PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA
Di dalam hukum acara pidana pembuktian
merupakan titik sentral di dalam pemeriksaan perkara di pengadilan. Hal ini
karena melalui tahapan pembuktian inilah terjadi suatu proses, cara, perbuatan
membuktikan untuk menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa terhadap suatu
perkara pidana di dalam sidang pengadilan. Pembuktian adalah
ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang
dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang
dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan
yang didakwakan.
Pembuktian
adalah kegiatan membuktikan, dimana membuktikan berarti memperlihatkan
bukti-bukti yang ada, melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakkan,
menandakan, menyaksikan dan meyakinkan. Secara konkret, Adami Chazawi
menyatakan, bahwa dari pemahaman tentang arti pembuktian di sidang pengadilan,
sesungguhnya kegiatan pembuktian dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu:
1.
Bagian kegiatan pengungkapan fakta.
2.
Bagian pekerjaan penganalisisan fakta yang
sekaligus penganalisisan hukum.
Di
dalam bagian pengungkapan fakta, alat-alat bukti diajukan ke muka sidang oleh
Jaksa Penuntut Umum dan Penasehat Hukum atau atas kebijakan majelis hakim untuk
diperiksa kebenarannya. Proses pembuktian bagian pertama ini akan berakhir pada
saat ketua majelis mengucapkan secara lisan bahwa pemeriksaan terhadap
perkara dinyatakan selesai (Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP). Setelah
bagian kegiatan pengungkapan fakta telah selesai, maka selanjutnya Jaksa
Penuntut Umum, Penasehat Hukum, dan majelis hakim melakukan penganalisisan
fakta yang sekaligus penganalisisan hukum. Oleh Jaksa Penuntut Umum pembuktian
dalam arti kedua ini dilakukannya dalam surat tuntutannya (requisitoir). Bagi
Penasehat Hukum pembuktiannya dilakukan dalam nota pembelaan (peledooi), dan
akan dibahas majelis hakim dalam putusan akhir (vonnis) yang dibuatnya.
Pembuktian
ini menjadi penting apabila suatu perkara tindak pidana telah memasuki tahap
penuntutan di depan sidang pengadilan. Tujuan adanya pembuktian ini adalah
untuk membuktikan apakah terdakwa benar bersalah atas tindak pidana yang
didakwakan kepadanya.
Secara
Teoretis terdapat empat teori mengenai sistem pembuktian yaitu:
1.
Sistem pembuktian menurut Undang-undang secara
positif (positief wettelijke bewijs theorie). Menurut teori ini, sistem
pembuktian positif bergantung pada alat-alat bukti sebagaimana disebut secara
limitatif dalam undang-undang. Singkatnya, undang-undang telah menentukan
tentang adanya alat-alat bukti mana yang dapat dipakai hakim, cara bagaimana
hakim menggunakannya, kekuatan alat bukti tersebut dan bagaimana hakim harus
memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili. Jadi jika alat-alat
bukti tersebut digunakan sesuai dengan undang-undang maka hakim mesti
menentukan terdakwa bersalah walaupun hakim berkeyakinan bahwa terdakwa tidak
bersalah. Teori pembuktian ini sekarang tidak mendapat penganut lagi. Teori ini
terlalu banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang disebut oleh
undang-undang. Teori pembuktian ini ditolak juga oleh Wirjono Prodjodikoro
untuk dianut di Indonesia, karena katanya bagaimana hakim dapat menetapkan
kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal
kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman
mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat.
2.
Sistem pembuktian menurut keyakinan hakim melulu
(conviction intime)
Pada
sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim, hakim dapat menjatuhkan putusan
berdasarkan keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan. Melalui
sistem “Conviction Intime”, kesalahan terdakwa bergantung kepada
keyakinan belaka sehingga hakim tidak terikat pada suatu peraturan. Dengan
demikian, putusan hakim dapat terasa nuansa subjektifnya. Disadari bahwa
alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiri pun tidak selalu membuktikan
kebenaran. Pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar
melakukan perbuatan yang didakwakan. Oleh karena itu, diperlukan bagaimanapun
juga keyakinan hakim sendiri. Bertolak pangkal pada pemikiran itulah, maka
teori berdasarkan keyakinan hakim melulu yang didasarkan kepada keyakian hati
nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang
didakwakan. Sistem ini memberi kebebasan hakim yang terlalu besar, sehingga
sulit diawasi. Di samping itu, terdakwa atau penasihat hukumnya sulit untuk
melakukan pembelaan. Dalam hal ini hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan
keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang didakwakan.
3.
Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alas an
yang logis (Laconviction Raisonnee). Menurut teori ini, hakim
dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang
didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang
berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Keyakinan
hakim tetap memegang peranan penting untuk menentukan kesalahan terdakwa,
tetapi penerapan keyakinan hakim tersebut dilakukan dengan selektif dalam
arti keyakinan hakim dibatasi dengan harus didukung oleh alasan-alasan jelas
dan rasional dalam mengambil keputusan. Sistem atau teori pembuktian ini
disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan
keyakinannya (vrije bewijstheorie). Sistem atau teori pembuktian jalan
tengah atau yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu in terpecah
kedua jurusan. Yang pertama yang tersebut di atas yaitu pembuktian berdasar
keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction raisonnee) dan yang kedua
ialah teori pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief
wettelijk bewcijstheorie).Persamaan antara keduanya ialah keduanya sama
berdasar atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa
adanya keyakinan hakirn bahwa is bersalah. Perbedaannya ialah bahwa yang
tersebut pertama berpangkal tolak pada keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu
harus didasarkan kepada suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang
tidak didasarkan kepada undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut
ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang
pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia akan pergunakan. Sedangkan yang
kedua berpangkal tolak pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara
limitatif oleh undang-undang, tetapi hat itu harus diikuti dengan keyakinan
hakim.
4.
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara
negatif (negatief wettelijke bewijs theorie). Pada prinsipnya, sistem
pembuktian menurut undang-undang secara negatif menentukan bahwa hakim hanya
boleh menjatuhkan pidana tehadap terdakwa apabila alat bukti tersebut secara
limitatif ditentukan oleh undang-undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan
hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut. Di dalam
membuktikan apakah terdakwa bersalah atau tidak dalam suatu perkara pidana,
menurut Lilik Mulyadi KUHAP di Indonesia menganut sitem pembuktian menurut
undang-undang secara negatif. Di dalam sitem pembuktian menurut undang-undang
secara negatif (negatief wettelijke bewujs theorie) terdapat unsur
dominan berupa sekurang-kurangnya dua alat bukti sedangkan unsur keyakinan
hakim hanya merupakan unsur pelengkap. Jadi dalam menentukan apakah orang yang
didakwakan tersebut bersalah atau tidak, haruslah kesalahannya dapat dibuktikan
paling sedikit dengan dua jenis alat bukti seperti yang tertuang di dalam KUHAP
pasal 183 “ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurng-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah
melakukannya”.
Alat
bukti yang sah dalam KUHAP Pasal 184 ayat (1) undang-undang yaitu:
a.
keterangan saksi,
b.
keterangan ahli,
c.
surat,
d.
petunjuk, dan
e.
keterangan terdakwa.
Menurut
Yahya Harahap hanya alat bukti yang mencapai batas minimal yang memiliki nilai
kekuatan pembuktian untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Apabila alat bukti
tidak mencapai sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dalam KUHAP, maka
pelanggaran itu dengan sendirinya menyampingkan standar Beyond a reasonable
doubt (patokan penerapan standar terbukti sevara sah dan meyakinkan) dan
pemidanaan yang dijatukan dapat dianggap sewenang-wenang.
Ditinjau
dari perspektif sistem peradilan pidana, perihal pembuktian merupakan hal yang
sangat determinan bagi setiap pihak yang terlibat secara langsung dalam proses
pemeriksaan perkara pidana, khususnya dalam hal menilai terbukti atau tidak
terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
Dalam
hal pembuktian ini keterangan korban merupakan hal yang sangat penting, dimana
korban adalah mereka yang menderita secara jasmaniah dan rohaniah sebagai
akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau
orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita
1.
Alat Bukti Keterangan Saksi.
Keterangan
saksi dalam pasal 1 angka 27 KUHAP adalah suatu alat bukti dalam perkara pidana
yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan
dari pengetahuannya. Menurut ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, memberi
batasan pengertian keterangan saksi dalam kapasitasnya sebagai alat bukti,
adalah “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di
sidang pengadilan.” Pada umumnya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat
bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada
perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir
semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan
saksi. Sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain,
masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. Ditinjau
dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau “the degree of evidence”
keterangan saksi, agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai nilai serta
kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang harus
dipenuhi oleh seorang saksi. Artinya, agar keterangan seorang saksi dapat
dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus
dipenuhi aturan ketentuan sebagai berikut.
2.
Harus mengucapkan sumpah atau janji.
Hal ini
diatur dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP, dan hal ini sudah panjang lebar
diuraikan dalam ruang lingkup pemeriksaan saksi. Menurut ketentuan Pasal 160
ayat (3), sebelum saksi memberi keterangan: “wajib mengucapkan” sumpah atau
janji. Adapun sumpah atau janji:
·
dilakukan menurut cara agamanya masing-masing,
·
lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan
memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tiada lain daripada yang
sebenarnya. Pada prinsipnya sumpah atau janji wajib diucapkan sebelum saksi
memberi keterangan. Akan tetapi, Pasal 160 ayat (4) memberi kemungkinan untuk
mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberikan keterangan.
·
Dengan dernikian, saat pengucapan sumpah atau
janji:
1)
pada prinsipnya wajib diucapkan “sebelum” saksi memberi keterangan,
·
2) tapi dalam hal yang dianggap perlu
oleh pengadilan, sumpah atau janji dapat diucapkan “sesudah” saksi memberi
keterangan.
·
Mengenai saksi yang menolak mengucapkan sumpah
atau janji, sudah diterangkan, yakni terhadap saksi yang menolak untuk
mengucapkan sumpah atau janji tanpa alasan yang sah:
1.
dapat dikenakan sandera,
2.
penyanderaan dilakukan berdasar “penetapan” hakim
ketua sidang,
3.
penyanderaan dalam hal seperti ini paling lama
empat belas hari (Pasal 161 KUHAP).
4.
Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti.
Tidak
semua keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan
saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai dengan apa yang
dijelaskan Pasal 1 angka 27 KUHAP:
1.
yang saksi lihat sendiri,
2.
saksi dengar sendiri,
3.
dan saksi alami sendiri,
4.
serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Dari
penegasan bunyi Pasal 1 angka 27 KUHAP dihubungkan dengan bunyi penjelasan
Pasal 185 ayat (1) KUHAP, dapat ditarik kesimpulan:
1.
setiap keterangan saksi di luar apa yang
didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi atau di luar yang
dilihat atau dialaminya dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang
diberikan di luar pendengaran, penglihatan, atau pengalaman sendiri
mengenai suatu peristiwa pidana yang terjadi, “tidak dapat dijadikan dan
dinilai sebagai alat bukti”. Keterangan semacam itu tidak mempunyai
kekuatan nilai pembuktian,
2.
“testimonium de auditu” atau keterangan
saksi yang ia peroleh sebagai hasil pendengaran dari orang lain, “tidak
mempunyai nilai sebagai alat bukti”. Keterangan saksi di sidang pengadilan
berupa keterangan ulangan dari apa yang didengarnya dari orang lain, tidak
dapat dianggap sebagai alat bukti.
3.
“pendapat” atau “rekaan” yang saksi peroleh
dari hasil pemikiran, bukan merupakan keterangan saksi. Penegasan ini sesuai
dengan ketentuan Pasal 185 ayat (5) KUHAP. Oleh karena itu, setiap keterangan
saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi, harus dikesampingkan
dari pernbuktian dalarn membuktikan kesalahan terdakwa. Keterangan yang
bersifat dan berwarna pendapat dan pemikiran pribadi saksi, tidak dapat dinilai
sebagai alat bukti.
4.
Keterangan saksi harus diberikan di sidang
pengadilan.
Agar
supaya keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus
yang “dinyatakan” di sidang pengadilan. Hal ini sesuai dengan penegasan Pasal
185 ayat (1) KUHAP. Kalau begitu, keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang
apa yang didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri atau dialaminya sendiri
mengenai suatu peristiwa pidana, baru dapat bernilai sebagai alat bukti apabila
keterangan itu saksi nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan yang dinyatakan
di luar sidang pengadilan (outside the court) bukan alat bukti, tidak
dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
·
Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak
cukup.
Hal ini
terdapat pada prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP.
Supaya keterangan saksi dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan seorang
terdakwa harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang-kurangnya dengan dua alat
bukti. Keterangan seorang saksi saja, baru bernilai sebagai satu alat bukti
yang harus ditambah dan dicukupi dengan alat bukti lain.
Jadi,
bertitik tolak dari ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan seorang
saksi saja belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan
kesalahan terdakwa, atau “unus testis nullus testis“.
Persyaratan
yang dikehendaki oleh Pasal 185 ayat (2) KUHAP adalah:
1.
untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling
sedikit harus didukung oleh “dua orang saksi”,
2.
atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari
seorang saja maka kesaksian tunggal itu harus “dicukupi” atau “ditambah” dengan
salah satu alat bukti yang lain.
Selanjutnya,
dalam praktik agar keterangan saksi mempunyai nilai pembuktian pada dasarnya
keterangan saksi tersebut haruslah memenuhi:
1.
Syarat Formal.
Perihal syarat formal ini dalam praktik asasnya bahwa
keterangan saksi harus diberikan dengan di bawah sumpah/janji menurut cara
agamanya masing-masing bahwa ia akan memberi keterangan sebenarnya dan tidak
lain dari pada yang sebenarnya (Pasal 160 ayat (3) KUHAP). Apabila keterangan
seorang saksi tanpa sumpah meskipun sesuai satu sama lain bukanlah merupakan
alat bukti. Akan tetapi, jikalau keterangan tersebut selaras dengan saksi atas
sumpah, keterangannya dapat dipergunakan sebagai alat bukti sah yang lain
(Pasal 185 ayat (7) KUHAP). Asas “Unus testis nullus testis” yang
terdapat dalam Pasal 185 ayat (2) yaitu: “Keterangan seorang saksi saja tidak
cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang
didakwakan kepadanya”. Isi pasal ini menjelaskan bahwa satu alat bukti tidak
dapat membuktikan bahwa terdakwa bersalah.
2.
Syarat Materiil.
Perihal syarat materiel dapat disimpulkan dari ketentuan
Pasal 1 angka 27 jo Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang ditentukan bahwa: Pasal 1
angka 27 KUHAP “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan
di sidang pengadilan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia
lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dan pengetahuannya
itu.” Pasal 185 ayat (1) KUHAP “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa
yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”.
Dengan
demikian, jelaslah sudah terhadap pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dan
hasil pemikiran saja dan beredar di luar persidangan, bukan merupakan
keterangan saksi (Pasal 185 ayat (5) KUHAP).
Dalam
menilai kebenaran keterangan seorang saksi menurut ketentuan Pasal 185 ayat (6)
KUHAP, Hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan aspek-aspek:
1.
Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan
yang lain;
2.
Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat
bukti yang lain;
3.
Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk
memberi keterangan yang tertentu ;
4.
Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala
sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu
dipercaya.
No comments:
Post a Comment