan adalah mengenai ketentuan
adanya kewajiban untuk mendaftarkan bangunan atau benda tersebut untuk memenuhi
asas publisitas, yaitu kepastian hukum untuk mengetahui siapa pemilik dari
bangunan atau benda-benda dimaksud. Apabila secara yuridis kewajiban untuk
mendaftarkan dimaksud melekat pada bangunan atau benda tersebut, maka tidak ada
jalan lain selain membebani bangunan atau benda tersebut dengan lembaga Jaminan
Hak Tanggungan. Ketentuan inilah yang diabaikan oleh pendapat ahli hukum
tersebut di atas.
Lalu bagaimana
jika si pemilik tanah tempat berdirinya bangunan atau benda tersebut tidak mau
dibebani Hak Tanggungan ? maka tiada lain kondisi tersebut menyebabkan tidak
terjadinya Hak Tanggungan. Hal ini sama berlaku apabila kreditur yang
menyerahkan tanah miliknya sebagai jaminan, namun tidak mau dibebani Hak
Tanggungan, maka de facto tidak terjadinya Hak Tanggungan.
Oleh sebab itu, maka jelaslah bunyi Pasal 3 huruf a UU
Fidusia pada bagian akhir dari kalimatnya yang berbunyi ”……sepanjang
peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda
tersebut wajib didaftarkan.”
Kesimpulan dan Saran
Bangunan yang berdiri diatas tanah
yang tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah (dimiliki oleh orang lain)
dapat dijadikan agunan dengan dibebani Hak Tanggungan sepanjang pembebanan Hak
Tanggungan atas bangunan tersebut dilakukan dengan penandatanganan pada Akta Pemberian
Hak Tanggungan (APHT) oleh pemiliknya (pemilik tanah maupun pemilik
bangunan/tanaman dsb) atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya.
Ketentuan tersebut diatas menjadi
acuan bagi tanah yang akan dibebani Hak Tanggungan jika kepemilikannya berbeda
dengan pemilik tanah, sehingga pembebanan Hak Tanggungan dilakukan oleh pemilik
tanah bersama-sama dengan pemilik bangunan dan/atau tanaman dan/atau
hasil karya dan/atau mesin-mesin tersebut, keduanya bertindak selaku Pemberi
Hak Tanggungan.
Sehubungan dengan adanya syarat dalam
pembebanan atas bangunan yang berada di atas tanah milik orang lain berdasarkan
perjanjian sewa menyewa, maka yang perlu diperhatikan adalah perjanjian sewa
menyewa antara pemilik tanah dengan pemilik bangunan, dimana dalam perjanjian
sewa menyewa tersebut terdapat klausula yang mengatur mengenai tanah yang
disewa tersebut dapat diikat Hak Tanggungan dalam rangka untuk membebani
bangunan yang berdiri diatasnya dengan Hak Tanggungan. Apabila klausula
tersebut tidak ada dalam perjanjian sewa, maka dengan persetujuan para pihak
dapat dilakukan addendum / amandemen (perubahan) atas perjanjian sewa untuk
memasukkan klausula dimaksud.
Selain itu yang perlu mendapat
perhatian juga adalah mengenai jangka waktu pemberian kredit, dimana jangka waktu
pemberian kredit tidak boleh lebih lama dari pada jangka waktu sewa tersebut…
and justice for all …
Tanya
: kalo pengalihan suatu hak milik atas tanah yang ada bangunan di atasnya tapi
tidak mengalihkan hak atas bangunan tersebut apakah diperbolehkan menurut UU?
dasar hukumnya apa? Thanks
Jawab
: Secara yuridis UU Hak Tanggungan menganut azas vertikal yang berbeda dengan
Hipotik atas tanah yang berazaskan horisontal. Berdasarkan azas vertikal dari
UU Hak Tanggungan tersebut, maka pertanyaan tentunya bisa dijawab dengan “Ya”.
No comments:
Post a Comment