Friday, 20 March 2015

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2003
TENTANG
PERATURAN DISIPLIN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, perlu ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Mengingat:
1.         Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.         Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4168).

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERATURAN DISIPLIN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1.         Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
2.         Disiplin adalah ketaatan dan kepatuhan yang sungguh-sungguh terhadap peraturan disiplin anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
3.         Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah serangkaian norma untuk membina, menegakkan disiplin dan memelihara tata tertib kehidupan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
4.         Pelanggaran Peraturan Disiplin adalah ucapan, tulisan, atau perbuatan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melanggar peraturan disiplin.
5.         Tindakan disiplin adalah serangkaian teguran lisan dan/atau tindakan fisik yang bersifat membina, yang dijatuhkan secara langsung kepada anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
6.         Hukuman disiplin adalah hukuman yang dijatuhkan oleh atasan yang berhak menghukum kepada anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui Sidang Disiplin.
7.         Penempatan dalam tempat khusus adalah salah satu jenis hukuman disiplin yang dijatuhkan kepada anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang telah melakukan pelanggaran disiplin dengan menempatkan terhukum dalam tempat khusus.
8.         Sidang disiplin adalah sidang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran disiplin yang dilakukan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
9.         Atasan adalah setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang karena pangkat dan/atau jabatannya berkedudukan lebih tinggi dari pada anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang lain.
10.       Atasan langsung adalah anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang karena jabatannya mempunyai wewenang langsung terhadap bawahan yang dipimpinnya.
11.       Atasan tidak langsung adalah setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang tidak mempunyai wewenang langsung terhadap bawahan.
12.       Bawahan adalah setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang pangkat dan/atau jabatannya lebih rendah dari Atasan.
13.       Atasan yang berhak menghukum, selanjutnya disingkat Ankum, adalah atasan yang karena jabatannya diberi kewenangan menjatuhkan hukuman disiplin kepada bawahan yang dipimpinnya.
14.       Atasan Ankum adalah atasan langsung dari Ankum.
15.       Provos adalah satuan fungsi pada Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bertugas membantu pimpinan untuk membina dan menegakkan disiplin serta memelihara tata tertib kehidupan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
16.       Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Kapolri adalah pimpinan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penanggung jawab penyelenggaraan fungsi kepolisian.

Pasal 2
(1)        Peraturan Pemerintah ini berlaku bagi:
a.         Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan
b.         mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan tunduk pada hukum yang berlaku bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(2)        Peraturan Pemerintah ini tidak berlaku bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sedang menjalani pidana penjara.

BAB II
KEWAJIBAN, LARANGAN, DAN SANKSI

Pasal 3
Dalam rangka kehidupan bernegara dan bermasyarakat, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib:
a.         setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara, dan Pemerintah;
b.         mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan serta menghindari segala sesuatu yang dapat merugikan kepentingan negara;
c.         menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
d.         menyimpan rahasia negara dan/atau rahasia jabatan dengan sebaik-baiknya;
e.         hormat-menghormati antar pemeluk agama;
f.          menjunjung tinggi hak asasi manusia;
g.         menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang berhubungan dengan tugas kedinasan maupun yang berlaku secara umum;
h.         melaporkan kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan dan/atau merugikan negara/ pemerintah;
i.           bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat;
j.           berpakaian rapi dan pantas.

Pasal 4
Dalam pelaksanaan tugas, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib:
a.         memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat;
b.         memperhatikan dan menyelesaikan dengan sebaik-baiknya laporan dan/atau pengaduan masyarakat;
c.         menaati sumpah atau janji anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia serta sumpah atau janji jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d.         melaksanakan tugas sebaik-baiknya dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab;
e.         memelihara dan meningkatkan keutuhan, kekompakan, persatuan, dan kesatuan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
f.          menaati segala peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku;
g.         bertindak dan bersikap tegas serta berlaku adil dan bijaksana terhadap bawahannya;
h.         membimbing bawahannya dalam melaksanakan tugas;
i.           memberikan contoh dan teladan yang baik terhadap bawahannya;
j.           mendorong semangat bawahannya untuk meningkatkan prestasi kerja;
k.         memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan karier;
l.           menaati perintah kedinasan yang sah dari atasan yang berwenang;
m.        menaati ketentuan jam kerja;
n.         menggunakan dan memelihara barang milik dinas dengan sebaik-baiknya;
o.         menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik.

Pasal 5
Dalam rangka memelihara kehidupan bernegara dan bermasyarakat, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang:
a.         melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat negara, pemerintah, atau Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b.         melakukan kegiatan politik praktis;
c.         mengikuti aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
d.         bekerjasama dengan orang lain di dalam atau di luar lingkungan kerja dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan negara;
e.         bertindak selaku perantara bagi pengusaha atau golongan untuk mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Kepolisian Negara Republik Indonesia demi kepentingan pribadi;
f.          memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya;
g.         bertindak sebagai pelindung di tempat perjudian, prostitusi, dan tempat hiburan;
h.         menjadi penagih piutang atau menjadi pelindung orang yang punya utang;
i.           menjadi perantara/makelar perkara;
j.           menelantarkan keluarga.

Pasal 6
Dalam pelaksanaan tugas, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang:
a.         membocorkan rahasia operasi kepolisian;
b.         meninggalkan wilayah tugas tanpa izin pimpinan;
c.         menghindarkan tanggung jawab dinas;
d.         menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi;
e.         menguasai barang milik dinas yang bukan diperuntukkan baginya;
f.          mengontrakkan/menyewakan rumah dinas;
g.         menguasai rumah dinas lebih dari 1 (satu) unit;
h.         mengalihkan rumah dinas kepada yang tidak berhak;
i.           menggunakan barang bukti untuk kepentingan pribadi;
j.           berpihak dalam perkara pidana yang sedang ditangani;
k.         memanipulasi perkara;
l.           membuat opini negatif tentang rekan sekerja, pimpinan, dan/atau kesatuan;
m.        mengurusi, mensponsori, dan/atau mempengaruhi petugas dengan pangkat dan jabatannya dalam penerimaan calon anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
n.         mempengaruhi proses penyidikan untuk kepentingan pribadi sehingga mengubah arah kebenaran materil perkara;
o.         melakukan upaya paksa penyidikan yang bukan kewenangannya;
p.         melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan, menghalangi, atau mempersulit salah satu pihak yang dilayaninya sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayani;
q.         menyalahgunakan wewenang;
r.          menghambat kelancaran pelaksanaan tugas kedinasan;
s.         bertindak sewenang-wenang terhadap bawahan;
t.          menyalahgunakan barang, uang, atau surat berharga milik dinas;
u.         memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, meminjamkan, atau menghilangkan barang, dokumen, atau surat berharga milik dinas secara tidak sah;
v.         memasuki tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, kecuali karena tugasnya;
w.         melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apa pun untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain;
x.         memakai perhiasan secara berlebihan pada saat berpakaian dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 7
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ternyata melakukan pelanggaran Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dijatuhi sanksi berupa tindakan disiplin dan/atau hukuman disiplin.

Pasal 8
(1)        Tindakan disiplin berupa teguran lisan dan/atau tindakan fisik.
(2)        Tindakan disiplin dalam ayat (1) tidak menghapus kewenangan Ankum untuk menjatuhkan Hukuman Disiplin.

Pasal 9
Hukuman disiplin berupa:
a.         teguran tertulis;
b.         penundaan mengikuti pendidikan paling lama 1 (satu) tahun;
c.         penundaan kenaikan gaji berkala;
d.         penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu) tahun;
e.         mutasi yang bersifat demosi;
f.          pembebasan dari jabatan;
g.         penempatan dalam tempat khusus paling lama 21 (dua puluh satu) hari.

Pasal 10
(1)        Bilamana ada hal-hal yang memberatkan pelanggaran disiplin, penempatan dalam tempat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf g, dapat diperberat dengan tambahan maksimal 7 (tujuh) hari.
(2)        Hal-hal yang memberatkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila pelanggaran dilakukan pada saat:
a.         negara atau wilayah tempat bertugas dalam keadaan darurat,
b.         dalam operasi khusus kepolisian, atau
c.         dalam kondisi siaga.

Pasal 11
(1)        Tindakan disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat dijatuhkan secara kumulatif.
(2)        Hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dijatuhkan secara alternatif atau kumulatif.

Pasal 12
(1)        Penjatuhan hukuman disiplin tidak menghapuskan tuntutan pidana.
(2)        Penjatuhan hukuman disiplin gugur karena pelanggar disiplin:
a.         meninggal dunia,
b.         sakit jiwa yang dinyatakan oleh dokter dan/atau badan penguji kesehatan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 13
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dijatuhi hukuman disiplin lebih dari 3 (tiga) kali dan dianggap tidak patut lagi dipertahankan statusnya sebagai anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat dari dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui Sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

BAB III
PENYELESAIAN PELANGGARAN DISIPLIN

Pasal 14
(1)        Penjatuhan tindakan disiplin dilaksanakan seketika dan langsung pada saat diketahuinya pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(2)        Penjatuhan hukuman disiplin diputuskan dalam sidang disiplin.
(3)        Penentuan penyelesaian pelanggaran Peraturan Disiplin melalui sidang disiplin merupakan kewenangan Ankum.

Pasal 15
Pejabat yang berwenang menjatuhkan tindakan disiplin adalah:
a.         atasan langsung;
b.         atasan tidak langsung; dan
c.         anggota Provos Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan lingkup tugas dan kewenangannya.

Pasal 16
(1)        Pejabat yang berwenang menjatuhkan hukuman disiplin adalah:
a.         Ankum, dan/atau
b.         Atasan Ankum.
(2)        Atasan Ankum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, berwenang memeriksa dan memutus atas keberatan yang diajukan oleh terhukum.
(3)        Ankum di lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia secara berjenjang adalah sebagai berikut:
a.         Ankum berwenang penuh,
b.         Ankum berwenang terbatas, dan
c.         Ankum berwenang sangat terbatas.
(1)        Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri.

Pasal 17
(1)        Sebelum menjatuhkan hukuman disiplin, Ankum wajib memeriksa lebih dahulu anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang disangka melakukan pelanggaran disiplin itu.
(2)        Pejabat yang berwenang memeriksa pelanggaran disiplin adalah:
a.         Ankum,
b.         Atasan langsung,
c.         Atasan tidak langsung,
d.         Provos Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau
e.         Pejabat lain yang ditunjuk oleh Ankum.

Pasal 18
(1)        Apabila atas pertimbangan Ankum pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat dijatuhi hukuman disiplin, maka pemeriksaan dilakukan melalui sidang disiplin.
(2)        Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara intern.

Pasal 19
Ankum berwenang memerintahkan Provos Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melakukan pemeriksaan terhadap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang disangka melakukan pelanggaran disiplin.

Pasal 20
Ankum berwenang memerintahkan diselenggarakannya sidang disiplin terhadap anggotanya yang disangka melakukan pelanggaran disiplin.

Pasal 21
Sebelum melaksanakan Sidang Disiplin, Ankum meminta pendapat dan saran hukum dari satuan fungsi pembinaan hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia guna menentukan perlu atau tidaknya dilakukan sidang disiplin.

Pasal 22
Provos Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang:
a.         melakukan pemanggilan dan pemeriksaan;
b.         membantu pimpinan menyelenggarakan pembinaan dan penegakan disiplin, serta memelihara tata tertib kehidupan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
c.         menyelenggarakan sidang disiplin atas perintah Ankum;
d.         melaksanakan putusan Ankum.

Pasal 23
Ankum menyelenggarakan Sidang Disiplin paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah menerima Daftar Pemeriksaan Pendahuluan Pelanggaran Disiplin dari satuan fungsi Provos.

Pasal 24
Dalam penjatuhan hukuman disiplin perlu dipertimbangkan:
a.         situasi dan kondisi ketika pelanggaran itu terjadi;
b.         pengulangan dan perilaku sehari-hari pelanggar disiplin;
c.         terwujudnya keadilan dan mampu menimbulkan efek jera, serta tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Pasal 25
Penyelesaian perkara pelanggaran disiplin dilaksanakan melalui tahapan:
a.         laporan atau pengaduan;
b.         pemeriksaan pendahuluan;
c.         pemeriksaan di depan sidang disiplin;
d.         penjatuhan hukuman disiplin;
e.         pelaksanaan hukuman;
f.          pencatatan dalam Data Personel Perseorangan.

Pasal 26
Sidang Disiplin dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan pada satuan kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 27
Satuan kerja yang berwenang melaksanakan sidang disiplin, susunan keanggotaan dan perangkat sidang disiplin diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri.

Pasal 28
Apabila pelanggar disiplin tidak diketahui keberadaannya, setelah melalui prosedur pencarian menurut ketentuan dinas yang berlaku, maka dapat dilakukan sidang disiplin tanpa kehadiran pelanggar.

Pasal 29
(1)        Hukuman disiplin ditetapkan dengan Surat Keputusan Hukuman Disiplin dan disampaikan kepada terhukum.
(2)        Provos melaksanakan putusan sidang disiplin yang berupa penempatan dalam tempat khusus.
(3)        Ankum berkewajiban melaporkan hasil pelaksanaan sidang disiplin kepada atasan Ankum.
(4)        Surat Keputusan Hukuman Disiplin dicatat dalam Data Personel Perseorangan yang bersangkutan.

Pasal 30
(1)        Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dijatuhi hukuman disiplin berhak mengajukan keberatan.
(2)        Keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan tertulis kepada atasan Ankum melalui Ankum dengan mencantumkan alasan keberatan.
(3)        Tenggang waktu pengajuan keberatan paling lama 14 (empat belas) hari setelah terhukum menerima putusan hukuman disiplin.
(4)        Ankum wajib menerima pengajuan keberatan dari terhukum dan meneruskannya kepada atasan Ankum.

Pasal 31
(1)        Apabila keberatan terhukum ditolak seluruhnya, maka atasan Ankum menguatkan putusan yang telah dibuat oleh Ankum yang menjatuhkan hukuman disiplin.
(2)        Apabila keberatan terhukum diterima seluruhnya, maka atasan Ankum membatalkan putusan yang telah dibuat oleh Ankum yang menjatuhkan hukuman disiplin.
(3)        Apabila keberatan terhukum diterima sebagian, maka atasan Ankum mengubah putusan yang dibuat oleh Ankum yang menjatuhkan hukuman disiplin.
(4)        Atasan Ankum berwenang menolak atau mengabulkan seluruh atau sebagian keberatan dengan memperhatikan pendapat dan saran dari satuan fungsi pembinaan hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(5)        Putusan atasan Ankum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya pengajuan keberatan.
(6)        Surat Keputusan atasan Ankum terhadap pengajuan keberatan terhukum sebagaimana dimaksud ayat (1), (2), dan (3), disampaikan kepada pemohon keberatan.
(7)        Putusan atasan Ankum atas keberatan terhukum, merupakan keputusan akhir.

Pasal 32
(1)        Hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 berlaku:
a.         apabila dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari terhukum tidak mengajukan keberatan, maka putusan yang dijatuhkan Ankum berlaku pada hari ke-15 (kelima belas);
b.         apabila ada keberatan dari terhukum, maka putusan hukuman mulai berlaku sejak tanggal putusan atas keberatan itu diputuskan.
(2)        Dalam hal terhukum tidak hadir dalam sidang disiplin dan/atau setelah dilakukan pencarian terhadap terhukum untuk menyampaikan hasil putusan hukuman disiplin tidak ditemukan, maka putusan hukuman disiplin tersebut berlaku sejak hari ke-30 (ketiga puluh) terhitung mulai tanggal keputusan itu diputuskan.

BAB IV
PELAKSANAAN PENEMPATAN DALAM TEMPAT KHUSUS

Pasal 33
(1)        Penempatan dalam tempat khusus ditentukan oleh Ankum.
(2)        Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ditempatkan dalam tempat khusus dilarang meninggalkan tempat khusus tersebut kecuali atas izin Ankum.

BAB V
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 34
Hal lain yang bersifat sangat teknis dan belum diatur dalam Peraturan Pemerintah ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri.

Pasal 35
Hukuman disiplin yang telah dijatuhkan sebelum Peraturan Pemerintah ini ditetapkan tetap berlaku.

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 36
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 1 Januari 2003
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 1 Januari 2003
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BAMBANG KESOWO


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 2
MAKALAH HUKUM KETENAGAKERJAAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah ketenagakerjaan adalah salah satu masalah pokok yang harus dihadapi oleh negara-negara berkembang seperti halnya Indonesia[1]). Jumlah penduduk yang terus meningkat tanpa diikuti pertambahan lapangan pekerjaan selalu menjadi pemicu menjamurnya pengangguran. Indonesia memiliki jumlah penduduk sebesar 225 juta jiwa, menjadikan negara ini negara dengan penduduk terpadat ke-4 di dunia. Pulau Jawa merupakan salah satu daerah terpadat di dunia, dengan lebih dari 107 juta jiwa tinggal di daerah dengan luas sebesar New York. Indonesia memiliki budaya dan bahasa yang berhubungan namun berbeda.
Sedangkan asas ketenagakerjaan yang digunakan menurut Abdussalam[2]) adalah asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah, sedangkan asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan nasional. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan berbagai pihak yaitu antara pemerintah, pengusaha dan pekerja atau buruh, oleh sebab itu pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk kerjasama yang saling mendukung. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2003 Pasal 3 tentang ketenagakerjaan yang memuat adanya pelaksanaan pembangunan ketenagakerjaan dapat terwujud dengan melibatkan peranan pemerintah, pengusaha dan pekerja atau buruh.


B. Rumusan Masalah
Dalam hukum perburuhan atau hukum ketenagakerjaan terdapat beberapa elemen elemen dari hukum ketenagakerjaan[3]) yang harus dipahami, seperti tenaga kerja, pekerja/buruh, pemberi kerja, pengusaha, perusahaan dan lain-lain. Istilah dalam pengertian hal tersebut diatas dapat ditemui dalam peraturan perundangan-undangan ketenagakerjaan.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan Ayat (2) “Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat” dan Ayat (3) “Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.
Batas pengertian hukum ketenagakerjaan[4]), yang dulu disebut dengan hukum perburuhan atau arbeidrechts sama juga dalam pengertian hukum itu sendiri, yakni masih beragam sesuai dengan sudut pandang ahli hukum. Tidak satu pun batas pengertian itu dapat memuaskan karena masing-masing ahli hukum memiliki alasan tersendiri.
Mereka melihat hukum ketenagakerjaan dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Akibatnya, pengertiannya pun tentu berbeda antara ahli hukum yang satu dan yang lainnya.
Sebelum membahas pengertian hukum perburuhan menurut para ahli hukum, alangkah lebih baiknya kita melihat pengertian ketenagakerjaan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Pasal 1 Ayat (1) undang-undang tersebut menyatakan, “Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.”

BAB II
HUKUM KETENAGAKERJAAN
   A. Sejarah Hukum ketenagakerjaan[5])
v  MASA PERBUDAKAN. Budak tidak mempunyai hak apapun, hanya kewajiban melakukan pekerjaan, fasilitas hanya kebijaksanaan, tidak ada aturan Tenaga Kerja/Perburuhan, Berakhir tahun1860
v  MASA PEKERJAAN RODI
Dibagi 3 golongan:
a. Rodi Guvernemen
b. Rodi Pembesar/pribadi
c. Rodi Desa
Awalnya pembagian kerja (gotong royong), Lebih kejam dari perbudakan, berakhir tahun 1880
v  MASA POENALE SANKSI
Koeli Ordonantie /Kuli Kontrak
Dengan hukuman pidana bagi yang tidak mau bekerja dan yang meninggalkan perkebunan merupakan kebijakan pemerintah yang mengikat. Berpihak kepada pengusaha berakhir tahun 1942




   B. Definisi Umum Tentang Ketenagakerjaan
Untuk dapat mengerti mengenai apa itu ketenaga kerjaan serta hal apa saja yang terkait didalam nya ada baiknya jika mengetahui definisi atau arti dari istilah-istilah yang sering dipergunakan dalam ketenagakerjaan.
v  Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
v  Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
v  Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
v  Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
v  Pengusaha adalah : orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
v  Perusahaan adalah : setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
v  Perencanaan tenaga kerja adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis yang dijadikan dasar dan acuan dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan.
v  Informasi ketenagakerjaan adalah gabungan, rangkaian, dan analisis data yang berbentuk angka yang telah diolah, naskah dan dokumen yang mempunyai arti, nilai dan makna tertentu mengenai ketenagakerjaan.
v  Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
v  Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.
v  Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu.
v  Pelayanan penempatan tenaga kerja adalah kegiatan untuk mempertemukan tenaga kerja dengan pemberi kerja, sehingga tenaga kerja dapat memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya, dan pemberi kerja dapat memperoleh tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhannya.
v  Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.






C. Pengertian hukum perburuhan menurut pendapat para ahli hukum dapat dirangkum sebagai berikut :
1.      Menurut Molenaar, hukum perburuhan adalah bagian hukum yang berlaku, yang pokoknya mengatur hubungan antara tenaga kerja dan pengusaha, antara tenaga kerja dan tenaga kerja.
2.      Menurut Mok, hukum perburuhan adalah hukum yang berkenaan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh swapekerja yang melakukan pekerjaan atas tanggung jawab dan risiko sendiri.
3.      Menurut Soetikno, hukum perburuhan adalah keseluruhan peraturan hukum mengenai hubungan kerja yang mengakibatkan seseorang secara pribadi ditempatkan dibawah perintah/pimpinan orang lain dan mengenai keadaan-keadaan penghidupan yang langsung bersangkutpaut dengan hubungan kerja tersebut.
4.      Menurut Imam Sopomo, hukum perburuhan adalah himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang berkenaan dengan kejadian saat seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.
5.      Menurut M.G. Levenbach, hukum perburuhan adalah hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja, yakni pekerja di bawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bersangkutpaut dengan hubungan kerja itu.
Mengingat istilah tenaga kerja mengandung pengertian yang sangat luas dan untuk menghindari adanya kesalahan persepsi terhadap penggunaan istilah lain yang kurang sesuai dengan tuntutan perkembangan hubungan industrial, penulis berpendapat bahwa istilah hukum ketenagakerjaan lebih tepat dibandingkan dengan istilah hukum perburuhan.



D. Sumber Hukum Tenaga Kerja :
1. UNDANG-UNDANG
(Undang-undang yang dipergunakan sebagai Pedoman dalam Hukum Tenaga Kerja) adalah :
  1. Undang-Undang No. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
  2. Undang-Undang No.02 Tahun 2004. : Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
  3. Undang-Undang No.21 Tahun 2003. Tentang Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan
  4. Undang-Undang No. 39 Tahun 2004. Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
  5. Undang-Undang No. 1 TAHUN 2000 Tentang Pengesahan ILO CONVENTION NO. 182 CONCERNING THE PROHIBITION AND IMMEDIATE ACTION FOR THE ELIMINATION OF THE WORST FORMS OF CHILD LABOUR (KONVENSI ILO NO. 182 MENGENAI PELARANGAN DAN TINDAKAN SEGERA PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK)
  6. Undang-Undang No. 19 TAHUN 1999 Tentang Pengesahan ILO CONVENTION NO. 105 CONCERNING THE ABOLITION OF FORCED LABOUR (KONVENSI ILO MENGENAI PENGHAPUSAN KERJA PAKSA)
  7. Undang-Undang No. 03 Tahun 1992 : Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
  8. Undang-undang No. 01 Tahun 1970 : Tentang Keselamatan Kerja.





2. PERATURAN LAIN
a.             Peraturan Pemerintah
b.   Peraturan Presiden
  1. Keppres No. 107 Tahun 2004. : Tentang Dewan Pengupahan
  2. Keppres No. 25 Tahun 2004. : Tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Pengawas Ketenagakerjaan, Perantara Hubungan Industrial dan Pengantar Kerja
  3. Kepres No. 29 Tahun 1999 : Tentang Badan Koordinasi Penempatan Tenaga Kerja Indonesia.
  4. Keppres No. 83 Tahun 1998 : Tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 87 Mengenai Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi.
  5. Keppres No. 75 Tahun 1995 : Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang.

c.         Instruksi Presiden.
d.   Keputusan Menteri
  1. Kepmenakertrans : KEP.355/MEN/X/2009 : Tentang Tata Kerja Lembaga Kerjasama (LKS) Tripartit Nasional
  2. Kepmenakertrans. No. KEP. 113/MEN/IV/2009 : Tentang Pembentukan TIM Teknis Pengelolaan Dan Pengembangan Sistem Komputerisasi Tenaga Kerja Di Luar Negeri TA. 2009
  3. Kepmenakertrans Nomor : KEP.49/MEN/2004 Tentang Ketentuan Struktur dan Skala Upah
  4. Kepmenakertrans No. KEP.250/MEN/XII/2008 Tentang Klasifikasi dan Karakteristik Data Dari Jenis Informasi Ketenagakerjaan
  5. Kepmennakertrans No. KEP.268/MEN/XII/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Bulan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional Tahun 2009
  6. Kepmenakertrans No. KEP. 201/MEN/IX/2008. Tentang Penunjukan Pejabat Penerbitan Persetujuan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri Untuk Kepentingan Perusahaan Sendiri.
  7. Kepmenakertrans No. KEP.14/MEN/I/2005. : Tentang Tim Pencegahan Pemberangkatan TKI Non Prosedural dan Pelayanan dan Pelayanan Pemulangan TKI
  8. Kepmenakertrans No. KEP.11/MEN/I/2005. : Tentang Pembentukan dan susunan keanggotaan Lembaga Akreditas Lembaga Pelatihan Kerja
  9. Kepmenakertrans No. KEP.102/MEN/VI/2004 : Tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur.
  10. Kepmenakertrans No. KEP. 101/MEN/VI/2004 : Tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja / Buruh.
  11. Kepmenakertrans No. KEP. 51/MEN/2004 : Tentang Istirahat Panjang pada Perusahaan Tertentu.
e.       Peraturan Menteri
  1. Permenakertrans : No. PER-23/MEN/IX/2009 : Tentang Pendidikan dan Pelatihan Kerja Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
  2. Permenakertrans : Nomor.PER-18/MEN/VIII/2009 Tentang Bentuk, Persyaratan, Dan Tata Cara Memperoleh Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri
  3. Permenakertrans : Nomor.PER-17/MEN/VIII/2009 Tentang Penyelenggaraan Pembekalan Akhir Pemberangkatan Tenaga Kerja Indonesia Ke Luar Negeri
  4. Permenakertrans No :10/MEN/V/2009 Tentang Tata Cara Pemberian, Perpanjangan dan Pencabutan Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia
  5. Permenakertrans No : PER-05/MEN/III/2009 : Tentang Pelaksanaan Penyiapan Calon TKI Untuk Bekerja Di Luar Negeri.
  6. Permenakertrans Nomor PER.31/MEN/XII/2008 tentang Pedoman Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Perundingan Bipartit
  7. Permenakertrans Nomor PER.25/MEN/XII/2008 tentang Pedoman Diagnosis dan Penilaian Cacat Karena Kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja
  8. Permenakertrans Nomor PER. 23/MEN/XII/2008 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia
  9. Peraturan Menteri No.07 Tahun 2008 Tentang Penempatan Tenaga Kerja
  10. Peraturan Menteri Nomor. PER.02/MEN/III/2008 : Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing
  11. Peraturan Menteri No. PER.18/MEN/IX/2007. : Tentang Pelaksanaan Penempatan Dan Perlindungan TKI Di Luar Negeri.
  12. Peraturan Menteri No. PER.17/MEN/VI/2007. : Tentang Tata Cara Perizinan dan Pendaftaran Lembaga Pelatihan Kerja.
  13. Peraturan Menteri No. PER.12/MEN/VI/2007 : Tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jamsostek.
  14. Peraturan Menteri No. PER. 21/MEN/X/2005. : Tentang Penyelenggaraan Program Pemagangan.
3. KEBIASAAN
Kebiasaan dalam hal ini adalah kebiasaan yang terjadi antara pekerja dan pemberi kerja yang dilakukan berulang-ulang dan diterima masyarakat (para pihak baik pekerja maupun pemberi kerja), Contoh : Perkerutan Pegawai tanpa pelatihan terstruktur (usaha kecil dan menengah)
4. YURISPRUDENSI
Semenjak diberlakukannya Undang-Undang No. 02 Tahun 2004. : Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial maka putusan Pengadilan Hubungan Industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht) akan menjadi dasar hukum bagi hakim untuk memutus perkara serupa.
5. TRAKTAT/PERJANJIAN
Kaitannya dengan masalah perburuhan, perjanjian yang merupakan sumber hukum tenaga kerja ialah perjanjian kerja. perjanjian kerja mempunyai sifat kekuatan hukum mengikat dan berlaku seperti undang-undang pada pihak yang membuatnya.









E. Upah
v  Pengertian Upah
Upah adalah hak pekerja / buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja / buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja / buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. (Pasal 1 angka 30 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan)

v  Dasar Hukum Upah bagi Tenaga Kerja

  1. Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945
  2. Undang-undang No. 13 tahun 2003
  3. Kepmenakertrans Nomor : KEP.49/MEN/2004 Tentang Ketentuan Struktur dan Skala Upah
  4. Kepmenakertrans No. KEP.102/MEN/VI/2004 : Tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur.

v  KOMPONEN UPAH

  • Upah pokok adalah imbalan dasar yang dibayarkan kepada buruh menurut tingkat atau jenis pekerjaan yang besarnya ditetapkan berdasarkan perjanjian
  • Fasilitas adalah kenikmatan dalam bentuk nyata / natur karena hal yang bersifat khusus atau untuk meningkatkan kesejahteraan buruh (contoh: fasilitas antar jemput, pemberian makan secara cuma-cuma, sarana kantin)
  • Bonus adalah pembayaran yang diterima buruh dari hasil keuntungan perusahaan atau karena prestasi


F. Perselisihan Hubungan Industrial
adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha dan gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Dengan demikian dalam perselisihan hubungan industrial di kenal 4 macam perselisihan pokok yaitu :
  1. Perselisihan hak adalah perselsihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
  2. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
  3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
  4. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja.serikat buruh lainnya hanya dalam satu perusahaan karena tidak adanya persesuaian paham menganai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat pekerjaan.




G. Hubungan Kerja
Hubungan Kerja adalah hubungan antara pengusaha dan pekerja berdasarkan perjanjian Kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah[6]).
Jenis-jenis hubungan kerja :
  1. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) / Tetap[7]).
è Dapat mensyaratkan masa percobaan paling lama 3 bulan
è Dilarang membayar upah dibawah UMK
  1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) / Kontrak[8]).
è Berdasarkan jangka waktu tertentu
è Pekerjaan sementara
è Pekerjaan Musiman (tidak dapat dilakukan pembaharuan)[9]).
è Produk / kegiatan baru (tidak dapat dilakukan pembaharuan)
è Penjajakan produk tambahan (tidak dapat dilakukan pembaharuan)
è PKWT dicatatkan ke Instansi Ketenagakerjaan setempat paling lambat 7 hari sejak ditandatangani.
  1. Perjanjian Kerja Harian[10]).
è Pekerjaaan tertentu – berubah-rubah dalam hal waktu dan volume
è Bekerja kurang dari 21 hari dalam 1 bulan serta kurang dari 3 bulan
è Upah berdasarkan kehadiran dikecualikan dari ketentuan jangka waktu PKWT pada umumnya
è Didaftarkan P/B disampaikan ke Sudinakertrans selambat-lambatnya 7 hari sejak bekerja


4.     Program Pemagangan[11])
è Kurikulum dan Silabus (modul), metode pemagangan
è Instruktur dan pembimbing teknis, harus memenuhi standar kompetensi kerja khusus
è Metode berupa pelatihan teori, simulasi, laboratorium, bekerja langsung
Konsep Management Trainee hanya :
è Sebagai tahapan seleksi rekrutmen, ada standar kualifikasi tertentu
è Ada sistem penilaian
  1. Perjanjian kerja Outsourching
è Persyaratan penyerahan sebagian pekerjaan[12])
v  Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama
v  Dengan perintah langsung / tidak langsung dari pemberi kerja
v  Merupakan pekerjaan penunjang secara keseluruhan
v  Tidak menghambat proses produksi secara langsung
è Perusahaan penyedia jasa wajib memiliki ijin operasional dari instansi yang bertanggung jawab sesuai domisili[13]), wajib melampirkan : copy pengesahan sebagai badan hukum, copy anggaran dasar (yang memuat kegiatan usaha penyedia jasa), copy SIUP, dan copy wajib lapor ketenagakerjaan yang masih berlaku
è Perusahaan penerima pemborongan harus memenuhi persyaratan[14]) ;
v  Berbentuk badan hukum
v  Memiliki tanda daftar perusahaan
v  Memiliki ijin usaha
v  Memiliki bukti wajib lapor ketenagakerjaan
è Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penyedia jasa[15]), pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus merupakan kegiatan, jasa penunjang atau yang tidak berhubungan dengan proses produksi.
Kegiatan jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat 2 meliputi :
v  Usaha pelayanan kebersihan (cleaning service)
v  Usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering)
v  Usaha tenaga pengamanan (security)
v  Usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan
v  Usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh
n  Berakhirnya Perjanjian Kerja[16]).
è Pekerja meninggal dunia
è Berakhirnya jangka waktu perjanjian
è Adanya putusan pengadilan
è Keadaan tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja
Pihak yang mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam PKWT, bukan karena adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja / buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. [17])



n  Pekerja Anak[18]).
è Izin orang tua / wali, pekerjaaan ringan untuk anak 13 – 15 tahun
è Waktu kerja maksimal 3 jam, terpisah dari tempatnya pekerja dewasa
è Siang hari tidak mengganggu waktu sekolah
è Petunjuk pelaksanaan pekerjaan jelas disertai bimbingan dan pengawasan
è Keselamatan dan kesehatan kerja, upah sesuai ketentuan
è Tidak mengganggu fisik dan mental serta mental
è Tidak berhubungan dengan mesin, pesawat, alat berat, instalasi listrik, bejana tekan/angkut, tidak dibawah tanah, di bawah air, tertutup dan sempit
è Tidak dengan ketinggian > 2 m, kecepatan angin tinggi, kelembaban ekstrim, kebisingan/getaran lebih besar dari ambang batas
è Tidak mengandung bahaya radiasi, bahaya kimia, bahaya biologis
è Tidak berhubungan dengan konstruksi bangunan, jembatan, penebangan kayu dan bongkar muat
è Tidak dalam lingkungan bar, diskotik, karaoke, bola sodok, bioskop, panti pijat dan lokasi prostitusi
è Tidak sebagai model minuman keras, rokok, obat perangsang seksualitas, pornografi dan pornoaksi
n  Pekerja Perempuan[19]).
è Memberi makanan dan minuman yang bergizi sekurang-kurangnya 1400 kalori tidak dapat diganti dengan uang
è Menjaga kesusilaan dan keamanan di tempat kerja
è Ada petugas keamanan, kamar mandi / WC terpisah antara pekerja perempuan dan laki-laki dengan penerangan yang memadai
è Menyediakan angkutan antar jemput (jika ada shift 3, 23.00 – 05.00)
è Tempat penjemputan / pengantaran lokasi aman dan mudah dijangkau
è Kondisi kendaraan layak jalan dan terdaftar di perusahaan
è Tidak boleh berumur kurang dari 18 tahun
è Tidak boleh dalam keadaan hamil yang menurut dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya sendiri.
n  Lembur[20]).
è Perintah tertulis dari pengusaha dan persetujuan tertulis dari pekerja (daftar lembur yang ditandatangani oleh pengusaha dan pekerja
è Upah lembur hanya untuk golongan jabatan tertentu, mereka yang memiliki tanggung jawab sebagai pemikir, perencana, pelaksana dan pengendali jalannya perusahaan tidak berhak atas upah lembur
è Memberikan makanan dan minuman sekurang-kurangnya 1400 kalori apabila kerja lembur dilakukan selama 3 jam (tidak boleh diganti dengan uang)
è Memberi kesempatan istirahat secukupnya
è Paling banyak 3 jam / hari dan 14 jam / minggu
è Sektor usaha Energi dan Sumber Daya Mineral pada daerah tertentu, waktu kerja, lembur, dan istirahat diatur dalam KepMen No.234 Tahun 2003



n  Izin tidak masuk kerja dengan tetap mendapat upah[21]).
è Haid sakit hari pertama dan kedua (2 hari), Diri sendiri menikah (3 hari)
è Anak menikah, Khitan, Baptis (2 hari), Istri melahirkan / keguguran (2 hari)
è Suami/ Istri / Orang tua / mertua / anak / menantu meninggal (2 hari)
è Saudara kandung meninggal (1 hari)
è Melaksanakan tugas serikat pekerja dengan persetujuan pengusaha
è Menjalankan ibadah agama, menjalankan kewajiban agama
n  Di larang PHK[22]).
è Sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus menerus, memenuhi kewajiban terhadapa Negara, menjalankan ibadah yang diperintah agama
è Menikah, hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui bayi, mempunyai pertalian darah atau ikatan dalam perkawinan di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam PK, PP atau PKB
è Mendirikan, menjadi anggota atau pengurus, melakukan kegiatan diluar jam kerja atau didalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha atau PK, PP atau PKB
è Mengadukan pengusaha kepada pihak berwajib yang melakukan tindak pidana kejahatan, perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik atau status perkawinan
è Keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja atau sakit karena hubungan kerja menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhan belum dapat dipastikan

n  PHK tanpa penetapan
è Di tahan pihak yang berwajib[23]), mengundurkan diri[24]), mangkir 5 (lima) hari kerja[25]), PHK atas permohonan pekerja tidak terbukti[26]), Tidak lulus masa percobaan[27]), Kontrak berakhir[28]), Meninggal dunia[29]),
è Pensiun[30]). (Angka 1,2,3 apabila pekerja tidak dapat menerima PHK ini yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan PPHI paling lama 1 (satu) tahunsejak tanggal PHK) [31]).
n  Alasan PHK
è Kesalahan berat [32]), ditahan pihak yang berwajib[33]), melakukan pelanggaran[34]).
è Mengundurkan diri[35]), perubahan status, penggabungan, peleburan atau perubahan kepemilikan[36]), Perusahaan tutup atau keadaan memaksa[37]), perusahaan pailit[38]).
è Meninggal dunia[39]), usia pensiun[40]), Mangkir 5 (lima) hari kerja berturut-turut dikualifikasikan mengundurkan diri[41]), Pekerja mengajukan permohonan PHK kepada Lembaga Perselisihan Hubungan Industrial[42]), Sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaan[43]).
n  Kesalahan Berat
è Pasal 158 UU No.13/2003, paska putusan MK No.012/PUU-I/2003 mempunyai kekuatan hukum tetap
è Surat Edaran Menakertrans No.SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 tanggal 7 Januari 2005 (Alasan mendesak Pasal 1603 n jo Pasal 1603o KHUPerdata), Diatur dalam Perjanjian Kerja/ Peraturan Perusahaan / Perjanjian Kerja Bersama, PHI berwenang? (Ada bukti ; pengakuan, laporan dll serta kualifikasi alasan mendesak / rumusan kesalahan berat yang ada)
n  Mengundurkan diri
è Ada uang penggantian hak dan uang pisah[44]).
è Surat pengunduran diri diajukan 30 hari sebelum hari H
è Pengunduran diri yang dipaksakan maksudnya ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari Pengusaha (pasal 1324 – 1327 KHUPerdata) pekerja masih dapat mengajukan gugatan ke PHI dalam waktu 1 tahun (vide Pasal 171 UU No.13/2003 jo Pasal 82 UU No.2 tahun 2004)


n  Mangkir selama 5 (lima) hari kerja / lebih berturut-turut
è Pemanggilan kerja secara tertulis
è Tenggang waktu antara pemanggilan pertama dan kedua paling sedikit 3 hari kerja
è Mangkir selama 5 (lima) hari kerja / lebih berturut-turut tanpa keterangan tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan sudah dipanggil secara patut 2 (dua) kali, dikualifikasikan mengundurkan diri [45]).
n  Sakit terus menerus
è Setelah 12 (dua belas) bulan waktu penyembuhan belum dapat dipastikan
è Sakit -àkerja belum 4 minggu -àsakit lagi
è Upah selama sakit[46]).
û  4 bulan            : 100%
û  4 bulan            : 75%
û  4 bulan            : 50%
û  Selanjutnya     : 25%
n  Sahnya PHK
è PHK setelah memperoleh penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial[47]).
è PHK tanpa penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (batal demi hukum)[48]).
n  Mogok Kerja[49]).
è Akibat gagalnya perundingan, pengusaha tidak mau melakukan perundingan
è Perundingan mengalami jalan buntu (dinyatakan dalam risalah perundingan)
è Dilakukan secara tertib dan damai, tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum dan atau mengancam keselamatan jiwa dan harta benda milik perusahaan atau orang lain atau masyarakat
n  Prosedur Mogok Kerja[50]).
è Akibat gagalnya perundingan
è Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum dilaksanakan, wajib memberitahu secara tertulis kepada perusahaan dan instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan setempat serta kepolisian
è Pemberitahuan memuat :
v  Waktu (hari, tanggal, jam) dimulai dan diakhiri mogok
v  Tempat mogok
v  Alasan dan sebab mogok
v  Ada tandatangan ketua dan sekretaris Serikat Pekerja atau penanggung jawab Mogok
è Instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan wajib memberikan tanda terima, mempertemukan dan merundingkan dengan pihak-pihak yang berselisih
è Dalam hal perundingan menghasilkan kesepakatan dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani para pihak dan pegawai instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan sebagai saksi
è Dalam hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan diserahkan kepada lembaga PPHI
è Mogok dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali atas dasar perundingan antara pengusaha dengan Serikat Pekerja / Penanggung jawab mogok
v  Dilarang mengganti Pekerja yang mogok dengan Pekerja dari luar perusahaan[51]).
v  Tidak mendapat upah, kecuali menuntut hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh Pengusaha[52]).
v  Di perusahaan yang melayani kepentingan umum, membahayakan keselamatan jiwa manusia, dilakukan oleh Pekerja yang tidak sedang tugas[53]).
n  Mogok Tidak Sah[54]).
è Dikualifikasikan mangkir
è Dipanggil 2 (dua) kali dalam tenggang waktu 7 hari dianggap mengundurkan diri
è Melarang Pekerja berada dilokasi Perusahaan bila tidak mau bekerja
è Pekerja yang sedang tugas berhubungan dengan keselamatan jiwa manusia dikualifikasikan kesalahan berat



n  Serikat Pekerja / Serikat Buruh[55]).
è Pengaturan jabatan tertentu yang tidak boleh menjadi pengurus Serikat Pekerja / Buruh karena berpotensi menimbulkan konflik kepentingan[56]). seperti :
v  Manajer SDM, Manajer Keuangan
v  Kepala Divisi atau Unit yang bersifat otonom
è Pengaturan kesempatan kepada Serikat Pekerja / Buruh untuk menjalankan kegiatannya[57]). seperti :
v  Jenis kegiatan yang diberikan kesempatan, Tata cara pemberian kesempatan untuk menjamin kelangsungan proses produksi
v  Pemberian kesempatan yang mendapat upah dan tidak mendapat upah
n  Sanksi
è Tidak boleh melarang / menghalang-halangi, memaksa dengan cara[58]) :
v  PHK, skorsing, mutasi, demosi, Tidak membayar / mengurangi upah
v  Melakukan intimidasi, Kampanye anti Serikat Buruh / Pekerja
è Merupakan tindak pidana kejahatan[59]). (dengan pidana penjara paling sedikit 1 (satu) tahun dan paling banyak 5 (lima) tahun dan/denda paling sedikit Rp.100.000.000,-(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

         BAB III
   KESIMPULAN
Mengingat istilah tenaga kerja mengandung pengertian yang sangat luas dan untuk menghindari adanya kesalahan persepsi terhadap penggunaan istilah lain yang kurang sesuai dengan tuntutan perkembangan hubungan industrial, penulis berpendapat bahwa istilah hukum ketenagakerjaan lebih tepat dibandingkan dengan istilah hukum perburuhan.
Berdasarkan uraian tersebut, jika dicermati hukum ketenagakerjaan memiliki unsur-unsur sebagai berikut :
1.      Serangkaian peraturan yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis.
2.      Mengatur tentang kejadian hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha/majikan.
3.      Mengatur perlindungan pekerja/buruh.
Hukum ketenagakerjaan adalah peraturan hukum yang mengatur hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha/majikan dengan segala konsekuensinya. Hal ini jelas bahwa hukum ketenagakerjaan tidak mencakup pengaturan swapekerja (kerja dengan tanggung jawab/ risiko sendiri), kerja yang dilakukan untuk orang atas dasar kesukarelaan, dan kerja seseorang pengurus atau wakil suatu organisasi/perkumpulan. Perlu diingat bahwa ruang lingkup ketenagakerjaan tidak sempit, terbatas, dan sederhana. Kenyataannya dalam praktik sangat kompleks dan multidimensi. Oleh karena itu, ada benarnya jika hukum ketenagakerjaan mengatur hubungan kerja yang harus diindahkan oleh semua pihak dan perlu adanya perlindungan pihak ketiga, yaitu penguasa (pemerintah) jika ada pihak-pihak yang dirugikan
BAB IV
  SARAN
Semangat dari hukum ketenagakerjaan adalah ingin melindungi hak-hak tenaga kerja dengan memberikan payung hukum yang termuat didalam Undang-undang No.13 tahun 2003 beserta Keputusan Menteri Tenaga Kerja tahun 2004 serta tertuang dalam PP (Peraturan Pelaksanaan). Tentu dalam tataran praktis implementasi tentu banyak perbedaan, sebagaimana kita tahu semboyan “das sein das sollen” bahwa teori dan praktek berbeda.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemerintah sengaja hanya menjadi regulator dan fasilitator pada saat pengusaha dan buruh terjadi konflik yakni menyarankan penyelesaian secara bipartit. Tuntutan dari pengusaha adalah tidak jauh dari urusan produktifitas dan efesiensi sedangkan buruh tidak jauh dari kesejahteraan, tunjangan-tunjangan, insentif dan bonus.
Tentu apabila kita menjadi seorang HRD didalam suatu perusahaan, seyogyanya mempunyai fungsi ibarat seorang supir yang mana Owner laksana penumpang. Maksudnya seorang supir seharusnya membekali diri dengan persyaratan administratif yaitu dengan mempunyai SIM dan membekali diri dengan safety riding, sehingga harapannya bisa mengantarkan penumpang sampai tujuan dengan selamat dengan menaati segala rambu-rambu lalulintas. Fungsi dari departemen HRD yang menerapkan aturan tenaga kerja sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sehingga terjadi win-win solution antara pengusaha dan buruh. Karena sejatinya hubungan tersebut adalah mutual simbiosisme yang saling membutuhkan satu sama lain, bukan sebaliknya win-lose (satu menang yang satu kalah).
DAFTAR PUSTAKA


1.      Proyeksi Laju Partisipasi Angkatan kerja di Propinsi Sumatra Utara pada tahun 2012, Sumatra Utara, 2012
2.      Prof. Dr. H.R. Abdussalam, SIK, S.H., M.H., Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan), Jakarta, Restu Agung, 2008
3.      Dwiyatno, Agus dkk , Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Gadjah Mada University Press, 2006
4.      Panjaitan, Krismena Natalina, Pembinaan karier ketenagakerjaan dalam perbankan, Semarang, Universitas Diponegoro, 2010
5.      Kutut Layung Pambudi, S.H.
6.      Undang-undang No.13 Tahun 2003
7.      Kepmenakertrans No. 100 Tahun 2004
8.      PerMen No. 22 Tahun 2009
9.      KepMen No.220 Tahun 2004
10.  Keppres No. 18 Tahun 2000
11.  KepMen No.232 tahun 2003
12.  Undang-undang No.21 tahun 2000




[1]              )Proyeksi Laju Partisipasi Angkatan kerja di Propinsi Sumatra Utara pada tahun 2012, Sumatra Utara, 2012
[2]              )Prof. Dr. H.R. Abdussalam, SIK, S.H., M.H., Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan), Jakarta, Restu Agung, 2008


[3]              )Dwiyatno, Agus dkk , Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Gadjah Mada University Press, 2006
[4]              )Panjaitan, Krismena Natalina, Pembinaan karier ketenagakerjaan dalam perbankan, Semarang, Universitas Diponegoro, 2010


[5]              )Kutut Layung Pambudi, S.H.



[6]              ) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 5
[7]              ) Ibid, Pasal 60
[8]              ) Ibid, Pasal 59
[9]              ) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Pasal 62
[10]             ) KepMen No.100 Tahun 2004 pasal 10 dan 11
[11]             ) PerMen No. 22 Tahun 2009
[12]             ) Keppres No. 18 Tahun 2000 pasal 6 ayat 2
[13]             ) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Pasal 64 - 66
[14]             ) KepMen No.220 Tahun 2004
[15]             ) KepMen No.101 Tahun 2004
[16]             ) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Pasal 61
[17]             ) Ibid, Pasal 62
[18]             ) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Pasal 62 dan KepMen No.235 Tahun 2003
[19]             ) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Pasal 76 dan KepMen No.224 Tahun 2003
[20]             ) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Pasal 78 dan KepMen No.102 Tahun 2004
[21]             ) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Pasal 93
[22]             ) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Pasal 153
[23]          ) Ibid Pasal 160
[24]          ) Ibid Pasal 162
[25]          ) Ibid Pasal 168
[26]          ) Ibid Pasal 169
[27]          ) Ibid Pasal 60
[28]          ) Ibid Pasal 61
[29]          ) Ibid Pasal 166
[30]          ) Ibid Pasal 167
[31]          ) Ibid Pasal 171
[32]          ) Ibid ex Pasal 158 - 159
[33]          ) Ibid Pasal 160
[34]          ) Ibid Pasal 161
[35]          ) Ibid Pasal 162
[36]          ) Ibid Pasal 163
[37]          ) Ibid Pasal 164
[38]          ) Ibid Pasal 165
[39]          ) Ibid Pasal 166
[40]          ) Ibid Pasal 167
[41]          ) Ibid Pasal 168
[42]          ) Ibid Pasal 169
[43]          ) Ibid Pasal 172
[44]          ) Ibid Pasal 162
[45]          ) Ibid Pasal 168 ayat 1
[46]          ) Ibid Pasal 93 ayat 3
[47]          ) Ibid Pasal 151 ayat 3
[48]          ) Ibid Pasal 155 ayat 1
[49]          ) Ibid Pasal 137
[50]          ) Ibid Pasal 140
[51]          ) Ibid Pasal 144
[52]          ) Ibid Pasal 145
[53]          ) Ibid Pasal 139
[54]          ) KepMen No.232 tahun 2003
[55]          ) Undang-undang No.21 tahun 2000
[56]          ) Ibid pasal 15
[57]          ) Ibid pasal 29
[58]          ) Ibid Pasal 28
[59]          ) Ibid Pasal 43