DASAR-DASAR PERADILAN TATA USAHA NEGARA
1.
Tujuan
Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara,
Karena tugas, pekerjaan, fungsi, dan kewenangan negara (negara diwakili
oleh Aparatur Pemerintah, dalam hal ini disebut “Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara) sedemikian luas dan besar, serta karena hubungan yang intens dengan
masyarakat; maka sangat terbuka kemungkinan yang besar terjadinya perbedaan
pendapat, perbenturan kepentingan, serta sengketa antara Pemerintah
(Badan/Pejabat TUN) dengan orang atau Badan Hukum Perdata (individu warganegara).
Untuk memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan sengketa tersebut, maka
diperlukan lembaga peradilan yang bertugas dan berwenang mengadili sengketa
tersebut, lembaga peradilan tersebut yakni Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN)
2.
Asas-asas
Peradilan Tata Usaha Negara
3.
Pengertian-pengertian
Dasar
4.
Dasar Hukum
5.
Susunan dan
Kekuasaan Pengadilan
DASAR HUKUM PERATUN
Pembukaan UUD 1945 Alinea IV + Cita-cita Negara Hukum Materiil
![]() |

Pasal
24 dan 25 UUD 1945

TAP MPR
No. IV / MPR / Tahun 1978 Bab IV Tentang GBHN
Pasal 10 U.U. No. 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman
UU No. 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung

1. UU
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Jo.
2. UU
No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas U.U. No. 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
3. UU
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 5 Rahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara
![]() |
UU No. 10 Tahun 1990 Tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
(PT TUN) : Jakarta, Medan, dan Ujung Pandang

--KEPRES No. 52 Tahun 1990 Tentang Pembentukan Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN) Jakarta, Medan, Palembang, Ujung Pandang.
--KEPRES No. 21 Tahun 2004 Tentang Pengalihan Organisasi, Administrasi,
dan Finannsial di Lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan
Peradilan Agama dari Departemen Kehakiman dan HAM
ke Mahkamaah Agung.
--Peratuaran Presiden No. 13 Tahun 2005 Tentang Sekretariat
Mahkamah Agung
SKEMA
ORGANISASI PERATUN
(Pasal 18 UU
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman)



UU No 5 Th 2004


MAHKAMAH
AGUNG
![]() |
|||||||||||||||
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
||||||||||||
![]() |
|||||||||||||||
![]() |
![]() |
||||||||||||||
PERADILAN PERADILAN PERADILAN PERATUN



UMUM AGAMA MILITER
![]() |
UU 8 Th 2004 UU No 7 Th 1989
UU 9 Th 2004
CATATAN: Berdasarkan ketentuan
Pasal 18 UU No 48 Tahun 2009, SEOLAH-OLAH PERATUN dipandang merupakan “sistem
umum” dari suatu peradilan, maksudnya seolah-olah berwenang mengadili semua
sengketa dalam bidang TUN. Padahal sesungguhnya menurut ketentuan yang terdapat
dalam Undang-undang tentang PERATUN, PERATUN sebenarnya hanyalah merupakan
”sistem khusus”, maksudnya hanya berwenang mengadili sengketa dalam bidang TUN
yang diakibatkan oleh keluarnya KTUN. Jadi tidak semua sengketa dalam bidang
TUN menjadi kewenangan PERATUN untuk mengadilinya.

SUSUNAN PERATUN
![]() |
MAHKAMAAH AGUNG
Ps. 2 UU No 5 Th 2004
![]() |
![]() |
PTTUN
Ps 8 (2) UU No 9 Th 2004
![]() |
|||||
![]() |
|||||
![]() |
PTUN
Ps. 8 (1) UU No 9 Th 2004
![]() |
PTUN = Pengadilan Tingkat I (Pertama) dalam lingkungan PERATUN
PTTUN = Pengadilan tingkat Banding dalam lingkungan PERATUN
PERATUN merupakan nama dari salah satu lingkungan peradilan pada
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, yang berwenang memeriksa dan mengadili
sengketa TUN
Singkatan yang benar:
PTUN singkatan dari Pengadilan Tata Usaha Negara
PERATUN singkatan dari Peradilan Tata Usaha Negara
Unsur-unsur Peradilan Tata Usaha Negara / Peradilan Administrasi (Administratieve Rechtspraak), yaitu:
1. Adanya hukum, yakni Hukum
Administrasi Negara/Hukum Tata Usaha Negara yang dapat diterapkan terhadap
suatu perkara;
2. Adanya sengketa hukum yang
konkrit, yang pada dasarnya disebabkan oleh keluarnya KTUN;
3. Adanya minimal 2 (dua) pihak, dan
sekurang-kurangnya salah pihak harus administrasi negara;
4. Adanya badan peradilan yang
berdiri sendiri dan terpisah, yang berwenang memutuskan perkara secara netral
atau tidak memihak;
5. Adanya hukum formal dalam rangka
menerapkan hukum, menemukan ”hukum in
concreto” untuk ditaatinya hukum materiil.
BEDANYA DENGAN:
Unsur-unsur
Upaya Administratif (Administratief
Beroep), yaitu :
1. Adanya suatu perselisihan yang
diajukan oleg seseorang atau badan hukum perdata, sebagai akibat dikeluarkannya
KTUN atau tidak dikeluarkannya KTUN.
2. Penyelesaian
sengketa/perselisihan dilakukan di lingkungan pemerintahan sendiri, baik
melalui prosedur keberatan maupun melalui banding administrasi;
3. Adanya hukum, yakni Hukum
Administrasi Negara yang dapat diterapkan terhadap suatu perkara;
4. Minimal dua pihak dan salah satu
pihak adalah badan/pejabat administrasi;
5. Adanya hukum formal dalam rangka
menerapkan hukum inconcreto untuk menjamin ditaatinya hukum material.
ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERATUN
1.
Asas Praduga
Rechtsmatig ( vermoeden van
rechtmatigheid = praesumptio iustae causa ).
Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa harus selalu
dianggap rechtmatig ( benar menurut
hukum), sampai kemudian ada
pembatalannya oleh yang berwenang. Dengan asas ini, gugatan tidak menunda
pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang sedang digugat. ( Lihat
Pasal 67 Ayat (1) UU No 5 Tahun 1986).
2.
Asas Pembuktian Bebas
Hakim yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda dengan ketentuan
Pasal 1865 BW (KUH Perdt). Asas ini dianut dalam Pasal 107 UU No. 5 Tahun 1986,
dan dibatasi oleh Pasal 100.
3. Asas Keaktifan Hakim (Dominus Litis)
Keaktifan hakim dimaksudkan untuk
mengimbangi kedudukan para pihak, karena Tergugat adalah Pejabat atau Badan
Tata Usaha Negara, sedangkan Penggugat adalah orang atau Badaan Hukum Perdata. Penerapan asas ini terhadapat
dalam ketentuan Pasal 58, 63, Ayat (1), (2), Pasal 80 dan 85 UU No 5 Tahun 1986.
4. Asas Putusan Pengadilan
mempunyai Kekuataan mengikkat “Erga
Omnes”.
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa hukum publik, dengan demikian
putusan Pengadilan TUN berlaku bagi siapa saja, tidak hanya berlaku bagi pihak
yang berperkara saja.
KONSEKUENSI
ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERATUN
I. Asas Praduga Rechtmatig (Vermoeden Van
Rechtmatigheid = Praesumtio Iustae Causa):
1. Gugatan
tidak menunda pelaksanaan KTUN yang sedang digugat;
2. Diperlukan adanya suatu “Acara Singkat”;
3. Tidak
dikenal adanya “provisionele vonnis”.
Sehingga tidak terdapat adanya “uitvoerbaar
bij vooraad”
4. KTUN yang
digugat hanya “dapat dibatalkan” dan bukan “batal demi hukum”
II. Asas Pembuktian Bebas (Vrij Bewijs):
1. Dalam melakukan pembuktian,
hakim tidak tergantung pada fakta yang dikemukakan para piahak (aspek luas
pembuktian)
2. Hakim yang menetapkan beban
pembuktian (aspek pembagian beban pembuktian)
3. Tidak dikehendaki adanya
ketentuan yang mengikat hakim dalam memilih alat-alat bukti (aspek alat-alat
bukti)
4. Penilaian pembuktian
sepenuhnya diserahkan kepada hakim (aspek penilaian penghargaan pembuktian)
III. Asas Keaktifan Hakim (Actieve Rachter = Dominus Litis)
1. Keaktifan
selama proses pemeriksaan sengketa sepenuhnya terletak pada hakim;
2. Hakim
berwenang mengadakan Pemeriksaan Persiapan untuk mengetahui kelengkapan
gugatan, sehingga pemeriksaan di persidangan harus dianggap bahwa gugatan telah
sempurna;
3. “Ultra petita” tidak dilarang, sehingga
adanya “reformatio in peius” menjadi
dimungkinkan;
4. Dalam melakukan pengujian keabsahan, hakim
tidak terikat pada alasan mengajukan gugatan yang diajukan oleh Penggugat.
IV. Asas “erga omnes”
1. Tidak perlu adanya diktum putusan hakim yang
menyatakan agar pihak-pihak tertentu untuk mentaati Putusan Pengadilan yang
bersangkutan;
2.
Intervensi
tidak mutlak adanya, pihak ketiga yang sangat berkepentingan cukup didengar
sebagai saksi;
3.
dihapuskannya
Pasal 118 UU Nomor 5 Tahun 1986
BAGAN ALUR / JALUR BERSENGKETA
MELALUI PERATUN
![]() |
MAHKAMAH AGUNG

PT TUN PT
TUN
( Banding)
Tingkat I
Ps 51 (1)
Ps 51 (3)
![]() |
![]() |
||||||
![]() |
![]() |
||||||
PTUN
Upaya
Ps. 50
Administratif




Ps 48
![]() |


Orang /
Badan Hukum Perdata
menggugat
Ps 53 (1)

PENJELASAN GAMBAR BAGAN:




Orang
atau Badan Hukum Perdata (BHP) yang mengajukan gugatan ke PERATUN, jalurnya
tidak selalu melalui jalur biasa yaitu dari : PTUN PT TUN MA seperti jalur berperkara di
Peradilan Umum ( PN PT MA).
Terhadap suatu SENGKETA TUN TERTENTU yang memenuhi rumusan Ps 48 UU No 5
Thn 1986, maka jalur berperkaranya harus melalui Upaya Administratif terlebih
dahulu, dan apabila belum puas terhadap Keputusan Upaya Administratif, orang
atau BHP langsung menggugatnya ke Pengadilan Tinggi TUN (PT TUN).
Kapan dapat diketahui bahwa terhadap suatu sengketa TUN tertentu harus
ditempuh Upaya Administratif ?!
Yaitu: “ Dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasaar dikeluarkannya KTUN ybs, dapat dilihat apakah terhadap suatu KTUN itu
terbuka atau tidak terbuka kemungkinan untuk ditempuh suatu Upaya
Administratif. (Lihat Penjelasan Ps 48 Ayat (1) Alinea terakhir ).
UPAYA ADMINISTRATIF (UA)
Adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh orang atau Badan Hukum
Perdata apabila dia tidak puas terhadap suatu KTUN. Prosedur itu dilaksanakan
di lingkungan Pemerintah sendiri.
Upaya Administratif terdiri dari
dua bentuk, yaitu:
1. KEBERATAN, yakni dalam hal penyelesaian KTUN tersebut
harus dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan Keputusan
itu. Contoh : Ps 25 UU No 6 Th 1983 Tentang Ketentuan Umum Perpajakan.
2. BANDING ADMINISTRATIF, yakni dalam
penyelesaiannya harus dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari
yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan.
Contoh Banding Administratif:
n Keputusan Majelis Pertimbangan
Pajak ( MPP )
n Keputusan Badan Pertimbangan Kepegawaian, berdasarkan PP No 30 Th 1980 Tentang
Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
n Keputusan Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Pusat ( P4P )
n Keputusan Gubernur berdasarkan Ps 10 Ayat (2) UU
Gangguan.
BERBEDA dengan prosedur di
PERATUN, maka pada Banding Administratif atau Prosedur Keberatan dilakukan
penilaian secara lengkap, baik dari segi penerapan hukum maupun dari segi
kebijaksanaan oleh instansi yang memutus.

Pasal 48 UU No 9 Th 2004:
(1). Dalam hal suatu Badan atau
Pejabat TUN diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan
untuk menyelesaikan secara administratif sengketa TUN tertentu, maka sengketas
TUN tersebut harus diselesaikan melalui Upaya Administratif yang tersedia;
(2). Pengadilan baru berwenang
memeriksa, memutus, dan mnyelesaikan sengketa TUN sebagaimana dimaksud dlm Ayat
(1), jika seluruh Upaya Administratif
ybs telah digunakaan.
LIHAT DAN BACA JUGA PENJELASAN PASAL 48.
SKEMA KOMMPETENSI ABSOLUT PERATUN
( Kewenangan Mutlak dari segi
Materiil )
![]() |
L Limitasi Ps 48
Keterangan
Gambar Skema Kompetensi Absolut :
Pasal 47
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara mengatur
bahwa pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaian
sengketa Tata Usaha Negara.
Sengketa Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal 1 angka 4 Undang- undang Nomor
5 Tahun 1986 (sekarang Pasal 1 angka 10 UU Nomor 51 Tahun 2009) yaitu sebagai
sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara,antara orang atau badan
hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun
di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk
sengketa kepegawaian berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Unsur-unsur
sengketa TUN :
1. Sengketa yang timbul dalam bidang TUN
2.
Antara orang atau Badan Hukum
Perdata dengan Badan atau Pejabat T U N;
3.
Sebagai akibat dikeluarkannya
KTUN, termasuk sengketa kepegawaian, berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Sengketa Tata Usaha Negara itu ditimbulkan oleh adanya atau
dikeluarkannya suatu Keputusan Tata
Usaha Negara (KTUN), oleh karena itu Keputusan Tata Usaha Negara menjadi
dasar lahirnya Sengketa Tata Usaha
Negara
Keputusan
Tata Usaha Negara, menurut Pasal 1 angka 3 (sekarang
Pasal 1 angka 9 UU Nomor 51 Tahun 2009) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, dimaksudkan
sebagai suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang
berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku, yang bersifat kongkrit, individual, dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata.
Unsur-unsur Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan Pasal 1 angka 3 dan
Penjelasannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, adalah sebagai berikut:
a.
Penetapan Tertulis
Istilah
penetapan tertulis terutama menujukan kepada isi dan bukan kepada bentuk
keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Keputusan
itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukan bentuk
formalnya seperti Surat Keputusan Pengangkatan dan sebagainya. Persyaratan
tertulis itu diharuskan untuk kemudaham segi pembuktian, sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat
tertulis tersebut dan akan merupakan suatu Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-undang ini apabila sudah
jelas:
-
Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara mana yang mengeluarkannya;
-
Maksud
serta mengenai hal apa isi tulisan itu;
-
Kepada siapa tulisan itu
ditunjukan dan apa yang ditetapkan didalamnya.
b. Dikeluarakan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau
Pejabat di pusat dan daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif.
c. Berisi Tindakan Hukum Tata Usaha Negara
Tindakan Hukum Tata Usaha
Negara yaitu tindakan hukum yang bersumber pada suatu ketentuan Hukun Tata
Usaha Negara yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain.
d.
Bersifat kongkrit, individual
dan final
Bersifat kongret artinya objek yang diputuskan dalam KTUN itu tidak abstrak tetapi
berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, umpamanya Keputusan mengenai rumah si
”A”, ijin usaha bagi Si “ B’, pemberhentian Si “A’ sebagai Pegawai Negeri.
Bersifat Individual
artinya keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi
tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju lebih dari
seorang maka tiap-tiap nama orang yang terkena Keputusan itu, disebutkan. Umpamanya
keputusan tentang pembongkaran atau pelebaran jalan dengan lampiran yang
menyebutkan nama-nama orang yang terkena Keputusan tersebut.
Bersifat
Final artinya sudah definitif dan karenanya dapat
menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi
lain belum bersifat final karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau
kewajiban pada pihak yang bersangkutan. Umpamanya, keputusan penangkapan
seorang pegawai negeri memerlukan persetujuan dari Badan Administrasi
Kepegawaian Negara.
Unsur-unsur K T U N sebagi mana tercantum dalam Pasal 1 angka 3
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 ternyata belum tuntas, ternyata terdapat pengecualian berupa pengurangan
untuk hal-hal yang tercantum dalam Pasal 2 dan pengecualian yang berupa tambahan pada hal-hal yang tercantum
dalam Pasal 3.
Menurut Pasal 2, yang tidak
termasuk dalam pengertian keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini
:
a.
Keputusaan Tata Usaha Negara
yang merupakan perbuatan hukum perdata;
b.
Keputusan Tata Usaha Negara
merupakan pengaturan yang bersifat umum;
c.
Keputusan Tata Usaha Negara
yang masih memerlukan persetujuan;
d.
Keputusan Tata Usaha Negara
yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
e.
Keputusan TUN yang dikeluarkan
atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
f.
Keputusan TUN mengenai tata
usaha negara Tentara Nasional Indonesia;
g.
Keputusan KPU baik di pusat
maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.
Pasal 3 yang merupakan pengecualian yang berupa tambahan, mengatur sbb:
(1) Jika suatu Badan atau Pejabat TUN tidak
mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal
tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara
(2) Jika suatu Badan atau Pejabata TUN tdk
mengeluarkan keputusan yg dimohon, sedangkan jangka waktu sebagai mana ditentukan
dlm peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat
TUN tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
(3) Dalam hal peraturan peundang-undangan yang
bersangkutan rtidak menentukan jangka waktu sebagai mana dimaksud dalam ayat
(2); maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohobnan,
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah
mengeluarkan kepurtusan penolakan.
Isi
ketentuan yang tercantum dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986, dapat ditarik pengertian bahwa yang tercantum dalam Pasal 2 sebenarnya merupakan suatu KTUN, akan
tetapi menurut sifatnya oleh undang-undang ini dianggap bukan sebagai KTUN, sedangkan hal-hal yang tercantum dalam Pasal 3
UU Nomor 5 Tahun 1986 sebenarnya bukan
merupakan KTUN, tetapi menurut sifatnya oleh Undang-undang ini dianggap sebagai KTUN.
Kompetensi Absolut tersebut di atas
masih dilimitasi oleh suatu
keadaan sebagaimana tercantum dalam pasal 49, yaitu bahwa :
“Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
sengketa TUN tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan:
dalam waktu perang keadaan bahaya,keadaan bencana alam atau keadaan luar biasa
yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam
keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan”
KESIMPULAN KOMPETENSI ABSOLUT
PERATUN :

Kompetensi absolut PERATUN dapat diterangkan sebagai berikut: menurut
Pasal 47 wewenang PERATUN mengadili sengketa Tata Usaha Negara, Sengketa Tata
Usaha Negara menurut Pasal 1 Angka 4 ditimbulkan sebagai akibat dikeluarkannya
Keputusan Tata Usaha Negara, sedangkan pengertian Keputusan Tata Usaha Negara
tercantum dalam Pasal 1 Angka 3. Isi rumusan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut,
ternyata tidak tuntas. Terhadap rumusan tersebut masih terdapat pengecualiannya
yaitu berupa pengurangan pada hal-hal yang tercantum dalam Pasal 2, dan
penambahan pada hal-hal yang terdapat dalam Pasal 3,
serta masih lagi dilimitasi oleh keadaan yang tercantum dalam Pasal 48 dan 49.
TINDAKAN PEMERINTAHAN

( Bestuurshandeling)
![]() |
Tindakan Materiil
Tindakan Hukum
(Feitelijke Handelingen)
(Rechtshandelingen)
![]() |
Tindakan Hukum
Privat
Tindakan Hukum Publik

![]() |

Berbagai Pihak Sepihak
![]() |
Umum
Individual
HAK GUGAT DALAM PERATUN
( Pasal 53 Ayat (1) UU No 9 Th
2004)
“Orang atau Badan Hukum Perdata (BHP) yang
merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN, dapat mengajukan gugatan
tertulis kepada Pengadilan yang berwenang, yg berisi tuntutan agar KTUN yg
disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dgn atau tanpa disertai
tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi”
1. Yang mempunyai hak gugat adalah orang atau badan
hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN. Berarti harus ada hubungan hukum antara orang/BHP dengan suatu
KTUN. Hubungan hukum disini yakni berupa suatu “kerugian” yg diakibatkan
keluarnya suatu KTUN. Orang/BHP yang tidak dirugikan oleh suatu KTUN tidak
dapat menggugat. Apabila orang/BHP yang
tidak dirugikan tetapi menggugat, berarti ybs dapat dianggap mengada-ada/tidak
berdasar.
2. Gugatan harus dalam bentuk
tertulis, dan berisi tuntutan (petitum)
pokok agar KTUN yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah, sedangkan
tuntutan (petitum) tambahan berupa tuntutan
ganti rugi dan atau rehabilitasi.
PENJELASAN PASAL 53 AYAT (1):
Sesuai dengan ketentuan Ps 1
angka 4, maka hanya orang / BHP yang berkedudukan sebagai subyek hukum saja
yang dapat mengajukan gugatan ke PERATUN untuk menggugat KTUN. Badan atau
Pejabat TUN tdk dapat mengajukan gugatan ke PTUN untuk menggugat KTUN. Selanjutnya
hanya orang/BHP yg kepentingannya terkena oleh akibat hukum KTUN yang
dikeluarkan dan karenanya yg bersangkutan merasa dirugikan, dibolehkan
menggugat KTUN. Gugatan disyaratkan dlm bentuk tertulis, krn gugatan itu akan
menjadi pegangan Pengadilan dan para pihak selama pemeriksaan. Mereka yang
tidak pandai baca tulis dapat mengutarakan keinginan untuk menggugat kepada
Panitera Pengadilan yang akan membantu merumuskan gugatannya dalam bentuk tertulis.
Berbeda dengan gugatan di muka
Pengadilan Perdata, maka apa yang dapat dituntut di muka PTUN terbatas pada
satu macam tuntutan pokok yang berupa tuntutan agar KTUN yang telah merugikan
kepentingan Penggugat itu dinyatakan batal atau tiidak sah. Tuntutan tambahan
dibolehkan hanya berupa tuntutan ganti rugi dan hanya dalam sengketa
kepegawaian saja adanya tuntutan tambahan lainnya yang berupa tuntutan
rehabilitasi.
CATATAN: PASAL 1 ANGKA 6 UU Nomor 5 Tahun 1986
Tentang PERATUN : Penggugat adalah selalu Orang atau B.H.P., sedangkan
Tergugatnya adalah Badan atau Pajabat TUN.
ALASAN-ALASAN MENGGUGAT
A. DALAM PASAL 53 Ayat (2) UU NO. 5 TAHUN 1986:
Alasan-alasan
yang dapat digunakan dalam gugatan, adalah :
a. KTUN yang digugat itu
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Dalam Penjelasan, yg dimaksud bertentangan dgn peraturan per U-U an:
1. Bertentangan dengan ketentuan
–ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang bersifat prosedural/formal
2. Bertentangan dalam
ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat material/subtansial
3. Dikeluarkan oleh Badan atau Pajabat TUN yang
tidak berwenang.
b.
Badan/Pejabat pada waktu
mengeluarkan KTUN, telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya
wewenang tersebut.
Dalam Penjelasan:
Dasar pembatalan ini sering disebut penyalahgunaan wewenang. Setiap
penentuan norma-norma hukum di dalam tiap peraturan itu tentu dengan tujuan dan
maksud tertentu. Oleh karena itu penentuan maksud tersebut harus selalu sesuai
dengan tujuan dan maksud khusus diadakannya peraturan yang bersangkutan. Dengan
demikian peraturan yang bersangkutan tidak dibenarkan untuk diterapkan guna
mencapai hal-hal yang di luar maksud
tersebut. Dengan begitu wewenang materiil Badan Atau Pejabat TUN yang
bersangkutan dalam mengeluarkan KTUN juga terbatas pada ruang lingkup maksud
bidang khusus yang telah ditentukan dalam peraturan dasarnya.
Contoh: KTUN memberi ijin bangunan atas sebidang
tanah, padahal dalam peraturan dasarnya tanah tersebut diperuntukan untuk jalur
hijau.
KESIMPULAN : Badan atau Pejabat TUN pada waktu
mengeluarkan atau tidak mengeluarkan KTUN, telah melakukan penyalahgunaan
wewenang (Detournement de pouvoir)
c.
Badan/Pejabat TUN pada waktu
mengeluarkan atau tidak mengeluarkan KTUN, setelah mempertimbangkan semua
kepentingan yang tersangkut dengan keputusannya itu, seharusnya tidak sampai
pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut.
DALAM PENJELASAN:
Dasar pembatalan yang terdapat dalam Pasal 53 Ayat (2) Huruf c
sering disebut sebagai larangan berbuat
sewenang-wenang (willekeur).
Suatu peraturan yang memberikan wewenang kepada Badan atau Pejabat TUN ada
kalanya mengatur secara sangat terinci dan ketat apa yang harus dilaksanakan
dan mengikat Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam melakukan urusan
pemerintahan.
Pengaturan
yg demikian mengikat Badan atau Pejabat TUN, shg Badan atau Pejabat TUN yg
bersangkutan itu tinggal malaksanakannya secara harfiah.
Dlm Pemerintahan yg terikat Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan
bertugas:
1.
Mengumpulkan fakta yang
relevan;
2. Menerapkan ketentuan perundang-undangan yg
bersangkutan secara otomatis.
Dalam hal sedemikian itu pengadilan dalam menguji
dari segi hukum keputusan yang dikeluarkan juga lebih mudah karena hanya:
1. Melihat fakta yang releven yang telah
dikumpulkan
2. Mencocokanya dengan rumusan dalam
peraturan dasarnya.
Jarang sekali ketetapan penerapan ketentuan
dalam peraturan itu dilihat dan segi asas-asas tidak tertulis. Dalam hal
ketentuan tentang tugas dan wewenang yang harus dilaksanakan itu dirumuskan
sedemikian rupa dalam peraturan dasarnya, sehingga dapat ditafsirkan diartikan
bahwa dalam melaksanakannya Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara memiliki
kelonggaran untuk menentukan kebijaksanaan, maka wewenang pengadilan pada waktu
menguji dari segi hukum Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar
ketentuan-ketentuan tersebut dilakukan secara marginal, artinya sampai batas
tertentu.
Apapun
yang diputuskan dalam KTUN itu harus dianggap sesuai dengan hukum (tidak
bersifat melawan hukum), asal tidak sampai merupakan merupakan keputusan yang
bersifat sewenang-wenang. Sekalipun Pengadilan tidak sependapat dengan
kebijaksanaan yang diputuskan dalam keputusan itu, kalau keputusan itu tidak
dapat dinilai sebagai keputusan yang bersifat sewenang-wenang, maka Pengadilan
harus menerimanya dan menganggapnya sah menurut hukum.
Dalam
pemerintahan yang bebas Badan atau Pejabat TUN ybs bertugas:
1.
Mengumpulkan fakta yang
relevan;
2.
Mempersiapkan, mengambil dan
melaksanakan keputusan yang bersangkutan dengan memperhatikan asas-asas hukum
yang tidak tertulis.
Dengan penuh kelonggaran menentukan sendiri isi,
cara menyusun dan saat mengeluarkan keputusan itu. Pengujian dan segi hukum
yang dilakukan pengadilan terhadap KTUN demikian itu terbatas pada penelitian;
apakah semua fakta yg relevan itu telah dikumpulkan untuk ikut dipertimbangkan
dalam KTUN ybs;
Contoh :
Dlm hal keputusan yg digugat itu dikeluarkan atas dasar fakta yg
kurang lengkap, maka keputusan yang demikian itu telah terjadi atas kemauan
sendiri, bukan atas dasar hukum, sehingga merupakan keputusan yg bersifat
sewenang-wenang.
Apakah Badan itu Pejabat Tata Usaha Negara
yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan pada waktu
mempersiapkan, memutuskan dan melaksanakannya, telah memperhatikan asas-asas
yang berlaku.
Contoh :
Keputusan pensiun
seorang pegawai negri dgn alasan kesehatan, yg tidak dilengkapi dengan pendapat
Dewan Pertimbangan Kesehatan Pegawai.
Apakah
keputusan yang diambil juga akan sama dengan keputusan yang sedang digugat
kalau hal-hal tersebut pada angka 1 dan 2 telah diperhatikan.
Contoh :
Mnrt Psl 7 ayat (2), U-U No
22 Thn 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perbuatan; Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Daerah (P4D) wajib memberikan perantaraan ke arah penyelesaian secara damai dalam
suatu perselisihan perburuhan dgn jalan mengadakan perundingan dengan kedua
belah pihak yang berselisih. Kemudian, barulah ia dapat mengambil keputusan
yang bersifat mengikat kedua belah pihak. Apabila perantaraan P4D itu dilakukan
dgn cara berat sebelah atau tidak jujur, maka keputusan yang diambilnya
mengenai perselisihan itu dapat dianggap sbg keputusan sewenang-wenang.
Alasan lain yang dapat dijadikan dasar untuk
mengajukan gugatan. Alasan itu yaitu bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang
digugat bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintah yang Baik., yang
merupakan norma-norma tidak tertulis. Beberapa diantara norma-norma tersebut
seperti larangan willekuer dan larangan de’tourmenent de pourvoir
kemudian dimuat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 (lihat Pasal 53 Ayat (2) b
dan c) sebagai dasar-dasar pembatalan bagi hakim Tata Usaha Negara. Norma-
norma tersebut di Indonesia dan di Belanda hanya dapat diterapkan pada tindakan
pemerintahan yang bersifat individual dan peraturan kebijaksanaan, tetapi tidak
diterapkan atas peraturan-peraturan umum yang bersifat mengikat yang berasal
dari pemerintah.
KESIMPULAN PASAL 53 Ayat (2) Huruf c :
Badan atau Pejabat TUN pada waktu
mengeluarkan KTUN atau pada waktu tidak mengeluarkan KTUN, telah berbuat
sewenang-wenang.
ALASAN-ALASAN
MENGGUGAT (Ps 53 (2) Huruf a,b,c UU No 5
Th 1986:
Kegunaannya:
1. Memberi petunjuk kepada Penggugat dalam
menyusun gugatannya, agar dasar gugatan mengarah kepada alasan yang dimaksudkan
pada huruf a, b, c.
2. Merupakan dasar pengujian
dan dasar pembatalan bagi pengadilan dalam menilai apakah KTUN yang digugat itu
bersifat melawan hukum atau tidak, untuk kemudian keputusan yang digugat itu
perlu dinyatakan batal atau tidak.
B. DALAM PASAL 53 AYAT (2) UU Nomor 9 Tahun 2004
Alasan-alasan yang dapat digunakan
sebagai dasar gugatan dirumuskan dalam Pasal 53 Ayat (2) UU No 9 Tahun 2004 yaitu:
a. Keputusan
Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undanagan yang berlaku;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang
digugat itu bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik.
PERHATIAN: Pasal 53 Ayat (2) Huruf a dalam UU No 5
Th 1986 dan UU No 9 Th 2004, isinya sama.
Penjelasan Pasal 53 Ayat (2) Huruf b UU No
9 Tahun 2002 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik” adalah sebagaimana dimaksud
dalam U.U. No 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan
Bebas dari KKN, yang meliputi:
· Asas Kepastian Hukum; Asas Tertib
Penyelenggara Negara; Asas Keterbukaan; Asas Proporsionalitas; Asas
Profesionalitas; dan Asas Akuntabilitas.
Penjelasan Pasal 3 UU No 28 Tahun 1999 menjelaskan maksud dari
masing-masing Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, sebagai berikut:
1. Asas
Kepastian Hukum adalah Asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan,
kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara;
2. Asas Tertib Penyelenggaraan
Negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian,
dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara;
3. Asas Kepentingan Umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan
umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif;
4. Asas Keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan
negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi,
golongan,dan rahasia negara;
5.
Asas Proporsional adalah
asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggaraan
negara;
6. Asas profesional adalah asas yang mengutamakan keahlian yang
berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
7. Asas Akuntabilitas adalah
asas yg menentukan bhw setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan
penyelenggaraan negara hrs dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat atau
rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
ANALISIS MAKSUD PASAL 53 AYAT (2) HURUF b UU Nomor 9 Tahun 2004:
Menurut Pasal 53 Ayat (2) Huruf b
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, salah satu alasan yang dapat digunakan
sebagai dasar untuk menggugat di Peradilan Tata Usaha Negara adalah karena
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan Asas-asas Umum
Pemerintahan Yang Baik (AUPB)
Hukum yang tidak tertulis dalam
HAN lazim disebut dengan “Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik“ (Algemene beginselen van behoorlijk bestuur).
Sebagian dari AUPB sudah menjadi
kaidah hukum tertulis dan terpencar dalam berbagai peraturan hukum positif,
tetapi walaupun sebagian dari asas itu sudah berubah menjadi kaidah hukum,
namun sifatnya tetap sebagai asas
hukum.
Dicantumkannya AUPB dalam
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 menunjukan bahwa AUPB yang dahulunya merupakan
hukum tidak tertulis, yang bersifat nilai-nilai kesusilaan, sekarang sudah
diformalkan dan dipertegas eksistensinya ke dalam suatu undang-undang (hukum
tertulis). AUPB dikenal sebagai suatu
norma yang nilai-nilainya berasal dari nilai-nilai hukum dan keadilan
masyarakat.
Pada waktu masih berlaku
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, rumusan AUPB belum dicantumkan secara tegas
dalam rumusan pasalnya, namun hal ini tidak menutup kemungkinan beberapa asas hukum yang tidak tertulis digunakan untuk menjadi salah satu
dasar pembatalan suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Kemungkinan ini dapat
dilihat dalam Penjelasan Pasal 53 Ayat (2) huruf ( c ) Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986 yang menjelaskan bahwa : “dalam “pemerintahan yang bebas”, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
bertugas antara lain mempersiapkan, mengambil, dan melaksanakan suatu keputusan
dengan memperhatikan asas-asas hukum
yang tidak tertulis. “
Keputusan Tata Usaha Negara yang
dihasilkan dari suatu “pemerintahan yang bebas” dinamakan Keputusan Tata Usaha
Negara yang bebas, sedangkan Keputusan Tata Usaha Negara yang dihasilkan dari
suatu “pemerintahan yang terikat” dinamakan Keputusan Tata Usaha Negara yang
terikat.
Penjelasan Pasal 53 Ayat (2) huruf
(c) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tersebut mengisyaratkan dipakainya AUPB
sebagai salah satu “tolok ukur”
untuk menilai (sebagai alat uji) apakah
dalam suatu KTUN mempunyai sifat melawan hukum atau tidak. Dengan kata
lain Penjelasan tersebut mengamanatkan, bahwa hakim akan membatalkan suatu KTUN
yang bertentangan AUPB.
AUPB pada saat berlakunya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, disamping tersirat dalam Penjelasannya, juga
dapat dilihat dalam Surat Mahkamah Agung Nomor 52/Td.TUN/III/1992 tertanggal 24
Maret 1992, pada Bagian Tentang Diktum Putusan yang merumuskan bahwa dalam hal
hakim mempertimbangkan adanya Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik sebagai
alasan pembatalan Keputusan Tata Usaha Negara, maka hal tersebut tidak perlu dimasukan dalam Diktum Putusannya,
melainkan cukup dalam Pertimbangan Putusan dengan menyebut asas mana dari
Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik yang dilanggar, dan akhirnya harus
mengacu pada Pasal 53 Ayat (2).
Menurut Surat Mahkamah Agung tersebut berarti AUPB tidak
dapat dijadikan sebagai tolok ukur (dasar menguji ) secara tersendiri untuk menilai batalnya suatu Keputusan Tata
Usaha Negara, tetapi hakim harus mengkategorikaan AUPB yang dipakai sebagai
alasan putusannya, dimasukan ke dalam salah satu dari ketiga alasan yang
terdapat dalam Pasal 53 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Dan dalam
Putusannya, hakim tidak diperkenankan memasukan AUPB menjadi salah satu Diktum
Putusan.
Salah satu tujuan pembangunan hukum
di Indonesia adalah menciptakan produk hukum yang dapat mempercepat tercapainya
suatu “Good and Clean Governance” dengan
cara meletakan asas-asas pemerintahan sebagai dasar penyelenggaraan
negara dan menjadikannya sebagai spirit moralitas dalam pelaksanaan tugas,
fungsi, dan kewenangan yang dimiliki.
PERATUN, di samping ditujukan sbg saluran
para pencari keadilan yang dirugikan oleh tindakan melanggar hukum Badan atau
PejabatTUN, juga ditujukan guna mempercepat terciptanya “Good Governance”. Dgn
adanya AUPB, Badan atau Pejabat
TUN akan mjd lebih hati-hati dlm melaksanakan tugas dan fungsinya.
FUNGSI DAN ARTI PENTING AUPB, antara
lain:
a.
Bagi Administrasi Negara,
bermanfaat sbg pedoman dlm melakukan penafsiran dan penerapan terhadap
ketentuan2 yg bersifat sumir, samar atau tidak jelas. Kecuali itu sekaligus
membatasi dan menghindari kemungkinan administrasi negara mempergunakan freies
ermessen / melakukan kebijaksanaan (beleid) yg jauh menyimpang dari
ketentuan perundang-undangan. Dengan demikian administrrasi negara diharapkan
terhindar dari perbuataan onrechtmatigedaad, detournement de pouvoir dan
abus de droit, serta ultra vires;
b.
Bagi warga masyarakat pencari
keadilaan, AUPB dapat digunakan sebagai dasar gugatan, dalam bersengketa di
Peradilan Tataa Usaha Negara;
c.
Bagi Hakim PERATUN, dpt
digunakan sbg alat untuk menguji dan membatalkan keputusan yang dikeluarkan
Badan atau Pejabat TUN;
d.
Bagi Badan Legislatif, AUPB
digunakan utk merancang suatu Undang-undang.
Arti
pentingnya memasukan AUPB sebagai salah satu alasan gugatan dalam rumusan pasal
53 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 adalah karena Indonesia termasuk
negara kesejahteraan/welfare state, yaitu suatu negara yang ikut serta
campur tangan dalam semua aspek perikehidupan rakyatnya dalam usahanya mencapai kesejahteraan hidup. Dalam suatu
negara welfare state, Pemerintah
mengemban servis publik/bestuurzorg, dalam rangka servis publik ini,
aparatur pemerintah ( baca: Badan atau Pejabat TUN) mempunyai kebebasan
bertindak (freies ermessen) berdasarkan asas discretionaire de pouvoir yaitu suatu wewenang bertindak
bebas dlm menyelenggarakan pemerintahan, sekalipun tdk ada dasar peraturan atau
karena dasar peraturannya mengenai sesuatu hal tidak jelas. Salah satu wujud tindakan
aparatur pemerintah yg bebas yaitu
perbuatan aparatur pemerintah menerbitkan KTUN yang bebas (vrije bechikking).
Dasar alasan untuk menguji Keputusan
Tata Usaha Negara yang terikat (gebonden beschikking) adalah
dengan menggunakan tolok ukur peraturan perundang-undangan (sebagai hukum
tertulis), sedangkan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang bebas (vrije
beschikking) tolok ukurnya adalah AUPB.
APAKAH PERATUN BERWENANG MENILAI KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH?!
AUPB ditujukan kepada pengujian hanya
terhadap keabsahan secara hukumnya (rechmatige)
saja, tidak untuk melakukan
penilaian terhadap kebijaksanaan/kemanfaatan (doelmatige) suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Hal ini dapat
dilihat dalam Penjelasan Pasal 53 Ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
menjelaskan hal ini dalam kalimat yang berbunyi: “… sekalipun Pengadilan tidak
sependapat dengan kebijaksanaan yang diputuskan dalam keputusan itu, kalau
keputusan itu tidak dapat dinilai sebagai keputusan yang berisi
sewenang-wenang, maka Pengadilan harus menerima dan menganggapnya sah menurut
hukum”. Serta dalam Penjelasan Pasal 48 Ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun
2004 secara tersirat hal tersebut dijelaskan dalam kalimat yang berbunyi:
“…Berbeda dengan prosedur di Peradilan Tata Usaha Negara, maka dalam prosedur
Banding Administrasi ( Administrative Beroep) atau dalam Prosedur
Keberatan dilakukan penilaiaan yang lengkap, baik dari segi penerapan hukumnya
maupun dari segi kebijaksanaan oleh instansi yang memutus”.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 48 Ayat
(1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tersebut, ternyata bahwa Peradilan Tata
Usaha Negara berwenang menguji sah tidaknya Keputusan Tata Usaha Negara hanya
terhadap penilaian dari segi hukumnya (rechtmatige)
saja, sedangkan untuk menilai segi kebijaksanaannya/ manfaatnya (doelmatige) diserahkan kepada Pejabat
Tata Usaha Negara atau instansi atasannya atau instansi lain yang berwenang,
yang masih dalam lingkungan kekuasaan eksekutif.
ALASAN MENGGUGAT
MERUNURUT Ps 53 Ayat (2) UU No 9 Th 2004
![]() |


KTUN DARI
BADAN ATAU PEJABAT TUN
![]() |

DIGUGAT
ORANG ATAU B.H.P. DI PERATUN (SENGKETA TUN)
![]() |
|||
![]() |

DINILAI OLEH
HAKIM
![]() |
|||
![]() |
KTUN TERIKAT DENGAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN

KTUN BEBAS
DENGAN AUPB
![]() |
|||
![]() |

KTUN OLEH
PENGADILAN DINYHATAKAN BATAL ATAU TIDAK SAH
TUGAS DAN WEWENANG PERATUN
![]() |
MENILAI APAKAH SUATU KTUN
MEMPUNYAI SIFAT MELAWAN HUKUM ATAU TIDAK
![]() |
|||
![]() |
YANG DINILAI MELIPUTI:
. WEWENANG
.PROSSEDUR
.MATERI/SUBTANSI
![]() |
|||
![]() |
TOLOK UKUR UNTUK MENILAI:
1. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
2. AUPB
![]() |
|||
![]() |

KTUN
DINYATAKAN BATAL ATAU TIDAK SAH
TENGGANG WAKTU MENGGGUGAT
Ps 55 : Gugatan dapat diajukan
hanya dalam tenggang waktu 90 hari terhitung sejak saat diterimanya atau
diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat TUN.
Bagi pihak yang namanya tersebut dalam KTUN yang digugat, maka
tenggang waktu 90 hari dihitung sejak hari diterimanya KTUN yang
digugat.
Dalam hal peraturan dasarnya menentukan bahwa suatu keputusan itu harus diumumkan,
maka tenggang waktu 90 hari dihitung sejak hari pengumuman tsb.
Dalam hal yang hendak digugat itu merupakan keputusan menurut ketentuan :
a. Ps 3 Ayat (2), maka tenggang waktu 90 hari itu
dihitung setellah lewatnya tenggang waktu yang ditentukan dalam peraturan
dasarnya, yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan.
Contoh:
Permohonan Ijin Mendirikan
Bangunan (IMB) seseorang diterima oleh Pejabat TUN pada tanggal 2 Januari 2006,
apabila ada peraturan yang menentukan bahwa pembuatan IMB harus sudah selesai
umpamanya dua bulan, maka apabila sampai pada tanggal 2 Maret 2006 IMB tidak
keluar, maka Pajabat tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan IMB. Tenggang
waktu menggugat 90 hari dihitung sejak tanggal 2 Maret 2006. Apabila dalam 1
bulan ada 30 hari, maka batas waktu menggugat berakhir pada tanggal 2 Juni
2006.





2 – 1-
2006 2 – 3 –
2006 2 – 6 - 2006



(misalnya)
mengajukan Hrs Selesai Menggugat Daluwarsa
IMB
(90 Hari)
b. Ps 3 Ayat (3), maka tenggang waktu 90 hari itu
dihitung setelah lewatnya batas waktu 4 bulan, yang dihitung sejak tanggal
diterimanya permohonan ybs.
Contoh:
Permohonan IMB seseorang diterima oleh Pejabat TUN pada
tanggal 2 Januari 2006, apabila tidak ada ketentuan yang mengatur tentang berapa lama waktu IMB
harus sudah jadi/terbit, maka apabila 4 bulan setelah tanggal 2 Januari yaitu
tanggal 2 Mei 2006 IMB belum jadi, maka Pejabat TUN tersebut dianggap telah
menolak mengeluarkan IMB. Maka tenggang waktu 90 hari dihitung sejak tanggal 2
Mei 2006, berarti batas waktu menggugat dimulai 2 Mei 2006 dan akan berakhir pada tanggal 2 September 2006 (
catatan: dengan asumsi dalam 1 bulan terdiri dari 30 hari).





2- 1 –
2006 (4 bln) 2-5- 2006 2 Agustus 2006


tdk diatur
Mengajukan Hrs selesai waktu Daluwarsa
IMB
menggugat
(90 hari)
DAFTAR PUSTAKA
1.
1.
Pengantar Hukum Administrasi
Indonesia
Karangan Philipus M. Hadjon dkk.
Penerbit Gajah Mada University Press, Yogayakarta,
1993
2. Usaha Memahami UU Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara ( Buku I dan II)
Karangan Indoharto
Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005
4. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara;
Karangan Riawan W. Tjandra.
Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta, 2005.
5. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
Karangan R. Wiyono.
Penerbit Sinar Grafika, Jakartaa, 2008.
6. Hukum Acara Peradillan
Tata Usaha Negara
Karangan Zairin Harahap
Penerbit P.T. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2001
7. Hukum Acara Peradilan
Tata Usaha Negara di Indonesia
Karangan R. Soegijanto Tjakranegara
Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta, 2002
8. Karakteristik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara
Karangan Suparto Wijoyo
UNAIR Press, Yogyakarta, 2005
9. Peradilan Administrasi dan Upaya Administrasi di Indonesia
Karangan S.F. Marbun
Penerbit UII Press, Yogyakarta, 2003
10. Tiga Dimensi Hukum Administrasi
dan Peradilan Administrasi
Karangan Ridwan
Penerbit FH UII Press
11. Hukum Administrasi Negara
Karangan Ridwan, H.R.
Penerbit UII Press, Yogyakarta, 2006
12. Strategi Menangani Perkara Tata
Usaha Negara
Karangan Darwan
Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1995
13. Hukum Acara Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Administrasi
Karangan Sjachran Basah
Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 1992
1. UU tentang Peradilan Tata Usaha
Negara yang terdiri dari:
-- 1. UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara
-- 2. UU No
9 Tahun 2004 Tentang Perubahan
Atas U.U. No. 5 Tahun 1986 tntang Peradilan Tata Usaha Negara
-- 3. UU
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara
No comments:
Post a Comment